Tag Archives: Ignasius Jonan

Sudah Lewat Batas Waktu, Pemerintah Siap Tindak Tegas Layanan Kendaraan Online yang Tidak Memenuhi Syarat

Tenggat waktu bagi para penyedia layanan kendaraan online untuk memenuhi persyaratan pemerintah Indonesia sudah habis. Lolos uji KIR, driver dengan SIM umum dan STNK kendaraan yang harus atas nama badan hukum menjadi beberapa syarat yang diajukan pemerintah untuk merestui layanan kendaraan online beroperasi di Indonesia.

Setelah jatuh tempo, tepatnya tanggal 31 Mei kemarin, pemerintah akan menindak tegas setiap armada layanan kendaraan online yang tidak memenuhi syarat. Bahkan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan seperti dilansir dari Kompas mengaku siap mengandangkan kendaraan jika memang terbukti tidak lolos uji KIR namun tetap memaksa untuk beroperasi.

“Kalau ada yang memaksa jalan bagaimana? Kalau kena pemeriksaan, itu akan dikandangkan kendaraannya,” ujar Jonan.

Hal tersebut menurut Jonan dilakukan sebagai upaya untuk mendisiplinkan semua angkutan umum, tidak hanya Uber atau GrabTaxi yang merupakan layanan kendaraan online. Jonan juga mengungkapkan bahwa pihaknya tidak segan-segan untuk mencabut izin usaha perusahaan yang melanggar apabila sampai 3 kali mendapat surat peringatan namun tetap melanggar.

Masih dari pemberitaan Kompas, sejauh ini Kementerian Perhubungan sudah menerbitkan syarat rekomendasi uji KIR kepada 3309 kendaraan yang terdiri dari Koperasi Perkumpulan Pengusaha Rental Mobil Indonesia (PPRI) yang menaungi GrabTaxi sebanyak 568 kendaraan, Jasa Trans Usaha Bersama (JTUB) yang menaungi Uber sebanyak 2665 kendaraan dan PT Panorama Sarana yang menaungi pengendara GoCar sebanyak 76 kendaraan.

Namun dari jumlah tersebut hanya 419 kendaraan yang telah melakukan uji KIR setidaknya hingga 31 Mei 2016. Masing-masing PPRI 195 kendaraan, JTUB 205 kendaraan, dan Panorama Mitra Sarana 19 kendaraan. Dan 53 di antaranya dinyatakan tidak lulus uji KIR.

Konflik Taksi dan Layanan Pemesanan Transportasi Online Masuki Masa Transisi

Grab dan Uber dinyatakan harus memenuhi beberapa persyaratan dalam masa transisi yang ditetapkan Kementerian Perhubungan. Sementara ini kedua perusahaan tersebut berada dalam kondisi status quo yang masih beroperasi seperti sediakala, namun tidak dapat melakukan ekspansi.

Kericuhan panjang antara perusahaan taksi dan layanan pemesanan taksi online ini memaksa pemerintah selaku regulator sekaligus mediator menjalani serangkaian pertemuan untuk mencari solusi terbaik.

Sebagaimana yang telah diketahui dan dipercaya, Grab dan Uber sepakat untuk tetap menjadi perusahaan berbasis teknologi sebagai penyedia layanan. Hal tersebut dikabulkan. Kendati demikian, persyaratan lain yang muncul ialah izin penyelenggaraan armada dari kedua perusahaan tersebut, solusi yang ada yaitu menggandeng badan hukum (koperasi) yang akan bertindak sebagai pengelolanya.

“Bukan perusahaan aplikasinya ya, tapi kendaraannya apakah ini beroperasi secara legal atau tidak. […] Justru ini sangat efisien, saya malah mendorong semua transportasi publik pakai teknologi informasi,” papar Menteri Perhubungan Ignasius Jonan (22/3).

Dalam hasil rapat terbatas pada hari Rabu (23/3) kemarin, Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Andri Yansyah menuturkan saat ini pemerintah sedang memberlakukan masa transisi guna memberikan kesempatan kepada armada jasa angkutan umum yang belum memiliki izin, menurut pemberitaan Kompas.

Masa transisi ini mewajibkan Grab dan Uber untuk segera menuntaskan kewajibannya untuk mengurus legalitas armada yang terdaftar di layanannya. Pembentukan koperasi melingkupi mengurus izin sebagai perusahaan penyelenggara angkutan umum, mengurus pendaftaran kendaraan, KIR, dan lainnya. SIM A Umum nampaknya juga menjadi salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengemudi.

Operasional akan berjalan seperti sedia kala, namun ada batasan penambahan armada yang diberlakukan.

“Selama masa transisi angkutan umum yang ada kita nyatakan dalam kondisi status quo. Artinya, yang sudah terdaftar sekarang sudah operasi, tetap beroperasi, tapi tidak melakukan ekspansi. […]Apabila dalam masa transisi itu tidak dipenuhi, maka berlaku lah ketentuan perundangan yang berlaku. Maka ada tindakan yang tegas,” ujar Dirjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Sugihardjo.

Menurut kami, solusi ini bukanlah yang terbaik, meskipun lebih baik daripada pemblokiran. Skema yang dijalani cenderung memaksakan inovasi dari para pelaku usaha (Grab dan Uber) untuk patuh dalam peraturan dan regulasi yang kaku. Menolak merevisi atau merumuskan regulasi baru, Jonan bersikukuh bahwa konflik ini bisa dipadamkan dengan peraturan yang ada.

“Saya rasa enggak ada regulasi yang perlu diubah, enggak perlu evaluasi undang-undang, itu salah dan pernyataan keliru,” tandas Jonan yang enggan merevisi Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas.

Jika Inovasi Dibelenggu Regulasi

Saya berkesempatan mendengarkan langsung pandangan-pandangan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan dalam acara yang digagas CSIS dan Kementerian Luar Negeri akhir September lalu. Jonan, menurut saya, memiliki visi yang menarik soal bagaimana mengembangkan transportasi di negara kita yang berbentuk kepulauan ini. Sayangnya, keputusannya tadi malam tidak mencerminkan keberpihakan terhadap publik.

Jonan, yang memiliki latar belakang pendidikan ekonomi dan sempat lama berkecimpung di bebeberapa institusi finansial, memutuskan layanan transportasi berbasis aplikasi dilarang beroperasi di Indonesia.

Yang dicontohkan sebagai layanan di segmen ini adalah keluarga Go-Jek (Go-Ride dan Go-Box), keluarga Grab (GrabBike dan GrabCar), Uber, Blu-Jek, dan Ladyjek. Dasar hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan.

Direktur Jenderal Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan Djoko Sasono dalam pernyataannya menyebutkan:

“Ketentuan angkutan umum adalah harus minimal beroda tiga, berbadan hukum, dan memiliki izin penyelenggaraan angkutan umum.”

Jonan sendiri mengatakan:

“Aplikasi online itu sistem reservasi. Sementara ojek pangkalan selalu dianggap sebagai kegiatan non-transportasi publik. Grab Taxi atau apapun namanya boleh saja, sepanjang kendaraannya memiliki izin sebagai transportasi umum [berpelat kuning], termasuk harus di-KIR. Jadi, silakan mengajukan ke dinas perhubungan setempat.”

Semua layanan tersebut di atas dianggap hanya memenuhi 1-2 aspek dan gagal memenuhi tiga poin yang termaktub secara keseluruhan. Kemenhub menunjuk unsur keselamatan sebagai basis pelarangan ini, sementara regulator lupa bahwa selama ini mereka membiarkan taksi gelap dan ojek pangkalan beroperasi. Mereka pun lupa memberi sanksi bagi layanan transportasi publik yang sudah tidak layak beroperasi di abad ke-21.

Pro dan kontra di kalangan pemerintahan

Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara adalah pendukung layanan transportasi berbasis aplikasi. Di bulan Juni, Rudiantara berpendapat:

“Menurut saya soal ride sharing mesti diatur, karena ini mirip dengan e-commerce. Kalau e-commerce itu sesuatu yang pasti akan datang, yaitu digital economy. Nah, pemanfaatan teknologi TI seperti ini [ride sharing] juga akan datang.”

Tak cuma dukungan lewat kata-kata, Rudiantara membawa co-founder dan CEO Go-Jek Nadiem Makarim dalam rombongan Indonesia yang menyambangi Silicon Valley. Di sana Rudiantara membanggakan Go-Jek sebagai salah satu startup yang berpotensi menjadi unicorn.

Sejauh ini belum ada komentar dari Rudiantara terkait keputusan Menteri Perhubungan ini.

Presiden Joko Widodo sendiri setali tiga uang. Dalam dialognya saat peresmian Indonesia Convention Exhibition (ICE) di BSD, Presiden yang mendapat pertanyaan dari Nadiem mengatakan:

“Bisnis kreatif berbasis budaya dan teknologi akan jadi masa depan Indonesia. [..] Saya sangat menghargai apa yang sudah dilakukan Go-Jek dan teman-teman lainnya. Saya juga mendukung kebebasan investasi dari luar agar [pertumbuhan bisnis industri kreatif] cepat melonjak.”

Kita juga masih ingat waktu Presiden ikut mengundang mitra pengemudi Go-Jek ke istana dan makan siang bersama. Saya cukup penasaran apakah keputusan Menteri Perhubungan ini sudah berdasarkan konsultasi dengan Presiden.

Larang dulu atau ubah aturannya?

Jika berpegang teguh terhadap aturan yang ada, model bisnis yang dimiliki Uber, Grab, atau Go-Jek sulit mengakomodasinya. Mereka ingin “menghancurkan” tatanan yang sudah ada, bukan hanya semata-mata karena alasan bisnis, melainkan juga kegagalan pemerintah untuk memberikan layanan transportasi publik yang diharapkan masyarakat.

Bisa saja Uber atau GrabCar berbadan hukum lokal, menggunakan pelat kuning, membayar pajak, tetapi isunya bukan di situ. Isu sebenarnya adalah penggunaan teknologi yang menjadi kelebihan layanan ini, kemudahan pembayarannya, dan kenyamanannya.

Masyarakat meradang karena selama ini merasa manfaat layanan transportasi berbasis aplikasi lebih banyak memberi manfaat ketimbang mudharat. Pun masyarakat menggunakan layanan ini tidak semata untuk layanan transportasi, tetapi juga untuk logistik, pengantaran makanan, dan bahkan layanan on-demand baru (bisa berkembang bermacam-macam) yang tidak termasuk ranah Kementerian Perhubungan.

Masalahnya sekarang, apakah pemerintah (dan organisasi transportasi yang mulai keteteran dengan kehadiran layanan baru ini) mau mengubah aturan sesuai kondisi yang berlaku saat ini.

Buat pemerintah, sangat mudah untuk melarang suatu bisnis atau layanan yang tidak sesuai undang-undang. Buat saya, apakah mereka selama ini sudah berkaca dengan kualitas layanan yang diberikan bagi rakyat? Apakah mereka tidak menanyakan ke hati kecil mereka kenapa masyarakat mau menggunakan layanan yang dianggap tidak aman, ngemplang pajak, dan tidak mau tunduk dengan aturan pemerintah?

Sebuah artikel tahun 2010 di The Economist dengan lugas menyatakan:

The most important factor that led to America’s stunning success in information technology was not the free market but government regulation.

[…]

Countries that never experienced this great regulatory splintering are at a disadvantage. They are trapped in a mid-20th-century form, characterised by domineering, vertically integrated firms, which try to do everything in-house or at least keep it within their family of closely related companies. As a result, customers are beholden to suppliers, and innovations go under-exploited.

Sementara Luke A. Stewart dari Information Technology & Innovation Foundation dalam paper-nya menyimpulkan:

Regulation that does not require innovation for compliance will generally stifle innovation.

[…]

What is clear is that regulators can design regulation such that it minimizes the compliance burden on firms while maximizing the probability that the compliance innovation will be successful.

Sungguh sayang jika inovasi dilemahkan langkahnya oleh regulasi yang tidak mengakomodasi perkembangan zaman.