Tag Archives: iGrow

Sejak Juni 2023 hingga kini, LinkAja telah mencapai posisi EBITDA positif setelah pivot bisnis dari B2C ke B2B dan B2B2C

Strategi LinkAja Menuju Profitabilitas, Fokus ke Pasar BUMN (UPDATED)

Berdarah-darahnya persaingan di area fintech digital payment B2C membuat LinkAja memutuskan untuk mengalihkan bisnisnya ke B2B dan B2B2C sejak 2021. Diklaim dari berbagai strategi efisiensi untuk pivot, telah membuahkan hasil. Sejak Juni 2023 hingga kini, LinkAja telah mencapai posisi EBITDA positif, artinya tinggal sedikit langkah menuju laba.

“LinkAja dalam dua tahun terakhir berturut-turut berhasil menurunkan cost opex 50%, tapi berturut-turut menaikkan revenue hingga 30%. Per Juni, Juli, dan Agustus [2023] selama tiga bulan berturut-turut sudah capai EBITDA positif,” terang Chief Finance and Strategy Officer LinkAja Reza Ari Wibowo kepada media di Jakarta, Selasa (19/9).

Walau tidak disebutkan secara rinci, ia menyampaikan kenaikan pendapatan ini disokong oleh berbagai inisiatif perusahaan sejak pivot dari B2C, sebagai berikut:

  • Kontribusi bisnis dari lima layanan utama, secara berturut-turut berdasarkan kontributor terbesar adalah produk transfer uang ke rekening bank, beli pulsa, pembayaran PPOB, top up/withdraw saldo, dan manajemen supply chain bersama Telkomsel (agen pulsa DigiPos) dan Pertamina.
  • Efisiensi aktivitas pemasaran turun hingga 98%, sekarang cashback sudah hampir tidak ada.
  • Optimalisasi teknologi dan infrastruktur pendukung, termasuk e-KYC turun sekitar 30%.
  • Merumahkan ratusan karyawan pada Mei 2022.

Menurut Reza, peningkatan ini sangat luar biasa karena perusahaan sekarang sudah tidak lagi bicara mengenai pengguna aktif bulanan (MAU) dan nilai transaksi bruto (GMV) sebagai indikator kinerja, melainkan unit economics yang sudah terpampang nyata.

“Ke depannya kita mau menaikkan revenue yang seperti ini. Ekspektasi kita revenue di 2023 bisa naik 30% dari 2022. Di 2021 itu kita naik 30% setelah menurunkan cost hingga 60%. Loss [EBITDA] tinggal 99%, masih sedikit lagi untuk positif bila secara full year 2023.”

Di balik pencapaian tersebut, ada satu hal yang menarik bahwa jumlah pengguna LinkAja menunjukkan tren penurunan. Namun di saat yang bersamaan, tingkat retensinya meningkat di angka 90%. Reza menjelaskan, hal ini terjadi karena pengguna LinkAja yang ada saat ini tergolong berkualitas. Salah satu kemungkinan terbesar yang mereka lakukan adalah lebih sering bertransaksi.

Ambil contoh, perusahaan melakukan renegosiasi untuk revenue sharing dengan perbankan untuk layanan transfer uang. Dari awalnya gratis tanpa biaya admin, kini dikenakan biaya Rp1.000. Perolehan uang tersebut sepenuhnya masuk ke kantong LinkAja.

“Dibandingkan tiga tahun lalu, ARPU (average revenue per user) sekarang 5-7 kali lipat kenaikannya, dibandingkan kita spend marketing gede-gedean.”

Walau terjadi tren penurunan, pihaknya memastikan bahwa sebenarnya yang diincar adalah pengguna yang berkualitas dan loyal. Jadi masalah kuantitas tidak begitu berpengaruh bagi LinkAja. Kendati demikian, Reza mengaku sudah menyiapkan sejumlah inisiatif untuk kembali mendongkrak jumlah pengguna ke depannya. Ia ingin setiap uang yang diinvestasikan harus balik menjadi pendapatan perusahaan.

Berdasarkan data internal perusahaan, total pengguna LinkAja yang teregistrasi mencapai 91 juta orang. Tidak disampaikan pengguna aktifnya saat ini.

“Kita mau biarkan turun sementara [jumlah pengguna] untuk jaga profitabilitas. Yang penting proft dulu, jadi benar-benar enggak ada ruang untuk lemak, tinggal daging yang jadi otot.”

Model bisnis LinkAja

Dengan model bisnis B2B dan B2B2C, LinkAja memanfaatkan posisinya yang strategis dengan jajaran investor dari perusahaan pelat merah. Disebutkan sebagian besar perusahaan pelat merah —beberapa adalah pemegang saham di LinkAja— ini adalah pemilik pangsa pasar terbesar di industrinya masing-masing di Indonesia, seperti Telkomsel dan Pertamina.

Menggarap pasar captive jadi lebih masuk akal karena masih banyak potensi yang belum tergarap. Strategi ini selaras dengan ambisi awal dibangunnya LinkAja, yakni berupaya meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia di kota lapis dua dan tiga.

Saat ini, pemegang saham pengendali di LinkAja adalah Telkomsel. Lalu disusul BRI, Bank Mandiri, BNI. Berikutnya, Pertamina, Jasa Marga, Taspen, dan lainnya punya persentase yang kurang lebih sama.

“Daripada kami compete di area yang sama [pemain e-wallet lainnya], lebih baik compete di SOE (state-owned enterprise) karena rata-rata leader di tiap industri itu dari SOE. Kalau startup lain harus ketok pintu satu-satu, tapi LinkAja sudah ada akses.”

Dicontohkan inisiatif B2B yang sudah berjalan, yakni manajemen rantai pasok bersama Telkomsel dan Pertamina. Bersama Telkomsel, melalui aplikasi agen pulsa Digipos, LinkAja menjadi penghubung alat pembayaran, antara agen pulsa dengan diler. Aplikasi tersebut juga telah ditenagai dengan PPOB, sehingga mereka tidak jualan pulsa saja. Diklaim transaksi pembelian pulsa di Digipos mencapai miliaran Rupiah.

“LinkAja adalah satu-satunya alat pembayaran di Digipos, jadi 100% uang berputar di sana. Ini sudah ngomong tentang supply chain di belakangnya. Jadi sekarang kita enggak cuma B2C e-wallet tapi jadi infrastruktur pembayaran.”

Contoh sukses ini akan direplikasi ke manajemen rantai pasok lainnya di ekosistem BUMN. Pertamina misalnya, untuk aplikasi MyPertamina, kini metode pembayarannya bertambah, ada OVO dan GoPay. Induk GoPay adalah pemegang saham di LinkAja, sedangkan OVO adalah afiliasi dari Grab, salah satu investor LinkAja.

Untuk memperkuat infrastruktur pembayaran, LinkAja berencana untuk menambah izin sebagai gerbang pembayaran. Langkah ini akan ditempuh dengan cara organik, memenuhi persyaratan-persyaratan yang ditentukan oleh Bank Indonesia. Terlebih saat ini LinkAja sudah memperoleh kategori izin tertinggi dan hanya dibutuhkan beberapa persyaratan lagi untuk mendapat lisensi gerbang pembayaran.

Ambisi yang akan dicapai setelah memperoleh izin tersebut adalah memungkinkan mitra B2B LinkAja untuk tarik dana di kanal mana pun. Saat ini pengguna LinkAja dapat tarik tunai via ATM Himbara. “Jadi kami tidak compete dengan Xendit atau payment gateway yang lain.”

Reza juga mengungkap bahwa sebelum tutup tahun, perusahaan akan melakukan penggalangan dana untuk mengejar pertumbuhan. Terdapat investor existing dan baru dari luar negeri yang akan bergabung.

Aplikasi khusus BUMN

LinkAja

Dalam rangka menggarap pasar captive di ranah B2B2C, baru-baru ini LinkAja merilis aplikasi LinkAja dengan tampilan khusus (skin) BUMN. Tampilan ini diperuntukkan buat para pegawai BUMN dengan fungsi sebagai aplikasi pembayaran dan komunikasi terpadu seputar kementerian maupun perusahaan BUMN yang tergabung di dalamnya.

Tak hanya itu, aplikasi tersebut juga dapat diutilisasi sebagai media promosi terkait produk dan layanan masing-masing perusahaan BUMN.

Disebutkan ada lebih dari 200 ribu karyawan BUMN sudah terdaftar dapat menikmati produk, program, informasi, layanan, dan bertransaksi aktif dalam aplikasi. Bila ditotal ada lebih dari 1 juta karyawan yang berpotensi menjadi pengguna.

“Game besarnya di aplikasi ini ada banyak. Ada yang mau kita replikasi, salah satunya loyalty exchange nanti bisa terintegrasi oleh antar aplikasi BUMN. Lalu kita juga bisa tawarkan produk kasbon ke karyawan BUMN. Strategi seperti ini yang nantinya akan jadi nilai tambah dari kita.”

Nasib terkini iGrow

Terkait nasib iGrow, Reza menuturkan saat ini pihaknya masih menjalani proses hukum untuk bertanggung jawab terhadap gugatan yang dilayangkan oleh sejumlah eks lender karena masalah gagal bayar. Ia pun siap menjalani proses tersebut.

“Kami tetap berusaha menyelesaikan langkah penyelesaian, termasuk apabila aset borrower harus ditarik untuk dikembalikan lagi ke lender. Komitmen kami terhadap iGrow cukup kuat.”

Saat ini proses mediasi antar kedua belah pihak masih buntu karena penggugat mencabut gugatannya untuk sementara dan sedang mempersiapkan gugatan baru.

Sembari proses tersebut kelar, nama badan hukum dan brand telah diubah per Agustus kemarin. Dari PT iGrow Resources Indonesia menjadi PT LinkAja Modalin Nusantara, dengan nama brand LinkAja Modalin Powered by iGrow.

Persiapan ini dalam rangka pivot bisnis dari pembiayaan di industri agrikultur menjadi UMKM close loop di dalam ekosistem BUMN. Produk-produknya adalah Retailer Financing, Invoice Financing, Invoice Financing Mitra Telkomsel, dan Distributor Financing.

“Kami masih terus carikan solusi untuk penyelesaian [pembiayaan agri] sampai clear dan bisnis baru juga sudah clear, baru kita sampaikan ke OJK. Setiap bisnis baru itu kan harus dapat persetujuan dari OJK. Modalin sekarang belum efektif berjalan, tapi kami sudah intensif berkomunikasi dengan OJK dan partner di BUMN,” pungkasnya.

*) Kami memperbaiki informasi struktur pemegang saham di LinkAja

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
Pinjaman Macet Fintech Lending

Kredit Macet Meningkat, Alarm Industri Fintech Lending

Kredit macet fintech lending tercatat meningkat, seiring membengkaknya beban operasional sepanjang Juli 2022. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat outstanding pinjaman macet mencapai Rp785,94 miliar pada Januari 2022. Nilainya menggelembung jadi Rp1,21 triliun per Juli 2022 atau naik 8% dari bulan sebelumnya Rp1,11 triliun.

Pinjaman perseorangan mencatatkan porsi terbesar dalam struktur pinjaman macet tersebut, yakni sebesar Rp1,10 triliun. Kemudian, sisanya pinjaman badan usaha sebesar Rp118 miliar. Jika dirinci, nasabah perempuan mendominasi pinjaman macet, yaitu sebanyak Rp563 miliar. Sedangkan dari usianya, nasabah 19-34 tahun paling banyak tercatat dalam pinjaman macet.

Sementara itu, pinjaman online tidak lancar atau 30-90 hari mencapai Rp3,21 triliun, dan pinjaman lancar atau keterlambatan sampai dengan 30 hari sebesar Rp41,29 triliun.

Selanjutnya, industri ini mencatatkan kenaikan kerugian sebesar Rp114,08 miliar dari Januari 2022 sebesar Rp7,42 miliar. Bila dirinci, beban operasioal mencapai Rp4,69 triliun dan pendapatan operasional hanya Rp4,61 triliun. Adapun beban terbesar dari pos ketenagakerjaan yang naik sembilan kali lipat sebesar Rp1,21 triliun.

Mengutip Koran Tempo, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Piter Abdullah, pelemahan kinerja fintech lending, seperti kenaikan tingkat pinjaman macet, pada akhirnya akan berdampak pada kinerja perbankan. “Tak hanya itu. Jika kredit macet fintech lending makin tinggi, kemampuan mereka untuk memberikan pembiayaan kepada dunia usaha juga menurun. Kesempatan usaha mendapatkan pinjaman juga berkurang. Pada akhirnya, ini akan merugikan perekonomian,” kata dia.

Secara sederhana, bisnis fintech lending adalah menghubungkan antara pemilik dana sebagai pemberi pinjaman dan pihak yang membutuhkan dana sebagai peminjam. OJK mencatat outstanding penyaluran pinjaman di industri ini mencapai Rp45,72 triliun atau naik 88,84% secara year-on-year.

Sumber dana yang disalurkan ini berasal dari pinjaman dalam negeri, bank menjadi kelompok pemberi pinjaman tertinggi sebesar Rp15,8 triliun. Sisanya, ada perseorangan, badan hukum, dan industri keuangan non-bank.

Ekonom Indef Nailul Huda menyampaikan, kenaikan pinjaman macet sejalan dengan pertumbuhan penyaluran pinjaman fintech lending dalam beberapa waktu terakhir. “Sistem paylater dengan proporsi kredit konsumtif yang cukup besar belum diimbangi dengan seleksi peminjam (borrower) yang berkualitas. Analisis kredit scoring masih harus banyak diperbaiki,” kata Nailul.

Di sisi lain, upaya mengumpulkan pendanaan dari lender juga dibayangi persaingan yang relatif ketat. Menurut dia, pendanaan yang kurang tak jarang harus diatas dengan mengorbankan pendapatan. Kondisi itu tampak dari tren peningkatan beban operasional perusahaan, sehingga kerugian yang ditanggung pun makin besar.

Pembayaran telat

Sementara itu, kondisi di atas tercermin dengan apa yang dialami oleh iGrow saat ini. Tepat setahun sebelumnya, perusahaan juga mengalami kondisi yang serupa, telat mengembalikan dana pinjaman para pemilik dana dalam berbagai proyek. Alhasil, para lender iGrow yang bernasib sama berkumpul dalam grup Telegram, dinamai Investor iGrow. Beberapa menceritakan pengalamannya di media sosial dan surat pembaca untuk meminta kejelasan.

Para lender menghujani kolom review dan rating aplikasi iGrow di Google Play dengan berbagai keluhan. Mayoritas menyebutkan pihak perusahaan yang tidak transparan dalam menjelaskan status proyek yang didanai. Langkah tersebut diambil, salah satunya karena kolom komentar di akun Instagram iGrow telah ditutup.

Mengutip dari DealStreetAsia, manajemen iGrow telah menyampaikan notifikasi soal keterlambatannya tersebut kepada para lender yang terkena dampak. “Kondisi ini telah ditangani oleh tim collection kami, yaitu melakukan upaya penghimpunan dana dari proyek-proyek terkait sesuai dengan standar operasional prosedur dan peraturan OJK. Kami telah menawarkan solusi dan penjelasan untuk beberapa proyek melalui fitur informasi di aplikasi iGrow, sementara proyek lain masih dalam penyelidikan dan verifikasi oleh tim koleksi kami.”

Perusahaan mengatakan proyek pertanian menghadapi berbagai tantangan dan risiko yang dapat mempengaruhi hasil panen. Di antaranya, kehilangan hasil panen karena cuaca yang tidak menentu, bencana alam, hama, dan kenaikan atau penurunan harga di pasar dapat mengganggu arus kas peminjam [petani], dan pada akhirnya, mengganggu pembayaran kepada pemberi pinjaman.

Sebelumnya di ranah agrikultur, ada TaniFund, Tanijoy, Crowde, Angon, dan Vestifarm yang tersandung kasus serupa.

Secara umum, berinvestasi di platform p2p lending memang tidak luput dari risiko, di tengah tingginya imbal hasil yang ditawarkan. Terlebih lagi, menaruh dana untuk sektor agrikultur yang penuh tantangan ini. Bila dilihat dari hulu dan hilir masalah di agrikultur begitu melimpah, tak hanya soal akses permodalan yang sulit. Oleh karenanya, sektor ini banyak dilirik para pemain.

OJK memberikan rasio untuk melihat kesehatan bisnis para pemain fintech lending ini berdasarkan TKB90. TKB90 adalah ukuran pinjaman yang berhasil diselesaikan dalam waktu 90 hari dari tanggal jatuh temponya — kebalikan dari rasio NPL yang lebih umum. Semakin rendah angka TKB90, semakin tinggi tingkat NPL.

Saat TaniFund tersandung pada 9 Mei, tingkat TKB90-nya berada di 93,53%, di bawah rata-rata nasional 97,68%. TKB90 ini wajib dipublikasikan di laman utama situs dan harus diperbarui tiap bulannya. Adapun, TKB90 dari iGrow saat ini adalah 93,71%.

Sementara itu, menurut data OJK, TKB90 industri saat ini sebesar 97,33%. angka ini sedikit lebih baik dari bulan sebelumnya, yakni Juni 2022 sebesar 97,47% atau Mei 2022 sebesar 97,72%.

Startup Agritech Indonesia

Inilah Daftar Startup Agritech Indonesia yang Menjadi Solusi Petani

Startup agritech Indonesia adalah salah satu hal yang harus diketahui banyak orang. Karena bisa menjadi fondasi dasar untuk perkembangan ekonomi masyarakat Indonesia. Dilansir oleh BPS (Badan Pusat Statistik), produksi pertanian Indonesia meningkat 2,59% di kuartal keempat 2021. Maka dari itu, pertanian menjadi sumber yang paling besar perannya untuk menjadi salah satu pilar perekonomian.

Kehadiran startup digital di bidang pertanian (argitech) juga dilihat sebagai sebuah harapan baru untuk membawa industri pertanian Indonesia naik level. Dengan cara menghadirkan mekanisme dan model bisnis baru untuk efisiensi produksi sampai dengan distribusi.

Berikut ini daftar startup pertanian di Indonesia yang layak diketahui:

Agriaku

PT Agriaku Digital Indonesia (Agriaku) merupakan startup agritech Indonesia yang menyediakan berbagai perlengkapan dan kebutuhan petani melalui sistem keagenan atau social commerce. Mereka baru saja, memimpin pendapatan awal oleh Arise, dana kelolaan kolaboratif MDI Ventures dan Finch Capital.

Agriaku didirikan pada Mei 2021 oleh Irvan Kolonas dan Danny Handoko. Ivan memang memiliki pengalaman sebagai pengusaha di bidang agribisnis, saat ini juga menjabat sebagai CEO Vasham. Sementara itu, Danny adalah mantan Co-Founder & CEO Airy Indonesia. kolaborasi mereka dapat menggabungkan keahlian di bidang pertanian dan teknologi untuk memberikan layanan yang komprehensif kepada agro-UKM dan petani.

Dengan dana segar yang terkumpul, Agriaku berencana untuk meningkatkan jumlah petani dalam jaringannya agar berhasil menembus pasar senilai $17 miliar di Indonesia. Sejak awal, Agriaku telah memberdayakan lebih dari 6 ribu mitra dan petani kecil di seluruh Indonesia melalui teknologi. Agriaku memiliki mimpi untuk menjadi superapp bagi para pemain agri di Indonesia.

Crowde

Crowde adalah startup fintech didirikan oleh Yohanes Sugihtononugroho pada tahun 2015 yang berfokus pada pertanian yang memberdayakan petani Indonesia dengan teknologi dan permodalan. Ribuan petani dan investor di seluruh Indonesia telah mempercayakan Crowde dengan mencapai apa yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Ekosistem keuangan yang mudah untuk petani dapat terhubung dengan investor yang mencari hal menarik dengan petani yang mengharapkan modal untuk tumbuh, menciptakan lapangan kerja, dan membantu komunitas lokal.

Eden Farm

Eden Farm lebih fokus menyajikan produk-produk terbaik dari petani lokal hingga berbagai restoran dan warung makan di Indonesia. Startup yang didirikan pada tahun 2017 oleh David Gunawan ini memiliki tujuan agar bisnis kuliner Indonesia menggunakan bahan-bahan yang berasal dari petani lokal.

Berdasarkan informasi dari situs resminya, Eden Farm merupakan pemasok berbagai jenis sayuran dan bahan makanan seperti sayuran hidroponik, buah, dan bahan kering.

Etanee

Etanee adalah aplikasi e-commerce yang fokus pada produk pangan dan pertanian. Didesain berawal dari memulai petani dan peternak kita yang tidak mendapatkan hak ekonomi secara layak. Padahal merekalah rantai produksi dengan kerja kerasnya menghasilkan produk terbaik yang kita konsumsi.

Selain itu, rantai logistik dan pengiriman yang tidak efisien menjadi penyebab tingginya harga beli konsumen juga menjadi pemicu lahirnya Etanee yang mulai digagas sejak awal tahun 2017. Maka dari itu, Etanee dibuat sebagai solusi untuk petani dan peternak agar memiliki penghasilan yang sesuai dengan meraka.

Herry Nugraha dan Cecep Mochamad Wahyudin mendirikan Etanee pada tahun 2017 ingin berfokus pada pengembangan bisnis pertanian di Indonesia. Mereka mendapatkan dana awal sebesar 7 miliar Rupiah dari East Ventures untuk mengekspansi ke beberapa daerah di Indonesia.

Habibi Garden

Di Indonesia juga ada startup teknologi pertanian yaitu Habibi Garden. Perusahaan startup agritech Indonesia ini memiliki tujuan untuk membangun peradaban melalui pertanian internet of things (IOT). Perusahaan ini memang menghadirkan solusi perawatan tanaman berbasis IoT. Startup ini membantu menyediakan data up-to-date melalui smartphone.

Ada sensor yang digunakan untuk membantu mendapatkan data tersebut. Data yang diberikan misalnya adalah kondisi tanah dan unsur hara pada tanaman. Ini dapat membantu petani mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas, dan mencegah gagal panen.

Startup agritech Indonesia yang satu ini didirikan pada tahun 2016 oleh Dian Prayogi Susanto. Pada awal pendiriannya Habibi Garden mendapatkan 8 miliar Rupiah dibantu oleh beberapa Investor pendanaan seri A.

iGrow

Startup bergerak di bidang pertanian yang memungkinkan pelaku usaha untuk bertani tanpa harus turun ke lahan pertanian sendiri untuk menanam. Cukup dengan mendaftar, memilih tanah dan jenis pohon, maka para pelaku usaha dapat menerima uang atas tanah tersebut.

Setelah lahan diolah dan dipanen, hasil pertanian bisa dijual dengan porsi 40% untuk pengguna, 20% untuk mitra pengelola perkebunan (petani), dan 20% untuk iGrow. Perusahaan yang satu ini didirikan pada tahun 2014. Kini iGrow telah diakuisisi dan masuk ke dalam grup LinkAja.

Kedai Sayur

Layanan startup ini lebih fokus pada pendistribusian produk pertanian berupa sayuran kepada konsumen. Dengan sistem mengundang pedagang sayur konvensional untuk menjadi bagian dari Kedai Sayur sebagai Mitra Sayur.

Mitra sayur ini merupakan satu-satunya layanan utama yang dihadirkan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna khususnya ibu rumah tangga yang ingin berbelanja kebutuhan sayur tanpa perlu ribet, namun tetap memiliki kualitas sayur terbaik.

Startup yang pertama kali digagas pada tahun 2016 oleh Adrian Hernanto ini telah mendapatkan dua putaran pendanaan di tahun 2019, yang keduanya dipimpin oleh East Ventures. Pendanaan pertama diperoleh pada bulan Mei sebesar $1,3 juta dan pendanaan kedua dilakukan tiga bulan kemudian yaitu pada bulan Agustus dengan nominal lebih besar yaitu 4 juta dollar AS.

Sayurbox

Didirikan pada tahun 2017, Sayurbox menggunakan konsep bisnis farm-to-table. Konsep ini mendukung konsumen untuk dapat memperoleh berbagai sayuran dan buah segar berkualitas langsung dari petani dan produsen lokal.

Sayurbox, perusahaan rintisan yang menggabungkan teknologi pangan dan bahan-bahan makanan, mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri C sebesar $120 juta atau lebih dari Rp. 1,7 triliun.

Tanihub

Startup pertanian lain yang cukup menonjol adalah TaniHub. Startup ini dikenal membangun ekosistem petani mulai dari pembiayaan, penanaman, hingga pemasaran. Dalam aplikasi ini, produk pertanian masuk ke pasar sehingga membebani petani untuk memasarkan produk tersebut.

TaniHub sendiri merupakan aplikasi yang merupakan bagian dari TaniGroup. Di dalam grup, tidak hanya ada TaniHub tetapi juga TaniFund. Juni tahun 2021 lalu Tanihub mendapatkan pendanaan seri B senilai 945 miliar Rupiah dipimpin oleh MDI Ventures.

Itulah beberapa startup agritech Indonesia yang bisa menjadi solusi bagi mereka. Perkembangan teknologi telah memberikan banyak peluang, termasuk di bidang pertanian.

Bisnis LinkAja 2021

Masuki Tahun Ke-2, LinkAja Pertajam Solusi Keuangan untuk UMKM

LinkAja bakal menggencarkan lebih banyak solusi keuangan untuk merchant UMKM agar dapat naik kelas memasuki usianya yang ke-2. Salah satu inisiatif yang segera dilakukan adalah menyalurkan kredit modal kerja melalui iGrow, startup fintech lending yang telah diakuisisi perusahaan pada April kemarin.

CEO LinkAja Haryati Lawidjaja menuturkan, UMKM adalah sektor yang paling terdampak selama pandemi, padahal sektor ini adalah tulang punggung negara. Oleh karenanya mereka butuh bantuan modal kerja agar mereka tetap dapat bertahan. Tidak hanya bersama iGrow, LinkAja juga menggaet para pemegang sahamnya yang bergerak di industri keuangan untuk masuk menyalurkan kredit.

Terhitung saat ini LinkAja bekerja sama dengan lebih dari 1,1 juta UMKM atau naik 104% dibandingkan tahun sebelumnya. UMKM tersebut mayoritas bergerak di pasar super ultra mikro di kota lapis dua dan tiga, sesuai dengan area fokus perusahaan. Mereka juga bermitra dengan lebih dari 100 industri keuangan yang menyediakan berbagai solusi finansial digital baik untuk konsumen dan bisnis.

“Saat ini kami masih sediakan produk pembayaran, ke depan kami sasar pembiayaan,” ucapnya dalam konferensi pers virtual (30/6).

Dalam kesempatan yang sama, LinkAja juga mengungkapkan pengguna terdaftar di platformnya mencapai 71 juta orang atau naik 43%. Sementara Layanan Syariah LinkAja telah memiliki lebih dari 3,5 juta orang. Sebanyak 74% dari total pengguna berasal dari kota lapis dua dan tiga.

Sebagai aplikasi pembayaran yang bermain di jenis transaksi esensial dan produktif, LinkAja hadir di berbagai titik. Untuk keperluan belanja online, mereka telah bermitra dengan lebih dari 7.500 online marketplace, 400 ribu merchant nasional, dan 750 pasar tradisional. Kemudian, menyediakan lebih dari 1 juta akses cash in dan cash out kepada masyarakat, baik berupa kanal bank, ritel modern, hingga layanan keuangan digital.

Di bidang transportasi, LinkAja dapat digunakan di lebih dari 240 moda transportasi, seperti KRL, Taxi Bluebird, Grab, Gojek, hingga transportasi lokal di berbagai daerah. Baik Grab dan Gojek telah resmi menjadi pemegang saham LinkAja, sehingga untuk pembayaran transportasi dan memesan makanan dapat menggunakan saldo LinkAja.

Perusahaan juga mengungkap telah memproses 1,4 miliar transaksi sepanjang satu tahun terakhir. Sayangnya tidak disebutkan lebih lanjut kontribusinya datang dari jenis pembayaran di sektor mana. Perusahaan justru memakai hasil survei yang dilakukan Kadence International pada Mei 2021 mengenai fitur-fitur apa saja yang paling banyak digunakan UMKM.

Responden mengatakan LinkAja paling banyak mereka gunakan untuk membeli pulsa dan kuota internet (masing-masing persentasenya 82%), transfer saldo ke rekening bank (76%), tarik saldo ke rekening bank (57%), dan pembayaran PLN (34%).

“Ini memperlihatkan fungsi LinkAja yang tepat sebagai aplikasi untuk pembayaran kebutuhan esensial dalam keseharian pengguna.”

Haryati melanjutkan, LinkAja tidak hanya fokus dengan aplikasi konsumer dan UMKM untuk solusi keuangan digital saja, namun juga bermain di ranah enterprise untuk berbagai solusi.

Seperti, cash collection (cash handling risk, real-time reporting, dan pembayaran non tunai); incentive disbursement (pencairan real-time, pelaporan terintegrasi, dan flexible use case); dan cross sell & advertisement (memaksimalkan jangkauan produk menggunakan platform yang sesuai). Mitra enterprise yang sudah memanfaatkan solusi dari LinkAja adalah Gudang Garam, SRC (Sampoerna Retail Community), dan Kospin Jasa.

Application Information Will Show Up Here

LinkAja Officially Acquires iGrow

LinkAja today (29/4) announced its acquisition of iGrow, a p2p lending startup that focuses on productive financing in agriculture. In the statement, this corporate action aims to expand LinkAja’s business line to online financing, especially for the MSMEs productive sector. This is in line with LinkAja’s goal of encouraging financial inclusion and improving the Indonesian people welfare through economic independence.

This move was made after LinkAja previously managed to book series B funding of more than $ 100 million – including from Grab and Gojek. Meanwhile, iGrow was backed by some investors in its seed funding, including 500 Startups, East Ventures, Rekanext, and through its participation in the Google Launchpad Accelerator program.

In her remarks, LinkAja’s CEO, Haryati Lawidjaja said, “The business line expansion to the financing sector is a real step for LinkAja in providing easy access to finance and economy, especially for the lower-middle class and MSMEs […] Supported by LinkAja’s strong ecosystem network in various areas outside Java and tier-2 and 3 cities, LinkAja aims to provide equal access to financing for MSME players focused on Java and tier-1 cities.”

Also, iGrow’s Chief Business Development, Jim Oklahoma said, “We are very pleased to be collaborating with LinkAja as a national electronic money service provider with the same goals [..] LinkAja is a company with strong business fundamentals also collaboration of shareholders between SOEs and large technology companies. This will accelerate iGrow’s vision and mission to have an impact on MSMEs also put iGrow as one of the leading players in the financing for the productive sector. ”

Apart from Jim, iGrow was also founded by Andreas Senjaya (CEO) in 2014. Their platform was designed to simplify investment in a productive agricultural land, it was more like crowdfunding – even though the company did not claim to be a crowdfunding platform. However, along with its development, iGrow has transformed into a p2p lending, therefore, it can raise funds (from retail and institutional lenders) with more flexible distribution.

This will be LinkAja’s first acquisition. It will be interesting to watch the company’s next steps, considering that the electronic money platform already has a large enough capital, supported by various strategic digital players. In fact, the focus will be on the ecosystem expansion.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
LinkAja Akuisisi iGrow

LinkAja Umumkan Akuisisinya Terhadap iGrow

LinkAja hari ini (29/4) mengumumkan akuisisinya terhadap iGrow, startup p2p lending yang fokus pada pembiayaan produktif di bidang pertanian. Dalam keterangannya disebutkan, aksi korporasi ini bertujuan untuk memperluas lini bisnis LinkAja ke pembiayaan online, terutama untuk sektor produktif UMKM. Hal ini sejalan dengan tujuan LinkAja untuk mendorong inklusi keuangan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui kemandirian ekonomi.

Upaya ini dilakukan setelah sebelumnya LinkAja berhasil membukukan pendanaan seri B lebih dari $100 juta — termasuk dari Grab dan Gojek. Sementara iGrow sebelumnya mendapat dukungan dari sejumlah investor dalam putaran pendanaan awalnya, termasuk dari 500 Startups, East Ventures, Rekanext, dan atas partisipasinya di program Google Launchpad Accelerator.

Dalam sambutannya, CEO LinkAja Haryati Lawidjaja mengatakan, “Perluasan lini usaha di bidang pembiayaan merupakan langkah nyata LinkAja dalam memberikan kemudahan akses keuangan dan ekonomi, terutama kepada masyarakat kelas menengah ke bawah serta UMKM […] Didukung jaringan ekosistem LinkAja yang kuat di berbagai daerah di luar pulau Jawa serta kota tier-2 dan 3, LinkAja berharap dapat memberikan pemerataan akses pembiayaan terhadap pelaku UMKM yang selama ini masih terfokus di pulau Jawa dan kota tier-1.”

Sementara itu dalam sambutannya Chief Business Development iGrow Jim Oklahoma menuturkan, “Kami sangat senang dapat berkolaborasi dengan LinkAja sebagai penyedia jasa uang elektronik nasional yang memiliki kesamaan tujuan dengan iGrow [..] LinkAja merupakan perusahaan yang memiliki fundamental bisnis kuat dengan kolaborasi pemegang saham antara BUMN dan perusahaan teknologi besar. Hal ini akan mempercepat visi dan misi iGrow untuk memberikan dampak ke UMKM dan dapat menjadikan iGrow sebagai salah satu pemain utama di bidang pembiayaan sektor produktif.”

Selain Jim, iGrow turut didirikan oleh Andreas Senjaya (CEO) sejak tahun 2014. Pada awalnya platform mereka didesain untuk memudahkan masyarakat berinvestasi pada sebuah lahan produktif pertanian, kala itu skemanya lebih mirip crowdfunding – kendati perusahaan tidak mengklaim sebagai platform urun dana. Namun seiring perkembangannya, iGrow menjelma menjadi p2p lending sehingga dapat menghimpun dana (dari pendana ritel maupun institusi) dan penyaluran yang lebih fleksibel.

Ini menjadi aksi akuisisi pertama bagi LinkAja. Menjadi menarik untuk menyimak langkah perusahaan selanjutnya, mengingat saat ini platform uang elektronik tersebut sudah memiliki modal kapital yang cukup besar, didukung berbagai pemain digital strategis. Tentu perluasan ekosistem akan menjadi fokus.

Application Information Will Show Up Here
Application Information Will Show Up Here
NTT Com Startup Challenge 2018

iGrow Menangkan NTT Com Startup Challenge 2018 Indonesia

NTT Com Startup Challenge 2018 telah selesai diselenggarakan Selasa (28/8) lalu. Di acara puncak, kompetisi tersebut menyuguhkan pitching 10 finalis yang lolos, serta menghadirkan diskusi panel dengan pembicara dari kalangan investor dan startup. Setelah proses penilaian, iGrow diputuskan sebagai pemenang NTT Com Startup Challenge 2018 Indonesia.

Tahun ini NTT Com Startup Challenge berhasil menarik perhatian 500 startup di Indonesia sebagai pendaftar. Sementara startup yang berhasil lolos ke 10 besar adalah iGrow, Ravenry, Halal Local, Raksasa, Live, BJ Tech, Callista, Raelab, FlySpaces dan Crowde. Kesepuluh finalis masing-masing diminta untuk presentasi di depan juri dengan durasi 4 menit dan sesi tanya jawab selama 2 menit.

Selain iGrow sebagai pemenang utama, juga dipilih pemenang untuk tiap kategori. Ravenry keluar sebagai pemenang Best Innovation Award dan Raksasa menjadi pemenang Best Marketing Award.

Pemenang akan menerima hadiah uang tunai dengan total $10.000, juga akan mendapatkan fasilitas pendukung dari NTT Communications dan kunjungan ke Jepang untuk membahas kemitraan dengan NTT Communication.

NTT Com Startup Challenge 2018 Indonesia dianggap cukup berhasil karena mampu menghadirkan startup dari beragam industri. Setelah selesai di Indonesia, jadwal selanjutnya NTT Communications Startup akan menyambangi Malaysia pada 11 Oktober 2018, dan akan ditutup di Vietnam pada 22 November 2018.

Disclosure: DailySocial merupakan media partner NTT Com Startup Challenge 2018

Menyimak Perjuangan Membangun Startup dari Pelaku Startup Indonesia dan Amerika Serikat

Dunia startup adalah sulit dan sarat dengan tantangan hingga kegagalan. Hal-hal tersebut ingin disampaikan dalam film dokumenter yang dibuat pembuat film asal Amerika Serikat, Cynthia Wade.

Dalam sesi penayangan film khusus yang diinisiasi 500 Startups, dihadirkan pula tiga entrepreneur Indonesia untuk berbagi pengalaman, suka duka, dan target yang masih ingin dicapai sebagai pendiri startup. Mereka adalah CEO iGrow Andreas Senjaya, Founder & CEO Happy5 Doni Priliandi, dan Founder & CEO Infonesia Ihsan Fadhlur Rahman. Venture Partner 500 Startups untuk 500 Durians Ashraf Sinclair menjadi moderator di acara ini.

Kegagalan dalam dunia startup

Mendirikan bisnis startup artinya Anda harus bisa bertahan dan menerima kegagalan saat menjalankan bisnis. Ketika ide bisnis sudah ditemukan dan tim yang solid sudah dibentuk (meskipun dalam jumlah kecil), masih banyak jalan yang harus ditempuh startup. Mulai dari pendanaan hingga target pasar dan tentunya membuktikan bahwa model bisnis yang dimiliki bakal berfungsi dengan baik.

Bagi Doni Priliandi, tidak mudah untuk bisa menjalankan bisnis startup. Dibutuhkan grit hingga dukungan yang penuh dari keluarga terdekat untuk bisa terus menjalankan bisnis.

“Saat membangun bisnis startup akan banyak penolakan yang terjadi, apakah itu dari pelanggan, investor hingga pegawai. Ketika saat-saat sulit tersebut datang, keluarga merupakan pendukung terbaik untuk Anda,” kata Donny.

Sementara menurut Andreas Senjaya, keluarga dan teman-teman terdekat bukan hanya bisa dijadikan pendukung yang ideal saat kesulitan datang, namun juga calon pelanggan yang siap untuk mencoba, membeli, dan memberikan kritik saat produk atau layanan startup siap untuk diluncurkan.

“Mereka adalah early adopter yang ideal dan tentunya sangat membantu. Bukan hanya untuk mendapatkan bantuan tapi feedback yang jujur dan peluang untuk menjadi pelanggan tetap nantinya,” kata Andreas.

Keseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi

Terinspirasi latar belakang pendidikan dan pengalaman saat magang di Uber, Founder & CEO Infonesia Ihsan Fadhlur Rahman tertarik untuk membangun bisnis startup Infonesia yang saat ini masih sangat belia usianya. Untuk bisa membuktikan kepada investor hingga pengguna, Ihsan dan tim harus rela menghabiskan waktu lebih untuk bekerja demi menghasilkan produk yang menarik dan berguna.

“Menurut saya endurance, hustle dan keep pushing merupakan strategi yang paling ampuh untuk menjalankan bisnis startup,” kata Ihsan.

Untuk bisa menjalankan bisnis dengan baik, dibutuhkan keseimbangan yang baik antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Hal tersebut yang kemudian menjadi acuan dari Andreas.

“Habiskan waktu yang cukup untuk keluarga dan pastikan Anda sebagai pemilik startup bisa menyisihkan waktu bersama keluarga. Hal tersebut penting untuk menjaga keseimbangan hidup.”

Kesimpulan yang bisa diambil dari pengalaman para pelaku startup asal Amerika Serikat dan tiga pelaku startup Indonesia tersebut adalah untuk bisa menjalankan bisnis startup dengan baik dibutuhkan kesiapan dan daya tahan yang besar untuk melalui segala tantangan dan mencari cara terbaik untuk keluar dari masalah yang datang.

Melihat Potensi Social Entrepreneurship di Indonesia

Dalam risetnya Asian Venture Philanthropy Network melakukan kajian terhadap tren serta potensi ekonomi sosial di Indonesia, yang mulai didomonasi oleh platform crowdfunding serta sumber dana dari investor. Berikut adalah rangkuman tren social entrepreneurship, kontribusi pengusaha lokal dan maraknya investor lokal hingga asing, yang ingin memberikan kontribusi dalam hal ekonomi sosial di Indonesia.

Bangkitnya tren crowdfunding dan crowdlending

Sejak dua tahun terakhir Indonesia mulai diramaikan dengan crowdfunding platform yang berfungsi untuk menampung dan mengumpulkan dana untuk pengguna yang membutuhkan. Salah satu crowdfunding lokal yang cukup populer di tanah air adalah Kitabisa yang menyasar program sosial dan berinvestasi kepada ekonomi sosial.

Pada akhir tahun 2016 yang lalu Kitabisa mengumumkan telah berhasil mengumpulkan donasi sebesar Rp 61 miliar, naik tujuh kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya yakni Rp 7,2 miliar. Adapun rincian pengelolaan dana tersebut Kitabisa mewadahi 3.227 kampanye dan menghubungkan 192 ribu donatur, dengan rata-rata donasi per orang sebesar Rp 289 ribu.

Penggalangan dana terbesar yang berhasil dihimpun oleh Kitabisa adalah masjid Chiba Jepang dengan nilai mencapai Rp 3,2 miliar. Untuk kampanye populer lainnya, seperti bencana dan kemanusiaan di Garut ketika banjir bandang sebesar Rp 883 juta dan banjir Sumedang Rp 203 juta. Ada juga untuk bantuan medis perjuangan tumor otak di perantauan sebesar Rp 471 juta.

Kemudian terkait isu nasional misalnya donasi untuk dukungan Rio Haryanto sebesar Rp 273 juta, dan kegiatan lain seperti Shelter Garda Satwa Indonesia sebesar Rp 285 juta.

Platform lain yang juga cukup aktif di Indonesia adalah GandengTangan. GandengTangan menawarkan alternatif solusi untuk membantu pelaku usaha dan gerakan-gerakan sosial untuk menggalang dana pinjaman tanpa bunga (crowdlending) melalui situs mereka GandengTangan.org.

Berbeda dengan crowdfunding, konsep crowdlending yang diusung oleh GandengTangan memberikan lebih banyak kesempatan setiap orang yang ingin berperan dan meminjamkan dana mereka, minimal Rp 50 ribu, dengan bunga 0%.

Selain Kitabisa dan Gandengtangan, iGrow juga hadir sebagai platform untuk agrikultur, yang bisa dimanfaatkan untuk mendapatkan pendanaan untuk pertanian dari investor. iGrow didirikan oleh Muhaimin Iqbal, Andreas Sanjaya, dan Jim Oklahoma untuk menghubungkan sponsor/investor, petani, pemilik lahan, dan pembeli hasil pertanian secara bersamaan. iGrow adalah jebolan program akselerasi 500 Startups Batch 16.

Sebagai platform yang merangkul banyak pihak, iGrow mengedukasi pasar dengan memberikan bukti nyata keuntungan yang bisa dibuat dengan menanam. iGrow juga membentuk komunitas yang memperoleh asupan info-info terbaru soal program yang dilakukan.

Investor lokal dan asing mendukung social enterprise

Sepanjang tahun 2015-2016 sudah banyak investor asing dan lokal yang turut memberikan pendanaan kepada startup social enterprise. Mulai dari pertanian, kesehatan hingga UMKM, para investor tersebut cukup agresif menanamkan modalnya di tanah air. Beberapa social enterprise yang sempat mendapatkan pendanaan tersebut adalah, m-clinica dari investor Unitus Impact serta Amartha dari BEENEXT dan Mandiri Capital.

Keberadaan ekonomi sosial juga saat ini sudah banyak didukung oleh jaringan angel investor seperti ANGIN hingga organisasi internasional seperti Omidyar, Kinara, dan YCAB Ventures yang bisa membantu ekosistem untuk social impact di Indonesia.

Di akhir riset tersebut disebutkan, tantangan selanjutnya yang bakal dihadapi oleh investor dan entrepreneur adalah terkait dengan aturan dari regulator dalam hal ini pemerintah, dan bagaimana para pengusaha, investor bisa bekerja sama dengan pemerintah. Tantangan lain adalah, bagaimana para pengusaha dan investor bisa memperluas jangkauan wilayah layanan bukan hanya di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, namun juga di pelosok kota di Indonesia.

Pembelajaran Peserta Google Launchpad Accelerator Batch Ketiga

Setelah mengikuti program intensif selama 2 minggu di San Francisco, Amerika Serikat, para peserta Google Launchpad Accelerator tahap ketiga telah kembali ke tanah air dan berbagi pengalamannya dengan awak media. Istilah seperti “Design Sprint” dan Objective and Key Results (OKR)” menjadi jargon yang diangkat penggiat startup yang merasakan langsung bagaimana belajar dengan para mentor berpengalaman.

PicMix, Ruma, Qlue, Snapcart, Jurnal, dan iGrow adalah 6 startup yang beruntung mengikuti program Launchpad Accelerator kali ini. Beragam pengalaman menarik dan unik disampaikan oleh mereka, tapi 2 poin menjadi hal yang terus menerus disebut, yaitu penerapan Design Sprint dan OKR dalam pengembangan produk dan startup itu sendiri.

Menurut manifestonya, Design Sprint adalah proses dalam waktu 5 hari untuk menjawab pertanyaan bisnis critical melalui proses desain, prototyping, dan pengetesan idenya langsung ke konsumen.

CEO Ruma Aldi Haryopratomo mengungkapkan awalnya pihaknya tidak percaya Design Sprint mampu menyelesaikan permasalahan yang dihadapi startupnya. Setelah bertemu dengan mentor-mentor yang ahli di bidang ini, ia akhirnya yakin bahwa Design Sprint adalah konsep yang harus digunakan oleh setiap startup untuk memastikan produk yang dikembangkan sesuai dengan kebutuhan konsumen.

Identifikasi konsumen dan validasi ide menjadi hal yang dianggap penting ketika startup ingin mengembangkan produk untuk menyelesaikan suatu masalah. Para peserta Launchpad batch ketiga ini mengamini bahwa seandainya mereka bisa mengubah waktu dan menjalankan startupnya dari nol, maka hal-hal ini yang bakal dilakukannya pertama kali.

Penentuan metrik fokus juga menjadi titik penting bagi sebuah startup. Melalui metodologi OKR, startup bisa menemukan metrik mana yang seharusnya menjadi fokus perhatian (dan tujuan) sebuah startup. Sebelum menggunakan OKR, kebanyakan startup mungkin hanya peduli soal metrik pendapatan, metrik jumlah unduhan, atau bahkan rating di toko aplikasi. Ternyata hal tersebut belum tentu benar jika tujuannya untuk mendapatkan data valid dari konsumen atau menyelesaikan permasalahan konsumen.

Tentu saja Launchpad tidak melulu soal problem teknis. Banyak sisi bisnis yang dibahas untuk membantu startup menyelesaikan masalah yang dihadapinya.

“Program Launchpad Accelerator Google benar-benar mengubah cara pandang saya tentang bagaimana menjalankan bisnis,” kata CEO Jurnal Daniel Witono.

Setelah masa akselerasi intensif selama 2 minggu, selama 6 bulan ke depan startup peserta Launchpad Accelerator akan tetap mendapatkan bimbingan dengan para mentor melalui video conference. Mereka juga mendapatkan dana non-ekuitas senilai $50 ribu yang kebanyakan bakal dimasukkan ke dalam pool of fund pengembangan produk. Secara total, sampai batch ketiga, Google telah memberikan pendanaan sebesar $1 juta untuk startup Indonesia

Launchpad Accelerator tahap keempat dan Android Kejar

Google juga mengumumkan pembukaan Launchpad Accelerator tahap keempat yang bakal dibuka hingga 24 April 2017 dan kegiatan Android Kejar di Indonesia. Rangkaian kegiatan ini adalah realisasi janji Google untuk membantu Pemerintah Indonesia melatih 100 ribu pengembang.

Launchpad tahap keempat akan menambah jumlah peserta dari negara-negara baru di kawasan Eropa Timur, Amerika Latin, dan Asia. Diharapkan peserta dari Indonesia tetap 6 tim seperti batch sebelumnya. Salah satu perkembangan Launchpad saat ini adalah penggunaan tempat terdedikasi di Launchpad Space, jumlah mentor yang mencapai lebih dari 150 orang, dan slot-slot waktu yang terdedikasi untuk topik penting, seperti Design Sprint,

Ketika ditanya tentang keragaman startup peserta, misalnya startup yang berbasis soal perempuan atau produk perempuan, Program Manager Developer Relation Google Asia Tenggara Erica Hanson menjawab pihaknya berharap bisa merangkul lebih banyak startup di segmen ini. Selama tiga batch berlangsung, Launchpad baru sekali mengambil startup yang berbasis produk perempuan, yaitu HijUp.

Android Kejar, di sisi lain, adalah program pengajaran pemrograman Android melalui workshop dan didukung pembelajaran online melalui Udacity. Sepanjang tahun 2016 disebutkan para mentor Google telah melatih 3311 pengembang Indonesia.