Tag Archives: ilmuwan

Ilmuwan Harvard Ciptakan Ikan Pari Cyborg Dari Sel Jantung Tikus

Jangan dikira eksperimen akan melambat terlepas dari munculnya kekhawatiran terhadap dampak negatif pengembangan robot dan kecerdasan buatan. Alam seringkali menjadi sumber ide, dan kita sudah melihat sendiri mengagumkannya imitasi fauna liar. Tapi berbeda dari robot biasa, kreasi tim Harvard ini boleh dikatakan sebagai ‘monster Frankenstein-nya dunia robotik’.

Peneliti Kevin Kit Parker dan tim Wyss Institute di Harvard University menyingkap sebuah organisme jenis baru, berada di area batas antara robot dan makhluk hidup. Ciptaan ini dirancang agar menyerupai spesies batoid, atau sederhananya, ikan pari. Salah satu aspek paling unik dari ‘cyborg’ itu adalah material penyusunnya. Ilmuwan menggunakan sekitar 200.000 sel jantung tikus untuk membentuk otot buatan.

Ukuran robot tersebut memang tidak besar, hanya memiliki panjang 16-milimeter dan berat 10 gram. Ia bergerak layaknya ikan pari, dan saat dilihat lebih dekat, organisme buatan ini memiliki tubuh transparan dengan tulang berwarna keemasan. Kreasi Kit Parker dan kawan-kawan itu terdiri dari empat bagian: tubuh dari karet, rangka sekaligus saraf berbahan emas, satu layer karet tipis lagi, serta elemen dasar dari jantung tikus (cardiomyocytes).

Cyborg Stingray 1
Ikan pari cyborg ini memiliki tubuh transparan dan syaraf berwarna keemasan.

Untuk membuat cyborg ikan pari ini bergerak, ilmuwan memodifikasi gen-gen sel tikus agar merespons cahaya. Ketika terekspos sinar, sel-sel tersebut akan berkontraksi, kemudian lapisan-lapisan tubuhnya bergerak seperti pompa dan menekan tulang – meniru cara ikan pari berenang. Dengan frekuensi cahaya berbeda, tim dapat mengatur kecepatan dan arah gerak sang robot.

Kit Parker mengaku bahwa ciptaannya ini memang belum sesempurna versi alam, dan meskipun cyborg batoid tersebut merupakan ‘mesin hidup’, butuh lebih banyak penelitian untuk menggarap robot yang lebih kompleks berbekal jaringan hidup. Tantangan terbesarnya ialah menyediakan lingkungan dan kondisi khusus bagi material hidup agar tidak mati.

Tapi tujuan dari riset ini sebetulnya bukan untuk menciptakan tiruan dari makhluk hidup sesungguhnya, melainkan buat lebih memahami cara kerja jantung dan menanggulangi penyakit terkait organ penting ini. Parker menuturkan, fokus utama eksperimen mereka adalah membangun jantung buatan (sebelumnya ia juga sempat terlibat dalam upaya penciptaan organ mini).

Di tahun 2012, Kit Parker dan tim Harvard juga sukses membangun cyborg ubur-ubur. Robot sama-sama memanfaatkan jaringan jantung, tetapi rancangan dan sistem kerjanya lebih sederhana dari cyborg ikan pari.

Sumber: New Scientist & RT.com.

Ilmuwan Temukan Cara Baru Mendeteksi Virus Zika Dengan Menggunakan Kertas

Zika mendapat sorotan setelah virus itu mewabah di benua Amerika awal 2016. WHO sempat memperingatkan bahwa Zika berpotensi menyebar lebih luas, dan Di Brazil, diperkirakan sudah ada 1,5 juta jiwa terjangkit Zika. Sejumlah negara merespons kejadian ini dengan mengeluarkan peringatan perjalanan, dan sudah pasti Zika memberi dampak besar terhadap pariwisata.

Penyebaran virus yang begitu cepat (dari nyamuk A. aegypti dan A. albopictus) mendorong para peneliti untuk segera menanggulanginya. Kali ini sebuah solusi diajukan oleh himpunan ilmuwan dari MIT, University of Toronto, Harvard Arizona State University, Cornell, University of Wisconsin-Madison, serta Boston University. Mereka memperkenalkan sistem buat mendiagnosis infeksi Zika cukup dengan memakai ‘kertas’.

Tentu saja kreasi konsorsium bukan sekedar kertas biasa. Ia merupakan reader elektronik, dan hebatnya tidak memerlukan metode penyimpanan kompleks dan tak sulit dioperasikan. Perangkat ini cocok digunakan di area-area terpencil sebagai tool darurat, serta mudah didistribusikan. Lewat uji coba tersebut, virus Zika bisa terdeteksi cukup dalam waktu dua sampai tiga jam, lebih cepat dan ekonomis dibanding tes P.C.R.

Zika paper 2
Sebuah ilustrasi, warna ungu menunjukkan partikel virus Zika.

Cara kerjanya: pasien memberikan setetes darah untuk ‘direbus’ dan diproses, kemudian ditaruh di atas kertas tes. Profesor James Collins dan rekan-rekannya telah mengembangkan rangkaian sensor yang dibubuhkan pada piringan kertas, mampu membaca 24 urutan RNA berbeda di genom Zika (seperti virus lain, Zika terdiri atas RNA, bukan DNA). Ketika RNA target terdeteksi, sebuah reaksi akan mengubah warna kertas dari kuning menjadi ungu.

Perubahan warna warna kertas dapat dilihat langsung, tetapi tim juga sedang mencoba menciptakan sistem reader elektronik supaya alterasi warna bisa dihitung; khususnya buat di kasus-kasus tertentu ketika sensor membaca ada lebih dari satu urutan RNA. Seluruh komponen yang dibutuhkan untuk proses deteksi (protein, asam nucleic, ribosom) turut didesain agar dapat disimpan di temperatur ruang, sehingga gampang dikirim ke manapun.

Penemuan ini berpotensi menjadi terobosan besar dalam pengendalian wabah Zika. Saat ini orang-orang yang tertular Zika hampir tidak menunjukkan gejala. Jika ada, simtomnya mirip DBD atau chikungunya. Namun bayi-lah yang terkena dampak paling besar: terlahir dengan microcephaly, yaitu ukuran kepala kecil karena ketidaksempurnaan perkembangan otak.

Buat sekarang, problem tes Zika adalah waktu yang lama (bisa sampai berminggu-minggu), dan antibodi tidak dapat membedakan secara akurat antara Zika dengan dengue.

Sumber: MIT News.

Peneliti Tak Sengaja Ciptakan Baterai yang Awet Selamanya

Bisa ditemukan di hampir semua perangkat elektronik, lithium-ion ialah salah satu tipe baterai rechargeable terpopuler karena mampu menyimpan daya paling banyak dan memiliki persentase self-discharge terkecil. Tapi seiring pemakaian, umur li-ion tentu akan berkurang. Biasanya, setelah 500 kali proses isi ulang, kapasitasnya turun hingga 80 persen.

Para ilmuwan tanpa lelah berusaha mencari cara untuk terus memperpanjang, atau menciptakan baterai yang tahan lama. Dan ada sebuah pencapaian tak terduga diperoleh tim University of California di Irvine. Para ilmuwan di sana secara tak sengaja menemukan solusi di teknologi nanowire (kawat berukuran super-kecil) sehingga baterai dapat diisi ulang sampai ratusan ribu kali.

Di makalah online, Mya Le Thai menjelaskan bahwa tim memanfaatkan nanowire untuk menciptakan baterai tersebut. Material ini beberapa ribu kali lebih tipis dari rambut manusia dan sangat efektif dalam menghantarkan arus listrik. Area di permukaannya cukup besar buat menyimpan serta mentransfer elektron, dan mempunyai sifat unik lain yang memungkinkannya dipakai di perangkat elektronik.

Problemnya, nanowire sangatlah rapuh dan siklus proses charging dan discharging berkali-kali membuatnya cepat rusak. Di baterai lithium-ion biasa, bahan ini akan mengembang dan menjadi getas. Solusi Le Thai dan kawan-kawan peneliti adalah melapisi nanowire emas dengan cangkang dari mangan dioksida, lalu menaruhnya dalam gel mirip Plexiglas untuk meningkatkan daya tahannya. Hal itu dilakukan tanpa sengaja.

“Mya sedang bermain-main dan ia melapis semua [nanowire] itu dengan lapisan tipis gel dan mulai mengujinya,” jelas chairman departemen kimia UCI Reginald Penner via The Inquirer. “Dia mendapati, gel membuat siklus [isi ulang dan pembuangan] tersebut dapat dilakukan ratusan ribu kali tanpa kehilangan kapasitas. Penemuan ini sangat mengejutkan, karena pada umumnya baterai akan mati sesudah 5.000, 6.000, atau 7.000 siklus isi ulang.”

Struktur baterai UCI diuji coba lebih dari 200.000 kali selama tiga bulan, dan ilmuwan melaporkan tidak ada kehilangan tenaga ataupun kapasitas. Thai bilang, elektroda yang diberi lapisan dapat menjadi opsi handal, dan riset ini membuktikan bahwa elektroda baterai berbasis nanowire mampunyai umur panjang dan kita bisa mengimplementasikannya di berbagai alat elektronik.

Bayangkan besarnya dampak invensi tersebut pada gadget-gadget kesayangan Anda: tak lagi ada masalah baterai ‘bocor’ di tablet, smartphone serta laptop. Dan manfaatnya tak berhenti sampai di sana, teknologi ini juga dapat diterapkan ke home appliance, mobil listrik, serta pesawat terbang.

Via The Inquirer. Sumber: ACS.org.

Ilmuwan Berhasil Gunakan DNA Untuk Tempat Menyimpan Data

Dengan makin banyaknya jumlah data yang dihasilkan manusia, upaya penciptaan medium penyimpanan baru selalu dilakukan. Di bulan Februari lalu, peneliti University of Southampton menyingkap koin kaca memori ‘5D’, bisa menampung file sebesar 360TB. Tapi penemuan University of Washington kali ini jauh lebih canggih karena menggunakan ‘elemen organik’.

Ilmuwan dari University of Washington dan Microsoft berkolaborasi demi mengerjakan proyek yang berpotensi mengubah cara manusia menyimpan data selamanya. Tim bersisi computer scientist dan ahli elektro ini menemukan teknik buat mengemas data dalam DNA, dipresentasikan di makalah untuk ACM International Conference on Architectural Support for Programming Languages and Operating Systems.

Melalui prosedur tersebut, besarnya volume yang diperlukan untuk menaruh data menjadi sangat kecil. Ilmuwan University of Washington memberikan sebuah komparasi: data center sebesar Walmart Supercenter bisa diciutkan hingga seukuran kubus gula – terhitung jutaan kali lebih padat dibanding teknologi pengarsipan saat ini. Langkah-langkahnya tentu saja meliputi proses encoding, penyimpanan, dan restorasi dokumen.

Dalam eksperimen, tim berhasil mengodekan data digital berupa empat gambar ke potongan nucleotide DNA sintetis, memanfaatkan metode super-presisi buat mengubahnya jadi adenine, guanine, cytosine dan thymine. Dan tak cuma menempatkan, peneliti sukses membalikkan mekanismenya – mengambil lagi data-data tersebut dari pool DNA yang lebih besar serta mengkonstruksi gambar-gambar itu kembali tanpa kehilangan satupun byte informasi (berkat metode mirip deteksi kode pos).

“Alam telah menciptakan sebuah molekul fantastis bernama DNA yang memiliki kemampuan untuk menyimpan informasi mengenai gen dan bagaimana sistem tubuh bekerja. Ia sangat padat dan kuat,” jelas salah satu penulis makalah, associate professor UW Luis Ceze. “Pada dasarnya kami mengubah fungsinya buat mengemas gambar, video, dan dokumen; dengan penyampaian yang mudah dikelola bahkan dalam waktu ratusan atau ribuan tahun ke depan.”

Untuk sekarang, kendala terbesar bagi teknik storage berbekal DNA ialah besarnya biaya dan masalah efisiensi yang dibutuhkan buat memproduksi DNA sintetis serta proses penempatan data, terutama di skala besar. Namun peneliti percaya, kesuksesan mereka membuktikan tidak ada penghalang dari segi teknis.

Ceze menyampaikan, “Proyek ini adalah contoh bagaimana kami meminjam sesuatu dari alam – yaitu DNA – buat menempatkan informasi. Kami juga menggunakan ilmu komputer – untuk memperbaiki kerusakan-kerusakan pada memori – dan mengaplikasikannya ke DNA.”

UW team stores digital images in DNA 01

Sumber: Washinton.edu.

Ilmuwan Ciptakan Sel Surya Tertipis yang Bisa Ditempelkan di Atas Gelembung

Gelar yang dipegang Massachusetts Institute of Technology (MIT) sebagai salah satu universitas teknologi terbaik sejagat sudah tidak perlu diragukan lagi. Berkali-kali mahasiswa maupun dosen yang mengajar di sana berhasil menciptakan inovasi teknologi yang sebelumnya tak pernah terbayangkan. Karya para ilmuwan MIT yang terbaru adalah sel surya yang diyakini tertipis di dunia saat ini.

Begitu tipisnya sel surya ini, para penciptanya berhasil menempelkannya di atas sebuah gelembung sabun tanpa memecahkannya. Dengan demikian, pada dasarnya sel surya ini bisa ditempatkan di permukaan apa saja. Karakternya yang ringan sekaligus fleksibel membuka potensi pengaplikasiannya menjadi sangat luas.

Kunci dari panel surya berukuran mikro ini adalah teknik pembentukan substrat beserta lapisan pelindung yang menjaganya dari ‘serangan’ debu ataupun material lain di alam yang berpotensi menurunkan performanya. Pada tahap awal eksperimennya, tim ilmuwan menggunakan bahan polimer fleksibel bernama parylene sebagai substratnya, sedangkan lapisan pelindungnya mengandalkan material organik bernama DBP (Dibutyl Phthalate).

Parylene selama ini sudah cukup umum digunakan untuk melindungi peralatan biomedis maupun papan elektronik dari kerusakan yang disebabkan oleh alam. Namun yang menarik adalah teknik pembuatan sel surya ini. Dalam laporannya dijelaskan bahwa sel surya beserta substratnya bisa ditanamkan langsung di atas berbagai material, mulai dari kain sampai kertas.

Sel surya tertipis buatan MIT

Dari segi efisiensi, sel surya ini memang masih belum sebanding yang sudah ada sekarang. Akan tetapi rasio tenaga-beratnya sangat tinggi. Kalau panel surya biasa umumnya bisa menghasilkan output daya listrik sebesar 15 watt per kilogram bobotnya, sel surya buatan MIT ini bisa menghasilkan 6 watt per gram – sekitar 400 kali lipat lebih banyak.

MIT mengakui bahwa komersialisasi sel surya super-tipis ini masih membutuhkan waktu beberapa tahun. Namun ke depannya sel surya ini bisa diaplikasikan ke sejumlah objek sehari-hari, termasuk halnya pakaian atau buku tulis, dan kita sebagai pengguna mungkin tidak menyadari keberadaannya.

Kalau mau berimajinasi lebih jauh lagi, mungkin saja nantinya sel surya ini bisa ditanamkan ke dalam frame aluminium milik smartphone. Jadi selagi kita memakai perangkat di bawah terik matahari, baterainya akan terisi sebagian. Semoga saja ini bisa terkabulkan.

Sumber: SlashGear.

Drone Canggih Ini Mampu Mencari Pendaki yang Tersesat di Hutan

Dengan tersedianya perangkat pintar dan kemudahan akses informasi, ternyata masih banyak orang tersesat di hutan tiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa keselamatan merupakan salah satu ranah penting di mana teknologi bisa dikembangkan secara lebih ekspansif lagi. Dan gabungan tim peneliti Swiss mencoba memberi jalan keluar melalui pendekatan familier.

Di Swiss, ada 1.000 panggilan darurat dilakukan oleh para pendaki yang terluka atau tersesat selama 12 bulan. Kendala ini mendorong tim dari University of Zurich dan Dalle Molle Institute of Artificial Intelligence buat melangsungkan riset secara bersama-sama. Hasil dari upaya kolaboratif tersebut adalah drone unik, mempunyai spesialisasi untuk menemukan orang-orang yang hilang di belantara.

Anda mungkin sudah tidak asing dengan cara kerja drone, namun kunci dari kemampuan device penyelamat nyawa itu terletak pada sisi software-nya. UAV dilengkapi kecerdasan buatan canggih, berjalan dengan rangkaian algoritma mutakhir. Perangkat lunak bekerja terus menerus dalam memindai area di sekitar drone via kamera build-in yang diposisikan di bagian luar. Teknologi tersebut sangat kompleks, mengharuskan peneliti menciptakan otak komputer sebelum memulai riset.

Swiss Drone 01

Algoritma tersebut ialah faktor wajib. Drone umunya memang dapat terbang tinggi dan banyak orang telah menggunakannya untuk keperluan komersial, tapi kendalanya, ia tidak bisa terbang secara otomatis di area-area ‘kompleks’ seperti hutan lebat. Satu kesalahan perhitungan kecil saja beresiko tabrakan. Oleh karenanya, diperlukan komponen otak pintar – agar UAV sanggup mengetahui seberapa rumit lingkungan itu.

Software drone mensimulasikan cara kerja otak manusia, menjadi semakin pandai berkat latihan, dinamai Deep Neural Networks. Dalam proses pembuatannya, tim peneliti diharuskan mendaki jalan setapak di Swiss Alps (bagian pegunungan Alpine) sembari menjepret puluhan ribu foto sebagai bekal data drone. Informasi tersebut diunggah ke software, dan langsung diuji secara praktek.

Kerja keras mereka memperoleh hasil mengagumkan. Tes dilaksanakan di jalan setapak baru, dan saat terbang, drone sanggup menemukan arah dengan keakuratan sebesar 85 persen – lebih tinggi tiga persen dibanding manusia. Tentu supaya drone dapat membantu penyelamatan, masih banyak aspek yang harus disempurnakan. Target jangka pendek mereka adalah mengajarkan UAV supaya bisa mengenal manusia.

Setelah hal itu terpenuhi, Profesor Luca Maria dari Dalle Molle juga menyampai, kita tidak perlu menunggu terlalu lama untuk melihat drone bekerja sama dengan manusia di masa-masa krisis.

Sumber: IEEE.org & Digital Trends.

Peneliti Ciptakan Komputer yang Bisa ‘Menyelamatkan’ Pernikahan

Orang bilang, komitmen, saling mengerti dan selalu berkomunikasi adalah resep dari rumah tanggal yang harmonis. Namun seiring berjalannya waktu, sensitivitas terhadap pasangan pelan-pelan menghilang. Menemui pakar pernikahan merupakan salah satu solusi terbaik, tapi jika satu produk buatan peneliti ini hadir untuk publik, kita bisa mengetahui masalah lebih dini.

Tim ilmuwan dari Universitas Southern California dan Utah belum lama mengungkap kreasi baru mereka, yaitu sebuah komputer yang mampu menganalisis suara pasangan, memprediksi apakah hubungan keduanya dapat jadi lebih baik atau malah memburuk. Proyek ini ialah bagian dari riset berjudul ‘Still Together?: The Role of Acoustic Features in Predicting Marital Outcome’, di mana ilmuwan mencoba menakar kualitas hubungan berdasarkan suara, gerak tubuh dan pilihan kata.

Komputer diracik untuk fokus pada data-data ‘aural’ seperti intensitas dan tinggi nada, yang kemudian dibandingkan dengan penilaian manusia terhadap sejumlah karakteristik dalam pernikahan – contohnya seperti kepuasan sampai kecenderungan menyalahkan. Komputer tersebut tak hanya sanggup memperkirakan peningkatan (atau penurunan) kualitas pernikahan, kapabilitasnya bahkan lebih handal dari para ahli.

Tim ilmuwan menguji karyanya dengan menggunakan rekaman video subjek berkode 134, diketahui sebagai grup ‘pasangan yang sangat tertekan’. Rata-rata di antara mereka telah menikah selama 10 tahun dan semuanya sudah mendatangi terapi demi mencari jalan keluar masalah. Studi tersebut dipusatkan pada tiga sesi: sebelum melakukan terapi, 26 minggu setelah terapi, dan dua tahun selepas terapi.

Komputer dimanfaatkan buat menganalisis dan menilai suara berdasarkan 74 fitur akustik berbeda. Beberapa aspek umum meliputi level kelantangan, namun mesin sanggup mendeteksi pula elemen-elemen tersembunyi semisal kegugupan dan kenyaringan. Ilmuwan bernama Brian Baucom menjelaskan bahwa kedua hal tersebut menandakan kegoyahan. Performa komputer dikomparasi dengan kinerja mahasiswa psikologi dalam menakar kata-kata serta bahasa tubuh subjek.

Para siswa terlatih awalnya memang melakukan evaluasi lebih baik dari komputer karena mereka cenderung mengikuti petunjuk dan mengukur perilaku serta perasaan sedih dan bersalah secara konsisten. Menariknya, komputer malah lebih mahir mengestimasi perubahan dalam pernikahan, misalnya apakah rumah tangga akan jadi lebih baik atau tidak. Keakuratannya mencapai 78 persen, dua persen lebih tinggi dari prediksi manusia.

Sayangnya, belum ada tanda-tanda kemampuan komputer tersebut dapat dihadirkan menjadi produk konsumen, misalnya berbentuk device/aksesori sederhana atau aplikasi smartphone.

Sumber: Wall Street Journal & Sail.USC.edu. Header: Shutterstock.

Kamera Tanpa Baterai Berhasil Diciptakan Tim Riset Columbia Engineering

Lithium-ion saat ini merupakan medium penyimpanan tenaga paling penting bagi hampir seluruh produk consumer electronics, terutama perangkat mobile. Tanpanya banyak hal tidak bisa tercipta, termasuk beragam device spesialis fotografi. Namun apa pendapat Anda jika ada kamera yang sama sekali tidak membutuhkan baterai untuk memasok tenaganya? Continue reading Kamera Tanpa Baterai Berhasil Diciptakan Tim Riset Columbia Engineering

Peneliti Berhasil Buat Robot Logam Cair yang Bisa Berubah Bentuk Ala Terminator 2

Masih ingatkah Anda pada seramnya robot yang bisa berubah bentuk T-1000 yang mengejar-ngejar para tokoh utama dalam film Terminator 2 garapan sutradara James Cameron? Fans franchise Terminator mungkin akan bergembira (atau segera siap-siap perang melawan robot) jika tahu baru-baru ini tim ilmuwan berhasil menciptakan robot ‘logam hidup’ berkemampuan serupa. Continue reading Peneliti Berhasil Buat Robot Logam Cair yang Bisa Berubah Bentuk Ala Terminator 2

Lensa Kontak Ini Mampu Perbesar Penglihatan Hingga Tiga Kali

Jutaan penderita gangguan penglihatan di dunia bermimpi agar ada solusi praktis untuk mengatasi penyakit mereka. Sejauh ini mereka cuma mengandalkan kacamata atau lensa kontak sebagai jalan keluarnya. Dan belum lama, ilmuwan berhasil ciptakan alat alternatif buat pengidap kerusakan mata sekaligus memberikan kemampuan a la superhero. Continue reading Lensa Kontak Ini Mampu Perbesar Penglihatan Hingga Tiga Kali