Tag Archives: Impact

OJK Terbitkan Aturan Bursa Karbon

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan peraturan mengenai Bursa Karbon menyusul instruksi pemerintah dalam mencapai pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK), dan sejalan dengan Perjanjian Paris terkait perubahan iklim.

Disampaikan dalam keterangan resminya, Peraturan OJK (POJK) Nomor 14 Tahun 2023 memuat Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon yang akan menjadi pedoman dan acuan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon yang dilaksanakan oleh penyelenggara pasar.

POJK Bursa Karbon diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (UU P2SK) untuk mengatur perdagangan karbon melalui bursa karbon. Penyusunan POJK Bursa Karbon telah melalui proses konsultasi dengan Komisi XI DPR.

Berikut sejumlah substansi yang dimuat dalam POJK Bursa Karbon:

  1. Penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki modal disetor paling sedikit sebesar Rp100 miliar. Modal ini dilarang berasal dari pinjaman.
  2. Penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki izin usaha dari OJK.
  3. Penyelenggara Bursa Karbon wajib memiliki persetujuan dari OJK untuk melakukan kegiatan lain dan mengembangkan produk Unit Karbon.
  4. Unit karbon yang dapat diperdagangkan di Bursa Karbon adalah Efek dan wajib terdaftar di Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) dan Penyelenggara Bursa Karbon.
  5. OJK akan melakukan pengawasan di Bursa Karbon, seperti pengawasan (1) Penyelenggara Bursa Karbon
, (2) Infrastruktur pasar pendukung Perdagangan Karbon
, (3) Pengguna Jasa Bursa Karbon
, (4) Transaksi dan penyelesaian transaksi Unit Karbon
, hingga (5) Pihak, produk, dan/atau kegiatan yang berkaitan dengan Perdagangan Karbon melalui Bursa Karbon.

Bursa Karbon

Bursa Karbon adalah mekanisme pasar yang mengatur perdagangan dengan mempertemukan penjual jasa penyerapan emisi dan pembeli yang memproduksi gas rumah kaca. Bursa Karbon dibentuk untuk mencapai target pemerintah Indonesia dalam mengurangi emisi GRK dengan ketetapan nasional (NDC) sebesar 29% dengan usaha sendiri atau hingga 41% dengan dukungan internasional pada 2030.

Mengutip informasi ICDX yang diwartakan Koran Tempo, perdagangan karbon terdiri dari dua model, yakni perdagangan karbon secara sukarela dan wajib. Model pertama mencakup penerbitan, pembelian, dan penjualan kredit karbon secara sukarela.

Sementara, model perdagangan wajib akan dilaksanakan sesuai mekanisme cap and trade yang ditetapkan suatu negara, yaitu menentukan kuota emisi karbon perusahaan suatu perusahaan berdasarkan kriteria yang ada dan dalam periode tertentu. Per Februari 2023, terdapat 42 perusahaan yang boleh melakukan perdagangan emisi karbon.

Inovasi di bidang karbon

Kebutuhan terhadap solusi di bidang teknologi hijau (cleantech), khususnya dekarbonisasi, mulai berkembang di Indonesia. Kemunculan pengembang inovasi di bidang karbon, diharapkan dapat membantu perusahaan/industri yang selama ini memproduksi emisi gas rumah kaca terbesar.

Berdasarkan data yang dihimpun DailySocial.id, ada berbagai macam model bisnis yang ditawarkan oleh pengembang inovasi karbon di Indonesia, misalnya perhitungan karbon, penyerapan karbon, atau pengumpulan data jejak karbon.

Sektor berdampak, terutama di sektor lingkungan, umumnya sulit beroperasi karena terkendala modal. Namun, sejumlah startup hijau di Indonesia berhasil memperoleh pendanaan, baik lewat pemodal ventura maupun lewat program akselerator.

Beberapa di antaranya adalah Fairatmos yang mendapat pendanaan awal Rp69 miliar dipimpin Go-Ventures (sekarang bernama Argor Capital) dan Kreasi Terbarukan TBS, serta Gree Energy yang mengantongi pendanaan pra-seri A Rp49,9 miliar dipimpin Earthcare Group.

Selain itu, upaya mencapai target pengurangan emisi karbon juga mendorong minat sejumlah firma investasi, organisasi nirlaba, dan venture builder untuk memberikan akses permodalan yang fokus terhadap solusi berdampak. Beberapa di antaranya adalah East Ventures, AC Ventures, New Energy Nexus Indonesia, dan Ecoxyztem.

PasarMIKRO Dapat Pendanaan Baru dari Investor Berdampak DEG dan Ceniarth

Startup agritech PasarMIKRO mendapat pendanaan baru dari dua institusi yang berfokus pada investasi berdampak, yakni DEG dan Ceniarth LLC. Tidak disebutkan nominal investasi yang diterima.

Sebelumnya, PasarMIKRO mengantongi putaran pendanaan awal sebesar $2,5 juta (sekitar Rp39,3 miliar) pada November 2022, yang dipimpin oleh Trihill Capital dengan partisipasi 1982 Ventures, Genting Ventures, Resolution Ventures, Gayo Capital dan Rabo Foundation.

Dalam keterangan resminya disebutkan bahwa pendanaan ini disepakati oleh DEG dan PasarMIKRO melalui perjanjian Upscale selama lima tahun. Adapun, kucuran investasi dari DEG dan Ceniarth disebut merefleksi komitmennya untuk mendorong dampak berkelanjutan bagi sektor pertanian di Indonesia. 

Diketahui, DEG adalah perusahaan pembiayaan terkemuka di Eropa yang membantu pelaku usaha di sektor berdampak di negara-negara berkembang untuk tumbuh. Sementara, Ceniarth LLC adalah yayasan milik Isenberg Family yang juga berinvestasi pada solusi berdampak dan berfokus masyarakat yang terpinggirkan.

Secara umum, keduanya investor berbagi visi dan misi untuk memperkuat usaha petani kecil, nelayan, dan pedagang di Indonesia sehingga dapat meningkatkan kesejahteraannya dengan memanfaatkan teknologi.

Head of Investment Ceniarth Stefan Freeman mengungkap, “platform PasarMIKRO memiliki potensi untuk mengubah kehidupan para petani, nelayan, dan pedagang, dan memungkinkan mereka untuk berkembang dan berkontribusi terhadap ekonomi berkelanjutan. Kami yakin kolaborasi ini akan berdampak jangka panjang dan memberikan perubahan positif bagi masyarakat yang terpinggirkan di Indonesia.”

Skala operasi

PasarMIKRO akan memanfaatkan investasi ini untuk memperluas layanan trade and trade finance serta memperkuat jaringan petani kecil, nelayan, dan pedagang. Investasi ini juga akan digunakan untuk meningkatkan skala operasionalnya dan mengembangkan solusi inovatif untuk mengatasi tantangan unik yang dihadapi oleh petani kecil dan pedagang di Indonesia.

PasarMIKRO adalah platform perdagangan komoditas dan layanan keuangan untuk pelaku usaha di sektor pertanian. Melalui platform ini, para petani maupun pedagang mendapat akses untuk melakukan transaksi hingga pembayaran.

Beberapa fitur yang disediakan bagi pelaku usaha di antaranya adalah pembukuan digital dan fitur untuk fungsi pelacakan informasi terkait komoditas langsung dari para petani. Fitur ini dibangun untuk mendukung transparansi dan akuntabilitas di seluruh rantai pasokan.

Co-Founder dan CFO PasarMIKRO Hugo Verwayen mengaku, “komitmen investasi dari kedua investor yang mengutamakan dampak sejalan dengan misi kami untuk memberdayakan masyarakat terpinggirkan di sektor pertanian. Kemitraan ini akan memungkinkan kami untuk memperkuat upaya dan menjangkau lebih banyak petani kecil, nelayan, dan pedagang,” ujarnya.

Berdasarkan informasi yang dihimpun di situs resminya, PasarMIKRO telah memiliki sebanyak 1387 petani, pemasok, dan pedagang terdaftar dengan total nilai perdagangan Rp226 miliar dan Rp188 miliar telah disalurkan ke petani. PasarMIKRO memperdagangkan sembilan komoditas, termasuk telur, beras, dan kopi.

Dalam pemberitaan sebelumnya, PasarMIKRO menargetkan dapat mencapai nilai transaksi kotor tahunan lebih dari $300 juta dan 10.000 pengguna pada akhir 2023. Diketahui, PasarMIKRO berawal dari proyek percontohan di Blitar.

Startup Cleantech Indonesia

Gambaran Umum Ekosistem Startup Cleantech di Indonesia

New Energy Nexus Indonesia mengulas perkembangan ekosistem teknologi bersih (cleantech) di tanah air melalui laporan terbarunya berjudul “Clean energy technology startups in Indonesia: How the government can help the ecosystem”.

Laporan ini menggali sejumlah tantangan yang dihadapi oleh pelaku startup terkait pengembangan teknologi bersih, operasional, hingga sumber pendanaan berdasarkan hasil survei terhadap 50 startup cleantech di Indonesia. Perlu dicatat, dari 50 responden yang disurvei, hanya 42 startup yang masih hidup, sisanya tidak lagi beroperasi hingga laporan ini dirilis. Selain itu, kebanyakan responden menduduki posisi C-level (84%) dan beroperasi di wilayah Jawa.

Saat ini, pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya tengah mendorong upaya transisi energi untuk mencapai target tersebut. Namun, transisinya kurang berjalan cepat di mana bauran energi terbarukan (EBT) secara nasional baru mencapai 12,3% dari target 23% di 2025.

Maka itu, pengembang teknologi bersih dikatakan dapat membantu mengakselerasi tercapainya target net-zero emission (NZE) yang ditetapkan pemerintah Indonesia pada 2060. Selain itu, kemunculan startup cleantech juga dapat membuka potensi ekonomi. Sebagai ilustrasi, sektor teknologi hijau di AS tercatat telah menciptakan 3,2 juta lapangan kerja baru di 2021.

Ekosistem cleantech

Di Indonesia, kebangkitan startup hijau ini mulai terlihat dengan pertumbuhan investasi sebagai salah satu indikatornya. Berdasarkan data yang dihimpun, laporan ini menyebutkan terdapat 300 startup cleantech di tanah air, termasuk Xurya dan Swap Energi yang telah mencapai tahap pendanaan seri A.

New Energy Nexus Indonesia sebagai program akselerator untuk startup di segmen ini, telah mendukung 85 startup (termasuk non-cleantech) sejak 2019.

Menurut hasil survei, 52% dari total responden berbasis di kota tier 1. Namun, survei menunjukkan bahwa startup cleantech berada di luar kota tier 1 dengan tingkat pertumbuhan 48% pada periode 2017-2022, mengindikasikan pelaku usaha di bidang ini mulai tumbuh.

Sementara, 42 startup cleantech yang masih beroperasi relatif memiliki runway yang pendek. Sebanyak 22 di antaranya hanya mampu bertahan operasi selama 1-6 bulan sebelum kehabisan modal, sedangkan 11 startup mengklaim punya runway lebih dari 1 tahun. Temuan ini menjadi isu penting mengingat startup idealnya harus punya runway minimum 18 bulan.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

Kemudian, 64% responden yang masih beroperasi mengaku berada di fase ideation/prototyping atau pilot (testing kepada mitra/pengguna). Sementara, responden yang berhenti beroperasi kebanyakan gagal di tahap awal.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

“Sebagian besar responden menyebut bahwa sumber pendanaan mereka kebanyakan berasal dari kantong pribadi founder-nya. Temuan ini konsisten dengan hasil interview pelaku startup cleantech yang mengaku mengalami kendala dalam mencari pendanaan eksternal dan akhirnya beralih ke bootstrapping. Mereka juga bergantung pada dana hibah dan inkubator untuk mendukung operasionalnya,” demikian tulis laporan ini.

Investasi dan dukungan regulasi

Pemodal ventura (VC) cenderung berinvestasi di fintech, tetapi sektor lain— SaaS, F&B, dan transportasi—juga memperoleh investasi yang signifikan. Dari hasil interview dengan Asosiasi Modal Ventura dan Startup Indonesia (AMVESINDO), regulasi menjadi faktor utama penghambat investasi di cleantech.

AMVESINDO mengatakan bahwa kebijakan atau kerangka regulasi yang ada saat ini kurang mendukung adopsi EBT, teknologi untuk efisiensi energi, hingga kendaraan listrik. Alhasil, investor pun kurang tertarik berinvestasi karena minat pasar terhadap produk/solusi cleantech di Indonesia masih relatif rendah.

Sumber: New Energy Nexus Indonesia

Beberapa contoh investasi VC dalam negeri di sektor ini adalah East Ventures dan Saratoga ke pengembang panel surya Xurya. Di samping itu, Kejora Capital juga menyuntik pendanaan ke Swap Energi, pengembang baterai tukar (swap battery) untuk kendaraan listrik.

“Tak cuma soal minat pasar, investor juga melihat ekosistem startup cleantech tak banyak memiliki founder dan tim yang cakap sehingga ini menahan mereka untuk berinvestasi di sektor ini.”

Ditanya tentang insentif pemerintah terhadap startup cleantech, responden lebih menyoroti kebutuhan pendanaan. Sementara, bagi inkubator, akselerator, dan venture builder, insentif seperti kerangka regulasi yang mendukung cleantech, akses pendanaan untuk R&D, kemudahan memperoleh izin usaha dan sertifikasi, akan memberikan dorongan motivasi lebih.

Demikian juga insentif pengurangan pajak bagi perusahaan yang mendukung adopsi energi bersih, akses ke pasar, hingga peluang pengadaan publik untuk produk dan layanan buatan startup cleantech.

Kendati begitu, laporan ini menemukan sebagian besar startup cleantech yang disurvei justru belum memanfaatkan insentif yang diberikan pemerintah. Hal ini dikarenakan kurangnya awareness dan gaung informasi terkait insentif kepada pelaku startup, serta kompleksnya proses pengajuan dan persyaratan administrasi yang harus dipenuhi.

Temuan dari survei ini mengindikasikan kurangnya engagement antara pelaku startup cleantech dan pemerintah. Hal ini bisa jadi disebabkan oleh terbatasanya pengetahuan dan pemahaman pemerintah tentang ekosistem startup cleantech.

Rekomendasi

Dalam rangkuman akhir, laporan ini memaparkan beberapa rekomendasi untuk mengatasi berbagai tantangan di sektor cleantech. DailySocial.id merangkum sebagian di antaranya:

Kendala pendanaan

  • Pendanaan dalam bentuk dana hibah sering kali harus melalui acara seremonial dan tidak mendukung upaya startup meningkatkan skala bisnisnya.
  • VC milik negara belum memiliki opsi investasi ekuitas untuk startup cleantech.
  • Energy fund yang baru dibentuk tidak memiliki komitmen dan implementasi pendanaan yang jelas.
  • Startup cleantech sulit berinovasi karena terbatasnya akses ke dana R&D pemerintah.
  • Rendahnya kolaborasi antara startup cleantech dan universitas untuk R&D.

Rekomendasi

  • Program hibah disesuaikan dengan tahapan pengembangan startup, dan memastikan dana hibah ini berkontribusi pada pertumbuhan startup dengan menekankan pada publikasi intensif.
  • Mengkatalisasi investasi dari pihak swasta ke startup cleantech lewat dana pemerintah dan VC milik negara.
  • Menjembatani fasilitas pinjaman bank lewat skema venture debut atau pinjaman lunak untuk startup cleantech tahap lanjutan (later stage)
  • Pemerintah daerah perlu memberikan dukungan finansial kepada startup cleantech.

Kendala kebijakan

  • Kualitas regulasi rendah dan penegakan hukum di sektor energi masih lemah
  • Persyaratan modal minimum terbilangtinggi untuk mendirikan VC dengan struktur dana ventura yang tidak fleksibel.

Rekomendasi

  • Memperkuat kebijakan energi dan penegakannya untuk mendukung permintaan terhadap solusi cleantech.
  • Mengurangi persyaratan modal minimum, misalnya mengadopsi model corporate venture capital (CVC) yang memungkinkan struktur investasi lebih fleksibel.
(Ki-Ka) Brendan Board dan Marc Schmidt of BCG, Raditya Wibowo of Maka Motors, Lauren Blasco of AC Ventures

AC Ventures dan BCG Rilis Laporan Potensi Pertumbuhan Ekonomi Hijau di Indonesia

Salah satu peluang yang paling menjanjikan untuk green growth di Indonesia adalah renewable energy. Indonesia memiliki sumber daya renewable energy yang melimpah, termasuk energi surya, angin, hidro, dan panas bumi. Dengan berinvestasi dalam infrastruktur dan teknologi renewable energy, Indonesia dapat mengurangi ketergantungannya pada bahan bakar fosil dan beralih ke sistem energi yang lebih bersih dan berkelanjutan. Hal ini tidak hanya membantu mitigasi perubahan iklim, tetapi juga menciptakan peluang kerja baru dan merangsang pertumbuhan ekonomi.

Dalam laporan yang dirilis AC Ventures dan Boston Consulting Group mengenai Potensi Pertumbuhan Ekonomi Hijau dan Derkabonisasi di Indonesia terungkap, peluang yang besar bagi Indonesia dalam strategi, pengurangan gas rumah kaca, dan penyeimbangan emisi, dengan meminta partisipasi luas dari perusahaan, pemangku kepentingan pemerintah, dan investor dalam transisi ekonomi yang kritis.

Tiga kategori penentu keberhasilan solusi Green Growth

Green growth adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan jalur pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan secara lingkungan. Untuk mencapai ambisi Indonesia dalam memenuhi net zero emission maksimal pada 2060, diperkirakan pengeluaran publik dan swasta di negara ini akan mencapai $350 miliar per tahun pada 2030.

Dalam laporan tersebut terungkap, terdapat tiga kunci sukses agar dekarbonisasi bisa berjalan sukses di Indonesia. Di antaranya adalah solusi energi, solusi pengelolaan limbah dan yang terakhir adalah solusi agrikultur.

Khusus untuk solusi energi selain electric vehicle (EV), platform seperti Xurya dinilai mampu membantu Indonesia melancarkan gerakan dekarbonisasi.

Meskipun masih ada banyak tantangan dalam pengelolaan limbah di Indonesia, upaya yang dilakukan saat ini menunjukkan komitmen pemerintah dan berbagai pihak untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih, sehat, dan berkelanjutan. Beberapa startup yang telah menghadirkan solusi pengelolaan limbah di antaranya adalah Waste4Change dan Surplus.

Sementara itu solusi agrikultur di Indonesia dinilai masih sulit untuk ditangani secara menyeluruh. Namun demikian, fungsinya menjadi penting karena mendukung ekonomi untuk mengadopsi dan mendorong praktik pertanian berkelanjutan. Kompleksitas sisi teknik agrikultur itu sendiri hingga perubahan tanaman dan sistem makanan merupakan fundamental dari pertanian yang harus diselesaikan lebih lanjut. Perusahaan yang mencoba menghadirkan solusi untuk agrikultur di Indonesia di antaranya adalah, iGrow (diakuisisi LinkAja tahun 2021), Aruna dan Neurafarm.

Platform dan organisasi pendukung ekosistem startup berdampak

Selain startup yang menyasar kepada lingkungan dan renewable energy, platform seperti Ecoxyztem yang merupakan venture builder khusus untuk climate tech dan startup berdampak di Indonesia, dinilai juga dapat membantu pemerintah melancarkan kampanye peduli lingkungan. Meskipun belum banyak investor yang tertarik untuk memberikan dana segar kepada startup berdampak, namun saat ini mulai banyak platform seperti Ecoxyztem dan lembaga lainnya yang tertarik untuk berinvestasi di startup berdampak Indonesia.

“Namun, Indonesia juga memiliki potensi besar untuk beralih ke ekonomi hijau. Perubahan ini merupakan peluang bagi startup, Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), dan investor untuk memainkan peran utama dalam mendorong pembangunan ekonomi berkelanjutan dan mengatasi perubahan iklim,” kata Principal – Head of ESG AC Ventures Lauren Blasco.

Kekurangan talenta digital

Meskipun saat ini sudah mulai banyak perusahaan yang menghadirkan solusi dengan target dan layanan yang berbeda untuk mendukung green growth, kebanyakan dari mereka masih kesulitan untuk mencari talenta yang relevan. Dalam laporan tersebut terungkap, Indonesia menghadapi tantangan yang signifikan terkait akses terhadap talenta yang tersedia dan sesuai.

Laporan RGF pada tahun 2019 mencatat bahwa sekitar 50% dari para pengusaha Indonesia di 10 sektor menghadapi kekurangan talenta yang signifikan. Kekurangan talenta ini terutama dirasakan di ruang startup, dengan pemerintah Indonesia memperkirakan bahwa Indonesia bakal membutuhkan sembilan juta talenta di bidang teknologi pada tahun 2030 untuk mendukung pertumbuhan ekonomi digital Indonesia yang pesat. Ini mewakili peningkatan 10x lipat dari sekitar 900 ribu pekerja talenta digital yang berada di Indonesia pada tahun 2020.

Menurut laporan tersebut Indonesia dapat melakukan beberapa langkah untuk mengatasi masalah ini dengan lebih baik menarik pekerja asing berbakat, namun masih ada hambatan-hambatan yang signifikan termasuk hambatan bahasa, proses aplikasi yang kompleks dan restriktif, serta upaya untuk meningkatkan kemampuan talenta yang ada saat ini, atau menarik kembali talenta Indonesia yang tersebar di luar negeri. Untuk jangka pendek, para pemangku kepentingan di sektor publik dan swasta harus bekerja sama untuk memahami cara menarik, melatih, dan mempertahankan talenta terbaik saat ini.

Pengembangan EV di Indonesia

Sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan diproyeksi menjadi ekonomi terbesar keempat di dunia pada 2050, Indonesia memiliki kepentingan yang besar dalam melakukan transformasi menjadi pertumbuhan ekonomi hijau. Transformasi ini tidak hanya penting untuk keberlanjutan lingkungan, melainkan juga merupakan peluang bisnis yang sangat signifikan. Laporan tersebut memperkirakan nilai peluang pertumbuhan hijau di Indonesia sebesar $400 miliar yang mencakup pendapatan industri dan potensi kompensasi karbon.

Menurut Managing Director dan Partner BCG Singapura Marc Schmidt, khusus untuk Indonesia solusi energi, pengelolaan limbah hingga agrikultur memainkan peranan penting, namun demikian jika pemerintah Indonesia bisa memprioritaskan solusi yang ingin dihadirkan lebih dulu, solusi energi menjadi opsi yang ideal.

“Dengan fokus kepada solusi energi memberikan kesempatan kepada EV yang memiliki low emission zero emission untuk berkembang menjadi sistemik untuk diselesaikan. Yang nantinya bukan hanya fokus kepada energy generation namun juga transmission yang membutuhkan infrstruktur untuk semua.”

Saat ini tercatat sudah banyak perusahaan lokal hingga asing yang menghadirkan motor listrik serta produk pendukungnya di Indonesia. Di antaranya ION Mobility yang berbasis di Singapura, Tingkok dan Indonesia. Sementara untuk produk lokal di antaranya adalah Viar, Elvindo Rama, Selis E-Max, Honda PCX, serta produsen lokal yang motornya sempat dicoba presiden yakni Gesits.

Salah satu perusahaan lokal yang sedang merintis solusi di sektor EV adalah MAKA Motors. Dalam pendekatan alternatif dibandingkan dengan kebanyakan pemain otomotif Indonesia yang fokus pada perakitan dan penjualan/layanan purna jual, Maka Motors mengadopsi rantai nilai terintegrasi secara vertikal melalui R&D, desain produk, perakitan, dan penjualan/layanan purna jual.

Model terintegrasi secara vertikal ini diklaim memungkinkan mereka untuk merancang dan memproduksi produk kendaraan listrik yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar Indonesia dan memungkinkan perusahaan memiliki harga yang lebih terjangkau dibandingkan dengan produk whitelabel dengan spesifikasi serupa (ukuran baterai, daya motor) karena struktur biaya yang lebih efisien.

“Kami percaya bahwa kendaraan listrik merupakan kunci perjalanan dekarbonisasi Indonesia, membuka jalan menuju masa depan yang lebih bersih dan berkelanjutan. Untuk mengajak konsumen Indonesia beralih dari kendaraan bensin mereka, para pemain kendaraan listrik harus menyediakan total biaya kepemilikan yang lebih rendah tanpa mengorbankan apa yang sudah diperoleh konsumen dari kendaraan bensin saat ini yaitu, jarak tempuh, daya, kegunaan, daya tahan, dan keterjangkauan,” kata Founder & CEO Maka Motors Raditya Wibowo.

Bidik Indonesia dan Vietnam, Startup Agritech Rize Ingin Dekarbonisasi Budidaya Padi

Rize membidik Indonesia dan Vietnam sebagai pasar pertama dalam menghadirkan solusi terpadu untuk mendekarbonisasi budidaya padi. Rize merupakan startup agritech yang baru saja diluncurkan oleh Temasek, Wavemaker Impact, Breakthrough Energy Ventures (BEV), dan GenZero.

Saat ini, Rize dipimpin oleh Dhruv Sawhney selaku CEO. Ia sebelumnya sempat menjadi COO di nuture.farm, platform digital yang memfasilitasi pertanian berkelanjutan di India. Klaimnya, nurture.farm telah mengajak lebih dari 2,5 juta petani dan 100.000 pedagang, serta memimpin salah satu program terbesar di India untuk menghentikan pembakaran sisa tanaman.

Selain memiliki pengalaman langsung dalam mendekarbonisasi rantai nilai padi, Dhruv adalah pendiri startup yang membangun dan menjual bisnis rantai pasokan makanannya kepada Zomato pada 2018.

“Setelah emisi enterik, padi adalah penyumbang emisi pertanian terbesar kedua secara global. Teknologi untuk mendekarbonisasi budidaya padi sudah ada, tetapi membutuhkan perubahan perilaku petani,” kata Dhruv.

“Kekayaan pengalaman Dhruv sangat penting dalam mendorong visi Rize sebagai platform yang dapat ditingkatkan dan berkelanjutan untuk mendekarbonisasi budidaya padi,” kata Board Member Rize dari Wavemaker Impact Marie Cheong.

Sedikit informasi, Wavemaker Impact adalah perusahaan pengembang teknologi iklim yang didukung oleh perusahaan modal ventura di Asia Tenggara. eFishery adalah startup asal Indonesia yang pernah didanai oleh Wavemaker Impact.

Sementara, BEV didirikan oleh Bill Gates dan didukung oleh sejumlah pemimpin bisnis terkemuka dunia. BEV telah mengumpulkan lebih dari $2 miliar dalam modal yang terikat untuk mendukung perusahaan-perusahaan inovatif yang memimpin dunia menuju emisi net-zero.

Bidik Indonesia dan Vietnam

Rize membidik kawasan Asia dan Asia Tenggara dengan Indonesia dan Vietnam sebagai target pasar pertamanya. Pihaknya menyebut telah memiliki tim lokal. Rize mengklaim telah melakukan uji coba di kedua negara dengan hasil awal yang positif.

Sebagai tanaman pokok untuk lebih dari setengah populasi dunia, permintaan padi di global diperkirakan meningkat sebesar 50% pada 2050, Rize tengah membangun platform untuk mengidentifikasi, dan menerapkan strategi paling efektif untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dalam budidaya padi. Rize juga berupaya memberikan insentif ekonomi yang tepat untuk mendorong adopsi teknik budidaya yang berkelanjutan.

“Beras juga merupakan sumber utama emisi metana di Asia Tenggara, bertanggung jawab atas hingga 33% emisi metana di kawasan itu. Metana memiliki potensi pemanasan global 80 kali lebih banyak daripada karbon dioksida,” katanya.

Di seluruh Asia tercatat mata pencaharian 400 juta orang di 144 juta petani kecil bergantung pada beras, dengan ukuran rata-rata pertanian berkisar antara 0,5 hingga 2 hektar. Namun, hingga kini masih ada kesenjangan hasil yang signifikan, dan di Asia Tenggara, dengan produksi beras per hektar tertinggal dari negara-negara penghasil tinggi sekitar 40%.

Dalam beberapa tahun terakhir, sektor pertanian di Indonesia mengalami transformasi cukup signifikan dengan kemunculan platform agritech. Platform ini menggabungkan teknologi, data, dan inovasi untuk merevolusi pertanian tradisional dan meningkatkan produktivitas dalam lanskap pertanian.

Pemanfaatan solusi teknologi diyakini dapat membantu memberdayakan petani, meningkatkan efisiensi rantai pasok, dan mendorong praktik pertanian yang berkelanjutan. Sejauh ini, startup agritech yang sudah hadir di Indonesia saat ini di antaranya adalah, Semai, Eratani, Elevarm, PasarMikro, Beleaf, Jaring Pangan, Koltiva, Glife, Agridesa, dan Gokomodo.

Application Information Will Show Up Here
Novita Tan dan Ovy Sabrina pendiri Rebricks, startup impact yang mendaur ulang sampah plastik sekali pakai menjadi bahan bangunan

Mengenal Rebricks, Sulap Sampah Plastik Sekali Pakai Jadi Bahan Bangunan

Sampah plastik selalu jadi masalah utama dalam pencemaran lingkungan karena sifatnya yang tidak mudah terurai, proses pengolahannya menimbulkan toksit dan bersifat karsinogenik, dan butuh waktu sampai ratusan tahun bila terurai secara alami. Indonesia termasuk negara yang masih berusaha menyelesaikan masalah yang pelik ini.

Novita Tan dan Ovy Sabrina, dua sekawan yang peduli soal isu ini, memutuskan untuk merintis Rebricks, startup impact yang mendaur ulang sampah plastik sekali pakai menjadi bahan bangunan. Inisiasi ini dimulai pada 2018.

Solusi yang ditawarkan Rebricks berhasil memboyong sejumlah penghargaan, seperti Circular Innovation Jam 2020, Green Award 2022, ICLIF Leadership Energy Awards (ILEA) 2022, dan Tempo Circular Economy Award 2023. Produknya juga sudah lulus Combusting Test British Standard 476: Fire test in building material and structure, Uji Kuat Tekanan Kementerian Perindustrian dan dikategorikan dalam kriteria SNI kelas B yang cocok untuk pelataran parkir, jalur pejalan kaki, dan taman.

Perjalanan Rebricks

Sumber: Rebricks

Mencapai sejumlah penghargaan dan sertifikasi di atas tidak semudah membalikkan telapak tangan. Ovy dan Sabrina harus jatuh bangun melakukan riset selama 1,5 tahun dalam mendaur ulang sampah kemasan plastik multilayer atau biasa disebut Multi-Layered Packaging (MLP). Sampah jenis ini sulit didaur ulang karena terdiri dari beberapa lapisan plastik dan material lain. Kemasan ini biasanya ditemui pada produk kebutuhan sehari-hari, seperti bungkus mi instan atau sampo dan kopi sachet.

Laporan Greenpeace di tahun 2019 berjudul “Throwing Away The Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution Solutions” menyampaikan sebanyak 855 miliar kemasan sachet beredar di pasar global di kala itu. Asia Tenggara sendiri memegang pangsa pasar sekitar 50%. Diprediksi jumlah kemasan sachet yang terjual akan mencapai 1,3 triliun pada 2027 nanti.

Permasalahan sampai MLP ini jadi tantangan tersendiri dalam upaya daur ulang sampah, lantaran masih sedikit pihak yang menerima dan mengelola sampah tersebut.

“Misi awal kita adalah mau menciptakan produk yang bukan sekali pakai. Karena suplainya banyak, kebetulan co-founder kita [Ovy] punya kemampuan di bidang konstruksi bahan bangunan jadinya kita punya akses untuk explore ke sana,” ucap Co-Founder Rebricks Novita Tan kepada DailySocial.id.

Sumber: Rebricks

Dalam proses R&D pun tidak mudah menemukan formulasi yang tepat karena harus bolak balik riset demi riset demi mendapat hasil yang diinginkan. Untuk prosesnya sendiri, sampah plastik yang dicacah, dicampur dengan bahan lain, dipadatkan (press), baru kemudian dicetak.

“Menariknya kita pakai metode hijau, jadi di setiap proses kita tidak ada melting. Biasanya pengolahan sampah banyak yang harus dibakar duli, tapi kalau kita dari awal sampai akhir tidak ada proses itu.”

Produk pertama Rebricks adalah paving block. Produk kedua adalah batako yang dirilis setahun kemudian, dan terakhir roaster. Paving block buatan Rebricks dapat bertahan antara 10-20 tahun, mampu menahan beban hingga 250 kg/cm2, dan berat lebih ringan 2,2 kg dibandingkan yang konvensional sebesar 2,5 kg.

Dari tampak luar, paving block yang dibuat perusahaan sama seperti pada umumnya, tujuannya agar pekerja mudah menggunakannya. Namun jika diperhatikan dari dekat, akan terlihat serpihan-serpihan kecil plastik. Meski begitu, secara fungsi sebenarnya sama saja bisa dipakai untuk parkiran dan jalanan.

Seluruh proses ini dilakukan di workshop Rebricks yang terletak di Jalan Ciputat Raya No. 79, Jakarta Selatan. Di sana terdapat tiga mesin yang mampu memproduksi 80 meter paving block dari 80 kg limbah plastik untuk hitungan kapasitas penuh. Adapun, tim Rebricks terdiri dari 15 orang.

Dalam mengumpulkan suplai limbah plastik, Rebricks memanfaatkan komunitas yang dibangun sendiri disebut Rebrickers. Kebanyakan mereka adalah rumah tangga yang sudah sadar untuk memilah sampah plastik sendiri, tapi bingung setelah mau diapakan limbah tersebut dan secara sukarela mau mengirimnya ke drop point Rebricks.

“Dari data kita, mereka enggak cuma dari Jakarta, tapi ada dari Jawa, Sulawesi, Sumatera, yang rela kirim sendiri walau ongkos kirimnya lebih maha. Mereka itu sudah aware tapi bingung habis itu [limbahnya] mau diapakan.”

Antusiasme yang tinggi dari Rebrickers membuat perusahaan kelebihan suplai karena terus-menerus dikirim. Membludaknya ini tak lain juga karena tidak ada lagi tempat yang menerima kiriman sampah sekali pakai. Untuk mengatasi ini, perusahaan pun akhirnya membatasi limbah yang bisa kirim maksimal 5 kg dalam sebulan untuk satu rumah tangga.

“Setiap hari kami terima 50 kg limbah yang masuk. Tantangannya karena belum banyak pelaku [yang bisa terima] jadi mereka [Rebrickers] kirim terus, sementara kami harus sesuaikan dengan demand juga karena di mana-mana pasti supply pasti lebih dari demand.”

Untuk mengatasi isu demand, perusahaan memanfaatkan model B2C dan B2B. Perusahaan menjual produk-produknya dengan harga yang kompetitif. Pembeliannya juga relatif mudah, cukup menghubungi nomor WhatsApp yang tertera di katalog situs Rebricks.

Sumber: Rebricks

Terhitung sejak berdiri di 2018, per hari ini (3/2) perusahaan telah mengolah 10 ribu kg sampah plastik menjadi paving block dari 17,5 ribu kg sampah yang diterima dari komunitas.

Novi mengaku para pembelinya juga datang dari luar Jakarta, seperti Merak, Surabaya, dan Bandung. Mereka rela membayar ongkos kirim yang lebih mahal karena menilai lebih apa yang ditawarkan Rebricks itu ramah lingkungan, bukan sekadar paving blocks biasa. Kontribusi bisnis dari B2C dan B2B dianggap imbang mampu membuat perusahaan tetap dapat menjalankan operasional, kendati ia merinci lebih detil dengan angka.

Kolaborasi dengan B2B

Salah satu kerja sama B2B yang baru diumumkan adalah bersama Hokben. Untuk pertama kalinya, Rebricks akan mengolah plastik mika atau PVC (Polyvinylchloride). Jenis ini sulit untuk didaur ulang karena mengeluarkan zat berbahaya jika salah mengolahnya. Hasil daur ulang dari kolaborasi ini adalah roster untuk memperindah interior gerai HokBen.

Roster merupakan komponen dinding yang berfungsi sebagai lubang angin yang membantu sirkulasi udara, mempercantik dinding rumah untuk menambahkan ornamen-ornamen di dinding rumah dan memperbaiki tata cahaya ruangan untuk menghemat penggunaan lampu sehingga membantu menghemat penggunaan listrik.

Pengumuman kolaborasi HokBen dengan Rebricks / HokBen

Pada umumnya roster terbuat dari tanah liat, batako, dan beton. HokBen dan Rebricks membuat roster dengan salah satu komposisinya adalah sampah kemasan makanan HokBen yang terbuat dari mika, 1 roster yang dibuat mengandung 10 buah sampah plastik mika bekas HokBen.

Kolaborasi yang akan berlangsung selama satu tahun ini menargetkan dapat mengolah satu ton sampah plastik mika bekas HokBen. Tidak hanya roster, kedua perusahaan akan terus menambah target pengolahan sampahnya dan akan terus berkembang untuk membuat variasi produk lainnya.

Sebelum diresmikan pada Selasa (31/1), Hokben sudah melakukan pilot project selama 1,5 bulan sebelumnya. Dari situ terkumpul 300 kg sampah plastik mika yang telah digunakan di 11 gerai HokBen sebagai bagian dari disain ruangan. Total keseluruhan sampah yang digunakan mencapai 16.380 plastik mika bekas yang sudah terolah atau setara 128 kg.

Direktur Operasional PT Eka Bogainti (HokBen) Sugiri Willim menuturkan, “Kami mengajak seluruh masyarakat, khususnya pelanggan setia HokBen untuk turut mengembalikan sampah plastik mika bekas HokBen yang sudah dibersihkan ke seluruh gerai HokBen di Indonesia.”

Sebelumnya, beberapa kolaborasi B2B juga sudah dilakukan Rebricks. Salah satunya dengan Novo Nordisk untuk bangun dua kamar mandi dan dua toilet di Kampung Pemulung, kemudian Hush Puppies Indonesia membangun dua kamar mandi, satu area untuk mencuci, sumur, pipa untuk mengaliri air, dan septic tank di Kampung Panagan, Bogor.

Rencana berikutnya

Di masa mendatang, Novi ingin menyempurnakan produk Rebricks, di antaranya meningkatkan kuat tekan. Kuat tekan Rebricks saat ini berada di angka 250 kg/cm2, sehingga belum cukup untuk masuk ke kriteria material bangunan SNI kelas A. Di samping itu, perusahaan akan menambah variasi produk bahan bangunan agar hasil daur ulang bisa dimanfaatkan secara lebih masif.

Saat ini perusahaan sudah beberapa kali memperoleh dana hibah dari Malaysia dan organisasi nirlaba. Tahun ini, Novi mengungkapkan rencananya untuk menggalang pendanaan dari modal ventura.

“Tiga tahun kemarin kami membangun diri sendiri, menyiapkan produknya agar bisa ajak investor yang punya visi yang sama. Tahun ini pelan-pelan akan buka diri [ke investor],” pungkasnya.

Startup energi terbarukan Xurya mengungkapkan rencana untuk masuk ke area residensial sebagai langkah ekspansi memperluas adopsi pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)

Xurya Berencana Masuk ke Instalasi PLTS Atap untuk Area Perumahan

Startup energi terbarukan Xurya mengungkapkan rencana untuk masuk ke area residensial. Ini dijadikan  langkah ekspansi memperluas adopsi pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) secara lebih masif. Sebelumnya perusahaan menjangkau segmen bisnis di lintas industri untuk melakukan instalasi PLTS Atap, dengan total 86 proyek yang telah beroperasi.

“Xurya berkomitmen untuk terus berinovasi dalam mendukung industri dan ekonomi hijau di Indonesia, tidak menutup kemungkinan bahwa ke depannya Xurya berencana untuk ekspansi bisnis instalasi PLTS Atap di sektor residential,” terang VP Marketing Xurya George Hadi Santoso saat dihubungi DailySocial.id.

Sayangnya ia tidak bersedia merinci kapan rencana tersebut dapat terealisasikan. Namun secara terpisah dalam wawancara bersama media, Co-founder dan CEO Xurya Eka Himawan sudah memberikan sinyal positif terkait ekspansi perusahaan ke segmen di luar B2B.

“Sampai sekarang masih di perusahaan-perusahaan, tapi kami memang tidak menutup kemungkinan [..] dan kami pasti akan melebar ke sektor pemerintahan dan masyarakat,” kata Eka.

Kompetitor terdekatnya, sudah sudah masuk ke segmen residensial, misalnya SolarKita dan SUN Energy. SolarKita mengklaim 80% penggunanya adalah kaum residensial, tersebar di Jabodetabek, Surakarta, dan Bali.

Menurut George, tidak hanya ekspansi ke segmen baru, pihaknya juga akan ekspansi pengguna B2B-nya ke luar Pulau Jawa agar semakin banyak industri yang menggunakan PLTS Atap. Dalam mendukung rencana tersebut, saat ini perusahaan telah membuka kantor cabang di Medan, Semarang, dan Surabaya.

Pencapaian Xurya

Dikutip secara terpisah dari keterangan resmi, Xurya memaparkan pencapaiannya sepanjang tahun lalu. Diklaim perusahaan berhasil memproduksi lebih dari 589,7 juta kWh energi bersih yang efektif menangkal sebanyak 548,4 juta kg CO2, serta membuka lapangan pekerjaan hijau untuk 1.792 orang.

Dalam rangka mendukung target pencapaian bauran energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025, disebutkan bahwa Xurya telah melakukan lebih dari 100 proyek instalasi PLTS Atap di Indonesia, dengan rincian 86 proyek yang telah beroperasi dan 32 proyek lainnya yang masih dalam tahap konstruksi.

Menurut Eka, kebijakan dan arahan pemerintah mengenai penggunaan PLTS Atap untuk industri menjadi salah satu faktor terjadinya kenaikan permintaan instalasi.

“[..] Apa yang telah dicapai Xurya selama ini merupakan wujud keberhasilan kerja sama antara berbagai pihak yang menjadi semangat perusahaan untuk terus berkembang. Ke depannya, Xurya berkomitmen untuk dapat terus hadir dalam mengakomodasi dan berkontribusi dalam perkembangan industri hijau di Indonesia,” tutup Eka.

Pada Oktober 2022, perusahaan mendapat tambahan pendanaan Seri A dari perusahaan raksasa asal Jepang Mitsui & Co. dan PT Surya Semesta Internusa Tbk sebesar $11,5 juta atau setara Rp172,6 miliar.

Sebelumnya, putaran ini pertama kali diumumkan pada Desember 2021 sebesar $21,5 juta dari East Ventures (Growth Fund), Saratoga, Schneider Electric, dan New Energy Nexus. Dengan demikian, total perolehan untuk putaran tersebut sebesar $33 juta atau setara Rp501 miliar.

Sebelum menggelar putaran seri A, Xurya memperoleh pendanaan tahap awal dari SEACEF, dana yang dikelola oleh Clime Capital). Dana tersebut didedikasikan untuk mempersiapkan bisnis energi bersih mendapatkan investasi skala besar.

Jajaran tim Surplus dan SPIL Ventures / Surplus

Surplus Kantongi Pendanaan Awal dari SPIL Ventures

Startup pengembang layanan food waste preventionSurplus” mengumumkan pendanaan awal dari Salam Pacific Indonesia Lines (SPIL Ventures). Tidak disebutkan  nilai investasi yang diberikan.

Co-Founder & CEO Surplus Indonesia Muhammad Agung Saputra mengatakan, lewat pendanaan ini perusahaan ingin mengembangkan lebih lanjut model B2B untuk membangun ekosistem end-to-end dalam pencegahan timbulnya food waste.

“Dengan pendanaan awal ini, Surplus Indonesia akan melakukan perluasan market pengguna layanan aplikasi Surplus. Kami juga berharap kolaborasi pentahelix yang melibatkan banyak pihak, antara akademisi, pebisnis, komunitas, pemerintah, dan media dapat terjadi untuk menjadi dasar dalam pencegahan timbulan food waste di Indonesia,” kata Agung.

Sebelumnya Surplus juga sempat melakukan crowdfunding. Namun  kesulitan untuk mendapatkan pendonor karena kurangnya awareness Surplus di mancanegara, target yang mereka inginkan pun tidak tercapai.

Sampai saat ini, Surplus telah bekerja sama dengan beberapa pusat perbelanjaan (seperti Mall Sarinah), perhotelan (meliputi Marriott International Group, Swiss Belhotel International, Ascott Group, Artotel Group), middle-high F&B brand, supplier sayur dan buah, serta industri rumahan maupun UMKM.

“Adapun alasan SPIL Ventures memberikan pendanaan ke Surplus Indonesia dikarenakan kami melihat inovasi pengembangan aplikasi yang tidak hanya dalam bentuk suatu marketplace tetapi juga secara langsung memberikan solusi terhadap dampak lingkungan terutama terkait food waste,” kata VP Investment SPIL Ventures Sumarny Manurung.

Pertumbuhan positif Surplus

Diluncurkan pada Maret 2021, Surplus menjadi food rescue app pertama di Indonesia yang dapat digunakan untuk memesan produk makanan dan minuman overstock dari bisnis F&B dengan harga diskon 50% pada waktu tertentu.

Surplus sudah beroperasi di area Jabodetabek, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Malang, dan Bali. Mereka juga mengaku telah mempunyai sekitar 100 ribu pengguna aktif.

Surplus juga menjadi salah satu green tech startup dengan sertifikasi B-corp yang memiliki misi dalam pencegahan masalah food waste. Dukungan dari pemerintah juga telah didapatkan Surplus Indonesia, antara lain dari Kemenparekraf, KemenkopUKM, Dinas PPKUKM DKI Jakarta, dan Pemda Yogyakarta.

Dampak yang telah dihasilkan dari pemesanan di aplikasi Surplus sampai Desember 2022 meliputi 30 ribu ton makanan terselamatkan, mencegah kerugian hingga $80 ribu, dan mencegah potensi emisi hingga 350 ton CO2 eq.

“Platform ini dikembangkan untuk menjadi solusi dalam memaksimalkan penjualan produk overstock dari bisnis F&B agar tidak tersia-siakan dan hanya berakhir menjadi food waste,” ujar Agung.

Application Information Will Show Up Here
Gree Energy, perusahaan pengembang biogas ke energi asal Indonesia, mengumumkan perolehan pendanaan pra-Seri A senilai $3,2 juta yang dipimpin oleh Earthcare Group

Pengembang Biogas “Gree Energy” Peroleh Investasi 50 Miliar Rupiah dari Earthcare Group

Gree Energy, perusahaan pengembang biogas ke energi asal Indonesia, mengumumkan perolehan pendanaan pra-seri A senilai $3,2 juta atau sebesar 49,9 miliar Rupiah yang dipimpin oleh Earthcare Group, catalytic investor berbasis di Hong Kong.

Putaran ini merupakan investasi tambahan dari pendanaan pra-seri A sebesar $250 ribu oleh Water Unite Impact pada Mei 2022. Bila ditotal, Gree Energy telah mengantongi dana sebesar $3,45 juta atau sekitar 53,8 miliar Rupiah.

“Visi Gree untuk mengurangi polusi di sektor pertanian dan pangan, dan untuk menggantikan energi yang dihasilkan dari bahan bakar fosil adalah kunci mitigasi perubahan iklim, dan sangat sejalan dengan tujuan Indonesia untuk mengurangi emisi karbon sebesar 43% pada 2030,” kata Co-Head of Investment Earthcare Group Andre Barlian, seperti dikutip dari situs resmi Gree Energy pada Rabu (21/12).

Ia melanjutkan, perusahaan memiliki pendekatan holistik unik yang memungkinkan mereka menghasilkan aliran pendapatan yang terdiversifikasi dengan sedikit biaya tambahan. “Model bisnis Gree juga sangat dapat direplikasi di sebagian besar ekonomi berbasis pertanian dengan permintaan energi yang terus meningkat, yang terjadi di sebagian besar wilayah Selatan Global. Potensi pertumbuhannya luar biasa,” tambahnya.

Solusi Gree Energy

Didirikan pada 2013, Gree Energy adalah perusahaan yang mendekarbonisasi pengolah makanan di negara berkembang dengan mengubah air limbah mereka menjadi biogas. Adapun, biogas ini digunakan untuk menghasilkan energi, panas, bio-CNG, air bersih, pupuk organik, dan dapat dijual sebagai kredit karbon, sehingga layak secara finansial dengan membuka akses ke pasar kredit karbon, keuangan hijau, dan pasar energi terbarukan.

Salah satu contoh proyek Gree yang berhasil adalah Hamparan di Lampung. Disebutkan, proyek yang sudah berjalan sejak Desember 2022 tersebut telah mengurangi lebih dari 30.000 emisi CO2eq setiap tahunnya, menghasilkan hampir 10 GWh energi bersih, dan andal per tahun untuk 19 desa di sana. Proyek ini memperlihatkan bukti potensi skala model dampak Gree untuk berkontribusi terhadap dekarbonisasi industri makanan di negara-negara berkembang.

Perusahaan mengestimasi ada lebih dari 1.350 pengolah makanan di Indonesia menghasilkan lebih banyak polusi air daripada populasi 185 juta. Pengolah makanan ini mengeluarkan 50 juta ton emisi CO2eq per tahun, setara dengan mengeluarkan sepulih juta mobil di jalan setiap tahun.

Secara paralel, pada 2030 mendatang, Indonesia menargetkan untuk meningkatkan porsi listrik terbarukan dari 13,5% pada 2021 menjadi 34% dan mengurangi emisi karbon hingga hampir 32% dengan upaya sendiri (43,2% dengan bantuan internasional).

Biogas adalah salah satu landasan utama untuk mengatasi tantangan kembar ini. Untuk memanfaatkan potensi biogas Indonesia, diestimasi membutuhkan investasi lebih dari $2 miliar untuk fasilitas pengolahan air limbah biogas. Ini akan membuka investasi lebih dari $3 miliar dalam pengembangan aset energi biogas terdistribusi.

Menurut Gree Energy, biogas adalah teknologi yang telah terbukti memenuhi bauran energi terbarukan Indonesia, tetapi peluang untuk membuka potensi penuhnya belum dimanfaatkan sepenuhnya.

Model dampak Gree berada di posisi yang tepat untuk menangkap peluang tersebut di Indonesia dan mereplikasinya di pasar negara berkembang lainnya yang perlu memenuhi permintaan energi yang terus meningkat sambil mendekarbonisasi dan mengolah air limbah industri dengan benar.

Gree Energy mengadopsi metrik lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) yang terukur dan dapat diverifikasi secara independen untuk melaporkan aktivitas, hasil, dan dampak secara transparan. Perusahaan telah tersertifikasi B-Corp yang berkomitmen untuk memenuhi standar kinerja sosial dan lingkungan terverifikasi tertinggi.

Ikhtiar Kibumi Jembatani Pemulung dan Industri Daur Ulang Sembari Perangi Sampah

Sudah jadi fakta umum bahwa Indonesia masuk dalam kondisi gawat darurat sampah. Merajuk dari data Bappenas, Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton limbah plastik setiap tahunnya. Jumlah ini diperkirakan akan berlipat ganda menjadi 13,6 juta ton pada 2040.

Masalah ini semakin genting karena hanya sekitar 30% dari sampah plastik di Indonesia yang terkelola. Sementara, sisanya akan mencemari laut, dibakar, atau dibuang sembarangan sehingga memberikan ancaman bagi lingkungan dan biodiversitas. Kondisi tersebut diperparah dengan fakta bahwa industri daur ulang di Indonesia itu kesulitan dengan rendahnya pasokan daur ulang di lapangan. Ironisnya, mereka harus mengimpor dari luar negeri.

“Industri ini masih sangat bergantung pada rantai nilai tradisional, di mana 80% barang daur ulang dikumpulkan dari sana. Di Indonesia sendiri, industri daur ulang mengimpor 800.000 ton barang daur ulang setiap tahunnya untuk mengisi kekosongan pasokan,” terang Founder dan CEO Kibumi Hadiyan Fariz Azhar saat dihubungi DailySocial.id, Kamis (15/12).

Isu mengenai sampah lah yang akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya Kibumi pada 2019. Fariz panggilan akrab dari Hadiyan, melihat bahwa sampah di Indonesia itu sangat tidak terkelola. Akan tetapi, ada industri daur ulang yang sangat bergantung dengan kehadiran sampah-sampah tersebut.

Masalah lain muncul, ternyata selama ini industri daur ulang tidak bisa menjangkau lokasi TPA (tempat pembuangan akhir) atau sejenisnya. Selain tidak punya akses, kebanyakan sampah yang sudah masuk ke sana sudah tertumpuk dan kualitasnya terus menurun karena sudah tercampur dengan sampah jenis lainnya dalam jangka waktu yang lama.

“Kita lihat dari sisi ekonomi sirkular, ada rantai yang terputus karena sumber sampah, yakni rumah tangga, pabrik, dan perkantoran, tidak tersambung dengan industri daur ulang. Sisi inilah yang tadinya kami pikir harus diisi,” tuturnya.

Para pendiri Kibumi terdiri dari empat orang. Selain Faiz, ada Andi Manggala Putra (CFO), Wahyudin Gorang (COO), dan Christine Halim (Komisaris). Masing-masing latar belakang dari para pendiri saling mendukung dalam pendirian Kibumi. Pertemuan mereka bertiga dengan Christine, yang bergabung sebagai ADUPI (Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia) memperkuat fundamental manajemen di Kibumi.

Kibumi itu sendiri artinya Kita Bumi. Faiz ingin mengajak masyarakat untuk kembali merawat bumi yang sama saja dengan merawat diri sendiri.

Model bisnis Kibumi

Model bisnis awal dari Kibumi mirip dengan apa yang sedang dijalankan oleh Octopus, Duitin, dan Rekosistem, yakni mengambil sampah dari rumah tangga dengan membayar iuran bulanan mulai dari Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Ada sejumlah benefit yang diterima konsumen apabila mereka mampu memilah sampahnya dengan baik. Salah satunya iuran gratis atau mendapat uang ekstra dari Kibumi.

“Seiring berjalannya waktu kita lihat cost dari model bisnis ini karena ke B2C cukup tinggi, harus ada edukasinya. Lalu kita belajar, setelah dapat knowledge dan hitung secara bisnis agar sustain, ternyata value chain dari sumber sampah ke industri itu sudah diisi oleh pemulung, junkshop. Pengumpulan sampah itu 80% dilakukan oleh mereka,” kata Fariz.

Kibumi pun akhirnya pivot tepat di akhir 2020, setelah memerhatikan sisi keberlanjutan perusahaan ke depannya. Kini Kibumi memosisikan diri sebagai agregator supply chain. Perusahaan mengoptimasi proses pengumpulan sampah dari pemulung di berbagai lokasi, lalu hasilnya dijual kembali ke perusahaan daur ulang.

Perusahaan menyediakan infrastruktur sumber daur ulang end-to-end dengan teknologi melalui cara berkelanjutan untuk para pemulung agar mereka dapat bekerja lebih efisien. Misalnya, dengan bantuan Kibumi, mereka bisa memilah lebih banyak plastik botol lebih cepat dengan mesin. Lalu untuk pengemasannya sebelum diterima oleh perusahaan daur ulang, per botolnya ditekan jadi lebih kecil sehingga mencapai kapasitas maksimal untuk satu truknya.

Dampak nyata yaterasa bagi para pemulung adalah mereka mendapat peningkatan nilai sampah dari mitra pemulung dan lapak, hasil dari efisiensi biaya, dan peningkatan kapasitas setelah bergabung dengan Kibumi. Kisarannya mencapai Rp800-Rp900 per kilogram. Diharapkan ada efek domino yang bisa dirasakan, mengingat ini berakitan erat dengan perbaikan taraf hidup mereka.

“Pada akhirnya misi awal kita bisa tercapai karena kapasitas para teman-teman infomal ini bisa meningkat. Lalu dari sisi efisiensi juga tercapai, dari dampak sosial juga jauh lebih baik karena sektor informal ini berada di bawah garis kemiskinan. Ada banyak isu di sana. Kita merasa kalau kita bisa bantu improve kapasitas mereka, masalah bisa terurai satu per satu,” ujarnya.

Sumber: Kibumi

Dari sisi infrastruktur, tak hanya bangun hub di tiap provinsi, perusahaan juga memanfaatkan perangkat lunak dan keras untuk bantu meningkatkan efisiensi. Dari sisi perangkat keras tersedia conveyor belt dengan mesin yang sudah ditingkatkan fiturnya agar hasil kerjanya lebih berkualitas.

Lalu, mengembangkan IoT yang dipasangkan di mesin Kibumi untuk mempermudah proses kerja sehingga tidak memerlukan banyak orang, dan bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengembangkan alat pemilah sampah botol berdasarkan warna. Keduanya diharapkan bisa segera teralisasi agar proses kerja jauh lebih efisien.

Sumber: Kibumi

Teknologi digital dimanfaatkan untuk membangun kemampuan ketertelusuran data dari hulu ke hilir. Misalnya, aplikasi untuk rumah tangga, ESG dasbor untuk menampilkan seluruh material flow, dan ERP platform untuk mendigitalkan, mengotomasi, dan menghubungkan proses di junkshop.

Galang pendanaan

Sebagai bagian dari startup impact, perusahaan mengukur dampak yang diciptakan dengan indikator peningkatan nilai plastik dan pengurangan jejak emisi karbon. Untuk mengukur nilai plastik, pihaknya menghitung dari ongkos-ongkos yang berhasil dikurangi, termasuk logistik, setelah dibangun hub. Dari situ akan terlihat bagaimana produktivitas yang berhasil diciptakan oleh para pemulung yang diukur dengan nominal mata uang.

Kemudian, emisi karbon dapat dihitung per botol. Botol berukuran 600 ml itu biasanya punya emisi karbon 20 gram. Dari situ bisa dihitung total botol yang dikirim ke perusahaan daur ulang. Sebagai catatan, pemantaan plastik daur ulang itu 30% lebih rendah jejak emisi karbonnya daripada plastik virgin.

Plastik virgin adalah resin plastik yang diproduksi menggunakan gas alam, minyak bumi, dan minyak mentah. Bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi jenis plastik ini belum pernah diproses sebelumnya. Jadi, plastik virgin merupakan plastik baru tanpa bahan daur ulang.

Sejauh ini, perusahaan berhasil mencegah 72 juta sampah botol masuk ke lautan, mendaur ulang 12 juta botol baru per bulan, dan menciptakan kenaikan nilai plastik hingga 10%.

Sumber: Kibumi

Kinerja perusahaan diklaim terus menunjukkan progres yang menjanjikan. Dalam dua tahun, pendapatan Kibumi tumbuh tiga kali lipat secara year-on-year dan sudah cetak untung. Perusahaan telah memroses 4.200 ton sampah botol, membangun empat hub, dan bekerja sama dengan 210 junkshop (dengan 2.500 pemulung) yang berlokasi di Jawa, Sumatera, dan Bali.

“Tujuan kami pivot as a business agar sustain. Saat ini kita masih bootstrap tapi sudah self-sustaining. Profit yang kita dapat kita putar untuk acquire partner junkshop dan kami jual lagi ke pabrik daur ulang. Kami dapat harga jual yang bagus dari mereka dan ada kontrak jangka panjang.”

Saat ini perusahaan sedang menggalang pendanaan tahap awal dengan nilai target $5 juta. Rencananya dana tersebut akan digunakan untuk perbesar jaringan kemitraan Kibumi dengan junkshop dari 250 menjadi 3.000 junkshop dan perbanyak hub menjadi 12 hub. Kemudian, menambah jenis sampah baru untuk didaur ulang selain sampah botol, seperti kertas dan kardus.

“Kami kejar nilai penjualan dari $1,5 juta jadi $13,5 juta. Sudah ada masterplan yang cukup detail, daerah mana saja, karena sejak dua tahun ini Kibumi mampu perkuat operasional dan efisiensi di lapangan. Bisnis ini terbilang sulit karena banyak detail-detail yang sangat penting, harus akurat agar layanannya bisa sempurna dan tetap efisien. Tanpa itu pasti akan susah.”