Tag Archives: indies capital partners

Indies Capital dan AC Ventures Teken Perjanjian Investasi dengan Penjana Kapital

Bertujuan menemukan peluang investasi berdampak pada sektor-sektor baru, Indies Capital Partners dan AC Ventures (ACV) menandatangani kesepakatan investasi lintas negara dengan Penjana Kapital. Kerja sama ini mencakup peluang investasi bersama melalui existing fund maupun terbaru.

Penandatanganan Memorandum of Cooperation (MoC) ini disaksikan oleh Perdana Menteri Malaysia Dato’ Seri Anwar Ibrahim serta Menteri Perdagangan Internasional dan Senator Industri Tengku Datuk Seri Utama Zafrul Tengku Abdul Aziz di Jakarta.

Sebagai informasi, Penjana Kapital merupakan bagian dari inisiatif pemerintah Malaysia untuk mendorong pengembangan startup teknologi.

“Melalui kerja sama lintas negara, kami memiliki peluang untuk memasuki pasar baru, mengakses sumber modal dan keahlian, serta mendorong inovasi dan pertumbuhan di kedua pasar,” kata Founding Partner ACV dan Managing Partner Indies Capital Partners Pandu Sjahrir.

Selain investasi, kesepakatan ini juga mencakup pertukaran informasi, jaringan, dan teknologi untuk pengembangan startup di Indonesia dan Malaysia pada sejumlah sektor utama, antara lain data center, pendidikan, hospitality, mobility, dan pengelolaan limbah.

Bina relasi

Pandu menambahkan bahwa Penjana Kapital, Indies Capital Partners, dan ACV merupakan pemain utama dalam lanskap investasi Indonesia dan Malaysia. Kerja sama ini diharapkan dapat mempererat hubungan ekonomi antara kedua negara dan mempromosikan keterhubungan kawasan di Asia Tenggara.

Baik Indonesia dan Malaysia telah menunjukkan komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Berdasarkan data dari Malaysia External Trade Development Corporation (Matrade), total nilai perdagangan antara Malaysia dan Indonesia naik 43,5% secara YoY menjadi RM95,1 miliar ($21,6 miliar) pada 2021.

Total ekspor Malaysia ke Indonesia naik 32,5% menjadi RM39,22 miliar ($6,9 miliar), sedangkan total impor naik 52,3% menjadi RM55,88 miliar ($12,7 miliar) pada periode yang sama.

Tambahan informasi, Indies Capital Partners merupakan pengelola kredit swasta  di Asia Tenggara yang kini telah berkembang ke aset alternatif dengan dana kelola lebih dari $800 juta. Sementara, AC Ventures telah mengelola lebih dari $500 juta aset yang terbagi dalam lima fund.

Pada akhir 2022, AC Ventures telah mengumpulkan putaran pertama dana kelolaan kelima (Fund V) sekitar $162,5 juta atau setara Rp2,4 triliun yang sebagian besar berasal dari Limited Partner (LP) dana kelolaan sebelumnya. Sejauh ini, AC Ventures telah menyuntik investasi ke 22 startup selama sembilan bulan terakhir di 2022 melalui Fund V, termasuk  SkorLife, KLAR, dan BRIK.

Berawal dari hobi yang produktif, investasi pada industri teknologi Indonesia kini menjadi bisnis full-time Pandu Sjahrir

Pandu Sjahrir Mengungkap Impian Besarnya untuk Industri Startup Nusantara

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Dalam beberapa tahun terakhir, Pandu Sjahrir menjadi sorotan dalam industri teknologi. Dari Ketua SEA Group Indonesia, Anggota Dewan Gojek, dan yang terbaru ditunjuk menjadi Komisaris BEI termuda.

Dimulai dari hobi yang produktif, investasi kini menjadi bisnis utamanya sebagai profesional juga sebagai salah satu investor terkemuka di Asia Tenggara untuk perusahaan tahap awal dan yang mulai berkembang. Pandu juga menjabat sebagai Managing Partner of Indies Capital yang mengelola Indies Special Opportunities Fund, manajer aset alternatif terkemuka di kawasan ini, serta Indies Pelago, secondary fund teknologi di Asia Tenggara. Dan yang belum lama ini diperkenalkan, adalah entitas baru bernama AC Ventures.

Dengan pola pikir ekonomi yang mengalir dalam gen-nya, Pandu Sjahrir berhasil bertahan melalui perjuangan finansial dan mengakui tidak takut akan kegagalan. Selama ia masih memiliki keluarga yang luar biasa mendukung serta tim yang solid di sisinya. Ia memiliki impian yang cukup besar untuk industri teknologi Indonesia, dan inilah skenarionya.

Sebagai seorang investor yang fokus pada perusahaan berkembang, bagaimana Anda melihat lanskap industri investasi di Indonesia di masa pandemi COVID-19 ini?

Dunia sebelum pandemi COVID adalah dunia yang berbeda dari yang ada saat ini, teknologi telah berkembang jauh lebih besar dari sekadar bisnis. Setiap paruh, perkembangannya semakin pesat karena banyaknya adopsi. Dalam hal belanja, bermain game, bahkan sekarang bekerja dan belajar online. Orang-orang beradaptasi dengan dunia baru ini menggunakan platform teknologi untuk terhubung satu sama lain.

Hal ini turut mengubah cara kita memandang investasi. Mulai dari bisnis yang dapat mengambil manfaat dari cara baru berinteraksi dan berkomunikasi. Namun, kehidupan terus berjalan dan masyarakat tetap harus memenuhi kebutuhannya sehari-hari, tetapi cara untuk memenuhi hal-hal tersebut telah berubah. Kita harus berpikiran terbuka menghadapi dunia baru setelah pandemi COVID-19 ini, bagaimana fase baru ini akan berjalan.

Hal lain yang juga layak dibahas adalah peran deglobalisasi. Apa yang terjadi di perusahaan-perusahaan AS tidak serta merta terjadi di Indonesia. Hal yang sama berlaku untuk perusahaan Cina. Kita telah melihat lebih banyak solusi lokal untuk masalah sehari-hari, tidak melulu tentang solusi global. Hal-hal baik yang terjadi dalam 30 tahun terakhir dari “globalisasi” ini adalah peningkatan aset manusia serta kasta negara, negara-negara berkembang semakin bergerak menjadi negara-negara yang lebih maju.

Menurut Anda, bagaimana posisi Indonesia dalam skema deglobalisasi ini?

Indonesia akan tetap menjadi Indonesia. Ketika globalisasi membentuk perkembangan ekonomi begitu juga di negara besar lainnya, dengan perusahaan bernilai miliaran dolar yang sekarang ada dalam portofolio ekonomi kita, pada akhirnya kita harus bisa menemukan solusi lokal.

Jika ini benar menjadi sebuah tesis, tentu saja, akan memakan waktu. Dalam hal logistik saja, kita tidak bisa lepas dari rantai pasok global karena masih bergantung pada negara lain untuk mengembangkan suatu produk. Bayangkan jika faktanya ada banyak negara yang menerapkan deglobalisasi. Karena itu, muncul satu alasan lagi untuk lebih mendalami penilaian risiko.

Satu hal menarik, jaman dulu ada defisit kepercayaan yang besar pada perusahaan baru di Indonesia. Generasi kita sebelum ini mungkin belum bisa berpikiran digital, tetapi generasi saat ini benar-benar mengadopsi dan mampu memberikan kepercayaan. Tidak hanya untuk perusahaan besar berumur lebih dari 20 tahun yang dijalankan oleh pemerintah atau lembaga milik negara, tetapi juga untuk perusahaan baru yang dirintis 10 tahun terakhir.

Bayangkan apa saja yang bisa dilakukan oleh semua perusahaan teknologi dalam satu dekade terakhir dan juga perilaku generasi muda yang mau mencoba. Saat ini, semuanya jelas sangat berdampak. Kepercayaan itu dibangun tidak dengan waktu singkat.

Anda pertama kali dikenal sebagai pimpinan Toba Bara Sejahtera, juga mengepalai asosiasi terkait. Namun, beberapa tahun terakhir, Anda terlihat aktif dalam industri teknologi dalam negeri. Apa yang mendorong Anda untuk masuk ke dalam industri digital?

Ketika saya akhirnya kembali ke Jakarta untuk meneruskan bisnis keluarga di sektor energi, keluarga saya belum memiliki mindset digital. Karena itu, pada awalnya saya sendiri. Sebagai karyawan pertama di Toba, saya memberi nama Toba Bara dan membawanya public pada tahun 2012.

Sejujurnya, saya mulai berinvestasi dalam teknologi pada tahun 2013-2014, tanpa sorotan. Saat itu, tidak ada yang tahu nama perusahaan kami, mulai dari Garena lalu menjadi SEA, tetapi kemudian Shopee lahir sebagai perusahaan yang mereka rintis. Saya telah berinvestasi selama 7 tahun terakhir, tetapi tidak ada yang tahu sampai beberapa tahun terakhir karena meningkatnya popularitas perusahaan.

Selama itu, saya bertemu banyak teman investor, juga mempelajari berbagai hal seiring perjalanan. Semua dana yang keluar adalah dari kantong saya sendiri sampai sekitar tahun 2017, saya bergabung dengan Indies Capital, manajer aset alternatif terkemuka yang berfokus pada industri di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Dan belum lama ini, ada entitas baru juga di AC Ventures. Sebenarnya itu berawal dari hobi produktif yang berkembang menjadi bisnis utama. Sekarang, orang mengenal saya sebagai investor di tahap awal serta beberapa hal lainnya.

Anda baru saja dilantik sebagai salah satu komisaris BEI, boleh share sedikit mengenai rencana ke depan untuk mendorong industri teknologi Indonesia menjadi lebih baik?

Pandu Sjahrir pada saat pelantikan komisaris BEI
Pandu Sjahrir pada saat pelantikan komisaris BEI

Tujuannya adalah untuk melangkah lebih jauh dalam 10-12 tahun ke depan. Faktanya, sepuluh perusahaan teratas Amerika adalah perusahaan teknologi. Di Indonesia, daftar ini masih didominasi oleh perusahaan-perusahaan perbankan dan telekomunikasi – persis seperti 10 tahun yang lalu. Adalah tugas kami untuk menangkap nilai ekonomi dari semua perusahaan teknologi ini untuk sampai ke sana. Saya menyebutnya outlier, perusahaan luar biasa yang berkembang sangat cepat, bisa melihat Indonesia, terdaftar, dan menjadikan kita sebagai tujuan utama.

Selanjutnya, untuk menyeriusi pasar modal dan memberikan tempat investasi yang aman dan andal menuju masa depan yang lebih baik. Selalu ada satu atau dua masalah dalam hal ini, intinya berkaitan dengan institusi saat ini. Kita harus proaktif dalam hal mengelola setiap masalah. Kita harus bisa mengatakan, “Kami terbuka bagi setiap investor, tidak terkeciuali investor minoritas, dan kami dapat membuat perusahaan besar terdaftar di Indonesia.” Mengikuti tujuan utama untuk menjadi lima ekonomi teratas di dunia pada tahun 2025, industri pasar modal kita juga harus ada di sana.

Berada pada posisi Anda saat ini, apakah ada kendala untuk berpacu dengan geliat industri yang cenderung cepat? Adakah kisah atau pengalaman sulit selama berkecimpung dalam industri?

Ada sebuah masa kelam, dimana saya sempat mengalami kehilangan anggota keluarga juga penyusutan secara finansial. Lalu saya banyak berinvestasi, namun mengalami beberapa kegagalan. Sepanjang jalan, saya belajar bagaimana mengelola risiko dengan lebih baik dan belajar lebih banyak dalam hal ini. Namun, saya lega mengetahui fakta bahwa hal ini tidak mungkin lebih buruk daripada masa kelam itu. Selama itu tidak melumpuhkan saya, secara finansial, semua akan baik-baik saja. Saya belajar banyak tentang karakter manusia dengan cara ini. Pada akhirnya, saya berinvestasi dalam prinsip, karakter, dan model bisnis.

Kegagalan tidak bisa dihindari, tetapi bagaimana Anda berdiri lagi adalah yang terpenting. Ini sebuah ungkapan klasik, tetapi terbukti. Saya sangat senang memiliki keluarga yang luar biasa, istri yang sangat mendukung juga aktif dalam membangun bisnisnya, dan seorang putri yang cantik. Dalam hal pekerjaan, kami telah membentuk sebuah tim yang solid.

Sejujurnya, situasi Covid-19 seharusnya bisa menjadi alasan saya untuk kecewa, sebaliknya, saya merasa sehat dan bersyukur secara pribadi. Meskipun, seluruh ketidakpastian ini menciptakan efek finansial dimana saya beserta kebanyakan orang tidak dapat menyangkal. Saya selalu mengatakan pada diri sendiri bahwa hal ini layaknya krisis lain yang harus Anda lalui sebelum mulai beradaptasi.

Apa atau siapa yang sudah berjasa dalam kesuksesan serta berbagai pencapaian Anda? Adakah sosok yang menjadi inspirasi atau support system di balik kerja keras selama ini?

Dalam hal teladan, ayah saya adalah nomor satu. Dia adalah seorang yang idealis, dengan cara berpikir beliau yang memiliki efek tersendiri bagi saya. Selain itu, ibu saya juga sosok yang memiliki pendirian kuat, sama seperti paman saya yang sekarang menjabat sebagai salah satu menteri Indonesia. Belian adalah salah satu yang mendorong saya untuk kembali ke Indonesia dan membantu saya memahami negara ini lebih baik melalui sudut pandangnya.

Ada satu kisah yang menarik, ketika orang tua saya mengatakan, “Kami tidak punya warisan apapun untuk kamu selain pendidikan dan etos kerja”. Seketika, rasa takut akan hidup tanpa memiliki apapun menghantam saya dan mendorong saya untuk mulai bekerja sejak dini. Jika saya tidak akan mewarisi kekayaan materi, saya harus bisa mendapatkannya sendiri. Hal ini menjadi awal dari hobi investasi saya. Selain itu, keluarga akan selalu menjadi support system nomor satu saya.

Dari sisi pendidikan, apakah menurut Anda latar belakang studi di luar negeri menjadi sebuah privilege dalam membangun mindset?

Memiliki kedua orang tua yang hanya peduli tentang pendidikan menciptakan perasaan yang campur aduk. Mereka benar-benar prihatin dengan cara saya belajar sehingga mengirim saya ke luar negeri demi memberikan pendidikan terbaik. Saat itu, adalah di Amerika. Saya belajar ekonomi di Chicago, kemudian pergi ke Standford untuk sekolah bisnis. Saya bertemu banyak perusahaan berbasis teknologi juga banyak teman.

Untungnya, tinggal di luar negeri membentuk rasa disiplin saya, dengan biaya tinggi dan segala permasalahannya. Kembali ke Jakarta, menjadi masa-masa sulit bagi yang memiliki mindset New Yorker seperti saya. Selama dua hingga tiga tahun pertama, Indonesia sangat sulit. Namun, dari usaha menjadi pendengar yang baik juga lancar berkomunikasi, saya belajar secara progresif untuk membuat keputusan yang lebih baik. Saya mendapat pelajaran dengan tinggal di luar negeri, tetapi kembali ke Indonesia adalah berkah lain.

Pandu Sjahrir
Pandu Sjahrir

Pernahkan Anda membayangkan menjadi seorang Founder? Melihat banyaknya VC di Indonesia yang dibentuk oleh ex-Founder atau mereka yang bekerja di perusahaan teknologi.

Saya belum berpikir sejauh itu. Saya tidak pernah menempatkan diri saya atau berfikir bahwa akan menjadi seperti itu. Bahkan, saya sudah merasaa bersyukur dengan kesempatan untuk berbincang seperti ini. Saya belum merasa pantas untuk disebut expert dalam marketing. Pola pikir saya selalu tentang berinvestasi dulu. Saya masih harus banyak belajar.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

It started off as a productive hobby, investing in Indonesia's tech industry has now become Pandu Sjahrir's full-time business

Pandu Sjahrir Reveals His Dream Scenario in Indonesia’s Tech Industry

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

In the past few years, Pandu Sjahrir has captured spotlights all over the tech industry. From the Chairman of SEA Group Indonesia, Board Member of Gojek, and the latest one is appointed to be the youngest IDX’s Commissioners.

Starting off with a productive hobby of investing, he currently has a full-time business as a professional and one of Southeast Asia’s leading investors in the seed and early growth stages. He is also the Managing Partner of Indies Capital, which controls Indies Special Opportunities Fund, the leading alternative asset manager in the region, and Indies Pelago, a secondary tech fund in Southeast Asia. And most recent, is the new entity called AC Ventures.

With the economic-mindset runs in his genes, Pandu Sjahrir managed to survive through a financial struggle and admit to not afraid of failure. As long as he has a very supportive family and a strong team on his side. He has quite a big dream for Indonesia’s tech industry, and here’s the scenario.

As an active investor with a focus on the growth companies, how do you see the current investment landscape in Indonesia during COVID-19 pandemic?

Pre-COVID is a different world than today, technology has become a much bigger part of the business. Every quarter, the number increases very strongly because of the adoption. In terms of shopping, playing games, even now working and studying online. People are adapting to this new world using technology platforms to connect to each other. That also changes the way we should look at investing. Starting from businesses that can benefit from this new way of relating, communication, or interacting. In fact, life goes on and people still have to do their daily needs, but the way to deliver has changed. We have to be very open-minded about the new COVID-19 world, on how should we look at the new world stage.

Another thing worth mentioning is the role of deglobalization. What happens in the US companies doesn’t t necessarily translate into happening in Indonesia. The same thing applies to China companies. We’re seeing more local solutions to everyday problems, not necessarily a global solution. What’s good about what has happened within the last 30 years of this “globalization” has been the improvement of human capital as well as tier countries, developing countries turning into more developed countries.

Where do you think Indonesia will be in this deglobalization era?

Indonesia will be Indonesia. As globalization shaped our economic development as well as other large countries, with billion-dollar companies that now exist in our economic portfolios, we will eventually find local solutions. If that makes it a thesis, obviously, it’ll take time. In terms of logistics, our world is actually a global supply chain as we still rely on other countries to develop a product. Imagine if it’s true a lot of countries to become deglobalized. Indeed, it’s another reason to do the risk assessment.

Interestingly, there used to be a big trust deficit in new companies in Indonesia. Our previous generation might not be as digital-minded, but today generation actually adopts and capable of giving trust. Not only for those over-20 year big companies run by the government or state-own institutions but also for the past 10 year companies. Imagine the fact of all these tech companies have done in the last decade and also the behavior of the younger generation willing to give a try. Nowadays, that’s obviously quite prevailing. It takes time to build trust.

You’re first known as the Executive of Toba Bara Sejahtera, also head of the related association. However, in the past few years, you’ve seen quite active in the Indonesian tech sector. What triggers you to chip in the digital industry?

When I finally moved back to Jakarta for the family business in the energy sector, my family was barely into digital. Therefore, it was basically just me. I was the first employee at Toba, built the name Toba Bara and took it public in 2012.

In fact, I started investing in technology in 2013-2014, but quietly. Back then, nobody even knows the name of the companies, starting from Garena turn into SEA, but then Shopee was the company that they built. I’ve been doing it for the last 7 years, but nobody knows until the last couple of years due to the company’s increasing popularity.

During this time, I met fellow investors, also learned this and that along the way. It was practically my own capital until around 2017, I joined Indies Capital, a leading alternative asset manager focusing on Southeast Asia, especially Indonesia. And recently, the new entity called AC Ventures. It was actually just a productive hobby that turned into a full-time business. Now, people know me as an investor, early-stage to many different things.

You’re recently appointed as IDX commissioner, what kind of plans do you have in mind to drive the Indonesian tech business to a better future?

Pandu Sjahrir at IDX Commissioners Inauguration
Pandu Sjahrir at IDX Commissioners Inauguration

The aim goes further in 10-12 years ahead. In fact, America’s top ten companies are technology companies. In Indonesia, it is still being dominated by banking and telco companies –exactly how it was 10 years ago. It is our job to capture the economic value of all these technology companies to get there. I’d like to call them outliers, amazing companies growing really fast, to look at Indonesia, to be listed, and set us as the main destination.

Next, deepening the capital market and providing a safe and reliable investment towards a better future. There’s always this kind or two issues, essentially with today’s institutions.  We have to be proactive in terms of managing that issue. We have to be able to say, “We are investor-friendly, especially minority investors, and we’re able to have great companies listed in Indonesia.” Following our goal to be the top five economies in the world by 2025, our capital market has to be there as well.

At your current position(s), have you had any difficulty to cope up with the fast-moving industry? Would you share some stories, bad decisions, rough season, or any kind of hardships?

It was one of my darkest, after experiencing the loss of a family member also down in financial. I invested a lot, I failed a bit. Along the way, I learn how to manage risk better and more to this lesson. However, I was glad to know the fact that it couldn’t be more at a bottom than that. As long as it doesn’t kill me, financially, I’m okay. I learned a lot about people that way. In the end, I invest in principles, character, and business models.

Failure is inevitable, but how you stand up again is what matters. It’s classic, but it’s true. I’m so glad to have a great family, a supportive wife who also very active in building her business, and a lovely daughter. In terms of work, we’ve turned into a strong team.

To be honest, the Covid-19 situation should’ve let me down, instead, I feel personally healthy and thankful. Although, the whole uncertainty creates such a financial effect that I and most other people can’t deny. I always taught myself that this is just like the other crisis where you have to go through before you start to adapt.

On what or who can you attribute the current success or achievement? Do you have any figure, or role model, that keeps your dream high, or the kind of support system that stops you from giving up?

When it comes to role models, my father is one. He was an idealist, somehow it’s really got to me how he used to think. Also, my mother is also a very strong-minded person, as well as my uncle who is now served as one of the Indonesian ministers. He also the one who encouraged me to moved back to Indonesia and helped me understand this country better through his point of view.

Interesting story, it started off when my parents told me “We have no legacy for you other than education and work ethic”. Instantly, the fear of having nothing to live off hits me and that encouraged me to start working early. If I won’t be inherited anything material, I better make my own. This is also the beginning of my investing hobby. Otherwise, the family will always be my number one support system.

In terms of educational background, do you think it’s a privilege to be able to study abroad and learn about other country’s mindset?

Having both parents who only cared about education is quite a mixed feeling. They’re really concerned about the way I put up with mine that they sent me abroad to provide the best-guaranteed education. Back then it was in the US. I studied economics in Chicago and later went to Standford for business school. I met a bunch of tech-based companies and lots of friends.

Fortunately, living abroad gives me a sense of discipline due to the high-cost and everything in between. Moving back to Jakarta, it was very hard for a New Yorker-minded person like me. For the first two to three years, Indonesia was very difficult. However, from listening well and communicating well, I’m learning progressively to make better decisions. I have my lessons by living abroad, but moving back to Indonesia is another blessing.

Pandu Sjahrir
Pandu Sjahrir

Have you ever picture yourself as a tech founder? Given the circumstances of most VCs in Indonesia also created by ex-Founders or formerly working at tech companies.

I haven’t thought that far. I’ve never put myself or thought of myself that way. It’s simply a blessing the fact that I mattered enough to have this conversation. I don’t think I’m quite enough to be said an expert in marketing. My mindset is always been about investing first. I still have a lot to learn.

Pasca mendapatkan pendanaan senilai 205 miliar Rupiah dari Indies Capital Partners, aCommerce fokus mendulang profit dan melancarkan strategi 2.0

aCommerce Tahun Ini Fokus Kantongi Profit dan Lancarkan “Strategi 2.0”

Platform e-commerce enabler asal Thailand aCommerce mengumumkan telah mendapatkan pendanaan baru senilai $15 juta (sekitar 205 miliar Rupiah menurut kurs hari ini) dari Indies Capital Partners. Sebelumnya aCommerce telah mengumpulkan total $103,8 juta dalam pendanaan selama 7 putaran. Pendanaan terakhir mereka diperoleh pada 22 Juli 2019 dari putaran Seri C.

Sepanjang tahun 2019, perusahaan mengklaim telah mencapai profit di pasar Thailand, yang dianggap sebagai pasarnya yang paling matang. Selain itu mereka juga menyebutkan peningkatan bisnis utama hingga 60%.

Kepada DailySocial, Group CEO dan Co-Founder aCommerce Paul Srivorakul mengungkapkan, dana segar yang diperoleh merupakan prestasi tersendiri bagi perusahaan dan menandakan bahwa kepercayaan investor berlanjut untuk mendukung visi dan misi perusahaan.

“Ini benar-benar tonggak sejarah bagi aCommerce, dan kami berharap dapat bekerja sama dengan tim Indies dan mendapatkan manfaat dari nilai tambah dan keahlian mereka, terutama di pasar seperti Indonesia,” kata Paul.

Perusahaan juga ingin mengembangkan bisnis dan fokus kepada negara di Asia Tenggara, di luar pasar Indonesia. Indonesia diklaim menjadi negara di Asia Tenggara yang memiliki potensi besar, naum masih banyak tantangan yang dihadapi.

Menurut Paul, dengan strategi yang tepat, pasar Indonesia yang terbilang cukup fragmented bisa menjadi peluang tersendiri bagi platform seperti aCommerce.

“Indonesia adalah pasar besar dan menarik dengan potensi besar, tetapi masih banyak subsidi yang terjadi, terutama di [sektor] e-commerce. Ini berarti perusahaan harus berinvestasi lebih banyak dan membutuhkan waktu yang lebih lama bagi perusahaan untuk mencapai break even atau sulit mendapat keuntungan,” kata Paul.

“Strategi 2.0” aCommerce

Tahun 2020 juga menjadi awal dilancarkannya “Strategi 2.0” aCommerce. Rencana strategis baru ini diharapkan bisa memberikan nilai lebih besar kepada klien, mempercepat jalur menuju profitabilitas pada tahun 2020, dan memposisikan perusahaan untuk pertumbuhan berkelanjutan jangka panjang sebagai perusahaan e-commerce enabler terkemuka di Asia Tenggara.

“Kami menjalankan strategi aCommerce 2.0 untuk fokus pada peluang margin yang lebih tinggi seperti merek Perusahaan, solusi End-to-End, dan channel Direct-to-Consumer (DTC). Tantangan lain yang kami temui adalah small basket size, expensive delivery network hingga merekrut dan mempertahankan bakat muda dan undang-undang perburuhan,” kata Paul.

Untuk bisa memberikan layanan lebih baik, sepanjang tahun 2019 perusahaan tidak secara agresif melakukan akuisisi klien dan fokus ke existing client. Mayoritas pertumbuhan aCommerce di Indonesia berasal dari merek global, seperti Samsung, Adidas, dan Loreal untuk menawarkan layanan langsung ke konsumen melalui layanan online, media sosial, dan omnichannel.

Tahun ini perusahaan berencana melanjutkan strategi penjualan yang sama dan fokus untuk mendaftarkan merek perusahaan yang serius dan memiliki komitmen untuk berinvestasi dan mengembangkan bisnis Direct-to-Consumer mereka.

“Dengan fondasi yang kami tetapkan untuk menjadi perusahaan jangka panjang yang berkelanjutan tahun lalu, melalui ‘aCommerce 2.0’, tujuan kami tahun ini adalah untuk terus memberikan nilai layanan yang lebih baik kepada klien perusahaan kami dan mencapai profitabilitas grup,” tutup Paul.