Tag Archives: Indosat Ooredoo

Indosat MNC Play

Indosat Caplok Pelanggan MNC Play, Operator Kejar Sumber Pendapatan Baru di FTTH

Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) baru saja menyelesaikan akuisisi terhadap 300 ribu aset pelanggan milik PT MNC Kabel Mediacom (MNC Play). Pihaknya memastikan transisi penyediaan layanan internet MNC Play kepada Indosat, termasuk kontrak berlangganan dan data pelanggan, telah resmi berpindah ke Indosat.

“Dengan pengambilalihan pelanggan MNC Play, Indosat berharap dapat meningkatkan pendapatan dari bisnis Fiber-to-the-Home (FTTH) yang merupakan bagian dari segmen Multimedia, Data Communications, and Internet (MIDI). Per sembilan bulan 2023, segmen ini berkontribusi sekitar ~12.1% dari total pendapatan Indosat,” tulis SVP Head of Corporate Communications Indosat Steve Saerang dihubungi terpisah oleh DailySocial.id.

Steve mengatakan bisnis FMC menjadi peluang pertumbuhan sektor telekomunikasi di masa depan. Langkah pengambilalihan ini bertujuan memperkuat penetrasi Indosat di lini bisnis FTTH. Apalagi, kombinasi layanan IPTV milik MNC Play akan memperkuat posisi Indosat dalam menawarkan layanan broadband. 

Menurut Executive Chairman MNC Group Hary Tanoesoedibjo sempat mengungkap bahwa terdapat dua transaksi yang disepakati pada akuisisi ini. Pertama, Indosat Ooredoo mengakuisisi pelanggan MNC Play untuk jaringan berbasis fiber optik. Transaksi kedua adalah akuisisi jaringan Fiber-to-the-Home (FTTH) milik MNC Play oleh Asianet (Lightstorm Group Company). Sementara, pelanggan IPTV masih berada dalam naungan MNC Play.

Indosat akan meningkatkan kapasitas Fiber-to-the-home (FTTH) melalui brand Indosat HiFi. Sementara, Asianet yang mengelola jaringan milik MNC Play, juga otomatis akan memiliki jaringan fiber lebih dari 15.000 kilometer dan lebih dari 1,5 juta home pass di sepuluh kota di Indonesia.

Pihaknya juga mengklaim bahwa akuisisi tersebut menjadikan Indosat sebagai salah satu operator FTTH dengan teknologi netral di Indonesia, dengan menggandeng Asianet sebagai mitra infrastrukturnya.

“Kami memastikan transisi yang mulus dan tetap memberikan pelayanan terbaik bagi seluruh pelanggan. Tim, mitra bisnis, dan klien kami berjalan beriringan bersama MNC Play dan menawarkan layanan konten video terbaik, baik lokal maupun internasional kepada pelanggan IPTV di Indonesia,” tutur Presiden Direktur MNC Play Ade Tjendra dalam siaran resminya.

Genjot FMC dengan strategi anorganik

Kompetitornya, Telkomsel dan XL Axiata telah lebih dulu melakukan aksi korporasi serupa dengan strategi anorganik demi menggenjot bisnis FMC. Aksi ini menjadi babak selanjutnya untuk mengantisipasi persaingan Fixed-Mobile Convergence (FMC) di Indonesia.

XL Axiata mengakuisisi LinkNet yang tadinya dikuasai oleh taipan Grup Lippo. Layanan broadband berbasis fiber optic milik XL saat ini terdiri dari XL Home dan XL Satu Fiber (FMC). Per November 2023, XL menyebut penetrasi layanan FMC-nya telah menjangkau 69% di Indonesia.

Sementara, Telkomsel melebur dengan IndiHome yang awalnya adalah unit bisnis broadband Telkom. Peleburan ini menghasilkan Telkomsel One sebagai wajah baru layanan FMC. Perlu dicatat, migrasi IndiHome mencakup layanan internet, voice bundling, IPTV, OTT, dan layanan digital.

Seperti diketahui, industri telekomunikasi telah mengalami kondisi saturasi, di mana tingginya penetrasi mobile menyulitkan operator untuk mengakuisisi pengguna baru dan menggenjot ARPU. Jumlah pengguna seluler di Indonesia tercatat telah melampaui angka 340 juta.

Menurut analisis firma konsultan Oliver Wyman, konvergensi antara jaringan mobile dan fixed broadband dapat menjadi cara baru operator untuk mendongkrak ARPU, menekan tingkat churn rate, dan memaksimalkan tingkat retensi pelanggan.

Laporan Mason Research di 2021 mencatat penetrasi fixed broadband di Indonesia baru mencapai 14%, terendah dari negara-negara Asia Tenggara, seperti Singapura (87%), Malaysia (40%), dan Filipina (36%).

Application Information Will Show Up Here
Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia selesai merger umumkan nama baru Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) dipimpin Vikram Sinha sebagai CEO

Indosat Ooredoo Hutchison Rampung Merger, Kejar Inovasi Digital dan Jaringan 5G

Mengawali tahun baru, Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia mengumumkan telah menyelesaikan penggabungan usaha setelah menerima semua persetujuan hukum dan pemegang saham yang diperlukan. Dengan nama baru, Indosat Ooredoo Hutchison (IOH), akan beroperasi dan tetap menjadi perusahaan terbuka di Bursa Efek Indonesia dengan ticker ISAT.

Penggabungan dua usaha ini akan menyatukan dua bisnis yang saling melengkapi untuk menciptakan perusahaan telekomunikasi dan internet digital berskala dunia di Indonesia. Perseroan memiliki kemampuan yang lebih baik untuk bersaing dan memberikan nilai lebih untuk semua stakeholder.

Lebih lanjut, penggabungan usaha ini turut mengubah jajaran direksi perseroan. Vikram Sinha, yang sebelumnya COO Indosat Ooredoo akan memimpin Indosat Ooredoo Hutchison (IOH) sebagai CEO. Dari Tri Indonesia ada dua yang menjabat di IOH, yakni Muhammad Danny Buldyansyah (Director & Chief Regulatory Officer) dan Nicky Lee Chi Hung (Director & Chief Financial Officer).

Dari jajaran komisaris terdapat Eks Direktur Utama Indosat Ooredoo Ahmad Abdulaziz AA Al Neama dan Eks Direktur Utama Tri Cliff Woo Chiu Man menjadi komisaris bersama Patrick Walujo (Northstar Group). Sementara dari Indosat Ooredoo ada Irsyad Syahroni di posisi yang sama. Eks Menteri Kominfo periode 2014-2019 Rudiantara turut bergabung sebagai Komisaris Independen.

President Director dan CEO Indosat Ooredoo Hutchison yang Ditunjuk Vikram Sinha menyampaikan, perusahaan berada di posisi yang lebih kuat untuk menjadi industri telekomunikasi digital yang paling dipilih di Indonesia serta menjadi pemain penting dalam ekosistem 5G dan transformasi digital bangsa.

“Hari ini menandai dimulainya babak baru yang menarik bagi Indosat Ooredoo Hutchison. Saya merasa terhormat untuk memimpin perusahaan yang bersatu menjadi lebih besar dan lebih kompetitif, dengan didukung oleh pengalaman kelas dunia dan keahlian lokal yang terbukti, dalam upaya untuk menghubungkan dan memberdayakan seluruh masyarakat Indonesia,” ucapnya dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, “Kami akan membangkitkan rasa bangga dari masyarakat Indonesia dengan berkontribusi pada pertumbuhan digital dan ekonomi bangsa seraya mempersiapkan Indosat Ooredoo Hutchison untuk menjadi salah satu perusahaan telekomunikasi paling terpercaya di Asia Tenggara.”

Penggabungan usaha ini tidak berdampak pada pelanggan Indosat Ooredoo Hutchison sebab pelanggan akan terus menerima layanan dan penawaran. Untuk menandai hari pertama setelah merger, perseroan menawarkan bebas menelepon selama sebulan untuk para pelanggan hingga 200 menit sehari.

Mengutip dari Kontan, Director & Chief Strategy & Execution Officer Indosat Ooredoo Hutchison Armand Hermawan mengatakan, merger ini akan memberikan manfaat yang besar bagi seluruh pelanggan. Pasalnya, kekuatan finansial yang dimiliki dapat menjadi amunisi bagi perseroan untuk memberikan layanan yang lebih baik, termasuk meluasnya cakupan dan jaringan.

“Ada peningkatan efisiensi yang didapat karena perusahaan dapat mengalihkan investasi ke daerah-daerah lain, di luar daerah yang sudah padat dengan sinyal kami,” ucap Armand.

Terkait rencana pengembangan 5G, Director & Chief Regulatory Officer Indosat Ooredoo Hutchison Danny Buldansyah menambahkan, gabungan dua usaha ini akan menghasilkan spektrum yang mencukupi agar pergelaran 5G akan jauh lebih baik.

Pengembangan jaringan 5G

Pengamat industri telekomunikasi Moch S. Hendrowijono menuturkan dengan tambahan modal, perseroan memiliki manfaat strategis dengan skala yang lebih besar dan struktur biaya yang lebih efisien, spektrum frekuensi teragregat dan kapasitas, kecepatan dan layanan yang lebih handal.

Kondisi ini membuat perseroan siap melakukan investasi untuk jaringan 5G yang padat modal, sebab terjadi efisiensi di biaya modal untuk memperluas jangkauan. “Penggabungan infrastruktur memungkinkan mereka melakukan perluasan jangkauan dengan biaya modal lebih murah, memanfaatkan infrastruktur yang direlokasi, serta pengurangan duplikasi dalam penggunaan teknologi,” terangnya dikutip dari Kompas.com.

Tanpa banyak investasi, mereka dapat menambah jumlah BTS yang dioperasikan dengan merelokasi BTS yang ada, menjadi kelebihan dibandingkan operator lain. Saat ini BTS ex-Indosat ada sebanyak 235.885 BTS, sebanyak 70.109 buah merupakan BTS 4G, dan BTS ex-Tri ada di lebih 37.000 desa/kelurahan. Ada 18.000 BTS kedua operator yang berdekatan, sehingga bisa direlokasi untuk meluaskan jaringan yang berpotensi menambah jumlah pelanggan.

Bukan tidak mungkin jumlah pelanggan IOH akan mendekati Telkomsel. Sebab sebagai pemegang lisensi modern, IOH berkewajiban melayani seluruh Indonesia, tidak hanya Jawa dan Sumatera saja.

Gencar layanan digital

Setelah sektor digital ditinggal selama beberapa waktu, Indosat mulai gencar melakukan berbagai inisiatif digital. Beberapa yang sudah diluncurkan adalah IMove dan IMBeats. IMove adalah aplikasi wellness yang menawarkan pendekatan holistik untuk kesehatan yang optimal, dimulai dari gerakan, nutrisi, dan kesehatan emosional.

Sementara IMBeats adalah aplikasi streaming musik dengan pustaka musik lebih dari 50 ribu musik dan video klip yang dapat dinikmati. Selain mendengarkan musik secara streaming, pengguna dapat menggunakan aplikasi untuk membuat playlist lagu, menonton cuplikan video klip, hingga membaca berita dari musisi favorit.

Aplikasi konsumer Indosat, yakni myIM3 kini ditenagai dengan berbagai fitur, mulai dari fintech (UCan bersama Bank QNB Indonesia), keagenan (Kios myIM3), streaming video (Vidio, KlikFilm, trueID), e-commerce (iStyle.id), keyboard virtual (Bobble AI), dan gaming (myIM3 Games Club bersama AMK dan Own Games).

Sementara di Tri Indonesia sendiri, sektor digital menjadi fokus perusahaan mengingat bahwa 95% penggunanya didominasi oleh anak muda. Oleh karenanya, perusahaan memosisikan diri sebagai digital lifestyle provider dengan menyediakan beragam produk, mulai dari kartu perdana hingga isi ulang AlwaysOn dan Happy dengan harga hemat, masa aktif panjang, dan dilengkapi dengan produk unlimited internet mulai dari kuota harian hingga paket bundling berbagai aplikasi favorit pelanggan.

Pelanggan dapat mengikuti loyalty program poin BonsTri, berwirausaha bersama Bima Agent, menemukan potensi dalam bermain game dengan H3RO, dan mendapatkan ragam kemudahan dalam bertransaksi digital melalui aplikasi bima+. Produk H3RO dilengkapi dengan teknologi Tri Primeline, yang memungkinkan para pengguna mendapatkan akses prioritas di jaringan kuat 4.5G Pro, pengalaman bebas nge-lag dengan teknologi low latency. Tidak hanya ragam produk H3RO yang dihadirkan, 3 Indonesia juga menyediakan wadah untuk mengasah potensi gaming anak muda melalui H3RO Esports Tournament.

Application Information Will Show Up Here
Industri telekomunikasi Indonesia di tahun 2021 mengeksplorasi model baru di bisnis digital hingga mempersiapkan ekosistem 5G / Sumber: Telkomsel

[Kaleidoskop 2021] Catatan Penting Menyambut Babak Baru Industri Telekomunikasi

Investasi ke startup decacorn, konsolidasi antar-operator, hingga akuisisi perusahaan internet, merupakan tiga dari sekian banyak aksi korporasi yang menarik perhatian industri telekomunikasi Indonesia di sepanjang 2021.

Industri telekomunikasi juga menatap optimismenya di 2022 dengan proyeksi pertumbuhan 4% di bisnis konektivitas, 8% di TIK, dan digital sebesar 12%, meski operator sempat kesulitan meraup pendapatan di masa awal pandemi Covid-19.

DailySocial merangkum beberapa aksi korporasi besar di 2021, proyeksi pertumbuhan, hingga insight yang dapat memberikan gambaran menyeluruh tentang masa depan industri telekomunikasi Indonesia selanjutnya.

Kaleidoskop telekomunikasi 2021

Pertama, Telkomsel menyuntik investasi tambahan ke Gojek senilai $300 juta atau sekitar Rp4,3 triliun pada Mei 2021. Investasi pertamanya dikucurkan pada November 2020 sebesar $ 150 juta atau Rp2,1 miliar.

Dalam laporan Info Memo Telkom di kuartal III 2021, Telkomsel disebut telah menikmati valuation benefit dari investasi ini. Adapun, Telkom dan Telkomsel akan melanjutkan kemitraan strategis dengan Gojek untuk mendigitalisasi UMKM dan mengakuisisi pengguna baru melalui ekosistem Gojek, mendorong mitra UMKM Gojek menjadi mitra reseller Telkomsel, dan meningkatkan akses outlet Telkomsel melalui layanan GoShop.

Kedua, industri telekomunikasi di Tanah Air mendapat angin segar dari pengumuman merger dan akuisisi (M&A) oleh Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia. Keduanya sepakat untuk menggabungkan bisnisnya menjadi “Indosat Ooredoo Hutchison” dengan nilai Rp85,6 triliun.

Managing Director of Ooredoo Group Aziz Aluthman Fakhroo mengungkap bahwa konsolidasi ini dapat membawa Indosat Ooredoo Hutchison sebagai operator telekomunikasi kedua terbesar di Indonesia dengan proyeksi pendapatan tahunan hingga $3 miliar atau sekitar Rp42,7 triliun. Asumsinya, pendapatan ini diperoleh dari penggabungan jaringan, frekuensi, keuangan, skala bisnis, dan SDM.

Sebelumnya, aksi M&A sudah lebih dulu dilakukan oleh PT Mobile-8 Tbk (FREN) mencaplok PT Smart Telecom dan melebur menjadi Smartfren. Kemudian aksi ini diikuti oleh PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang mengakuisisi Axis senilai Rp8,6 triliun.

M&A, Investasi Nilai/Saham Keterangan
Telkomsel tambah investasi ke Gojek Rp4,3 triliun Suntikan investasi pertama senilai Rp2,1 triliun di 2020
Indosat Ooredoo akuisisi Hutchison 3 Indonesia (Tri) Rp85,6 triliun Efektif 4 Januari 2022
XL Axiata akuisisi LinkNet 66,03% saham LinkNet Tahap negosiasi Perjanjian Jual Beli (PJB)

Aksi korporasi 2021/Sumber: DailySocial, Bisnis Indonesia

Sementara, XL Axiata tengah melakukan negosiasi perjanjian jual beli (PJB) akuisisi saham PT Link Net Tbk (IDX: LINK) sebesar 66,03%. Rencana pengambilalihan saham ini terungkap lewat keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia pada 25 November 2021.

Mengutip CNN, aksi korporasi ini dilakukan sebagai strategi diversifikasi bisnis XL Axiata ke jaringan tetap (fixed connectivity). Adapun, XL tengah menggenjot pembangunan jaringan serat optik untuk mendorong bisnis jaringan dari segmen B2B.

Pemerintah sendiri melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) telah menerbitkan peta jalan Indonesia Digital 2021-2024, yang mana di antaranya mencakup peningkatan infrastruktur digital, pemberdayaan masyarakat untuk mengembangan digital, dan mendorong Indonesia sebagai produsen teknologi.

Sumber: Kementerian Komunikasi dan Informatika

Sebagai informasi, pembangunan infrastruktur digital terdiri dari infrastruktur fisik; pembangunan internet di pedesaan, peningkatan kapasitas 4G dab 5G, jaringan serat optik, kabel laut, satelit, BTS, dan ponsel, serta infrastruktur non-fisik; cloud dan aplikasi, untuk mendukung kegiatan ekonomi digital.

Proyeksi telekomunikasi 2022

Ketua Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI) Ririek Adriansyah melihat industri telekomunikasi di dunia, termasuk Indonesia, sudah mulai menunjukkan tren positif dibandingkan ketika pertama kali menghadapi pandemi Covid-19. Ia memproyeksi tren ini terus berlanjut hingga tahun depan.

Dalam paparan “Outlook Industri Telekomunikasi 2022” oleh Indotelko, pertumbuhan pendapatan industri secara keseluruhan diestimasi mencapai 3% (YoY). Apabila dirinci, bisnis konektivitas diestimasi tumbuh 4%, Teknologi, Informasi, Komunikasi (TIK) 8%, dan bisnis digital sebesar 12% pada periode 2020-2024.

Proyeksi tersebut telah memperhitungkan tren pergeseran perilaku masyarakat yang mulai terbiasa beraktivitas secara digital, yang mana menurut Ririek sebanyak 90% masyarakat Indonesia diprediksi terus mempertahankan perilaku digital ini apabila pandemi selesai.

“Lini bisnis seluler, SMS dan voice call, diprediksi menurun karena orang semakin jarang menggunakannya. Sementara, layanan mobile data akan terus naik, tetapi unit price akan turun karena tingginya konsumsi,” ungkap Ririek beberapa waktu lalu.

Dengan proyeksi pertumbuhan tersebut, lanjut Ririek, hal ini dapat menjadi tantangan besar bagi operator karena mereka dituntut untuk berinvestasi di jaringan.

Kendati begitu, konsolidasi antara Indosat Ooredoo dan Tri Indonesia dinilai membawa angin segar bagi industri telekomunikasi di masa depan mengingat jumlah operator semakin menyusut, menyisakan pemain aktif: Telkomsel, Indosat Ooredoo Hutchison (branding usai merger), XL Axiata, dan Smartfren. Ditambah lagi, beberapa operator mulai merestrukturisasi portofolio bisnis telekomunikasi demi efisiensi, seperti melepas aset menara dan data center.

Ia juga memproyeksi pembangunan jaringan 5G beserta use case-nya akan terus berlanjut di Indonesia. Demikian juga dengan langkah digitasi dan digitalisasi operator telekomunikasi sejalan dengan upaya mereka mencari sumber pendapatan baru.

Yang perlu diantisipasi

Berdasarkan proyeksi dari lini bisnis digital, peluang operator telekomunikasi untuk mengeksplorasi produk/layanan digital baru masih besar. Operator belajar dari pengalaman dan kegagalan terdahulu ketika mengembangkan layanan digital, seperti uang elektronik dan marketplace. Ditambah, ekosistem digital di Indonesia semakin mapan sejalan dengan meningkatnya adopsi.

Pengamat Telekomunikasi ITB Ian Josef Matheus menilai sampai saat ini operator belum bisa membuat aplikasi yang dapat menyentuh masyarakat, dan punya ekosistem layanan lengkap yang dapat mengakomodasi berbagai keperluan, seperti Gojek dan OVO. Istilahnya, operator belum punya killer app yang relevan bagi basis penggunannya.

“Apabila operator bisa mencari tambahan [pendapatan] dari produk digital ataupun memiliki aplikasi sendiri, tentu hal ini akan membuat kualitas [jaringan] dan efesiensi menjadi besar. Atau misalnya, produk cloud dan konten tidak perlu dikerjakan atau dikembangkan semua oleh operator, tetapi bisa kolaborasi untuk mendorong peningkatan ARPU,” ujarnya beberapa waktu lalu.

Pendapatan Telkomsel Indosat XL Axiata
9M21 Rp65,14 triliun (+0%) Rp23,1 triliun (+12%) Rp19,8 triliun (+0,7%)
9M20 Rp65,13 triliun Rp20,6 triliun Rp19,6 triliun
EBITDA Telkomsel Indosat XL Axiata
9M21 Rp39,4 triliun (+1,9%) Rp10,4 triliun (+22,7%) Rp9,9 triliun (+0,1%)
9M20 Rp38,4 triliun Rp8,5 triliun  Rp9,8 triliun
Pelanggan Telkomsel Indosat XL Axiata
9M21 173,5 juta (+1,9%) 62,3 juta (+3,2%) 57,9 juta (+1,9%)
9M20 170,1 juta 60,4 juta 56,8 juta

Sumber: Info Memo Telkom, Indosat Ooredoo, XL Axiata Kuartal III 2021

Terlepas dari pertumbuhan ekosistem digital Indonesia yang semakin mapan, Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Effendi menilai tidak semua operator memiliki kebebasan atau kemampuan untuk bisa fokus mengembangkan bisnis digital.

Alasannya, infrastruktur jaringan merupakan bisnis inti operator seluler. Memang tren ke depan tidak lagi mengandalkan bisnis dasar dari infrastruktur, seperti voice call dan SMS, sehingga perlu adanya sumber pendapatan baru. Akan tetapi bisnis digital perlu ditopang oleh infrastruktur yang andal, jadi mau tidak mau operator kembali lagi ke bisnis akarnya.

“Saat ini, jika melihat jumlah base transceiver station (BTS) keseluruhan, jelas Telkomsel lebih unggul dibanding operator lain, dan ditunjang oleh jaringan optik milik Telkom. Sementara, operator yang lain masih terkendala [dalam pembangunan jaringan]. Makanya, tidak masalah [Telkom dan Telkomsel] agresif di bisnis digital,” ungkapnya dihubungi DailySocial.

Di samping eksplorasi bisnis digital, Ridwan juga mengantisipasi dampak dari merger Indosat Ooredoo terhadap Tri terhadap industri. Peleburan Tri akan meningkatkan jumlah frekuensi yang dimiliki Indosat, dan kondisi ini akan memampukan perusahaan untuk meningkatkan kapabilitas jaringan dan layanan.

“Juga, yang paling dinantikan di tahun depan adalah operator harus siap-siap mengeluarkan kocek untuk lelang frekuensi 5G setelah Analog Switch Off dimulai. Mereka perlu menyiapkan aplikasi yang menunjang untuk Industri 4.0.”

5G hingga eksplorasi bisnis digital

Dari kacamata penulis, sesungguhnya saya sempat ragu menantikan gebrakan baru di industri telekomunikasi Indonesia. Apalagi jika melihat realisasi pertumbuhan bisnis yang sempat stagnan. Operator juga tampak masih kesulitan mencari model yang tepat untuk mengeksplorasi lini digital sebagai sumber pendapatan baru selama beberapa tahun terakhir.

Namun, jika melihat sejumlah aksi korporasi operator di sepanjang 2021 dan ke belakang, saya cukup excited mengantisipasi apa yang akan terjadi di industri ini tahun depan.

Saya menyoroti sejumlah hal penting. Pertama, merger antara Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia otomatis merampingkan jumlah operator di Indonesia, membuat kompetisi antar-pemain semakin sehat tanpa perlu perang harga. Operator dapat fokus memenuhi pembangunan jaringan secara nasional.

Bisa jadi dalam 1-2 tahun ke depan, kita akan kembali mendengar aksi konsolidasi serupa. Skenario paling memungkinkan antara XL Axiata dan Smartfren. Selama satu dekade ini, Smartfren belum pernah mengecap keuntungan. Plus, keduanya santer dikabarkan akan merger. Jika ini direalisasikan, XL dan Smartfren bakal sama-sama mengalami aksi M&A kedua kalinya. Sebelumnya, XL mencaplok Axis, dan Mobile-8 melakukan merger dengan Smart Telecom.

Kedua, harapannya operator mulai mempersiapkan pengembangan use case layanan 5G sejalan dengan upaya pemerintah melakukan Analog Switch Off (ASO) dalam tiga tahap di 2022 untuk mempercepat implementasi 5G di frekuensi emas.

5G memang dikatakan sebagai game changer, tetapi semua itu tidak akan ada artinya tanpa ekosistem layanan dan perangkat, baik itu ponsel maupun perangkat-perangkat lain yang dapat terhubung di masa depan. Toh saat ini 5G belum digelar secara nasional karena keterbatasan spektrum. Masih ada waktu untuk mempersiapkan ekosistem pendukungnya.

Ketiga, saya cukup menantikan eksplorasi model bisnis digital lainnya dari operator telekomunikasi. Sejak dua tahun terakhir, operator telah mencoba melakukan berbagai gebrakan demi meningkatkan nilai tambah layanan dan mencari sumber pendapatan baru.

Salah satu gebrakan ini adalah layanan prabayar digital berbasis aplikasi yang dikeluarkan oleh Telkomsel, Indosat, XL, dan Smartfren. Operator seluler menggunakan pendekatan berbeda agar lebih luwes mengakuisisi pengguna baru tanpa embel-embel branding operator.

Pendekatan tanpa branding operator juga dipakai untuk masuk ke bisnis digital non-telekomunikasi. Telkomsel berani masuk ke layanan edtech (Kuncie) dan healthtech (Fita), dua vertikal yang mungkin belum pernah menjadi diversifikasi layanan digital operator di Indonesia. Selama ini, operator telekomunikasi mengembangkan layanan digital yang masih relevan dengan bisnis utama mereka, seperti IoT, big data, dan hiburan (musik, video, games) baik dikembangkan sendiri maupun lewat skema investasi atau kemitraan strategis.

Berdasarkan wawancara DailySocial dengan petinggi Kuncie dan Fita, Telkomsel menggunakan pendekatan berbeda pula pada pengelolaan bisnisnya, yakni keleluasaan mengembangkan produk dengan growth mentality ala startup. Jika keduanya memberikan performa baik, Kuncie dan Fita berpotensi di-spin off agar bisa akselerasi lebih cepat. Saat ini, Kuncie mengantongi satu juta unduhan, sedangkan Fita lebih dari 500 ribu unduhan aplikasi di Google Play Store.

Berkaca dari perjalanan produk unggulan digital Telkomsel, Tcash baru bisa mengecap pertumbuhan pemakaian besar ketika di-spin off dan di-rebranding menjadi LinkAja. Sebelum rebranding, Tcash hanya punya 20 juta pengguna. Usai lepas dari Telkomsel, pengguna LinkAja melesat menjadi 70 juta per Juni 2021.

Indosat juga cukup agresif mengembangkan ekosistem layanan digital yang lengkap meski masih memiliki asosiasi kuat dengan branding-nya. Di tahun ini, anak usaha Ooredoo Group ini meluncurkan platform gaya hidup IMove dengan konsep gamifikasi dan platform IM Gaming yang menyediakan berbagai layanan bagi para gamer, mulai dari bermain dan berkompetisi, menonton game, dan membeli item dalam permainan.

Sebagai kesimpulan, pengembangan bisnis digital memang identik dengan investasi besar, dinamika tren, dan akselerasi produk yang cepat. Kriteria ini sulit dipenuhi oleh nature bisnis operator. Namun, dengan perkembangan ekonomi digital dan ekosistem yang makin mapan, operator telekomunikasi kini memiliki peluang dan opsi yang beragam untuk meningkatkan value added dan mencari sumber pendapatan baru.

Indosat Ooredo wellness IMove

Jajaki Sektor Wellness, Indosat Ooredoo Luncurkan Aplikasi IMove

Perusahaan telekomunikasi Indosat Ooredoo meluncurkan inisiatif barunya IMove, sebuah platform yang menawarkan pengalaman gaya hidup sehat dengan konsep gamifikasi yang berhadiah. Peluncuran ini juga sebagai upaya Indosat Ooredoo untuk mendukung Pemerintah mewujudkan Indonesia Sehat 2025.

Menurut data WHO, jumlah orang dewasa yang kelebihan berat badan di Indonesia telah meningkat dua kali lipat selama dua dekade terakhir. Obesitas pada anak juga meningkat, dengan satu dari lima anak usia sekolah dasar dan satu dari tujuh remaja di Indonesia mengalami kelebihan berat badan atau obesitas, menurut Survei Riset Kesehatan Dasar nasional 2018.

Dalam laporan ini, aktivitas fisik yang rendah juga disebut sebagai faktor utama keempat penyebab kematian. Kehidupan di kota besar menjadi salah satu yang mempengaruhi gaya hidup tidak sehat dengan akses yang relatif mudah untuk makanan olahan serta kurangnya pergerakan melalui penggunaan transportasi bermotor dan peningkatan penggunaan layar untuk bekerja, pendidikan dan rekreasi.

IMove menawarkan pendekatan holistik untuk kesehatan yang optimal, dengan fokus pada gerakan, nutrisi, dan kesehatan emosional. Pengguna dapat mengikuti berbagai tantangan gamifikasi untuk berolahraga lebih banyak, menurunkan berat badan, makan lebih sehat, dan menjadi pribadi yang lebih sehat.

SVP-Head of Digital Services Indosat Ooredoo, Sudheer Chawla mengatakan, “Melakukan gaya hidup sehat sangat penting, terutama di masa pandemi ini. Oleh karena itu, kami meluncurkan IMove untuk mendorong masyarakat menjalani gaya hidup yang lebih sehat dengan konsep gamifikasi. Melalui IMove, kami menawarkan platform goal-setting, habit tracker, dan komunitas online, membantu pengguna mencapai tujuan individu mereka, tetap berkomitmen, dan mendapatkan hadiah. Kami berharap pelanggan kami akan memilih IMove sebagai pilihan pertama mereka untuk menerapkan gaya hidup sehat dan lebih aktif.”

Platform ini memiliki tiga fitur utama: Coaches, Social Wall, dan Rewards. Dalam fitur Coaches, pengguna dapat menikmati berbagai wawasan informatif, seperti rencana dan resep makan, rutinitas dan latihan kebugaran, serta tips gaya hidup sehat dari para pelatih profesional bersertifikat. Melalui Social Wall, pengguna dapat berbagi kemajuan mereka untuk saling mendukung dan berinteraksi. Sementara itu, pengguna dapat mengumpulkan trofi untuk setiap kegiatan dan melakukan redeem di store dengan fitur Rewards.

Selain itu, terdapat fitur Tantangan Leaderboard of Step, pengguna IMove dapat membandingkan kemajuan mereka dengan peserta lain. Platform ini menawarkan tantangan gratis hingga pro dengan berlangganan mulai dari Rp1.000/hari. Aplikasi ini telah tersedia di Google Play Store dan App Store.

Platform wellness di Indonesia

Pandemi Covid-19 ini menyerang satu hal yang terkadang tidak dianggap serius oleh sejumlah orang, yaitu kesehatan tubuh. Banyak orang yang kini lebih peduli dengan kesehatan mereka dan mulai mau menyisihkan uang demi menjaga kebugaran. Namun, pembatasan interaksi fisik memaksa mereka untuk menjalankan workout atau olahraga di rumah. Hal ini membuka peluang bagi pasar wellness di tanah air.

Dalam Laporan DSResearch bersama FITCO yang bertajuk “Pemahaman Pasar Wellness di Indonesia”, pangsa pasar industri wellness terbilang sangat menjanjikan. Hasil riset Global Wellness Institute (GWI) di tahun 2017 memprediksi industri ini bernilai $4,2 triliun secara global dengan pertumbuhan mencapai 6,4% per tahun.

Di Indonesia sendiri, beberapa platform yang fokus untuk menyediakan solusi gaya hidup sehat termasuk Doogether dan FITCO. Selain solusi kebugaran, untuk menguatkan posisi sebagai wellness tech startup dengan ekosistem yang holistik, FITCO juga mengembangkan beberapa subvertikal bisnis, seperti makanan sehat dan marketplace untuk alat olahraga.

Dalam kaitannya dengan perusahaan telekomunikasi, IMove bukan satu-satunya inisiatif kesehatan sosial yang didukung oleh operator telekomunikasi. Sebelumnya, Telkomsel juga telah lebih dulu menjajaki ranah layanan kesehatan digital dengan aplikasi Fita. Belum banyak eksplorasi yang dilakukan dalam platform ini, baru tersedia program olahraga, tutorial olahraga, serta tutorial resep makanan sehat.

Application Information Will Show Up Here

Digital Prepaid Strives to Become Consumers’ Alternative Service

Over the past decade, telecommunication operators have been experimenting to find the right formula to improve its business performance. Since the emergence of over-the-top (OTT) services in Indonesia, operators have developed various service models to bring in new customers and increase ARPU.

A series of operators have tried e-commerce and digital money businesses. They failed to develop a sustainable business. From two years ago, the operator is finally back with a new strategy. This time, it’s not creating digital services. Instead, they provide services that remains in the corridor of its core business, but with a different approach.

Operators introduce digital-based prepaid services. It is said as various user transaction activities are carried out entirely through the application. In this case, the operator offers a unique value proposition to accommodate market demand that likes to try new ways.

For example, consumers can customize the SIM card, or in other words, select a ‘special number’ through the application. Likewise the purchase and registration of cards. This method is definitely different from what we usually do; buy starter packs and top up data at the counters.

Currently, consumers have three choices of digital prepaid brands, by.U, Live.On, and MPWR. There used to be four, but Switch Mobile decided to discontinue its service in early 2021.

The question is, will digital prepaid services be able to survive the hustle and bustle of the telecommunications industry which is getting saturated? DailySocial, through this writings, has compiled various perspectives regarding the digital prepaid phenomenon and its projections in the future.

Changing operator’s branding

As previously said, telecommunications services are identical to conventional methods. In fact, the idea of ​​digitizing this process has been achieved considering that operators have its own applications that serve to provide data or credit package purchases. However, this is not the goal.

According to Telkomsel’s former President Director, Emma Sri Hartini, by.U could bring “refreshment” to the telecommunications industry that was more familiar with the presence of the old card brand. She considered by.U to be able to embrace the younger generation without having to be closely associated with Telkomsel, which has often been associated with expensive cellular cards.

Another reason is that today’s young generation tends not to want to be dictated to the service needs, aka product-driven. Digital prepaid cards offer service customization that is considered to be able to meet the needs of users in this segment.

Smartfren’s President Director, Merza Fachys previously said the same thing. This digital cellular brand can be positioned as a completely new product without the need to be associated with the existing parent brand.

Big job on increasing awareness

Based on its timestamp, by.U is the first digital prepaid product launched in Indonesia (October 2019). Then, followed by Switch Mobile (March 2020), Live.On (October 2020), and MPWR (December 2020). Almost two years later, are these products able to disrupt the existence of cards that have been circulating in the market for a long time? Can the new approach brands steal consumers’ attention?

The hypothesis above can easily be broken considering the Switch Mobile’s sudden discontinuation within only a year. Switch did not specify the reason behind this closure. We can assume this service is a failure in the market. It may also be because consumers are not used to enjoying cellular services in a new way. Otherwise, it could be a lack of awareness due to the Covid-19 pandemic situation which makes it difficult for service providers to market its products offline.

Another assumption is that the cellular market is already saturated, making it difficult to gain significant traction. Moreover, it is targeting certain segments, not the mass market.

Quoting Katadata, the Central Statistics Agency (BPS) noted that cellular card users reached 341.28 million in 2019, down from 435.1 million in 2017. Its penetration exceeded the total population of 269.6 million in 2019.

Platform Provider Rating
by.U Telkomsel 4.5 (5M+ downloads)
Live On XL Axiata 3.7 (100K+ downloads)
MPWR Indosat Ooredoo 2.7 (1M+ downloads)
Switch Mobile Smartfren Terminated

We tried to validate this with every digital prepaid service provider, but most were reluctant to share the data. Telkomsel isthe only provider willing to reveal a little information. by.U’s Principal Growth Lead, Riko Ringgoanto said its users reached 2.5 million after two years of launching. This means that by.U only contributed 1.4% of the total 169.2 million Telkomsel subscribers in the first semester of 2021.

Riko added, this achievement has exceeded the prior expectations. This target even consider the Covid-19 factor where consumers tend to reduce their spending. With the current total user and engagement, he said that by.U is already product-market fit.

“Awareness is still our big homework for the past two years. Due to Covid-19, it has become difficult for us to market advertisements and offline events. However, we continue to intensively do digital placements, enter youth communities in the region, and hold webinars. As by.U is a digital-only prepaid, it seems that it is becoming less chaotic. Indeed, offline channels still number one promotion in Indonesia. When the situation improves, we are prepared to promote in offline locations, such as MRT and KRL,” he explained.

Meanwhile, XL Axiata’s Head of External Communications, Henry Wijayanto agred on this. Although marketing activities have become limited, his team sees a positive impact where people are now getting used to doing digital activities.

“Similar challenges faced by all digital telco brands on how to increase awareness and credibility. Moreover, as a new brand, these things will often appear. We will continue to increase sustainable partnerships to encourage consumer needs to go digital,” Henry said to DailySocial.

Is it enough for disruption?

Secretary General of the ITB Telecommunication Policy and Regulatory Study Center Muhammad Ridwan Effendi said that the emergence of digital prepaid will be difficult to disrupt prepaid brands that have been around for a long time. In addition to today’s prepaid products, Indonesians seem to prefer products with more simple feature and easier to remember. Therefore, the new products emergence is considered to be difficult to survive.

“In some countries, digital operators such as the MVNO model enter with a community approach. However, it is still less successful here. There are [prepaid] products entering the youth community segment, eventually disbanding. Maybe we need to try to enter a wider community, such as religion, motorcycles, or music. This concept has been successful in several countries,” he explained.

Currently, Indonesia has at least more than ten brands of cellular cards, both prepaid and postpaid cards. In order to boost efficiency with today’s competitive cellular market, several operators have started to streamline its service brands.

Citing Liputan6.com, Telkomsel finally merged the prepaid brands from SimPATI, Loop, and Kartu AS into Telkomsel Prepaid. According to internal research conducted over the past year, Telkomsel sees customer segmentation as less relevant in the digital era. It is now more focused on presenting packages according to customer needs and interests.

Meanwhile, Telecommunications Observer from ITB, Ian Josef Matheus actually present a different perspective. Instead of coming up with new brands and approaches, operators should give consumers more understanding that postpaid and prepaid costs are eventually the same.

“Prepaid is indeed the biggest contributor to cellular operator income. However, prepaid cards should only be made in one brand and indeed what the community really needs. It is to avoide confusion for customers or potential customers with the combined advantages,” he told DailySocial.

In addition, operators can actually develop more innovations for postpaid because their ARPU is considered to guarantee more income. For example, providing volume-based or time-based on-demand payments for digital applications developed by mobile operators.

“Unfortunately, operators are yet to have a killer product which popularity can match WhatsApp, Zoom, or Telegram. In fact, self-owned applications can reduce outgoing traffic and streamline spending costs. Even if they cannot develop internally, at least operators can collaborate with the digital ecosystem to encourage increasing ARPU,” he added.

Respondent’s perspective

DailySocial had the opportunity to conduct a mini survey from the user’s point of view. As a disclaimer, this survey does not fully reflect the facts and problems in the field. This survey was conducted to show users’ perspectives regarding the use of digital prepaid services, as well as our efforts to validate it with related service providers.

The survey shows that most respondents use digital prepaid as a secondary number for their mobile data or internet needs. Respondents also admitted that they did not plan to make it their main number.

Some respondents admitted that they did not want to use it for some reasons, including not keen to install the application, not being interested, its complicated, and too many numbers. As many as 40% of respondents said they were not interested in trying digital prepaid in the future, 40% said they were interested, and 20% answered maybe.

Sumber: Mini Survey DailySocial
Source: DailySocial’s mini survey

“Before it was launched, we were aware that by.U would be used as a secondary number, and from the start we did not try to make by.U the main number. According to our internal research, the most spending was on secondary numbers. That’s why we tried to present rewards, free quotas, and additional features (music, podcasts, etc.) to increase user engagement. Therefore, they don’t just do mere transaction,” Riko said.

(+) (-)
Choose your own number Speed issue
SIM Card is being delivered SIM Card took a long time to arrive
Additional quota for certain app Delivery charge
Unlimited active period Application running slow
App-based SIM registration Customer service is difficult to reach
Unlimited data without FUP Unlimited data up to 2Mbps
SIM Card available through e-commerce Data package is often changing
Affordable data cost May not work in remote area

Various user perspectives regarding digital prepaid services / DailySocial Mini Survey

We also spoke with two anonymous sources regarding the use of Live.On and MPWR. Each has the same concern with user experience even though the issues are different.

According to Live.On users, the internet speed is fairly good as the signal and capacity in the area are strong. He said, the package is relatively affordable, not more expensive than Telkomsel, but not much cheaper than its parent operator XL. However, the Live On user experience from the payment side is considered less than optimal.

“I use Live.On for secondary numbers on different devices. When making payments, it becomes complicated because all e-wallet applications are already installed on the main device. Inevitably it has to be done on the same device because it requires synchronization. It should be just e-wallet number for it can be directly arranged,” said one user.

Meanwhile, MPWR users also claimed to have no problems with signal and internet. However, he considered the MPWR application to be less responsive and seamless. The appearance is also considered a bit different from most applications which usually come with up and down scroll modes.

“The MPWR looks sideways so it doesn’t feel good. In my opinion, the myIM3 application is actually better than MPWR. How come it loses to the parent application, even though the [MPWR] tagline is digital.” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Layanan prabayar digital, dengan segala kelebihan dan kekurangannya, masih berjuang menjadi pilihan sekunder / Pexels

Perjuangan Layanan Prabayar Digital Menjadi Pilihan Konsumen

Selama satu dekade terakhir, operator telekomunikasi bereksperimen mencari formula yang tepat untuk meningkatkan kinerja bisnisnya. Sejak kemunculan layanan over-the-top (OTT) di Indonesia, operator mengembangkan berbagai model layanan demi mendatangkan pelanggan baru dan peningkatan ARPU.

Sejumlah operator pernah menjajal bisnis e-commerce dan uang digital. Mereka gagal mengembangkan bisnis yang sustainable. Sejak dua tahun lalu, operator kembali hadir dengan strategi baru. Kali ini bukan menciptakan layanan digital. Mereka justru menghadirkan layanan yang masih di koridor core business-nya, tetapi dengan pendekatan berbeda.

Operator memperkenalkan layanan prabayar berbasis digital. Dikatakan demikian karena berbagai aktivitas transaksi pengguna dilakukan sepenuhnya melalui aplikasi. Di sini, operator menawarkan proposisi nilai yang unik untuk dapat mengakomodasi kebutuhan pasar yang suka mencoba cara-cara baru.

Misalnya saja, konsumen bisa mengkustomisasi kartu SIM, atau istilahnya pilih ‘nomor cantik’ melalui aplikasi. Demikian juga pembelian dan registrasi kartu. Cara ini sudah pasti berbeda dengan yang biasa kita lakukan; membeli starter pack dan pulsa di counter-counter.

Saat ini, konsumen punya tiga pilihan brand prabayar digital, yakni by.U, Live.On, dan MPWR. Tadinya ada empat, tetapi Switch Mobile memutuskan untuk menyetop layanannya sejak awal 2021.

Pertanyaannya, apakah layanan prabayar digital mampu bertahan dengan hiruk-pikuk industri telekomunikasi yang semakin jenuh? Pada laporan ini, DailySocial menghimpun berbagai perspektif terkait fenomena prabayar digital dan proyeksinya di masa depan.

Mengubah branding operator

Sebagaimana dikatakan di atas, layanan telekomunikasi identik dengan metode konvensional. Sebetulnya, ide-ide mendigitalisasi proses ini sudah tercapai mengingat operator punya aplikasi masing-masing yang berfungsi untuk menyediakan pembelian paket data atau pulsa. Tetapi, ini bukan ini tujuannya.

Menurut mantan Direktur Utama Telkomsel Emma Sri Hartini saat itu, by.U dapat membawa “penyegaran” bagi industri telekomunikasi yang lebih familiar dengan kehadiran merek kartu lama. Ia menilai by.U dapat merangkul generasi anak muda tanpa perlu dikaitkan erat dengan Telkomsel yang selama ini sering diasosiasikan sebagai kartu seluler mahal.

Alasan lainnya adalah generasi anak muda masa kini cenderung tidak ingin didikte kebutuhan layanannya alias product-driven. Kartu prabayar digital menawarkan kustomisasi layanan yang dinilai dapat memenuhi kebutuhan pengguna di segmen tersebut.

Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys sebelumnya sempat mengatakan hal senada. Merek seluler digital ini dapat diposisikan sebagai produk yang betul-betul baru tanpa perlu dikaitkan dengan merek existing induknya.

PR besar meningkatkan awareness

Jika dirunut berdasarkan stempel waktunya, by.U menjadi produk prabayar digital pertama yang diluncurkan di Indonesia (Oktober 2019). Kemudian disusul oleh Switch Mobile (Maret 2020), Live.On (Oktober 2020), dan MPWR (Desember 2020). Hampir dua tahun berselang, apakah produk-produk tersebut mampu mendisrupsi keberadaan kartu-kartu yang sudah lama beredar di pasaran? Apakah branding dan pendekatan baru dapat mencuri perhatian konsumen?

Hipotesis di atas sebetulnya dapat dipatahkan dengan mudah mengingat layanan Switch Mobile keburu dihentikan di usia yang belum genap setahun. Pihak Switch tidak merinci alasan di balik penutupan ini. Kita bisa saja berasumsi layanan ini gagal di pasaran. Mungkin juga diakibatkan konsumen tidak terbiasa menikmati layanan seluler dengan cara baru. Atau bisa saja kurangnya awareness akibat situasi pandemi Covid-19 yang menyulitkan penyedia layanan memasasarkan produk secara offline.

Asumsi lainnya, pasar seluler memang sudah jenuh sehingga sulit untuk memperoleh traction secara signifikan. Ditambah lagi, target pasarnya saja segmented, bukan mass market.

Mengutip Katadata, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengguna kartu seluler mencapai 341,28 juta di 2019, turun dari 435,1 juta di 2017. Penetrasinya melampaui jumlah penduduk dengan 269,6 juta jiwa di 2019.

Platform Provider Rating
by.U Telkomsel 4.5 (5M+ downloads)
Live On XL Axiata 3.7 (100K+ downloads)
MPWR Indosat Ooredoo 2.7 (1M+ downloads)
Switch Mobile Smartfren Terminated

Kami mencoba memvalidasi hal ini ke setiap penyedia layanan prabayar digital, tetapi sebagian besar enggan membagikan datanya. Hanya Telkomsel yang mau mengungkap sedikit informasinya. Disampaikan by.U Principal Growth Lead Riko Ringgoanto, pengguna by.U mencapai 2,5 juta setelah dua tahun meluncur. Artinya, by.U baru berkontribusi 1,4% dari total 169,2 juta pelanggan Telkomsel di semester I 2021.

Menurut Riko, pencapaian itu sudah melebihi ekspektasi awal. Target ini bahkan sudah memperhitungkan faktor Covid-19 di mana konsumen cenderung mengurangi pengeluarannya. Dengan capaian jumlah dan engagement pengguna saat ini, ia menyebut by.U sudah product-market fit.

Awareness masih menjadi PR besar kami selama dua tahun ini. Karena Covid-19, kami jadi sulit untuk memasarkan iklan dan event offline. Tetapi, kami terus gencar lakukan digital placement, masuk ke komunitas anak muda di daerah, dan mengadakan webinar. Karena by.U digital only, kelihatannya jadi kurang wara-wiri. Memang promoting lewat kanal offline tetap tidak tergantikan di Indonesia. Jika situasi membaik, kami bersiap promoting di lokasi offline, seperti MRT dan KRL,” paparnya.

Sementara, Head of External Communications XL Axiata Henry Wijayanto  mengakui hal serupa. Meski kegiatan pemasaran menjadi terbatas, pihaknya melihat ada dampak positif di mana masyarakat kini mulai terbiasa beraktivitas secara digital.

“Tantangan serupa dihadapi semua digital telco brand, yaitu bagaimana meningkatkan awareness dan kredibilitas. Apalagi masuk sebagai merek baru, hal-hal ini akan kerap muncul. Kami akan terus meningkatkan kemitraan berkelanjutan untuk mendorong kebutuhan konsumen beraktivitas secara digital,” ujar Henry kepada DailySocial.

Mampukah mendisrupsi?

Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi ITB Muhammad Ridwan Effendi menilai kemunculan prabayar digital akan sulit mendisrupsi merek prabayar yang sudah lebih lama muncul. Selain terlalu banyaknya produk prabayar saat ini, mayoritas masyarakat Indonesia tampakya lebih menginginkan produk yang lebih sederhana dan mudah diingat. Maka itu, kemunculan produk baru dinilai akan sulit bertahan.

“Di beberapa negara, operator digital seperti model MVNO masuk dengan pendekatan komunitas. Tetapi di sini masih kurang berhasil. Ada produk [prabayar] yang masuk ke segmen komunitas anak muda, akhirnya bubar. Mungkin perlu dicoba untuk masuk ke komunitas yang lebih luas, seperti keagamaan, pemotor, atau musik. Konsep ini pernah berhasil di beberapa negara,” paparnya.

Saat ini setidaknya Indonesia punya lebih dari sepuluh merek kartu seluler, baik kartu prabayar maupun pascabayar. Demi mendorong efisiensi dengan persaingan pasar seluler saat ini, beberapa operator pun mulai merampingkan merek layanannya.

Mengutip Liputan6.com, Telkomsel akhirnya menggabungkan merek prabayar dari SimPATI, Loop, dan Kartu AS menjadi Telkomsel Prabayar. Menurut riset internal yang dilakukan selama setahun terakhir, Telkomsel melihat segmentasi pelanggan menjadi kurang relevan di era digital. Pihaknya kini lebih fokus menghadirkan paket sesuai kebutuhan dan minat pelanggan.

Sementara itu, Pengamat Telekomunikasi dari ITB Ian Josef Matheus justru memberikan perspektif berbeda. Alih-alih hadir dengan merek dan pendekatan baru, operator sebaiknya memberikan pemahaman lebih kepada konsumen bahwa biaya dikeluarkan pascabayar dan prabayar akan sama saja.

“Prabayar memang berkontribusi terbesar terhadap pemasukan operator seluler. Namun, kartu prabayar sebaiknya dibuat dalam satu brand saja dan memang yang benar-benar dibutuhkan masyarakat. Ini agar tidak menimbulkan kebingungan bagi pelanggan atau calon pelanggan dengan kelebihan yang digabungkan,” katanya kepada DailySocial.

Selain itu, operator sebetulnya bisa mengembangkan inovasi lebih bagi pascabayar karena ARPU-nya dinilai lebih menjamin pendapatan operator. Misalnya, menyediakan pembayaran on-demand baik volume-based atau time-based untuk aplikasi digital yang dikembangkan operator seluler.

“Sayangnya, operator belum punya killer product yang popularitasnya bisa menyamai WhatsApp, Zoom, atau Telegram. Padahal, aplikasi milik sendiri bisa menekan trafik keluar dan mengefisiensikan biaya pengeluaran. Kalaupun tidak bisa mengembangkan sendiri, setiknya operator dapat berkolaborasi dengan ekosistem digital untuk mendorong peningkatan ARPU,” tambahnya.

Perspektif responden

DailySocial kembali berkesempatan melakukan mini survey dari sudut pandang pengguna. Sebagai disclaimer, survei ini tidak sepenuhnya mencerminkan fakta dan permasalahan yang ada di lapangan. Survei ini dilakukan untuk menampilkan perspektif pengguna terkait pemakaian layanan prabayar digital, serta upaya kami memvalidasinya ke penyedia layanan terkait.

Survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden menggunakan prabayar digital sebagai nomor sekunder untuk kebutuhan mobile data atau internet. Responden juga mengaku tidak berencana untuk menjadikannya sebagai nomor utama.

Beberapa responden mengaku belum mau menggunakannya karena sejumlah alasan antara lain, malas instal aplikasi, tidak tertarik, ribet, dan terlalu banyak nomor. Sebanyak 40% responden mengaku tidak berminat mencoba prabayar digital di masa depan, sebanyak 40% menjawab berminat, dan 20% menjawab mungkin saja.

Sumber: Mini Survey DailySocial
Sumber: Mini Survey DailySocial

“Sebelum diluncurkan, kami sadar by.U bakal digunakan sebagai nomor sekunder, dan sejak awal kami tidak mencoba menjadikan by.U sebagai nomor utama. Menurut riset internal kami, spending paling banyak justru di nomor sekunder. Makanya, kami coba menghadirkan reward, free kuota, dan fitur-fitur tambahan (musik, podcast, dan lain-lain) untuk meningkatkan engagement pengguna. Jadi, mereka tidak cuma sekadar bertransaksi saja,” papar Riko.

(+) (-)
Bisa pilih nomor sendiri Kecepatan internet tak sesuai yang dijanjikan
Kartu SIM bisa dikirim ke rumah Pengiriman kartu SIM lama
Beli kuota tambahan untuk aplikasi tertentu Pengiriman kartu SIM dikenai biaya ongkir
Masa aktif selamanya Aplikasi sering bekerja lambat
Registrasi SIM melalui aplikasi Sulit menghubungi customer service
Paket data unlimited tanpa FUP Kecepatan internet unlimited hanya 2 Mbps
Bisa beli kartu SIM di marketplace Paket data sering berubah
Harga paket data terjangkau Ragu bisa digunakan di remote area

Ragam perspektif pengguna terkait layanan prabayar digital / Mini Survey DailySocial

Kami juga berbincang dengan dua narasumber anonim terkait penggunaan Live.On dan MPWR. Masing-masing memiliki concern yang sama dengan user experience meski isu yang dialaminya berbeda.

Menurut pengguna Live.On, kecepatan internetnya terbilang bagus karena sinyal dan kapasitas di areanya termasuk kuat. Harga paket pun menurutnya cukup relatif terjangkau, tidak lebih mahal dari Telkomsel, tetapi tidak jauh lebih murah juga dari operator induknya XL. Akan tetapi, user experience Live On dari sisi pembayaran dinilai kurang maksimal.

“Saya pakai Live.On untuk nomor sekunder di perangkat berbeda. Ketika melakukan pembayaran, jadinya ribet karena semua aplikasi e-wallet sudah terpasang di perangkat utama. Mau tak mau harus dilakukan di perangkat yang sama karena ada sinkronisasi. Seharusnya, pembayaran itu tinggal memasukkan nomor e-wallet saja sehingga bisa langsung diatur,” ujar seorang pengguna.

Sementara, pengguna MPWR  juga mengaku tidak memiliki masalah pada sinyal dan internet. Namun, ia menilai aplikasi MPWR kurang responsif dan seamless. Tampilannya pun dinilai agak berbeda dengan aplikasi kebanyakan yang biasanya hadir dengan mode scroll ke atas dan bawah.

“Tampilan MPWR malah menyamping jadi rasanya kurang enak. Menurut saya, aplikasi myIM3 justru lebih baik daripada MPWR. Kok malah kalah sama aplikasi induknya, padahal tagline [MPWR] itu kan digital.” Tuturnya.

Indosat and Tri Officially Announces 85.6 Trillion Rupiah Merger

PT Indosat Ooredoo Tbk (IDX:ISAT) officially announced a merger with PT Hutchison 3 Indonesia (H3I) with an agreed value of $6 billion or 85.6 trillion Rupiah. Through its parent company Ooredoo Group and CK Hutchison, both companies will merge into “Indosat Ooredoo Hutchison”.

Currently, Ooredoo Group owns 65% of Indosat Ooredoo shares through Ooredoo Asia. Through this merger, CK Hutchison will acquire 21.8% of Indosat Ooredoo Hutchison. CK Hutchison will also acquire 50% of Ooredoo Asia by exchanging its 21.8% shares in Indosat Ooredoo Hutchison for 33% in Ooredoo Asia.

The Hong Kong-based telecommunications conglomerate will grab an additional 16.7% in the Ooredoo Group for $387 million or IDR 5.5 trillion. Both parties will have a 50% ownership interest in Ooredoo Asia, which will be named Ooredoo Hutchison Asia, and own 65.6% shares and control over Indosat Ooredoo Hutchison.

In terms of post-merger, Indosat Ooredoo Hutchison will remain listed on the Indonesia Stock Exchange (IDX), with the Indonesian government holding 9.6% of the shares, PT Tiga Telekomunikasi Indonesia 10.8% of the shares, and the public about 14% of the shares.

Indosat Ooredoo shareholders recommended Vikram Sinha and Nicky Lee as Chief Executive Officer (CEO) and Chief Financial Officer (CFO) at Indosat Ooredoo Hutchison, respectively. Moreover, Ahmad Al-Neama and Cliff Woo will remain the President Director & CEO of Indosat Ooredoo and CEO of H3I until the merger process is complete.

Aiming for the second place

Considering its scale, financial capabilities, expertise, and network development, Ooredoo Group’s Managing Director, Aziz Aluthman Fakhroo targets this consolidation to bring Indosat Ooredoo Hutchison as the second largest telecommunications operator in Indonesia with projected annual revenues of up to $3 billion.

In addition, the merger of the two company assets will directly provide benefits to cost efficiency and capital expenditure. The company estimates that the synergies’ annual run rate before tax will reach $300-400 million in the next three to five years.

With the giant business scale owned by the two parent companies, Indosat Ooredoo Hutchison can take advantage of the technology, network, and services owned by the Ooredoo Group and CK Hutchison in the European, Middle East, North Africa and Asia Pacific markets.

“The merger will provide benefits for various functions, including procurement activities. After this consolidation, the Indonesian mobile market is expected to maintain healthy competition. This situation will attract long-term investment for the telecommunications industry,” Aziz said in his official statement.

CK Hutchison Holdings’ Group Co-Managing Director, Canning Fok also said his team can also expand the network and improve service quality in line with the merger of a larger spectrum that will provide cost efficiency.

“Furthermore, we are looking forward to bring the most innovative 5G service to Indonesia at the right time. Currently, CK Hutchison has available in 12 countries, many of which have successfully deployed 5G networks,” he said.

Currently, H3I has 10MHz in the 1800MHz band and 15MHz in 2100MHz to serve 39 million subscribers. Meanwhile, Indosat has a spectrum of 2.5MHz (850MHz), 10MHz (900MHz), 20MHz (1800MHz), and 15MHz (2100MHz) to serve 60 million subscribers with 66,313 4G BTS.

Consolidation for efficiency

The corporate action by Indosat Ooredoo and Hutchison adds to the long list of Indonesian telecommunications operators with M&A history within this decade. Previously, the M&A action was taken by PT Mobile-8 Tbk (FREN) annexing PT Smart Telecom and merging into Smartfren. Then, it was followed by PT XL Axiata Tbk (EXCL) which acquired Axis for IDR 8.6 trillion.

The Ministry of Communication and Information (Kominfo) has made attempts to encourage the telecommunications industry to consolidate, both through M&A and network cooperation. It is due to the very tight competition in the telecommunications industry involving many players.

Meanwhile, the telecommunications business is considered investment-intensive as it has to build network infrastructure. In fact, the growth of the telecommunications industry is increasingly stagnant when cellular penetration is above 100%. The Central Statistics Agency (BPS) recorded that cellular card users reached 341.28 million in 2019, or already surpassed the total population of 269.6 million.

According to the Secretary General of the Center for Telecommunication Policy and Regulatory Studies at the Bandung Institute of Technology (ITB) Muhammad Ridwan Effendi, the merger by Indosat Ooredoo and Hutchison 3 Indonesia will provide significant benefits for the telecommunications industry. One thing is because operators can now encourage business efficiency, especially in network development.

“Although we have to wait for the post-audit results by the Business Competition Supervisory Commission (KPPU), this merger is appropriate as the operator’s capital and assets will increase. Hopefully, the community will get even greater benefits from this business merger.” He said in a discussion with DailySocial.id team.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Merger Indosat Tri

Indosat dan Tri Resmi Merger dengan Nilai Transaksi 85,6 Triliun Rupiah

PT Indosat Ooredoo Tbk (IDX:ISAT) resmi mengumumkan merger dengan PT Hutchison 3 Indonesia (H3I) dengan nilai yang disepakati sebesar $6 miliar atau 85,6 triliun Rupiah. Melalui induk usahanya Ooredoo Group dan CK Hutchison, kedua perusahaan akan menggabungkan bisnisnya menjadi “Indosat Ooredoo Hutchison”.

Saat ini, Ooredoo Group menguasai kepemilikan saham Indosat Ooredoo melalui Ooredoo Asia sebesar 65%. Lewat aksi merger ini, CK Hutchison akan memperoleh saham baru sebanyak 21,8% di Indosat Ooredoo Hutchison. CK Hutchison juga akan mendapatkan 50% saham milik Ooredoo Asia dengan menukar 21,8% sahamnya di Indosat Ooredoo Hutchison untuk 33% saham di Ooredoo Asia.

Konglomerasi telekomunikasi asal Hong Kong tersebut juga akan mengambil kepemilikan tambahan 16,7% saham di Ooredoo Group senilai $387 juta atau 5,5 triliun Rupiah. Kedua belah pihak akan mengantongi 50% porsi kepemilikan dari Ooredoo Asia yang akan diberi nama Ooredoo Hutchison Asia, serta memiliki 65,6% saham dan kendali atas Indosat Ooredoo Hutchison.

Pasca-merger, Indosat Ooredoo Hutchison akan tetap terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), dengan pemerintah Indonesia memegang 9,6% saham, PT Tiga Telekomunikasi Indonesia 10,8% saham, dan publik sekitar 14% saham.

Pemegang saham Indosat Ooredoo mencalonkan Vikram Sinha dan Nicky Lee masing-masing sebagai Chief Executive Officer (CEO) dan Chief Financial Officer (CFO) di Indosat Ooredoo Hutchison. Adapun, Ahmad Al-Neama dan Cliff Woo masih akan menjalankan tugasnya sebagai Presiden Direktur & CEO Indosat Ooredoo serta CEO H3I sampai proses merger selesai.

Bidik posisi kedua terbesar

Dengan memperhitungkan skala, kemampuan keuangan, keahlian, hingga pengembangan jaringan, Managing Director of Ooredoo Group Aziz Aluthman Fakhroo menargetkan konsolidasi ini dapat membawa Indosat Ooredoo Hutchison sebagai operator telekomunikasi kedua terbesar di Indonesia dengan proyeksi pendapatan tahunan hingga $3 miliar.

Selain itu, penggabungan kedua aset perusahaan secara langsung akan memberikan keuntungan terhadap efisiensi biaya dan belanja modal. Perusahaan memperkirakan rasio proses (run rate) tahunan sinergi sebelum pajak akan mencapai $300-400 juta dalam tiga hingga lima tahun ke depan.

Dengan skala bisnis raksasa yang dimiliki kedua induk usaha, Indosat Ooredoo Hutchison dapat memanfaatkan teknologi, jaringan, hingga layanan yang dimiliki Ooredoo Group dan CK Hutchison di pasar Eropa, Timur Tengah, Afrika  Utara, dan Asia Pasifik.

“Penggabungan perusahaan ini akan memberikan keuntungan pada berbagai fungsi, misalnya kegiatan pengadaan. Usai konsolidasi ini, pasar mobile Indonesia diperkirakan dapat mempertahankan persaingan yang sehat. Situasi ini akan menjadi daya tarik investasi jangka panjang bagi industri telekomunikasi,” ujar Aziz dalam keterangan resminya.

Group Co-Managing Director of CK Hutchison Holdings Canning Fok menambahkan, pihaknya juga dapat memperluas jaringan dan menyempurnakan kualitas layanan sejalan dengan penggabungan spektrum yang lebih besar yang akan memberikan efisiensi biaya.

“Apalagi kami sangat menantikan kesempatan untuk membawa layanan 5G paling inovatif ke Indonesia di waktu yang tepat. Saat ini, CK Hutchison telah mengoperasikan bisnis di 12 negara di mana banyak di antaranya telah sukses menggelar jaringan 5G,” tuturnya.

Saat ini, H3I memiliki 10MHz di pita 1800MHz dan 15MHz di 2100MHz untuk melayani 39 juta pelanggan. Sementara, Indosat memiliki spektrum selebar 2,5MHz (850MHz), 10MHz (900MHz), 20MHz (1800MHz), dan 15MHz (2100MHz) untuk melayani sebanyak 60 juta pelanggan dengan 66.313 BTS 4G. 

Konsolidasi untuk efisiensi

Aksi korporasi yang dilakukan Indosat Ooredoo dan Hutchison menambah deretan panjang operator telekomunikasi Indonesia yang melakukan M&A selama lebih dari satu dekade ini. Sebelumnya, aksi M&A sudah lebih dulu dilakukan oleh PT Mobile-8 Tbk (FREN) mencaplok PT Smart Telecom dan melebur menjadi Smartfren. Kemudian aksi ini diikuti oleh PT XL Axiata Tbk (EXCL) yang mengakuisisi Axis senilai Rp8,6 triliun.

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sebetulnya sudah jauh-jauh hari berupaya mendorong industri telekomunikasi untuk berkonsolidasi, baik lewat M&A maupun kerja sama jaringan. Pasalnya, persaingan industri telekomunikasi terbilang sangat ketat akibat terlalu banyaknya pemain.

Sementara, bisnis telekomunikasi identik dengan padat investasi karena harus membangun infrastruktur jaringan. Dengan kondisi ini, pertumbuhan industri telekomunikasi semakin stagnan manakala penetrasi seluler sudah di atas 100%. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat pengguna kartu seluler mencapai 341,28 juta di 2019, atau sudah melampaui jumlah penduduk dengan 269,6 juta jiwa.

Menurut Sekjen Pusat Kajian Kebijakan dan Regulasi Telekomunikasi Institut Teknologi Bandung (ITB) Muhammad Ridwan Effendi, aksi merger yang dilakukan Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia akan memberikan keuntungan signifikan bagi industri telekomunikasi. Pasalnya, operator kini dapat mendorong efisiensi bisnis, terutama pada pembangunan jaringan.

“Meski harus menunggu hasil post-audit oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU), aksi merger ini sudah tepat karena modal dan aset operator akan semakin besar. Mudah-mudahan masyarakat mendapatkan manfaat lebih besar lagi dari penggabungan bisnis ini.” Ujarnya dihubungi DailySocial.id.

Merger Indosat dan Tri dianggap memperkuat struktur permodalan untuk ekspansi jaringan dan "branding" ke pelanggan

Potensi Merger Indosat-Tri: Babak Baru Persaingan Sehat Industri Telekomunikasi

Pasca merger antara XL Axiata dan Axis di 2014 silam, rumor konsolidasi operator seluler terus muncul. Pasangannya berubah-ubah. Namun, selain Telkomsel, sejumlah petinggi industri telekomunikasi tidak menepis mereka membuka peluang berkonsolidasi demi ekosistem yang lebih sehat.

Di akhir 2020, rumor tersebut mulai menunjukkan titik terang. Sebagaimana diberitakan Bloomberg beberapa waktu lalu, CK Hutchison Limited dan Ooredoo Group dilaporkan menjajaki peluang penggabungan bisnis anak usahanya, yakni PT Hutchison 3 Indonesia (Tri) dan PT Indosat Ooredoo Tbk (Indosat).

Berselang beberapa hari pasca berita tersebut diturunkan, Indosat Ooredoo buka suara. Di keterangan resminya, Director & Chief Financial Officer Indosat Ooredoo Eyas Naif Assaf membenarkan bahwa induk usahanya Ooredoo Group telah menandatangani Memorandum of Understanding (MoU) eksklusif dan tidak mengikat secara hukum dengan CK Hutchison Holdings Limited.

“Hal ini sehubungan dengan kemungkinan transaksi untuk menggabungkan bisnis masing-masing di Indonesia, yakni PT Indosat Tbk dan PT Hutchison 3 Indonesia. Periode eksklusivitas MoU ini berlaku hingga 30 April 2021. Belum ada informasi lebih lanjut yang bisa diungkapkan untuk saat ini,” ujarnya.

Jika mengacu pernyataan di atas, publik akan melihat hasil negosiasi ekslusif dalam empat bulan mendatang. DailySocial sempat menghubungi pihak Indosat Ooredoo dan Hutchison 3 Indonesia. Namun, keduanya belum dapat berkomentar banyak.

“Mohon maaf, kami dari manajemen belum bisa memberikan tanggapan mengenai hal ini. Sebaiknya ditanyakan kepada CK Hutchison atau Ooredoo Group,” ujar Wapresdir Hutchison 3 Indonesia M. Danny Buldansyah lewat pesan singkat.

Mengejar ketertinggalan dari Telkomsel

Terlepas operator apapun, Ekonom Fithra Faisal menilai bahwa saat ini menjadi momentum yang tepat untuk berkonsolidasi. Sebetulnya Indosat atau Tri bisa saja melakukan konsolidasi sejak beberapa tahun lalu, namun Fithra menilai pandemi Covid-19 menjadi driven factor yang kuat. Terlebih masyarakat semakin menuntut layanan telekomunikasi yang lebih baik di situasi saat ini.

Yang pelik adalah meski sektor ICT sangat diuntungkan akibat pandemi, industri telekomunikasi tidak ikut di dalamnya.

“Layanan digital banyak dipakai selama pandemi ini, tetapi operator tidak mencicipi keuntungan. Ini menandakan bahwa industri ini belum efisien,” papar Fithra saat dihubungi DailySocial. 

Berdasarkan data Asosiasi Penyelenggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI), trafik mobile industri naik 12,5 persen pada periode Februari-Maret. Kemudian, naik 7,5 persen (Maret-April) dan 5,7 persen (April-Mei). Pada periode Mei-Juni, trafik turun 0,5 persen.

Namun, ATSI menyebut bahwa kenaikan trafik selama pandemi tidak diimbangi dengan peningkatan pendapatan. Pemberlakuan WFH dan SFH juga berdampak terhadap penurunan layanan dasar operator, yakni voice dan SMS.

Maka itu, di situasi saat ini operator dinilai memerlukan struktur permodalan yang kuat demi meringankan beban ekspansi jaringan. Apalagi, operator juga perlu melaksanakan kewajiban untuk menyediakan jaringan secara nasional sebagaimana lisensi frekuensi yang diamanatkan.

Induk usaha Indosat, Ooredoo Group merupakan perusahaan telekomunikasi asal Qatar yang menguasai saham mayoritas Indosat sejak 2015. Sementara Tri Indonesia dinaungi CK Hutchison Holdings yang merupakan konglomerasi asal Hong Kong.

Di sisi lain, lanjut Fithra, rencana merger Indosat-Tri menjadi langkah awal untuk mengejar ketertinggalannya dari Telkomsel yang memimpin industri. Menurutnya, Indosat-Tri yang dinilai bergantung pada segmen pelanggan anak muda, cenderung memiliki price elasticity yang tinggi. Akibatnya, pelanggan dapat dengan mudah pindah ke operator lain jika tarif yang mereka pakai lebih mahal.

Indosat Financial Performance (2018-2019/YoY)

Year Total Revenue EBITDA Net (Loss) Profit Subscribers Highlights
2019 Rp26.1 trillion (+12.9%) Rp9.9 trillion (+51.6%) Rp1.6 trillion

(+166%)

59.3 million (+2.1%)
  • Sold 3,100 telco towers to Mitratel and Protelindo worth Rp6,39 trillion
  • 4G coverage nearly 90%
2018 Rp23.1 trillion (-22.7%)  Rp6.5 trillion (-49.1%) -Rp2.4 trillion (-311,6%) 58 million

(-47.3%)

  • Massive network expansion 
  • Reduced its USD debts by 77.7%
2017 Rp29.9 trillion

(+2.5%)

Rp12.8 trillion (+0.8%) Rp1.1 trillion (+2.8%) 110 million (+28.7%)
  • Won additional 5MHz in 2100MHZ in 2017 spectrum auction

Source: Investor Memo

Telkomsel dan XL Axiata dianggap memiliki branding dan loyalitas pelanggan yang lebih kuat sehingga penggunanya cenderung tidak terlalu memikirkan harga. Alhasil pelanggan cenderung bertahan terhadap layanannya karena price elasticity-nya rendah.

“Karena hal tersebut, Telkomsel dan XL punya captive market yang tidak dimiliki Indosat dan Tri. Makanya, Indosat dan Tri bakal menderita jika mereka terus mempertahankan level murah. Pada akhirnya, mereka harus memperkuat permodalan dan branding mereka,” jelasnya.

Ekspansi jaringan, efisiensi, dan persaingan lebih sehat

Pemerintah telah berupaya menciptakan persaingan industri yang sehat. Nyatanya, situasi ini tetap sulit karena sejak awal terlalu banyak operator telekomunikasi. Frekuensi yang diperebutkan tidak cukup untuk dapat memberikan kualitas layanan yang masimal. Belum lagi biaya yang dikeluarkan setiap tahun untuk membangun jaringan hingga membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) frekuensi.

Perang tarif untuk memenangkan hati pelanggan justru menciptakan jurang terhadap pertumbuhan industri telekomunikasi di Indonesia. Ketua Umum ATSI Ririek Adriansyah sempat menyebutkan bahwa industri telekomunikasi Indonesia mencatat pertumbuhan minus 6,4 persen di 2018. Ini adalah pertumbuhan minus pertama kalinya dalam sejarah.

Dihubungi DailySocial, Ketua Masyarakat Telematika (Mastel) Institute Nonot Harsono mengatakan bahwa konsolidasi ini tentu akan menciptakan persaingan industri yang lebih sehat. Apalagi jika skenarionya XL Axiata dan Smartfren mengikuti jejak mereka. Cita-cita Indonesia untuk memiliki tiga operator seluler saja bakal terealisasi.

“Di industri telekomunikasi, aset terpenting adalah frekuensi. Apabila berkonsolidasi, mereka dapat menggabungkan aset tersebut sehingga tidak menjadi beban. Harapannya, mereka tidak perlu mengembalikan pita frekuensi ke pemerintah karena alokasi Tri tidak banyak. Kalaupun digabung dengan Indosat, selisihnya dengan Telkomsel dan XL tetap tidak melampaui,” ucapnya.

Pertumbuhan Operator "Top 3" di Indonesia
Pertumbuhan Operator “Top 3” di Indonesia / Corporate Digital Transformation

“Kita belum tahu model merger yang bakal terjadi, apakah kedua entitas menyepakati komposisi saham atau jual putus. Mungkin bukan jual putus karena melibatkan uang cash yang banyak. Kalau jual putus, yang berharga cuma frekuensi saja. Selain itu, semuanya adalah beban. Keduanya bisa saja menyatakan nilai bersyarat. Jika regulator meminta sebagian pita, valuasi bisa berbeda dan bisa minta ganti rugi, misalnya,” terang Nonot.

Lagipula, lanjutnya, situasi sekarang tidak bisa disamakan ketika XL mengakuisisi Axis. Menurut Nonot, seharusnya pemerintah memberikan semacam reward apabila keduanya sepakat untuk merger. Jika pemerintah menjamin tidak akan ada penarikan frekuensi, aksi merger ini bisa terjadi.

XL Axiata dan Axis merupakan konsolidasi kedua di industri setelah Mobile-8 dan Fren (sekarang Smartfren). Ketika XL Axiata mencaplok Axis senilai $865 juta, pemerintah meminta anak usaha Axiata Bhd untuk mengembalikan pita selebar 5MHz milik Axis di spektrum 2.100MHz.

Saat ini, Indosat menggunakan pita selebar 20MHz di 1.800MHz dan 15MHz di 2.100MHz. Sementara Tri memiliki pita selebar 15MHz di 2.100MHz dan 10MHz di 1.800MHz. Kedua spektrum ini dipakai untuk menggelar jaringan 3G dan 4G.

Apabila digabungkan, baik Indosat dan Tri dapat memiliki akumulasi spektrum masing-masing 30MHz di 2.100MHz dan 1.800MHz yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas jaringan 4G yang lebih baik.

“Ini menjadi momentum pas bagi pemerintah untuk menegaskan tidak ada pengembalian alokasi frekuensi karena [jika digabung] alokasi pita tidak akan melampaui Telkomsel dan XL. Lagipula, ini kewajiban pemerintah untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat. Bisa saja langkah ini bakal diikuti oleh XL dan Smartfren ke depannya.” Tutup Nonot.

Indosat Ooredoo meresmikan MPWR (re: Empower) meramaikan prabayar digital yang diisi Telkomsel (by.U), Smartfren (Switch Mobile), dan XL Axiata (Live.On)

“Operator Digital”, Adu Keberuntungan Tarik Konsumen Baru

Pada awal bulan ini, Indosat Ooredoo meresmikan MPWR (dibaca: Empower), menandai bertambahnya operator telekomunikasi yang masuk ke produk prabayar digital. Sebelumnya, ada Telkomsel (by.U), Smartfren (Switch Mobile), dan XL Axiata (Live.On), tinggal menunggu waktu kapan Hutchison (3) apakah akan mengambil strategi yang sama.

Sejauh ini, belum ada perbedaan yang signifikan dari keseluruhan pemain di atas. Semuanya, secara umum, menyasar generasi muda ke atas sebagai pengguna dengan brand dan model bisnis yang berbeda dari produk seluler terdahulu.

Mereka semua berupaya menawarkan produk yang terpersonalisasi, simpel, dan dapat dikendalikan sendiri lewat aplikasi. Aplikasi menjadi multifungsi untuk mengatur segala aktivitas, mulai dari pemesanan kartu, memilih nomor, registrasi, hingga memilih paket.

Semua pengalaman ini sebelumnya absen dari produk prabayar/pascabayar yang disediakan para operator ini. Kendati serba digital, pengguna tetap membutuhkan kartu fisik layaknya kartu prabayar konvensional untuk terhubung dengan seluruh pengalaman yang ditawarkan.

Sebagai pendatang baru, Indosat Ooredoo percaya diri bahwa MPWR punya diferensiasi kuat di sisi pemenuhan gaya hidup para pengguna milenial untuk mendapatkan promo dari brand yang mereka suka. Diklaim ada ratusan kerja sama dengan brand berisi ribuan penawaran eksklusif.

“Diferensiasi terkuat kami adalah lifestyle offer. Produk lifestyle digabung dengan produk telko, pengguna bisa pursue their digital lifestyle, dengan jaringan premium, bisa pilih nomor yang diinginkan,” ucap MPWR Spokesperson Alexander Christian kepada DailySocial, kemarin (10/12).

Meski pangsa pasar operator telekomunikasi diyakini sudah sempit untuk mendapatkan pengguna baru, Alex meyakini cara mujarabnya adalah meracik produk sebaik mungkin agar dapat menjawab kebutuhan pengguna. Agar MPWR dapat berkembang pesat, tim MPWR disusun terpisah dari Indosat. “Anggap brand baru, tapi powered by Indosat.”

Ia mengaku tidak membuat segmentasi pengguna berdasarkan kelas ekonomi, degan berapa banyak pulsa dan paket kuota internet. Pasalnya pengguna dapat memilih apa yang mereka inginkan sesuai preferensi masing-masing.

Pada tahun lalu tercatat, ada 317,5 juta pelanggan operator di Indonesia. Telkomsel menjadi pemilik pengguna terbanyak dengan total 171,1 juta orang, disusul Indosat dengan 59,3 juta, XL Axiata 56,7 juta dan Hutchison 30,4 juta.

Mengingat produk pascabayar digital ini masih menjadi barang baru, Alex mengakui diperlukan proses edukasi agar dapat diterima dengan baik. Keberadaan pemain sejenis MPWR dianggap dapat memberi pilihan kepada calon pengguna baru.

“Kombinasi telko dengan produk gaya hidup digital itu sesuatu yang baru, dan saat ini sangat dibutuhkan generasi muda.”

Penyegaran di bawah brand baru

Dalam tulisan sebelumnya, munculnya brand baru adalah bagian dari upaya perusahaan untuk penyegaran. Mantan Direktur Utama Telkomsel Emma Sri Hartini menyebutkan, Telkomsel dianggap sebagai merek lama karena telah berdiri selama 25 tahun. Produk by.U dianggap dapat menyegarkan brand Telkomsel, tanpa menganibalisasi produk yang sudah ada, yakni, Simpati, AS, dan Loop.

“Gen Z itu tidak mau diatur produknya, mereka tidak product-driven. Berbeda dengan selama ini produk-produk yang sudah ada di-drive oleh operator. Nah, by.U ini bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan pengguna,” papar Emma.

Dihubungi secara terpisah, Presiden Direktur Smartfren Merza Fachys mengatakan hal senada. Menurutnya, ia ingin merek seluler ini [Switch Mobile] dapat dikenal sebagai produk baru di pasaran tanpa perlu diasosiasikan dengan merek existing Smartfren.

“Saat ini, pelanggan kami sebagian besar berada di kelas C dan D. Dengan Switch ini, kami ingin membidik high market di kelas B dan C,” ungkap Merza.

Application Information Will Show Up Here