Seperti yang kita tahu, Apple dan pengembang game populer Fortnite, Epic Games, masih berseteru sejak Agustus tahun lalu lantaran konflik game Fortnite yang ditarik peredarannya dari Apple Store.
Melalui pernyataan resminya, Apple melarang Fortnite dirilis di Apple Store lantaran Epic Games melanggar kebijakan platform perusahaan temuan Steve Jobs ini. Epic Games mengimplementasikan jalur pembayarannya sendiri dibanding melalui Apple Store guna menghindari biaya tinggi dari Apple Store. Namun, Epic Games sendiri menyatakan bahwa dengan hilangnya Fortnite dari Apple Store, Apple telah melakukan monopoli.
Perseteruan ini telah berjalan di meja hijau hampir satu bulan lamanya, dan masih dalam proses hearing para saksi. Dalam persidangan yang dibuka untuk publik ini, beberapa perusahaan besar termasuk Epic Games dan Apple melontarkan rahasia-rahasia industri yang tidak diketahui oleh umum. Setidaknya, ada lima rahasia yang menarik untuk diketahui.
1. Hasil dari penjualan Xbox tidak pernah menghasilkan keuntungan untuk Microsoft
Setelah hampir dua dekade perilisannya, console Xbox ternyata tidak pernah menjadi produk pencetak uang untuk Microsoft. Microsoft malah merugi di setiap perangkat Xbox yang mereka jual. Hal ini dikemukakan langsung oleh VP of Xbox Business Development Microsoft, Lori Wright.
Lalu, mengapa Microsoft masih mempertahankan produksi Xbox walaupun mengetahui mereka rugi di setiap perangkat yang dijualnya? Karena mesin pencetak uang Microsoft bukan berasal dari perangkat keras (hardware), melainkan perangkat lunak (software) seperti game digital, layanan berbasis langganan seperti Xbox Game Pass, maupun aksesoris-aksesoris seperti gamepads.
Selain itu, persidangan ini juga menjadi ajang “buka-bukaan” bahwa Microsoft mengambil 30% keuntungan pengembang game yang memasarkan produknya di Xbox. Angka 30% itu sendiri sudah lazim dan menjadi standar industri yang juga ditetapkan di platform-platform lain seperti iOS App Store, dan Steam Store.
2. Apple menghasilkan margin yang besar dari App Store
Salah satu saksi ahli Epic Games, yaitu Managing Director dari Berkeley Research Group, Ned Barnes, menyatakan bahwa Apple Store menikmati setidaknya margin jumbo sebesar 70% di dua tahun ke belakang. “Dengan laporan di 16 Februari 2021 dengan menggunakan testimoni dan informasi finansial Apple yang tersedia pada saat itu, saya mengkalkulasi bahwa margin operasi App Store adalah 79,6% di masing-masing tahun 2019 dan 2018.”
Selain itu, dia juga menyatakan bahwa Apple memberikan dokumen tambahan yang mendemonstrasikan persentase yang lebih kecil di dua tahun belakangan ini. Namun perwakilan Apple melalui TheVerge telah membantah semua keterangan Ned Barnes.
3. Fortnite menghasilkan setidaknya belasan triliun rupiah untuk Epic Games setiap tahunnya
Melalui kesaksian Epic Games, terungkap bahwa Epic Games setidaknya menerima belasan hingga puluhan triliun rupiah dari game tersuksesnya Fortnite. Di tahun 2020 sendiri, Epic Games menghasilkan setidaknya Rp71 triliun. Sedangkan di antara tahun 2018-19, Fortnite membawa Rp129 triliun. Menariknya, PlayStation 4 menjadi platform yang menyumbang pendapatan terbanyak untuk Fortnite.
4. CEO Epic Games, Tim Sweeney kirim email “pernyataan perang” ke Tim Cook jam 2 pagi
Pada 14 Agustus 2020, tepatnya jam 2 pagi, CEO dari Epic Games Tim Sweeney menyatakan perang pertamanya ke Tim Cook terkait kebijakan mereka untuk mewajibkan seluruh pengembang patuh atas syarat dan ketentuan memakai pembayaran digital melalui App Store.
“Saya menulis untuk memberi tahu Anda bahwa Epic tidak akan lagi mematuhi batasan pemrosesan pembayaran Apple,” tulis Sweeney. “Hari ini, Epic meluncurkan pembayaran langsung Epic di ‘Fortnite’ di iOS, menawarkan pelanggan pilihan untuk membayar in-app melalui Epic Games maupun Apple, dan meneruskan penghematan pembayaran langsung Epic kepada pelanggan dalam bentuk harga yang lebih rendah.”
Apple langsung merespon tegas dengan menghilangkan Fortnite di App Store. Hal itu juga membuat game sejuta umat ini tidak dapat dimainkan di semua perangkat milik Apple. Email ini menjadi salah satu bukti persidangan yang dikuak untuk menjadi alat bukti.
5. Fortnite menjadi alasan terbesar Sony untuk “menurunkan ego”
September 2018 menjadi bulan yang bersejarah karena Fortnite menjadi game pertama di PlayStation 4 yang bisa melakukan crossplay dengan platform lain.
Kehadiran Fortnite di PlayStation 4 dan jumlah pemain yang sangat besar menjadikan Sony harus sedikit lunak. “Hal lni menunjukkan perubahan kebijakan besar untuk Sony Interactive Entertainment,” sebut Sony di pernyataan resminya. Untuk sekadar perbandingan, antara bulan Januari 2019-Juli 2020, Epic menghasilkan Rp2 triliun setiap bulannya di platform PlayStation 4, dibanding sekitar Rp300 miliar di platform iOS. Kehadiran Fortnite di PlayStation 4 sangat menguntungkan baik Epic Games maupun Sony.
Salah satu tren yang terjadi selama tahun 2020 adalah meningkatnya waktu yang kita habiskan untuk bermain video game. Entah itu PC, console, ataupun perangkat mobile, hampir semua platform gaming melihat lonjakan pengguna yang cukup signifikan seiring dengan kebiasaan baru kita berdiam diri di rumah masing-masing.
Di saat jumlah pemainnya bertambah, sudah semestinya jumlah uang yang berputar di industri gaming ikut bertambah. Benar saja, berdasarkan laporan tahunan dari SuperData, pengeluaran konsumen untuk video game di PC, console dan perangkat mobile meningkat 12% di tahun 2020 hingga mencapai angka $127 miliar.
Kalau dibagi per platform, $73,8 miliar dari total pengeluaran tersebut datang dari gamer mobile, disusul oleh gamer PC dengan $33,1 miliar, dan console dengan $19,7 miliar. Di saat yang sama, konten video gaming mendatangkan pemasukan sebesar $9,3 miliar.
Dari total pengeluaran konsumen sebesar $127 miliar tadi, lebih dari tiga perempatnya berasal dari game free-to-play (F2P). Persisnya, game F2P mendatangkan pemasukan sebesar $98,4 miliar, atau sekitar 78% dari total, dan angkanya ini lebih besar 9% dibanding tahun sebelumnya.
Kalau dijabarkan lebih lanjut, dari total pengeluaran konsumen untuk game F2P tadi, $73,8 miliar berasal dari platform mobile, $22,7 miliar dari PC, dan sisa $1,8 miliar dari console. Pasar game mobile sendiri tercatat meningkat sebesar 10% selama tahun 2020 dan menyumbangkan sekitar 58% dari total pasar video game secara keseluruhan.
Pertanyaan selanjutnya, game F2P apa yang mencetak pendapatan terbesar sepanjang 2020? Berikut daftar 10 yang teratas:
1. Honor of Kings (Arena of Valor) – $2,45 miliar
2. Peacekeeper Elite (PUBG Mobile) – $2,32 miliar
3. Roblox – $2,29 miliar
4. Free Fire – $2,13 miliar
5. Pokemon GO – $1,92 miliar
6. League of Legends – $1,75 miliar
7. Candy Crush Saga – $1,66 miliar
8. AFK Arena – $1,45 miliar
9. Gardenscapes: New Acres – $1,43 miliar
10. Dungeon Fighter Online – $1,41 miliar
Menariknya, meski game premium tercatat hanya mendatangkan pemasukan sebesar $24,5 miliar, pertumbuhan pasarnya justru lebih pesat. Dibandingkan tahun 2019, angka penjualan game premium di tahun 2020 naik 28% berkat judul-judul yang sangat diantisipasi seperti Doom Eternal, The Last of Us Part 2, dan tentu saja Cyberpunk 2077 yang menjadi mesin uang bagi CD Projekt Red terlepas dari segudang permasalahannya.
Kalau diurutkan, 10 game premium dengan pemasukan terbesar di sepanjang tahun 2020 adalah sebagai berikut:
1. Call of Duty Modern Warfare – $1,91 miliar
2. FIFA 20 – $1,08 miliar
3. Grand Theft Auto V – $911 juta
4. NBA 2K21 – $889 juta
5. NBA 2K20 – $771 juta
6. Call of Duty: Black Ops Cold War – $678 juta
7. Animal Crossing: New Horizon – $654 juta
8. Cyberpunk 2077 – $609 juta
9. The Sims 4 – $462 juta
10. Doom Eternal – $454 juta
Tren berdiam diri di rumah sembari bermain game diperkirakan masih akan bertahan di tahun 2021 ini, dan SuperData memprediksi industri hiburan interaktif akan bertumbuh sebesar 2% di tahun ini menjadi $142 miliar. Tanda-tandanya sendiri sudah mulai kelihatan, salah satunya adalah banyaknya game bagus yang mengantre untuk dirilis tahun ini.
Kian hari, nampaknya kian banyak game yang dibuat ulang (baik dalam bentuk remastered ataupun remake). Buat gamer console (gamer PC juga harusnya tahu) ada versi remake dari game legendaris, Final Fantasy VII (FFVII). Beberapa waktu yang lalu, ada juga 2 game versi remastered yang dirilis dalam waktu dekat, Mafia II dan Saints Row the 3rd.
Ini kita masih belum berbicara soal Skyrim dan GTA V yang diproduksi ulang sampai berkali-kali ke platform yang lebih baru. Skyrim bahkan punya 3 versi di PC, Skyrim, Skyrim Special Edition, dan Skyrim VR.
Proses reproduksi seperti ini sebenarnya, nyatanya tak hanya terjadi di industri game tetapi juga di berbagai jenis konten seperti lagu ataupun film/serial TV.
Apalagi jika kita berbicara ke game mobile, tidak sedikit juga yang game-game yang mengambil karakter-karakter yang sudah populer sebelumnya untuk dimasukkan ke dalam game baru — baik itu yang resmi ataupun tidak resmi.
Pertanyaan besarnya, kenapa hal ini bisa dan semakin sering terjadi di zaman sekarang?
Ada 5 jawaban dari perspektif berbeda yang sudah saya kumpulkan atas pertanyaan tadi. Jadi, tanpa basa-basi lagi, inilah kelima jawaban tersebut.
1. Low Cost and Low-Risk Effort of Business
Jawaban pertama di sini mungkin adalah yang paling gampang dipahami dan ditemukan oleh setiap orang. Semua bentuk usaha bisnis pasti memiliki resiko karena ada modal yang harus digelontorkan tetapi belum tentu laku di pasaran.
Dengan memproduksi ulang ide yang sudah ada, usaha produksi tentunya jadi lebih murah karena tidak butuh keseluruhan aspek untuk dikerjakan dari awal. Versi remastered misalnya, developer tak perlu lagi membayar pembuat plot cerita/storyline, perancang karakter, game designer, pengisi suara, pencipta musik, ataupun yang lainnya karena semuanya sudah ada. Developer hanya perlu meningkatkan kualitas tekstur dan fitur grafis saja di dalam remastered.
Versi remake di sisi lain memang butuh lebih banyak orang, waktu, dan biaya. Seperti saat FFVII dibuat ulang, developer harus membuat ulang game tersebut dari banyak segi namun tetap saja ada satu faktor lagi yang membuatnya lebih rendah resikonya, yaitu pasar (audience).
FFVII adalah salah satu game legendaris dari zaman PlayStation pertama. Justru Anda yang keterlaluan jika Anda belum pernah mendengar game yang satu ini — terlepas pernah memainkannya atau tidak. Dengan begitu, sang developer/publisher tak perlu khawatir akan mencari pasar baru karena sudah terbukti ada.
Mencari pasar baru ini memang faktanya tak semudah itu. Gearbox misalnya yang beberapa tahun silam menciptakan Battleborn. Sayangnya, usaha mereka mengenalkan franchise baru tak berhasil. Hal tersebut berarti waktu, usaha, dan modal yang dikeluarkan untuk menciptakan Battleborn jadi tak sepadan dengan keuntungan materiilnya. Gearbox bahkan lebih sukses dengan Borderlands 3 (meski bentuknya sekuel, bukan remake apalagi remastered) karena pasarnya tadi sudah ada sejak BL2 ataupun BL1.
Saya kira hal ini juga yang jadi alasan kenapa banyak game-game mobile yang menawarkan nilai rendah dari aspek autentisitas (meski memang konsep autentisitas/keaslian itu juga bisa diperdebatkan lebih jauh, yang akan kita bahas di bagian terakhir). Dari pengalaman saya memerhatikan industri game mobile, memang nyatanya sebagian besar (jika tidak bisa dibilang semua) game yang ada di sini terinspirasi (atau meniru) dari produk lainnya baik dalam satu aspek atau lebih, dari soal gameplay ataupun karakter.
Sebelum kita pindah ke alasan kedua, yang berasal dari perspektif pengguna, saya ingin menyampaikan bahwa remake, remaster, sekuel/prekuel, spin-off, ataupun yang lainnya yang tidak sepenuhnya orisinal itu belum tentu negatif juga sebenarnya.
Saya juga memainkan kembali saat Bethesda merilis kembali Skyrim Special Edition (berhubung gratis juga buat para pemilik Skyrim awal dengan semua DLC-nya). Saya juga salut dengan usaha Square Enix membuat kembali FFVII Remake.
Meski memang hal-hal yang tak sepenuhnya orisinal itu bisa dibilang lebih murah ongkos produksinya dan lebih aman soal pertaruhan bisnis, kita tidak bisa serta merta memberikan cap negatif juga selama memang implementasinya dikerjakan dengan sangat baik. Sebaliknya, tidak semua hal yang orisinal itu juga pasti bagus.
2. Nostalgia, Narsisisme, dan Familiaritas
Semua produk tidak akan bertahan jika tidak ada pasarnya juga. Demikian juga dengan produk-produk remake, remaster,spin-off, sekuel, dkk. tadi. Faktanya, kita sebagai pengguna juga menyukai produk-produk tersebut.
Ada 3 alasan yang saya temukan dari perspektif pengguna yang membuat kita menyukai produk-produk tadi.
Alasan pertama tentunya adalah faktor nostalgia. Siapakah yang tidak suka dengan nostalgia, khususnya untuk kenangan-kenangan manis kita di masa lampau? Saya juga masih ingat kenangan manis saya saat bermain Suikoden 2 ataupun Legend of Dragoon di PSX dan berharap ada versi remake-nya di PC, di masa depan kelak.
Saat kita mendengarkan lagu lawas, menonton film jadul, ataupun bermain game klasik, kita juga terbawa kembali ke kenangan-kenangan indah saat kita masih anak-anak dulu — yang faktanya masa kanak-kanak itu selalu lebih menyenangkan karena saya dulu tak perlu pusing mencari nafkah untuk keluarga, hidup tanpa beban tuntutan yang berarti, ataupun mengingatkan berkali-kali para penulis yang masih sering typo ataupun menuliskan kalimat yang aneh… Wokawoakowkaow…
Selain soal nostalgia, produk-produk lama juga bisa digunakan untuk kebutuhan narsisistik. Setiap orang pasti narsis, setidaknya dalam tingkatan yang berbeda-beda. Karena itulah media sosial itu selalu ramai karena, salah satunya, kita ingin mengiklankan diri tentang siapa kita di depan kawan-kawan ataupun di dunia maya.
Game-game, musik, atau film klasik itu bisa jadi salah satu metode memuaskan hasrat narsisistik kita… Jika tidak percaya, silakan tuliskan postingan seperti ini di media sosial, “tuliskan 5 band favorit kamu saat masih sekolah dulu…”
Saya yakin ada banyak orang yang akan menuliskannya dengan senang hati untuk memamerkan selera mereka. Hal yang sama juga terjadi dengan FFVII Remake karena kita bisa pamer bahwa FFVII dulu adalah salah satu game yang mewarnai hidup kita dulu.
Terakhir, alasan yang membuat kita suka dengan produk-produk klasik adalah familiarity principle/mere-exposure effect. Dengan meledaknya popularitas MCU di layar lebar (yang sebelumnya juga sudah memanfaatkan familiaritas dari komiknya), semakin banyak orang yang familiar dengan karakter-karakter dari jagat Marvel. Hal ini yang kemudian dimanfaatkan dengan baik (atau malah terlalu eksploitatif) ke game-game di berbagai platform.
Hal ini juga berlaku di aspek hidup kita lainnya, tak hanya soal konten yang kita konsumsi. Saat kita pindah kantor, misalnya, ada satu kenyamanan juga yang kita dapat saat kita sudah mengenal satu kawan atau lebih sebelumnya di kantor baru.
Saat kita berkendara juga, kita memiliki kecenderungan untuk melewati jalan-jalan yang sudah kita lewati/hafal (familiar juga) sebelumnya.
3 faktor tadilah yang membuat kita sebagai pengguna juga lebih terbuka dengan produk remake,remaster, sekuel/prekuel, spin-off, dan kawan-kawannya.
3. Technological Advancements
Satu lagi faktor yang membuat lebih banyak remake,remaster, ataupun kawan-kawannya tadi datang dari perspektif lain yang berbeda. Faktor ketiga datang dari perkembangan cepat teknologi selama beberapa tahun belakangan.
Salah satu yang membuat kita malas memainkan game-game klasik adalah grafisnya yang terlihat amit-amit jeleknya saat dibandingkan dengan game-game baru. Hal ini juga terjadi karena perkembangan teknologi grafis di game yang begitu cepat. Coba saja kita bandingkan 2 game yang sama-sama besutan Rockstar, yaitu GTA V dan RDR 2. Kedua game ini hanya terpaut 5 tahun tanggal rilisnya. GTA V dirilis di 2013 sedangkan RDR 2 dirilis di 2018. Kebetulan saja, saya memang memainkan kembali GTA V setelah saya menamatkan RDR 2. Jadi, saya melihat begitu jauhnya kecantikan grafik yang ditawarkan oleh RDR 2, dibandingkan GTA V.
Di era sebelum ini, misalnya di era Super Nintendo (SNES), perkembangan teknologi grafis belum secepat ini. SNES diproduksi pertama kali di tahun 1990 dan berhenti produksi di tahun 2003. Jadi masa hidupnya bisa sampai 13 tahun. PlayStation 4 dirilis 2013 dan tak lama lagi kita akan melihat PlayStation 5, meski masih 7 tahun berselang.
Di sisi lain, silakan percaya atau tidak namun kebutuhan perkembangan teknologi itu sangat bergantung pada pengalaman Anda. Misalnya, Anda yang belum pernah menggunakan monitor 120Hz ke atas, mungkin Anda tidak akan merasa butuh. Demikian juga jika Anda hanya menggunakan headset, keyboard, dan mouse di bawah harga Rp100 ribuan. Kemungkinan besar, Anda merasa tidak akan merasa butuh peripheral di atas harga Rp1 jutaan.
Demikian juga soal grafis game. Jika Anda sudah terbiasa bermain game di PC dengan setting mentok kanan plus ReShade ataupun ENB, kemungkinan besar, Anda tidak mau menatap grafis kelas console apalagi mobile… Wkwkwkwk… PC Master Race FTW!
Di sisi lain, teknologi juga yang memudahkan proses duplikasi remake atau remastered. Inilah sebabnya juga, menurut saya, Skyrim lebih banyak diproduksi ulang ketimbang Morrowind ataupun Oblivion. Contoh lainnnya, ibaratnya saja seperti ini, musik yang sudah diproduksi zaman digital akan lebih mudah diproduksi ulang ketimbang musik saat masih pakai kaset atau malah masih piringan hitam.
Semakin mudah, kembali lagi, semakin murah juga ongkos yang harus dikeluarkan untuk produksi ulang.
4. The industry is about Reproduction
Jika tiga jawaban di atas memang kedengarannya lebih dangkal dan mudah dipahami, dua jawaban terakhir akan lebih dalam atau bahkan mungkin filosofis…
Theodor Adorno dan Max Horkheimer pernah mencetuskan sebuah teori yang disebut dengan culture industry. Teori tersebut mengatakan bahwa film, musik, dan konten-konten lainnya sudah tidak lagi bisa disebut sebuah karya seni, melainkan sebuah produk dari industri. Silakan baca sendiri untuk teori lengkapnya karena akan terlalu panjang untuk dijelaskan semuanya di artikel ini.
Teori Adorno dan Horkheimer tadi memang sedikit berbeda arah dengan yang ingin saya jelaskan di sini namun, satu hal yang pasti, bagi saya teori ini wajib dipahami bagi orang-orang yang bekerja di industri kreatif.
Derivasi dari teori tadi, karena produk-produk konten (termasuk game) tadi sudah tak lagi disebut karya seni, tentunya jadi lebih sah jika diproduksi berulang kali untuk memaksimalkan keuntungan.
Saya yakin tidak banyak yang protes (dengan alasan tidak orisinal) jika sebuah bola lampu diproduksi jutaan kali setiap harinya. Demikian juga dengan bentuk mouse, keyboard, headset, ponsel, dan lain-lainnya yang memang sebagian besar bentuknya sama atau mirip-mirip.
Makanya, produk konten juga bisa saja sah dan tak mengherankan lagi jika direproduksi berulang kali karena sama-sama produk dari industri.
Terlepas dari orang-orang yang ingin memandang sebuah game, musik, ataupun film sebagai sebuah mahakarya, nyatanya konten tersebut (orisinal atau tidak) adalah produk industri yang memang dibuat dengan tujuan mendapatkan keuntungan.
5. Originality is overrated
Jawaban terakhir yang mungkin juga filosofis adalah soal mempertanyakan konsep originality.
Mark Twain pernah mengatakan seperti ini, “the kernel, the soul, let us go further and say the substance, the bulk, the actual and valuable material of all human utterances is plagiarism.”
Ia percaya bahwa tidak ada yang namanya pemikirian orisinal karena setiap subjek yang ada di dunia sudah dituangkan, ditulis, dan dipelajari. Silakan percaya atau tidak namun cerita tentang perjuangan seorang pahlawan membela kebenaran itu bahkan sudah ada sejak Beowulf dituliskan sekitar 1000 tahun yang lalu. Lagu tentang putus cinta? Saya kira sudah terlalu buanyaaaak lagu-lagu tentang kisah seperti itu dalam berbagai bahasa dari berbagai zaman.
Kita hidup di zaman modern saat peradaban sudah berusia 6000 tahun. Terlalu arogan atau bisa jadi naif saja jika Anda percaya bahwa ide Anda adalah yang pertama kali di dunia… Bahkan penemuan komputer saja tidak datang dari ide satu orang saja. Semua penemuan dan teknologi sepanjang sejarah manusia itu datang dari kolaborasi ide dan usaha antara kita dan sesama kita.
Dengan demikian, semakin lama peradaban dunia bertahan, semakin banyak pula ide-ide remake, remaster, sekuel, atau apapun itu namanya.
Saya tahu jawaban kelima ini memang sepertinya terlalu melebar dari pertanyaan yang spesifik yang jadi judul artikel ini. Namun demikian, saya kira tidak ada salahnya juga menyadari bahwa originality itu tidak sedangkal yang Anda bayangkan sebelumnya.
Meski begitu, jangan jadikan teori ini sebagai tempat berlindung dari sekadar mencontek atau plagiarisme demi mendapatkan jalan mudah mencari keuntungan ataupun ketenaran juga karena Anda tetap saja akan kelihatan banal dan dangkal jika seperti itu konteksnya…
Akhirnya
Itu tadi kelima jawaban yang bisa saya temukan kenapa banyak remake, remastered, dan kawan-kawannya di industri game ataupun bahkan di industri konten kreatif lainnya.
Dari sisi bisnis, pasar, dan teknologi, reproduksi ulang memang sangat masuk akal untuk dijalankan seperti yang sudah saya jabarkan tadi di atas. Sedangkan dari sisi industri dan pemahaman tentang originality, saya kira remake, remaster, spin-off, sekuel/prekuel, dan kawan-kawannya ini memang sudah tak dapat dihindari lagi.
Esports tak lagi jadi industri main-main. Tahun ini, esports dipercaya akan menjadi industri bernilai triliunan rupiah. Menjadi pemain profesional pun tak lagi sekadar mimpi. Namun, sebenarnya, ada banyak pekerjaan yang bisa Anda tekuni di industri esports. Salah satunya adalah sebagai kreator konten atau streamer. Faktanya, para kreator konten ini juga punya peran penting dalam mengembangkan industri esports.
Jika tak percaya, coba lihat saja organisasi-organisasi esports besar seperti EVOS Esports atau FaZe Clan. Selain punya tim esports yang jago, mereka biasanya juga punya streamer atau influencer. Pasalnya, esports memang diperkirakan akan tumbuh besar sebagai bagian dari industri hiburan. Hal ini terlihat dari semakin banyaknya generasi Milenial dan Gen Z yang menonton konten gaming atau esports.
Secara global, kebanyakan kreator konten atau streamer fokus pada game-game PC seperti Dota 2 atau Counter-Strike: Global Offensive. Namun, di Indonesia, game esports yang populer adalah mobile game seperti Mobile Legends dan PUBG Mobile. Lalu, bagaimana cara untuk menyiarkan sesi gaming Anda jika Anda bermain mobile game? Memang, Anda bisa menghubungkan ponsel ke PC. Namun, dengan smartphone yang tepat, Anda juga bisa merekam dan mengedit video langsung dari smartphone Anda.
Tentu saja, untuk melakukan itu, Anda harus menggunakan smartphone yang punya spesifikasi mumpuni. Misalnya, Galaxy Note20 dan Note20 Ultra. Dua smartphone terbaru dari Samsung itu punya salah satu prosesor mobile paling canggih saat ini, yaitu Exynos 990. Tak hanya itu, keduanya juga punya RAM besar — Galaxy Note20 punya RAM 8 GB dan Note20 Ultra 12GB — sehingga Anda tidak perlu khawatir smartphone ini tak akan kuat untuk melakukan multitasking: merekam permainan Anda saat Anda tengah bermain.
Di Twitch, salah satu kategori favorit adalah Just Chatting. Di sini, para streamer mengobrol dengan fans mereka. Jika Anda ingin membuat vlog untuk menunjukkan kehidupan sehari-hari Anda pada fans, Anda juga bisa menggunakan kamera Galaxy Note20 dan Note20 Ultra. Galaxy Note20 punya lensa 12MP sebagai kamera utama. Dengan aperture F1.8, lensa dapat menangkap cahaya lebih banyak sehingga gambar yang dihasilkan akan tetap berkualiats bahkan saat diambil di tempat remang-remang. Sementara itu, Galaxy Note20 Ultra punya lensa utama 108MP dengan aperture F1.8. Kedua smartphone ini juga dilengkapi dengan dua lensa ekstra, yaitu lensa ultrawide dan lensa telephoto.
Baik Galaxy Note20 dan Note20 Ultra juga sudah dapat mengambil video dengan resolusi 8K. Keduanya juga sudah dilengkapi dengan OIS (Optical Image Stabilization), yang berfungsi untuk menstabilkan video yang Anda ambil.
Setelah selesai mengambil video, mari bicara tentang bagian editing. Sebagian kreator konten mengedit videonya di PC, walau mereka mengambil video dengan smartphone. Namun, jika Anda punya smartphone yang mumpuni, Anda juga bisa langsung mengedit video di smartphone. Galaxy Note20 dan Note20 Ultra tak hanya powerful, tapi juga dilengkapi dengan S-Pen yang bisa membantu Anda dalam proses editing. Dengan S Pen, Anda bisa mengetuk layar dengan lebih akurat. Selain itu, keduanya juga punya layar besar, Galaxy Note20 dengan layar 6,7 inci dan Note20 Ultra dengan layar 6,9 inci. Dengan begitu, Anda bisa lebih leluasa saat hendak mengedit video.
Samsung baru saja meluncurkan Galaxy Note20 dan Note20 Ultra pada 5 Agustus 2020 lalu. Sekarang, mereka membuka pre-order untuk kedua smartphone barunya tersebut pada 6-19 Agustus 2020. Mereka juga menawarkan e-voucher Galaxy Buds+ seharga Rp2,399 juta untuk pembelian Galaxy Note20 dan e-voucher seharga Rp2,599 juta untuk pembelian Galaxy Note20 Ultra. Jika ingin mendapatkan informasi lebih lengkap, Anda bisa mengunjungi www.galaxylaunchpack.com.
Disclosure: Artikel ini disponsori oleh Samsung Indonesia.
Awalnya hanya dianggap sebagai bagian ekstensi dunia hiburan di pertengahan 70-an, industri gaming dan komputer telah berkembang menjadi bagian penting kehidupan modern. Video game berhasil membuktikan bahwa ia merupakan media berpotensi tinggi, mengalahkan cabang-cabang industri hiburan lain. Continue reading Lima Fakta Menarik Industri Gaming→