Tag Archives: industri musik

Laleilmanino NFT Kolektibel

Kolektibel Gaet Musikus Lokal Masuk ke NFT, Segera Rilis Maret 2022

Platform marketplace NFT Kolektibel mengumumkan kreator berikutnya, kali ini datang dari industri musik, yang digandeng untuk terjun ke NFT, bernama Laleilmanino. Saat ini waitlist sudah dibuka dan rencananya akan meluncur pada Maret 2022 mendatang.

Laleilmanino merupakan trio produser rekaman yang beranggotakan Nino RAN, serta gitaris dan kibordis Maliq & D’Essentials, Lale dan Ilman. Pada awal kemunculan Kolektibel bersama mitra pertamanya, berhasil menjual lebih dari 525 NFT yang dibuat bersama Liga Basket Indonesia (IBL).

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, CEO Kolektibel Pungkas Riandika menceritakan anggota Laleilmanino memiliki passion sebagai pencipta lagu (composer) yang ingin aktif berkarya menciptakan lagu. Sebelumnya, passion tersebut belum bisa terakomodasi dengan maksimal ketika mereka berkarir di grup musik masing-masing.

“Di Laleilmanino mereka enggak perform, tapi sebagai penulis lagu. Artinya, IP-nya mereka yang pegang. Semangat itu pas dengan Kolektibel dan akhirnya sepakat untuk kerja sama,” kata Pungkas.

Dalam keterangan resmi, Nino RAN menyampaikan antusiasmenya terhadap kerja sama ini. Ia percaya bahwa NFT adalah bentuk pengembangan paling mutakhir di industri hiburan saat ini. “Kami menyadari bahwa dunia musik terus berinovasi. Kami melihat NFT bukanlah sebuah tren sesaat, melainkan era baru bagi industri musik masa depan,” ujarnya.

Sebagai pemilik IP, Laleilamino akan mengutilisasi aset-asetnya, mulai dari dokumentasi penciptaan lagu, mulai dari penggalan lirik, voice note, foto, workshop, dan lain-lainnya untuk dijadikan sebagai NFT. Untuk menciptakan unsur rarity (kelangkaan), sebagai komponen penting di fundamental NFT, Laleilmanino akan memberikan penawaran eksklusif kepada para kolektornya dengan berbagai macam bentuk engagement, hingga berkesempatan mendapat royalti.

“Laleilmanino ini ingin bentuk komunitas karena mereka tahu pendengarnya itu cukup die hard [terhadap karya-karyanya]. Untuk itu, mereka mau lebih dekat dengan komunitasnya dengan memberikan penawaran eksklusif,” tambah Pungkas.

Saat ini, Laleilmanino telah membuka daftar tunggu (waitlist) untuk para penggemarnya melalui laman ini. Rencananya akan dirilis dalam dua bulan mendatang, sekitar Maret 2022.

Sedikit berbeda dengan NFT marketplace lain di Indonesia, Kolektibel tidak menggunakan mata uang kripto sebagai metode pembayaran NFT. Untuk membeli, orang-orang bisa menggunakan fiat alias mata uang yang berlaku di Indonesia, yakni Rupiah di berbagai instrumen pembayaran digital yang populer, seperti GoPay, OVO, dan Virtual Account.

Model bisnis Kolektibel

Sebagai catatan, Kolektibel menerapkan dua skema model bisnis dalam menjalankan kemitraannya dengan brand pemilik IP, yakni B2B dan B2C. Untuk B2B, Kolektibel menyediakan domain khusus untuk brand dalam mengakomodasi transaksi jual-beli NFT dan domain utama Kolektibel di kolom kategori. Sementara B2C, disediakan domain (contoh: kolektibel.com/customername) untuk para kolektor dengan kategori top spender dan VIP.

Setiap NFT yang terjual, baik itu di primary market atau pun di secondary market, para pemilik IP akan tetap mendapat revenue sharing dengan persentase yang sudah disepakati bersama.

Model bisnis seperti ini, menurut Pungkas, merupakan rangkaian untuk menciptakan efek Trifecta Synergy, yang melibatkan IP, Kolektibel, dan kolektor. Tujuan dari Trifecta Synergy tersebut adalah mendapatkan perluasan pasar dan memperkuat loyalitas merek dengan membidik transformasi dari pelanggan menjadi kolektor, menciptakan sebuah bisnis yang digerakkan oleh komunitas (community driven business).

Setelah industri musik, salah satu IP berikutnya yang akan digandeng Kolektibel datang dari stasiun televisi lokal. Karya seni digital, yang menjadi salah satu karya yang paling banyak di NFT-kan di pasar global, justru belum menjadi incaran Kolektibel berikutnya.

“Kami enggak akan buru-buru masuk ke sana [karya seni]. Kami ini unik dari yang lain [marketplace NFT] karena bisa dibeli pakai Rupiah dan setiap NFT selalu punya utilitasnya,” tutup dia.

Pitchplay

Platform Distribusi Konten Video Pitchplay Tawarkan Alat Monetisasi Baru di Industri Musik

Industri musik menjadi salah satu yang terkena dampak paling besar dari pandemi Covid-19 di Indonesia. Kebijakan pemerintah untuk menetapkan protokol kesehatan termasuk Perlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) menyebabkan seni pertunjukan terhenti total. Ditiadakannya konser offline serta pembatasan-pembatasan dalam interaksi sosial nyatanya sangat berpengaruh terhadap aktivitas musisi.

Salah seorang musisi Febrian Nindyo Purbowiseso atau dikenal sebagai Febrian HIVI menyebut bahwa sekitar 55 persen dari musisi Indonesia kini telah menjual alat musiknya untuk bertahan hidup selama masa pandemi Covid-19. Angka ini didapatnya saat melakukan survei bersama Federasi Serikat Musisi Indonesia (Fesmi) kepada 186 orang, dalam wilayah kerja untuk DKI Jakarta dan Jawa Barat.

Seiring dengan berjalannya waktu, industri musik mulai bangkit dengan inovasi-inovasi yang tercipta melalui platform digital. Lalu, dengan protokol kesehatan yang ketat dan selebihnya pertunjukkan offline mulai kembali diadakan namun lebih banyak yang beralih ke virtual. Meskipun begitu, tidak sedikit musisi yang mengaku kesulitan untuk memonetisasi karyanya secara virtual. Salah satu pemain yang coba menawarkan solusi untuk masalah ini adalah Pitchplay.co.

Co-Founder & CEO Pitchplay Fauzan Rezda mengungkapkan bahwa saat ini eksistensi para musisi tanah air sedang terguncang. Selain karena live performance yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama musisi berkurang signifikan di masa pandemi, namun juga polemik revenue model pada digital music streaming yang hanya berpihak pada musisi berskala besar.

Melalui Pitchplay, Fauzan beserta timnya berkomitmen ingin menyediakan sebuah sustainable revenue model untuk musisi tanpa menggantikan revenue model yang telah ada sebelumnya.

Alat monetisasi baru di industri musik

Pitchplay pertama didirikan pada Juni 2020 oleh tiga founder, yaitu Fauzan Rezda sebagai CEO, Egi Purwana sebagai CTO, dan Daus Gonia sebagai CMO. Platform ini dirilis secara resmi pada Oktober 2020.

Ia turut mengungkapkan bahwa ide dibalik pembentukan Pitchplay adalah keinginan untuk menciptakan sebuah model bisnis yang memungkinkan musisi mendapatkan revenue stream baru tidak hanya dari produk jadinya (karya lagu) tetapi juga dari proses kreatifnya dalam bentuk konten video dan langsung kepada penggemar, tidak ketergantungan kepada sponsor/brand.

Saat ini, Pitchplay memiliki 3 fitur yaitu rent-to-view, bundle, dan support. Fitur utamanya sendiri adalah rent-to-view, yang memungkinkan musisi menjual konten video langsung kepada fans. Sekali membayar, penggemar dapat menonton konten tersebut tanpa batas selama 7 hari dan Pitchplay hanya akan
mengenakan biaya potongan kepada musisi per transaksi.

Sedangkan untuk bundle, musisi dapat menjual lebih dari satu konten atau dengan merchandise. Selain itu, ada juga fitur support yang memungkinkan fans memberikan dukungan dalam bentuk uang dan juga pesan kepada musisi kesayangannya.

Sekilas mungkin terlihat tidak ada bedanya dengan platform distribusi konten lain seperti YouTube atau sejenisnya. Namun, salah satu yang menjadi musuh bebuyutan para musisi adalah piracy atau pembajakan. Sementara konten virtual yang didistribusikan secara gratis melalui platform digital rentan sekali dengan isu pembajakan. Dalam hal ini, Pitchplay juga menawarkan wadah bagi musisi untuk mendistribusikan karya dengan nyaman dan aman dari ancaman pembajakan.

Dari sisi teknologi, timnya mengaku telah menerapkan beberapa teknologi penunjang untuk memenuhi standar keamanan konten, seperti DRM, blocker third party download, serta watermarking untuk mencegah pembajakan. “Kita yakin pembajakan tidak bisa 100% dihilangkan, tapi bisa dioptimalkan dalam pencegahannya baik preventif atau penanggulangannya,” tambah Fauzan

Merujuk kepada peraturan Pasal 3 PP 56/2021 yang menyebutkan bahwa setiap orang bisa menggunakan lagu dan atau musik dalam bentuk layanan publik yang bersifat komersial dengan catatan harus membayar royalti kepada pencipta, pemegang hak cipta dan atau pemilik hak terkait.

Untuk konten sendiri, timnya juga melakukan proses kurasi yang akan dipajang di platform. Jika isi dan kualitas konten dirasa tidak relevan, maka konten tersebut tidak akan dinaikkan atau secepatnya di take down.

Sebagai platform yang memiliki model B2B2C, Pitchplay berfokus kepada akuisisi artis sebagai penyedia konten. Untuk mendukung strategi akuisisi, timnya juga telah melakukan beberapa program edukasi baik secara langsung ke artis atau melalui program di media sosial.

Tantangan dan peluang

Sejauh ini, analisa dan tesis awal Pitchplay menunjukkan bahwa adopsi pasar terbilang cukup baik bahkan dengan biaya pemasaran yang kecil. Namun ada beberapa tantangan yang muncul, salah satunya adalah banyak fans yang bahkan belum memiliki akun e-wallet atau m-banking untuk pembayaran. Maka dari itu, selain OVO dan GoPay, platform ini juga menyediakan pembayaran lewat Alfamart.

Dari sisi pengguna sendiri, Pitchplay mengaku antusiasmenya cukup kuat bahkan dari segmen yang sebelumnya tidak bisa diprediksi. Kekuatan eksklusifitas dan tipe konten masih menjadi faktor utama bagi pengguna untuk mau membeli konten.

Menurut Fauzan, potensi konten berbayar sendiri masih sangat besar dan terus berkembang di Indonesia. Kuncinya adalah bagaimana bisa menjangkau target market yang menjanjikan tidak hanya dari sisi kualitas namun juga kuantitas.

“Hal tersebut yang membuat kami berfokus pada musik, karena bagi kami musik merupakan hal yang dekat dengan target market di Indonesia terutama jika kita berbicara segmen milenial dan second-tier cities, yang mana secara angka terbilang sangat besar,” ujarnya.

Dalam industri musik tanah air, sudah ada beberapa platform yang juga menawarkan revenue tambahan bagi para musisi. Salah satunya adalah GoPlay Live yang sudah dikostumisasi sedemikian rupa untuk menawarkan pengalaman real-time melalui platformnya. Selain itu juga ada aplikasi Modular yang memungkinkan konser virtual menggunakan teknologi Augmented Reality.

Selain itu, tantangan yang kemudian muncul adalah sulitnya musisi untuk membuat konten baru dengan terkendala masalah kreatif ataupun pendanaan. Platform ini pun sedang mempersiapkan solusi untuk masalah tersebut lewat beberapa fitur yang akan dirilis ke depannya.

Target ke depan

Terlepas dari tantangan yang muncul, layanan ini mendapat cukup banyak respons positif dari para musisi. Fauzan juga menyebutkan bahkan muncul permintaan dari industri lain selain musik yang memiliki masalah dan kebutuhan yang sama.

Saat ini sudah ada 43 artis terdaftar di Pitchplay dengan 20 konten eksklusif dan jumlah tersebut terus berkembang seiring diskusi dengan beberapa artis yang masih berjalan. Terkait pengguna sendiri, saat ini telah terdaftar lebih dari 3.500 pengguna terdaftar aktif. Beberapa band ternama yang sudah memajang konten eksklusif di Pitchplay seperti Mocca (Mocca’s Valentine Special), Burgerkill (25th Annivesary Virtual Concert), juga The SIGIT (Footnote: The SIGIT – Behind the Stage) dan lain-lain.

Sejak didirikan, Pitchplay menjalankan kegiatan operasional secara bootstrapping. Di tahun ini, timnya mengaku sudah berhasil mendapatkan pendanaan eksternal pertama, namun untuk saat ini, nama investor dan jumlahnya masih belum bisa disebutkan.

Melalui musik, platform ini yakin dapat menjangkau untapped market yang selama ini belum terjamah secara optimal. Timnya juga sempat mengadakan survey yang menunjukkan 4 dari 5 pengguna berbayar Pitchplay melakukan pembelian konten digital pertama di Pitchplay. Sebelumnya mereka belum pernah berlangganan/membeli konten digital termasuk layanan music streaming/VOD.

Selain memposisikan platformnya yang berfokus pada musik, Pitchplay juga berusaha menyediakan layanan 360° bagi musisi yang tidak hanya dapat menjual konten berbayar, tapi juga menyediakan fanengagement lewat beberapa fitur baru mendatang.

Saat ini, Pitchplay disebut sedang menyiapkan untuk merilis mobile app dan beberapa fitur baru. “Lewat beberapa fitur baru tersebut, fokus kami akan tetap memperkuat solusi sustainable revenue model bagi musisi dan juga menyediakan pengalaman yang lebih menyenangkan bagi pengguna,” tambah Fauzan.

TikTok Jalin Kerja Sama dengan Distributor Musik Indie UnitedMasters

Di tengah konflik antara pemerintahan Amerika Serikat dan ByteDance yang tak kunjung selesai, TikTok malah mengumumkan bahwa mereka telah meneken kontrak kerja sama dengan UnitedMasters, distributor musik indie yang bermarkas di kota New York.

Kemitraan ini unik karena kita harus ingat bahwa TikTok bukanlah platform streaming musik maupun platform untuk menonton video musik resmi macam YouTube. Kendati demikian, keterlibatan UnitedMasters berarti para kreator TikTok dapat langsung mendistribusikan lagu-lagu kreasinya ke layanan streaming seperti Spotify, Apple Music, SoundCloud atau YouTube.

Jadi ketimbang harus menumpang suatu label rekaman tradisional, musisi bisa memanfaatkan TikTok untuk menyebarluaskan karyanya di ranah digital. Dalam siaran persnya, TikTok mencontohkan sejumlah musisi seperti Curtis Roach, Curtis Waters, Breland, Tai Verdes, dan BMW Kenny sebagai yang berhasil menjadi cukup populer lewat TikTok.

“Apabila Anda merupakan seorang musisi, TikTok adalah tempat terbaik supaya musik Anda bisa viral, dan UnitedMasters adalah tempat terbaik untuk mempertahankannya selagi masih memegang hak kepemilikan penuh atas karya Anda,” terang Steve Stoute selaku pendiri sekaligus CEO UnitedMasters.

Sistem royalti yang UnitedMasters terapkan memang berbeda dari yang umum kita dapati di industri musik. Musisi benar-benar diserahi hak penuh atas rekaman aslinya, dan UnitedMasters cuma mengambil 10% dari total pemasukan. Alternatifnya, musisi malah bisa bergabung dalam program bernama Select, yang memungkinkan mereka untuk membayar tarif bulanan sebesar $5 ketimbang harus berbagi hasil dengan UnitedMasters.

Selain menawarkan mekanisme bagi hasil yang menarik, UnitedMasters juga siap memfasilitasi kerja sama antara musisi dengan brand. Sejauh ini, portofolio kerja sama UnitedMasters sudah mencakup nama-nama besar seperti NBA, NFL, ESPN, maupun Bose. Deal dengan TikTok ini berarti mereka bakal punya akses ke sederet talent baru untuk dikoneksikan dengan brandbrand tersebut.

Buat TikTok sendiri, kemitraan ini juga berarti mereka bakal memiliki akses ke Commercial Music Library milik UnitedMasters. Ini artinya para pelaku bisnis yang sudah terverifikasi di TikTok boleh memakai deretan musik yang tersedia untuk dipakai berpromosi tanpa harus membayar biaya royalti.

Sumber: TechCrunch dan New York Times. Gambar header: Kon Karampelas via Unsplash.

V-MODA Merger dengan Dedengkot Drum Machine Asal Jepang, Roland

Apa jadinya ketika salah satu pabrikan headphone terpopuler merger dengan produsen instrumen musik elektronik legendaris? Keduanya punya peluang merevolusi industri musik, dan inilah yang tengah dikejar oleh V-MODA dan Roland.

Ya, tepat tanggal 8 Agustus kemarin, produsen headphone premium tersebut secara resmi mengumumkan bahwa mereka akan merger dengan Roland. Roland yang dikenal akan produk-produk seperti drum machine, keyboard dan synthesizer tersebut membeli 70 persen total saham V-MODA.

Kedua perusahaan masih akan beroperasi secara mandiri, dan Val Kolton selaku pendiri V-MODA juga masih akan menjabat sebagai CEO. Kendati demikian, keduanya punya visi besar dalam memadukan spesialisasi masing-masing untuk merevolusi industri musik.

Ketertarikan Roland pada V-MODA sendiri berawal ketika timnya menjajal headphone Crossfade M100, yang ternyata dinilai paling pas untuk mereproduksi suara drum machine bikinan mereka. Setelahnya, kedua pihak saling bertemu dan berdiskusi mengenai perkembangan industri musik dan inovasi apa yang bisa mereka suguhkan dengan berkolaborasi.

Menurut laporan Billboard, V-MODA dan Roland sudah mulai mengerjakan sejumlah produk bersama, mulai dari speaker Bluetooth, headphone sampai perangkat pemutar musik lainnya. Pun demikian, kedua pihak juga berjanji untuk mengungkap inovasinya di bidang produksi musik pada tanggal 9 September mendatang.

Bagi kita para konsumen, merger ini terdengar menarik mengingat kedua perusahaan benar-benar punya pengalaman panjang di bidangnya masing-masing. Kolaborasi mereka sudah bisa dipastikan bakal melahirkan produk-produk yang punya daya tarik tersendiri.

Sumber: Billboard dan V-MODA.

Qrates Ingin ‘Hidupkan’ Vinyl Kembali Lewat Metode Crowdfunding

Meski bisa dibilang sudah hampir ‘punah’, piringan hitam atau vinyl masih mendapat perhatian khusus dari sejumlah kelompok. Alasan mereka pun beragam, ada berpendapat kualitas suara vinyl masih di atas medium lainnya, termasuk CD, atau seperti salah satu teman saya yang beralasan sudah cinta mati dengan suara retihan (crackle) khas milik vinyl. Continue reading Qrates Ingin ‘Hidupkan’ Vinyl Kembali Lewat Metode Crowdfunding