Tag Archives: industrial internet of things

intank

Pengembangan Produk Internet of Things Berskala Industri ala Telkomsel Intank

Implementasi teknologi Internet of Things (IoT) di Indonesia menunjukkan potensi yang luar biasa, mulai dari perangkat yang mempermudah kehidupan sehari-hari, hingga solusi yang mampu memecahkan masalah berskala industri. Salah satunya ditunjukkan oleh Telkomsel yang telah meluncurkan Intank (Intelligent Tank Monitoring System), solusi industrial untuk fuel management berbasis IoT.

DailySocial.id berkesempatan untuk berbincang dengan Alfian Manullang, General Manager Industrial IoT Telkomsel. Ia bercerita mengenai proses pengembangan produk IoT yang memiliki keunikan tersendiri, serta kompleksitas yang lebih tinggi daripada produk digital lainnya. Tak lupa, ia juga berbagi wawasan dan tips kepada startup dan pengembang produk yang berminat mengembangkan produk IoT di Indonesia. Berikut hasil perbincangan dengan Alfian yang telah kami rangkum.

Jika dideskripsikan secara garis besar, apa itu Intank?

Secara singkat, Intank adalah solusi industri end to end berbasis IoT yang mampu melakukan monitoring inventory secara real time pada tangki yang dimiliki perusahaan. Isi dari tangki tersebut biasanya merupakan aset berharga (valuable goods) yang berwujud bahan bakar (fuel) atau zat kimia lain yang berbentuk cairan (liquid chemical).

Apa manfaatnya bagi perusahaan?

Dengan visibilitas yang akurat terhadap aset likuid tersebut, perusahaan dapat melakukan berbagai efisiensi operasional dan perencanaan kapasitas. Misalnya untuk mengetahui kapan sebuah tangki dapat diisi ulang (replenish), serta berapa jumlah optimalnya sesuai kapasitas tangki yang dimiliki.

Apa yang menjadi tantangan dalam mengembangkan produk berbasis IoT?

Dalam IoT, selain software ada pula komponen hardware dan firmware yang dibutuhkan. Jadi, tantangan utamanya adalah menemukan hardware yang tepat. Dalam contoh Intank, menemukan hardware dan sensor yang tepat, memiliki presisi yang tinggi serta cost effective serta measurement tool yang akurat. Iterasinya juga membutuhkan waktu lebih lama, bisa sampai 6 sampai 10 kali, dan pastinya membutuhkan lebih banyak biaya untuk melakukan hal tersebut.

Oleh karena itu, dari awal kita harus mengetahui ketersediaan hardware yang kita butuhkan di pasaran. Jika sudah banyak tersedia, tinggal kita pilih berdasarkan kualitasnya, lalu cari supplier atau pemasoknya. Barulah kita dapat membangun sistem ICT dan membuatnya secara online. Namun jika hardware-nya belum tersedia di pasaran, akan lebih banyak waktu yang dibutuhkan untuk mendesain dan menciptakan hardware tersebut dari nol. Untuk contoh Intank, kebetulan sensornya sudah banyak tersedia di pasaran, dan kami pilih yang paling tinggi kualitasnya.

Bagaimana proses pengembangan inovasi di Telkomsel, khususnya untuk Intank?

Inovasi perusahaan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Ada yang dari luar ke dalam (outside in) seperti contohnya The Next Dev atau TINC yang dimiliki Telkomsel. Lalu ada pula yang sifatnya dari dalam ke luar (inside out) innoXaction atau Organisasi khusus untuk melakukan inovasi sperti IoT Business.

Di Telkomsel ada dua jenis inovasi internal yang biasa dilakukan. Pertama adalah karyawan umum yang melihat masalah dilapangan, lalu ia mencoba mengembangkan solusi atau prototype-nya. Biasanya ini dilakukan di area kerja masing-masing dan untuk kebutuhan pekerjaan mereka sendiri.

Kedua adalah organisasi atau divisi yang memang dibuat untuk melakukan inovasi. Misalnya Research Management, Business Incubation, serta Industrial IoT. Solusi Intank/Remote Tank Monitoring ini termasuk dalam inovasi dari organisasi, dimulai dari TINC batch pertama. Pada saat itu ada Bike Sharing, Aqua culture (fish feeding) , dan Smart Trash Bin. Namun yang paling terlihat tinggi potensi komersialnya adalah Intank. Sebab, dalam pengembangan bisnis IoT biasanya dimulai dari B2B atau enterprise.

Alasannya adalah karena ada potensi pasar yang besar di sana. Singkatnya pasarnya ada, kemampuan untuk pembelian/pembayarannya ada, serta masalah dan keresahan (pain points) yang dialami pun nyata. Berbeda dengan consumer IoT yang masih berkembang.

Dari sisi permasalahan dan teknologi IoT-nya, manakah yang lebih dahulu dilihat oleh Intank?

Tentu dari permasalahannya terlebih dahulu. Dalam melakukan inovasi, kami tetap menggunakan metode lean startup. Diawali dengan customer discovery & Customer Validation, mencari pain point dan masalah utama yang dihadapi customer, kemudian divalidasi lagi sampai benar-benar yakin bahwa masalah tersebut yang perlu diselesaikan. Prosesnya memang butuh waktu cukup lama, bisa sampai 2-3 bulan. Tapi memang harus seperti itu. Bahkan Albert Einstein pernah bilang, “If I had an hour to solve a problem I’d spend 55 minutes thinking about the problem and 5 minutes thinking about solutions.” Jadi pastikan dulu masalahnya apa, baru berinovasi.

Setelah masalahnya jelas, baru masuk ke fase mencari ide untuk menyelesaikan masalah tersebut. Cari berbagai kemungkinan solusi dan alternatif ide, butuh perangkat apa saja, dan sebagainya. Kalau dalam contoh Intank, kami cari tahu sensor apa saja yang diperlukan. Ternyata butuh level sensor untuk mengetahui jumlah aset, serta flow sensor untuk mengukur penggunaan dan seberapa banyak konsumsinya. Setelah sensornya terpasang, barulah dikoneksikan dengan aplikasi monitoringnya.

Setelah berhasil dijalankan, barulah kami masuk ke tahap POC (proof of concept) serta membuat prototipenya. Hal ini penting, sebab dalam sektor industri berskala besar, mereka harus dapat melihat produk dan cara kerjanya secara nyata. Tidak bisa jika kita hanya menawarkan mockup saja. Harus benar-benar ada produknya yang dapat digunakan, dan kita harus rela mengeluarkan biaya untuk mewujudkannya. Mulai dari membeli perangkat sensornya, membangun konektivitasnya, hingga membuat MVP berupa dashboard monitoring-nya. Setelah POC-nya berhasil dan seluruh konsep solusinya bekerja seperti yang diharapkan, barulah kita bisa masuk ke tahap piloting.

Dalam customer discovery selama 2-3 bulan itu, apa saja temuan yang didapatkan terkait potensi pasar dari Intank hingga sampai ke tahap ideation?

Salah satu temuan kami bahwa fuel alias bahan bakar adalah aset likuid yang paling banyak dikonsumsi. Bagi beberapa sektor industri, bahan bakar bahkan menjadi pengeluaran utama, contohnya di pembangkit listrik, pertambangan, atau BTS yang berada di wilayah terpencil. Dalam manajemen bahan bakar tersebut, berbagai masalah timbul karena tidak adanya visibilitas. Volume bahan bakar tidak dapat diukur setiap hari, tetapi sebulan sekali. Akurasi pengukurannya pun rendah, banyak terjadi human error karena mengandalkan manusia.

Karena visibilitas yang rendah, perusahaan sulit untuk memprediksi kapan harus melakukan pengisian dan pemesanan ulang stok bahan bakar tersebut. Jika terlambat diisi ulang, maka operasional akan terganggu karena bahan bakarnya sempat habis. Pengisian ulang terlalu dini juga menimbulkan masalah lain, yaitu kapasitas tangki yang tidak mencukupi, sehingga sisanya harus dikembalikan.

Dengan solusi visibilitas real time yang ditawarkan Intank, perusahaan dapat memprediksi kapan bahan bakar tersebut harus diisi ulang, serta seberapa banyak kebutuhannya menyesuaikan dengan kapasitas tangki yang dimiliki. Faktor lain seperti pencurian, kecurangan, dan pembobolan di jalan juga dapat diminimalisir dengan solusi ini.

Di mana POC pertama yang dilakukan oleh Intank?

Kami melakukan POC pertama kali di Mitratel yang juga merupakan anak perusahaan Telkom Indonesia. Banyak BTS Telkomsel berada di tempat yang dikelola oleh Mitratel. Jadi, dapat dikatakan kami memulai dengan masalah yang dialami di dalam lingkup perusahaan kami sendiri. Masalahnya besar, nilainya besar, sehingga valid dan memiliki nilai ekonomis yang bagus. Setelah melakukan piloting di sana, ternyata hasilnya bagus, dan terbukti dapat menurunkan biaya operasional mereka hingga 35%.

Validasi solusi di Mitratel tersebut membuat kami semakin yakin dan percaya diri untuk merambah pasar yang lebih luas. Mulai dari perusahaan minyak dan gas bumi, pembangkit listrik, dan sektor lainnya pasti banyak yang memerlukan sistem monitoring bahan bakar dan cairan. Akhirnya kami putuskan untuk menjadi komersial. Setelah Mitratel, saat ini ada beberapa POC yang sudah berjalan. Mulai dari Pertamina Patra Niaga (industri minyak dan gas bumi), Semen Merah Putih (industri semen), Pamapersada Nusantara (industri kontraktor pertambangan), dan Kapuas Prima Coal (industri pertambangan).

Dalam contoh Intank, karena berada dalam lingkup Telkomsel, bisa lebih mudah melakukan testing pasar ke ruang lingkup sendiri atau ke sister company. Bagaimana dengan startup yang skalanya lebih kecil?

Dalam menyasar segment B2B, kita memang harus bertemu langsung dengan korporatnya. Langkah yang paling tepat dilakukan oleh startup adalah dengan memperbesar networking. Saat ini banyak korporat yang membuka kesempatan bagi inovasi dari luar untuk masuk, misalnya dengan mengadakan program inkubasi, akselerasi, dan sebagainya. Banyak keuntungan yang akan didapatkan dengan mengikuti berbagai program tersebut. Pertama dari segi inovasi, kita dapat memvalidasi secara langsung ide inovatif yang kita miliki. Jadi bukan hanya berdasarkan hipotesis kita sendiri, tapi juga memastikan ide tersebut sesuai dengan masalah nyata yang dihadapi perusahaan tersebut.

Untuk Telkomsel sendiri apakah sudah membuka diri bagi startup yang ingin berinovasi?

Untuk masalah yang kita hadapi dalam internal perusahaan, kami akan tetap berusaha untuk mencari solusi dan berinovasi lewat berbagai divisi yang ada. Namun kami juga membuka kesempatan bagi inovasi dari luar, termasuk untuk menyelesaikan masalah di korporat yang menjadi klien Telkomsel. Salah satunya dengan membangun ekosistem lewat program TINC yang tujuan utamanya adalah mengakomodasi inovasi lewat kolaborasi dengan para inovator.

Lewat TINC, kami membuka kesempatan bagi setiap startup atau developer untuk berinovasi lewat hipotesis atau prototype yang mereka miliki, tapi tetap harus sesuai dengan tema yang telah dirancang sebelumnya agar lebih spesifik dan fokus. Misalnya saat ini fokusnya adalah industrial IoT, kami akan fokus pada hal tersebut. Hal-hal lain yang tidak berhubungan, agrikultur misalnya, akan kami kesampingkan terlebih dahulu. Namun mungkin dapat mengikuti program lain Telkomsel seperti The Next Dev yang lebih variatif.

TINC akan lebih spesifik pada industrial IoT, namun perlu kita lihat teknologi yang digunakan, serta harus disesuaikan dengan kebutuhan dan kesiapan pasar saat ini. Sebab dalam IoT, banyak teknologi baru yang sedang dikembangkan, misalnya penggabungan IoT dengan AI dan machine learning, atau teknologi robotik dengan IoT.

Dengan teknologi baru tersebut, perlu kita pertimbangkan apakah kebutuhannya bagi industri sudah tinggi? Bagaimana harganya? Apakah perusahaan akan bersedia membayar dengan harga tersebut? Sebab bisa jadi konsep solusi yang ditawarkan bagus. Namun harga untuk pengembangannya, terutama dari sisi hardware masih sangat tinggi, sehingga butuh beberapa tahun lagi sampai harganya terjangkau, dapat diproduksi secara masif, serta dapat menjangkau pasar yang lebih luas.

Seberapa tinggi biaya yang dibutuhkan untuk POC tersebut?

Produk IoT sangat variatif. Ada masalah kecil, ada pula masalah besar. Untuk masalah yang lebih sederhana, seperti melakukan pengukuran temperatur dan kelembapan misalnya, sensor yang dibutuhkan lebih mudah didapat dengan harga yang lebih terjangkau. Dalam contoh Intank, kami menyediakan solusi untuk masalah yang besar dan mahal bagi perusahaan. Hardware-nya juga tidak murah, karena banyak prasyarat yang harus dipenuhi, terutama dari segi Health Safety Security Environment (HSSE). Oleh karena itu, kami harus memilih hardware dengan kualitas dan akurasi tinggi, serta telah memenuhi sertifikasi sesuai prasyarat yang dibutuhkan.

Bagaimana tips untuk startup untuk melakukan growth hacking dengan sumber daya yang terbatas?

Tidak ada yang dapat melakukan inovasi sendirian, khususnya di IoT. Bahkan perusahaan besar seperti Telkomsel tetap membutuhkan bantuan startup dan developer untuk melakukan inovasi. Lewat program TINC, kami membuka diri kepada startup dan developer untuk dapat menjangkau pasar yang lebih luas, serta memvalidasi masalah yang ditemui atau diprediksi dari hipotesis yang dilakukan.

Disclosure: Artikel ini adalah artikel bersponsor yang didukung oleh Telkomsel.

Mengenal PaaS untuk Dunia Perindustrian

Inovasi, dalam spektrum apapun, dibangun oleh salah satu sifat yang merujuk pada fleksibilitas, yakni dinamis. Kita semua tentu sudah tidak asing dengan istilah tersebut, bila dikaitkan pada kemunculan perubahan-perubahan dari perusahaan sekelas Apple, misalnya. Tak hanya inventornya, teknologi pendukung daya cipta pun harus akur terhadap dinamika proses trial-error, atau kemungkinan perkembangan bisnis yang tiba-tiba melonjak.

Pembaruan industri membuat sifat dinamis ini menjadi sebuah urgensi, apalagi sehubungan dengan dibentuknya ekosistem baru untuk melahirkan bibit-bibit inovasi, seperti Digital Foundry. Itulah contoh implementasi revolusi industri jilid keempat dari kacamata proses kreatif. Dari sisi teknis, mari ambil teknologi cloud computing sebagai contohnya.

Cloud computing mempermudah technologist dalam membangun produk dan mendirikan startup. Dari berbagai ‘atmosfer’ komputasi awan, PaaS (Platform as a Service) adalah bentuk teknologi cloud yang dirancang tepat untuk dapat beradaptasi dengan laju perkembangan bisnis teknologi yang pesat dan pengelolaan aplikasi yang dinamis.

PaaS, melalui segala dayanya dalam mengelola aplikasi dan memelihara infrastruktur secara simpel, membuat kolaborasi yang terjadi di Digital Foundry menjadi tidak terdengar mustahil. Terlebih bila Anda sudah berkenalan dengan Predix.

Predix milik General Electric (GE) telah didesain sedemikian rupa untuk menghadirkan infrastruktur berbasis cloud dengan tingkat keamanan yang tinggi, demi mendukung dunia industri dalam merasakan manfaat dari pertumbuhan Industrial Internet yang pesat. GE mengaku bahwa Predix dirancang untuk industri, oleh industri, guna mengolah data di masa depan.

Cara kerja layanan PaaS Predix yang ditujukan untuk konsep Internet of Things (IoT) cukup sederhana. Anda tinggal menghubungkan data dari sebuah mesin yang dihubungkan ke Predix cloud, lalu Anda bisa mengembangkan Industrial Internet services di dalamnya.

Tak perlu lagi pengeluaran besar untuk memesan sistem in-house data analytic, layanan PaaS Predix membantu Anda untuk meninjau operasional mesin, hingga kemudian Anda dapat menguji dan mengaktifkan aplikasi untuk industri dengan lebih mudah dan terintegrasi pada cloud.

Schindler telah merasakan betapa layanan Predix secara efektif bisa diandalkan. Sebagai salah satu perusahaan lift terbesar di dunia, Predix dapat mengoptimalkan konsumsi daya dari lift dan eskalator rilisan mereka. Bahkan, diproyeksikan Predix akan membantu Schindler menganalisa 100 aplikasi di tingkat mesin (dan mengkoreksinya bila perlu) dalam satu waktu.

Ide membuat platform untuk IoT telah tersaji di atas. Cloud computing telah terbukti menjadi opsi tepat agar industri lebih produktif dalam mengembangkan produk dan mengerjakan proyek. Kini, tinggal idenya. Apa ide pengembangan industrimu?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Siapkah Industri Indonesia Mengadopsi Digital Industrial?

Dunia akan terus berjejaring. Dari tahun ke tahun, kultur digital semakin membaur dan meningkat di kehidupan masyarakat dunia. Pemanfaatan platform digital sudah diadopsi banyak oleh masyarakat, apalagi jika berbicara tentang bagaimana mereka terhubung satu sama lain—seperti messenger dan social networking.

Secara global, potret lanskap digital 2017 menunjukkan jumlah masyarakat Internet yang kini telah menyentuh angka di kisaran 3,7 triliun, dengan penetrasi sebesar 50% serta peningkatan 10% sejak tahun lalu. Penetrasi Internet di Asia Tenggara punya angka yang tak kalah besar, yakni sebesar 53%. Lebih mengerucut, bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia punya tingkat penetrasi yang tergolong cukup baik dengan angka 51%, terutama dibandingkan dengan beberapa negara berkembang Asia Tenggara lainnya seperti Myanmar, Laos, dan Kamboja.

Meski boleh dianggap besar secara kuantitas, namun apakah Indonesia benar-benar siap melancarkan digitalisasi? Sebab, yang dipersoalkan di sini bukan hanya dari lingkup masyarakatnya saja, tapi juga industri. Terlebih dengan hadirnya konsep baru yang ditawarkan perusahaan teknologi asal Negeri Paman Sam, GE, dengan nama Digital Industrial, sebuah konsep teknologi yang mengintegrasikan sebuah objek fisik—yang sudah ditanam sensor—dengan jaringan nirkabel.

Terminologi tersebut dikenal sejalan dengan pengembangan teknologi yang telah diluncurkan GE bernama PREDIX, sistem operasi yang diluncurkan sekitar tahun 2015 yang secara khusus ditujukan untuk perindustrian. PREDIX disinyalir dapat memudahkan para engineer dalam menciptakan aplikasi, mengambil data dari teknologi industri dan mengirimnya ke sistem cloud untuk kemudian dianalisis.

Yang menarik adalah GE telah membuka pintu kolaborasi untuk merangkul pihak-pihak dari berbagai lapisan industri Tanah Air untuk ikut serta memajukan dunia perindustrian dan teknologi bangsa. Kerja sama strategis tersebut dilakukan bersama regulator dan pelaku industri (termasuk startup). Tiga startup potensial mendapatkan dukungan langsung dari GE, antara lain Dattabot, Fishare, dan 3i.

Dattabot, Mitra Pertama PREDIX di Dunia untuk Industri Pertanian

Sebagai perusahaan big data analytics, Dattabot turut serta membangun perekonomian Indonesia di sektor pertanian. Perusahaan yang dulunya bernama Mediatrac ini berusaha mengubah pola pikir terhadap dunia pertanian yang masih dianggap tradisional, melalui produk Internet of Things.

Ditandai dengan penandatangan MoU, GE memperlihatkan keseriusannya mendukung IIoT untuk pertanian bersama Dattabot lewat HARA, aplikasi pertanian yang dapat membantu mengembangkan agribisnis dari sisi efisiensi dan profitabilitas.

HARA adalah aplikasi IIoT pertama di Indonesia yang menggunakan platform Predix. “Dengan demikian, Dattabot bisa memahami luas sawah yang digunakan petani, real-time, jadi bisa memahami permasahan langsung meski posisinya sangat jauh lokasi tempat Anda berada,” terang CEO Dattabot Regi Wahyu.

Industrial IoT Startup Anak Bangsa yang Berpotensi Mendisrupsi Pasar

Selain itu, GE turut memperkenalkan startup-startup tanah air di bidang Industrial Internet of Things yang disinyalir mampu membuat terobosan baru di sektor perindustrian dan perikanan.

Fishare
Fishare adalah produk Internet of Things yang fokus pada kemajuan kehidupan petani ikan dengan self-farming module. “Produktivitas budidaya ikan negara kita masih tergolong rendah, dibandingkan dengan Tiongkok,” ujar CEO Fishare Marvinus Arif. Itulah salah satu latar belakang kelahiran Fishare.

Fishare menyajikan fish feeding assistant dengan sensor, di mana para petani ikan akan mendapatkan informasi secara transparan dan objektif mengenai kondisi ikan mereka, yang terlihat di smart dashboard.

3i
Bersama ungkapan “the future of maintenance”, 3i mengembangkan sensor online untuk membantu pabrikan mengurangi downtime tak terencana melalui data analytics dan machine learning. Teknologi sensor pintar 3i memudahkan pabrikan untuk melakukan pemeliharaan preventif dan prediktif; meningkatkan efisiensi, mengurangi biaya operasional, sekaligus meningkatkan keuntungan perusahaan.

“Sensor ini ditanam di dalam mesin dan dihubungkan ke mobile device pengguna agar pengguna dapat melihat keadaan mesin secara real-time,” terang Gimin, CEO 3i.

Mau tidak mau dunia perindustrian Indonesia harus siap dengan digitalisasi dalam operasional mereka. Kita semua bisa melihat bagaimana teknologi dan hal-hal yang dekat dengan kehidupan masyarakat Indonesia (sawah, ikan, dan pabrik) dapat terkoneksi untuk membangun perekonomian negara. Maka, industri yang lebih dipandang “progresif” mestinya juga bisa mengadopsi IIoT, ‘kan?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Gaya Kolaborasi Startup di Korporasi Perindustrian, Bisakah?

Kita sama-sama sudah mengetahui sebelumnya bahwa keterlibatan orang-orang yang kreatif dan satu visi adalah ciri yang lekat dengan gaya kerja ala startup. Kita juga tahu bahwa cara kerja dan suasana sesantai itu tak hanya menjadi kegemaran dan idaman pekerja masa kini, namun juga telah terbukti dari kualitas produk yang dihasilkan.

Pertanyaannya, dengan kultur serba teratur, dapatkah perusahaan-perusahaan besar yang bergelut di ranah perindustrian seperti migas, transportasi, bahkan digital energy mengadopsi sistem kerja startup yang santai-namun-tetap-terukur?

Ini adalah peluang sekaligus tantangan bagi para petinggi perusahaan untuk menerapkan prinsip kerja startup ke organ-organ usaha mereka. Diperlukan beberapa poin yang harus dipenuhi agar korporasi mereka tak hanya dapat mengadopsi kultur kerja startup, tapi juga merasakan pembaruan dalam pengembangan produk.

Mari ambil contoh korporasi yang telah menghadirkan inovasi produk yang dicetuskan oleh spirit kolaborasi startup, yakni General Electric.

Sempat dibahas di artikel lainnya bahwa, melalui Digital Foundry-nya, General Electric telah mengadaptasi pengorganisasian product development serupa bisnis rintisan. Gaya ini berkaitan dengan salah satu syarat dalam menerapkan kolaborasi ala startup: menghadirkan stimulasi kreatif di segala penjuru working space.

Digital Foundry yang menempati lantai dua di gedung Le Centorial, Rue du Quatre Septembre, Paris ini memang dirancang sebagai rumah inovasi. Dirancang oleh arsitek Jepang Hidekazu Moritani, bentuk Digital Foundry mengacu pada struktur sarang lebah, di mana ruang berbentuk heksagonal akan menstimuli orang jadi lebih dinamis.

Dan menariknya, semua dinding sebenarnya adalah papan tulis kaca, sehingga siapapun dapat menuliskan ide-ide yang muncul di pikiran mereka ke dinding tersebut.

Infrastruktur ini menarik orang-orang untuk datang dan menunjang kolaborasi mereka dengan karyawan General Electric. Bahkan, memang secara jelas pihak General Electric mengaku, mereka membuka Digital Foundry tak hanya untuk karyawan namun juga untuk konsumen General Electric, seperti mahasiswa dan programmer.

Kolaborasi dan interaksi seperti ini sangat memicu adanya percikan-percikan ide, sehingga mereka semua bisa mewujudkannya bersama-sama.

Nah, seberapa besar keberhasilan adaptasi gaya startup seperti ini memberi efek pada daya cipta karyawan? Lagi-lagi General Electric sudah memperlihatkan buktinya.

Di samping diciptakannya inovasi baru dari GE Healthcare, kini telah hadir sistem operasi PREDIX yang terus dikembangkan tim General Electric. PREDIX adalah platform yang dihadirkan untuk pengembangan teknologi, yang mereka sebut sebagai, Industrial Internet of Things (IIoT)—diyakini lebih besar dan meledak dari Internet of Things (IoT). Dengan teknologi tersebut, aeroderivative gas turbines, misalnya, akan mengadopsi desktop technology di dalamnya.

Inovasi-inovasi besar semacam itu hanya bisa lahir jika kamu punya percikan ide, keinginan untuk eksekusi, dan kesediaan berkolaborasi dengan pihak lain yang satu visi.

Jangan ragu juga untuk bergabung dengan program-program katalisator pengembangan ide seperti Digital Foundry! Karena bisa jadi, inovasimu akan terwujud di sana. Pertanyaannya: apa gagasan-gagasan inovasi teknologi yang ada di kepalamu sekarang?

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.

Pola Pikir dan Teknologi Baru untuk Industri Indonesia

Lahirnya inovasi selalu membuat hidup tidak lagi sama. Lihat saja bagaimana Anda kini ‘mengubah’ ponsel bukan cuma sebagai peranti komunikasi, tapi menjadi ‘hidup’. Lihat juga bagaimana Anda terhubung dan berjejaring melalui inovasi media sosial. Dan yang fenomenal di beberapa tahun belakang, Anda bisa melihat bagaimana ojek sekarang menjadi pilihan utama dalam bertransportasi dengan adanya layanan on-demand.

Inovasi digital seperti ini memang dilahirkan untuk membuat gaya hidup manusia berbeda dan lebih mudah, tak terkecuali untuk kehidupan industri. General Electric (GE), sebagai perusahaan teknologi yang mencakup multi-industri, tergerak untuk turut serta mengambil lakon dalam kemajuan inovasi melalui konsep Digital Industrial.

Melalui acara bertajuk Digital Industrial Forum 2017, GE memperlihatkan bagaimana dewasa ini industri semestinya mengadopsi kemajuan-kemajuan teknologi yang menghubungkan cloud dengan smart component yang ada di tempat perindustrian. GE memperkenalkan PREDIX, sebuah platform PaaS (platform as a service) layanan cloud computing yang mendukung pengembangan aplikasi yang menggunakan data operasional untuk menggali informasi sebagai landasan pengambilan keputusan yang lebih baik, juga cepat.

Salah satu aplikasi pintar yang dibangun di dalam PREDIX adalah Digital Twin. Sederhananya Digital Twin adalah jembatan antara instrumen fisik dengan instrumen digital. “Digital Twin membantu mengenali aset fisik yang Anda miliki. Apakah ada risiko di dalamnya dan bagaimana keadaannya. Digital Twin membantu mempelajari usia dan penggunaan mesin,” ujar Vinay B. Jammu, Technology Leader and Physical-Digital Analytics General Electric, sembari langsung mendemonstrasikannya.

CT scan machine, contohnya. Saat industri kesehatan memerlukan mesin ini untuk hal-hal darurat, Digital Twin membantu mengingatkan apakah mesin ini perlu masuk fase perawatan. “Platform ini bisa diaplikasi ke wind power forecasting, construction vehicles performance, dan marine engine oil health. Baik untuk produk GE maupun non GE.”

GE juga berupaya membuktikan bahwa pola pikir digital industrial yang mereka canangkan tergolong adaptif untuk segala ranah industri.

Dalam event yang berlangsung di Fairmont Hotel ini, dihadirkan sebuah sesi perbincangan antara Luis F. Gonzalez (Chief Digital Officer General Electric Asia Pasifik) yang mewakili industri energi, David Wu (General Manager Healthcare, GE, Asia Pasifik) mewakili industri kesehatan, David Parkinson (General Manager, GEOil and Gas, Asia Pasifik) mewakili industri migas, Hardik Raithatha (Digital Growth Leader GE Renewable, Asia Pasifik) mewakili industri energi baru terbarukan, Frank Siegers (Senior Program Manager GE Aviation) mewakili industri aviasi, Jonathan Lim (Commercial Director, GE Transportation, Asia Tenggara) dan Alvin NG (General Manager , GE Digital Electric Asia Tenggara) selaku moderator. Masing-masing panelis mendemonstrasikan berbagai macam implementasi digital industrial di sektor energi, kesehatan dan transportasi.

Berlanjut setelah perbincangan hangat serta sesi tanya-jawab dengan audiens, Digital Industrial Forum menghadirkan Direktur Jenderal APTIKA Kominfo Samuel Pangarepan, yang membahas visi Indonesia secara digital pada tahun 2020, yakni 1000 startup (total valuasi Rp 150 triliun), satu juta petani dan nelayan yang go digital, serta delapan juta UKM yang go digital.

“Sampai 2016, kita sudah launch program Go Digital Vision dengan 50 teknopreneur yang sudah terlibat,” terangnya.

Teknologi baru yang dibawa GE ternyata menyentuh perekonomian akar rumput, seperti sektor pertanian, perikanan, maupun manufaktur. Hal ini diangkat pada salah satu segmen acara yang bertajuk The Pioneers; di mana GE memperkenalkan tiga startup berpotensi Indonesia yang bermain di ranah Industrial IoT; Dattabot, Fishare dan 3i.

Dattabot adalah startup big data analytics Indonesia pertama yang membangun sebuah aplikasi precision agriculture bernama HARA, yang dibangun di atas platform industrial internet dari GE Bernama PREDIX. HARA adalah sebuah field management application yang menganalisis sawah, membantu produksi pertanian meningkat hingga 80%, dan menurunkan biaya hingga 10%.

Dattabot menggunakan platform PREDIX dari GE dalam mengembangkan aplikasi untuk memahami bagian-bagian kendaraan yang rusak atau perlu dirawat segera. Fishare memerlukan GE untuk membuat self-farming module.

Selain itu, GE juga memperkenalkan dua startup lainnya yang bergerak di bidang Industrial Internet of Things (IIoT), yang disinyalir mampu mendisrupsi pasar; yakni 3i dan Fishare. 3i mengembangkan teknologi sensor online yang memudahkan pabrikan untuk melakukan pemeliharaan preventif dan prediktif melalui kemampuan data analytics dan machine learning.

Sedangkan, Fishare adalah produk Internet of Things yang fokus pada kemajuan kehidupan petani ikan dengan self-farming module.

Digital Industrial Forum ditutup oleh closing speech yang ditunggu oleh sebagian besar audiens, yakni Presiden Republik Indonesia ketiga, H.E. Prof. BJ. Habibie.

Disclosure: Artikel ini adalah advertorial yang didukung oleh General Electric.