Tag Archives: inovasi keuangan digital

Tren Fintech 2022

AFTECH Paparkan Lanskap Pasar, Tantangan, dan Tren Investasi Fintech

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) kembali merilis Laporan Survei Anggota Tahunan 2021 yang memaparkan lanskap layanan fintech di Indonesia, pencapaian pertumbuhan, hingga tren investasi di masa depan.

Sebagai informasi, saat ini AFTECH menaungi pelaku fintech yang terbagi dalam enam model bisnis atau klaster antara lain sistem pembayaran, pinjaman online, neobank, securities crowdfunding, wealth management, dan Inovasi Keuangan Digital atau IKD (terdiri dari 16 sub kluster). Per akhir 2021, jumlah anggota AFTECH tercatat sebesar 352, naik dari periode sama di 2020 dan 2019 masing-masing 302 dan 219 anggota.

Berikut sejumlah pencapaian dan temuan penting dari laporan tahunan AFTECH sebagaimana dirangkum DailySocial.id berikut ini.

Pembayaran digital dan pinjaman online

Survei menunjukkan pembayaran digital dan pinjaman online menjadi dua model bisnis fintech yang sudah memasuki fase matang di Indonesia, turut didorong oleh faktor konsolidasi antar-pelaku pemimpin pasar dan melandainya pertumbuhan.

Ketua Umum AFTECH Pandu Sjahrir mengungkap kategori neobank, IKD, wealth management, dan securities crowdfunding masih dalam fase pertumbuhan, yang dikarenakan oleh sejumlah faktor, seperti regulasi baru bank, terutama terkait bank digital, hingga belum optimalnya penggarapan pasar dari sisi penawaran produk dan layanan. Kendati begitu, ia menilai layanan fintech tersebut mulai menggalang daya tarik di pasar.

Secara keseluruhan, adopsi layanan fintech di Indonesia meningkat signifikan di sepanjang 2021. Peningkatan ini tercermin dari sejumlah pencapaian antara lain:

  • Nilai transaksi uang elektronik naik sebesar 58,5 persen (YoY) menjadi Rp35 triliun.
  • Adopsi Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) melampau target 12 juta merchant sebelum akhir 2021.
  • Penyaluran pinjaman melalui platform fintech pendanaan bersama ke lebih dari 13,47 juta rekening peminjam mencapai Rp13,6 triliun per Desember 2021
  • Adopsi fintech untuk berinvestasi di pasar modal dan aset digital ikut meningkat.

Dari kategori pembayaran digital, 28 persen responden telah mengantongi nilai transaksi tahunan sebesar Rp5 miliar-Rp500 miliar, sedangkan 28 persen lainnya mengumpulkan total transaksi tahunan sebesar Rp500 miliar-5 triliun. Mengacu statistik Bank Indonesia per Desember 2021, total transaksi pembayaran digital mencapai Rp35,1 triliun atau naik 60 persen dibanding periode sama tahun lalu. Transaksi ini didominasi oleh pelaku fintech bukan bank.

Dari kategori pinjaman online, data OJK mencatat pertumbuhan sebesar 70 persen menjadi Rp13,6 triliun pada Desember 2021. Fokus penyaluran pinjaman masih terpusat di pulau Jawa di mana hampir 70 persen dari total transaksi berasal dari wilayah tersebut, diikuti luar negeri (28%) dan luar Jawa (1,9%). Kota di luar pulau Jawa masing-masing menyumbang tak sampai 1 persen dari total transaksi, kecuali Sumatera Utara (1,8%) dan Bengkulu (1%).

Saat ini, jumlah lender dan borrower di platform fintech masing-masing sebesar 809.494 dan 73,2 juta per Desember 2021. Sementara, per Desember 2020, jumlah lender dan jumlah borrower masing-masing sekitar 716.913 dan 43,6 juta.

Tantangan pelaku fintech

Data OJK mencatat indeks literasi keuangan di Indonesia naik 8,3 persen dari 29,7 persen di 2016 menjadi 38 persen di 2019. Dengan pertumbuhan indeks ini, fintech menyadari pentingnya perluasan layanan fintech hingga ke pedesaan. Adapun, 69 persen pelaku fintech sudah melayani area tersebut.

Namun, pelaku fintech di Indonesia masih menemui tantangan besar untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar Jakarta, di mana 23 persen dan 19 persen responden mengaku sulit ekspansi ke luar Jawa dan pedesaan karena faktor literasi keuangan (55%), infrastruktur (44%), dan budaya (20%).

Terlepas dari kendala di atas, 45 persen pelaku fintech mengaku optimistis dapat melanjutkan ekspansinya lebih banyak ke area luar Jabodetabek sehingga dapat mencapai target inklusi keuangan nasional.

“Terkait infrastruktur, meski teknologi memengaruhi ekspansi layanan fintech di daerah, sebanyak 53 responden memiliki responden positif terhadap pertumbuhan dan perbaikan infrastruktur di masa depan,” tutur Pandu.

Pangsa pasar dan ekspansi

Berdasarkan hasil survei, area Jabodetabek masih menjadi pasar utama fintech, di mana 99 persen dan 75 persen responden masing-masing menjawab Jakarta dan Bodetabek sebagai target utama penggunanya, diikuti oleh Bandung (45%) dan Surabaya (36%).

Sebanyak 69 persen responden mengaku telah melayani daerah pedesaan di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar fintech tak hanya fokus pada wilayah perkotaan saja.

Selain itu, pelaku fintech juga masih mendorong penetrasi pengguna di segmen UMKM, terutama bagi pengusaha perempuan. Sebanyak 42 persen responden mencatat nilai transaksi pengguna UMKM sebesar lebih dari Rp80 miliar. Adapun 12 persen di antaranya memperoleh kurang dari Rp500 juta dari UMKM.

Dari 33 persen responden, 25-50 persen pengguna UMKM dijalankan oleh perempuan, memperkuat anggapan bahwa perempuan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap industri fintech.

“Maka itu, literasi keuangan dan digital bagi perempuan menjadi semakin penting agar pelaku UMKM dapat memaksimalkan produk dan layanan yang tersedia di industri jasa keuangan untuk mengembangkan usahanya,” papar laporan ini.

Dari sisi pengembangan usaha, responden mengungkap sejumlah poin penting dalam menentukan strategi bisnis untuk mendongkrak pendapatan di masa depan. Di antaranya adalah pelaku fintech ingin fokus pada produk berpenghasilan tinggi (59%), masuk ke pasar baru termasuk luar negeri dan daerah pedesaan (34%), menjajaki lini bisnis baru (52%), dan tidak ada rencana untuk memperluas atau fokus ke produk tertentu (7%).

Selain itu, sebanyak 75 persen pelaku fintech di Indonesia berencana memperluas jangkauan pasarnya ke pedesaan. Temuan ini menunjukkan sinyal positif industri fintech untuk meningkatkan pemerataan layanan keuangan di seluruh Indonesia.

Investasi fintech

Investasi di sektor fintech Indonesia mencatatkan pertumbuhan 13 kali lipat sejak 2017 yang hanya $64 juta menjadi $904 juta di Q3 2021. Jumlah tersebut dua hingga tiga kali lebih tinggi dari investasi yang diperoleh pelaku fintech di negara tetangga.

Apabila dibandingkan dengan total investasi ke sektor lain, baik dari investor domestik maupun asing, investasi fintech di Indonesia dari kuartal I sampai III 2021 lebih tinggi 58 persen di sektor mesin dan elektronik, dan 157 persen lebih tinggi dari sektor tekstil.

Peningkatan iklim investasi ke sektor fintech tak lepas dari meningkatnya jumlah populasi muda yang akrab dengan layanan digital, penetrasi seluler, dan kelas menengah di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan fintech semakin terakselerasi karena pandemi Covid-19.

Dari sudut pandang kebutuhan investasi, saat ini satu dari tiga klaster pembayaran digital, pinjaman online, dan IKD masih membutuhkan lebih dari Rp150 miliar dalam 1-2 tahun ke depan. Di sisi lain, 17 persen responden dari pemain pembayaran digital meyakini hanya membutuhkan investasi kurang dari Rp500 juta dalam 1-2 tahun ke depan.

“Ini menunjukkan bahwa klaster pembayaran digital telah memasuki tahap lebih matang dibandingkan dengan kategori fintech di klaster lain,” ungkap Pandu.

(Ki-ka) Jajaran C-Level Amaan di antaranya Mulia Salim, Johny Ng, Ratih Rachmawaty , dan Taras Siregar

Aplikasi Amaan Dorong Pengusaha Perempuan Mikro Naik Kelas

Layanan berbasis syariah dan peningkatan kapasitas perempuan, khususnya di segmen mikro, punya peran signifikan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sejak beberapa tahun terakhir, penggiat startup mulai mengeksplorasi model bisnis dan inovasi untuk mengakomodasi kebutuhan di segmen ini.

Eksplorasi juga dilakukan Ratih Rachmawaty, Mulia Salim, dan Taras Siregar dengan pengalaman mereka selama bertahun-tahun di industri perbankan syariah. Terakhir mereka menjadi direksi di BTPN Syariah, salah satu bank syariah terkemuka yang telah melantai di bursa. Ketiganya bersama Johny Ng, profesional di bidang IT, mendirikan Amaan, sebuah platform digital syariah untuk para pengusaha perempuan mikro. Hari ini, 8 Maret 2021, Amaan genap setahun beroperasi.

Amaan diposisikan sebagai platform beyond financial services yang saat ini sudah melayani konsumen di enam provinsi (Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Lampung), 100 kabupaten, dan 1700 kecamatan.

Apa saja layanan yang diberikan perusahaan dan bagaimana posisinya di pasar? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DailySocial mendapat kesempatan berbincang dengan tim Amaan yang diwakili Head of Go-to-Market Strategy Herman Haryanto, Head of People & Culture Fitri Dianasari, dan Digital Product Lead Ahmad Zarkasi.

Pendirian Amaan

Amaan diinkubasi dan dibangun kurang lebih dua tahun lalu, mulai dari ide, model bisnis, platform, hingga rekrutmen talenta yang relevan. Menurut Pendiri Amaan, ide ini lahir dari pengalaman mereka melayani segmen nano mikro. Mereka melihat masih banyak pelaku usaha yang memiliki keterbatasan modal untuk membangun usaha dan tak banyak yang mengakomodasi kebutuhan ini. Padahal, UMKM banyak dijalankan dan dimiliki perempuan.

Berdasarkan laporan Kementerian Koperasi dan UKM, saat ini terdapat 64,19 juta UMKM di Indonesia, di mana 99,92% merupakan usaha di segmen mikro dan kecil. Dari total tersebut, sekitar 34% usaha menengah dijalankan perempuan, sedangkan 56% usaha kecil dan 52% usaha mikro dimiliki perempuan.

Ini menjelaskan mengapa pada tahap awal Amaan masuk lewat layanan solusi keuangan dengan menjadi financing agent. Amaan menjadi kepanjangan tangan institusi finansial dalam membuka akses pembiayaan ke pengusaha perempuan mikro. Amaan menjalankan fungsi agen pembiayaan sebagai entry point yang menjadi cikal-bakal Amaan untuk mendongkrak layanan lain.

Dalam perjalanannya, para pendiri Amaan menemukan bahwa pelaku UMKM perempuan tak cuma membutuhkan akses terhadap pembiayaan atau layanan keuangan. “Para founder kami selalu selalu menekankan bahwa institusi keuangan itu sudah pasti dibutuhkan. Tapi masyarakat kita membutuhkan lebih dari sekadar akses keuangan. Mereka memerlukan aspek lain yang memampukan mereka mencapai level ‘manusia utuh’, insan kamil,” kata Fitri.

Kondisi ini mendorong pengembangan bisnis Amaan yang tidak hanya di sektor keuangan, tetapi juga merambah di kebutuhan-kebutuhan lain bagi para pengusaha perempuan mikro ini.

Financing Agent di kategori Inovasi Keuangan Digital

Amaan tercatat sebagai financing agent di kategori Inovasi Keuangan Digital (IKD) OJK. Perusahaan pertama kali meluncur bertepatan dengan International Women’s Day, yakni 8 Maret 2021, hari yang dianggap menjadi momentum penting mendorong pemberdayaan pelaku usaha perempuan di Indonesia.

Amaan menghadirkan berbagai fitur selain solusi keuangan, yaitu, fitur Belanja, Bincang Sehat, Belajar, dan Forum Promosi. Semua layanan ini dirancang dengan harapan dapat merealisasikan tiga tujuan utama pelaku usaha perempuan mikro, yakni menyekolahkan anak ke jenjang paling tinggi, memiliki/merenovasi rumah impian, dan berangkat haji/umroh.

“Mengapa kami bangun layanan secara ‘borongan’? Kami lakukan riset, berbicara dengan ibu-ibu. Ketika ditanya apa ekspektasi mereka terhadap layanan digital, mereka sederhananya mengaku ingin mendapat akses yang sama ke berbagai layanan digital seperti orang-orang di kota besar. Kebutuhan ini sebetulnya sudah kami ketahui sejak lama, tapi saat itu pergerakan kami terbatas karena kami masih bekerja di bank,” tutur Herman.

Dari belanja hingga forum promosi

Fitri dan Zarkasi memaparkan lebih lanjut terkait pengembangan produk atau layanan lainnya. Seluruh layanan ini dirancang berdasarkan riset konsumen dan masalah yang mereka hadapi di lapangan. Aplikasi Amaan telah tersedia untuk pengguna Android dan sudah diunduh lebih dari satu juta kali. Rating aplikasi berada di skala 4.3.

Di fitur Pembiayaan, pengguna dapat memonitor jumlah modal yang diterima, kapan pembayaran angsuran, hingga sisa modal. Di fitur Belanja, Zarkasi mengaku layanan ini termasuk yang sudah dikembangkan lebih jauh dan beroperasi di beberapa area. Layanan Belanja menggunakan konsep group buying memanfaatkan basis komunitas pengguna Amaan.

Dengan model ini, Amaan berharap dapat mengatasi masalah ibu-ibu yang sangat peduli terhadap harga produk dan masalah kepercayaan ketika belanja online. “Dengan membeli berbagai kebutuhan pokok di harga lebih murah, pengguna Amaan bisa saving lebih banyak,” kata Zarkasi.

Sesuai dengan prinsip pengembangan Amaan, seluruh produk yang akan/sudah diluncurkan dirancang dengan model kemitraan. Sama seperti pembiayaan, Amaan belum berpikir untuk membangun sistem supply chain tersendiri untuk mengoperasikan layanan Belanja. Mereka memilih kolaborasi dengan mitra.

Selanjutnya, Amaan menyiapkan fitur Bincang Sehat yang memudahkan pengguna berkonsultasi dengan dokter umum dan psikolog. Layanan ini belum sepenuhnya dirilis dan bersifat uji coba. Demikian juga fitur Belajar yang memberikan kemudahan akses ragam konten berbasis artikel, video, dan podcast secara gratis. “Untuk layanan ini, arah kami ingin menghadirkan layanan pendidikan, di mana anak dari pemilik usaha bisa berlangganan modul belajar,” tutur Fitri.

Jajaran C-Level Amaan

Berikutnya pengguna dapat mengoptimalkan fitur Catatan Keuangan untuk memonitor pendapatan dan pengeluaran yang masuk. Para pelaku usaha dapat mempromosikan produknya di platform Amaan. Seperti layaknya platform iklan baris, pemesanan dan pengiriman barang di segmen ini dilakukan tanpa keterlibatan platform.

Layanan-layanan ini menjadi salah satu strategi Amaan untuk mendorong keloyalan pengguna (atau yang biasa disebut retention rate).

“Intinya, layanan keuangan menjadi semacam hook atau entry point ke target pasar kami. Ketika mereka sudah terpincut dengan use case pertama, kami akan buka dengan use case lain, misalnya Belanja, supaya bisa langsung dilakukan di aplikasi kami. Kami ingin coba memahami journey pengguna setelah dapat pembiayaan. Apakah mereka excited dengan layanan lain yang sifatnya teaser ini? Semua itu jadi insight untuk melakukan riset konsumen secara lebih dalam ke pengembangan selanjutnya,” jelas Zarkasi.

Pendekatan hibrida dan inklusi digital

Sebagaimana disebutkan di awal, Amaan berupaya membawa value proposition yang berbeda dengan platform digital lain. Menurut Fitri, pihaknya tak ingin cuma masuk lewat inklusi keuangan, tetapi juga melibatkan inklusi digital demi meningkatkan literasi para pelaku usaha perempuan.

Dari riset lapangan yang mereka jumpai, masih banyak ibu-ibu yang belum melek digital, apalagi memahami istilah-istilah digital, seperti pengertian dan cara kerja OTP, cara mengunduh aplikasi, atau cara membuat email.

“Salah satu nilai kami adalah mencerdaskan konsumen dalam menggunakan layanan digital dan mengatur keuangan. Kemudian, nilai lainnya adalah peduli dengan pengusaha perempuan dan keluarga. Ketiga, disiplin dalam melakukan tugas sehari-hari yang coba kami ajarkan lewat aplikasi,” ungkap Fitri.

Untuk itu, Amaan menggunakan pendekatan hibrida dengan mengawinkan sentuhan teknologi dan interaksi manusia di beberapa fitur agar pengguna dapat memakai layanannya. Proses interaksi KYC (Know Your Customer) dilakukan secara langsung (offline)  dan hasilnya dilaporkan ke mitra bank.

Di layanan agen pembiayaan, Amaan mempekerjakan Community Development Partner (CDP) atau disebut “Kakak Idaman” untuk membina “Ibu Idaman” (community leader) yang menaungi komunitas ibu-ibu. 

Di layanan Belanja dan Pembiayaan, pengguna baru bisa memakai layanan ini secara hibrida (self-service dan didampingi CDP). “Tidak semua layanan akan didampingi CDP seterusnya karena CDP hanya bantu sosialisasi. Semua ini sudah kami tata sampai lima tahun ke depan, di mana mereka assisted hingga menjadi self-service. [Untuk fitur] Telekonsultasi atau layanan belajar, semua self-service,” kata Herman. 

Brand positioning

Dengan ragam penjelasan produk, model bisnis, dan cara kerjanya, bagaimana Amaan memposisikan platformnya di pasar? Herman menegaskan Amaan dikembangkan lebih dari sekadar platform yang menyediakan layanan keuangan. Mereka bukanlah produk pinjaman online atau platform P2P lending.

Menurutnya, belum ada platform digital di Indonesia yang menghadirkan berbagai layanan digital untuk pelaku usaha perempuan, terutama untuk segmen ultra mikro. 

Bicara rencananya di tahun 2022, Herman memastikan bahwa saat ini pihaknya masih akan fokus untuk meningkatkan ketersediaan layanan di enam provinsi. Menurutnya, penetrasi pasar di daerah-daerah tersebut masih memiliki peluang besar untuk ditingkatkan.

“Amaan adalah platform yang membantu ibu-ibu mengakses pembiayaan dan layanan lain untuk kehidupan sehari-hari, baik itu layanan kesehatan, belanja, maupun pendidikan. Amaan adalah ‘Digital Mass Market Ecosystem Platform’ untuk memberdayakan pengusaha perempuan dan keluarga,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here
OJK Cabut Izin IKD

OJK Mencabut Status Tercatat 18 Platform Fintech dari Daftar Inovasi Keuangan Digital

Otortias Jasa Keuangan (OJK) secara resmi mengumumkan pencabutan status atas Penyelenggara Inovasi Keuangan Digital (IKD) kepada 18 perusahaan digital. Aksi ini dilakukan sejak Juli 2020 hingga Juni 2021.

Beberapa nama yang statusnya dicabut di antaranya PropertiLord yang sebelumnya terdaftar di IKD sebagai property investment management; DuitPintar, ALAMI dari klaster aggregator; Ponsel Duit dari financial planner; hingga GoBear dari aggregator [diketahui bisnis GoBear di Indonesia memang sudah dihentikan].

Ada tiga landasan otoritas dalam mencabut status tersebut. Pertama, ada perubahan model bisnis, proses bisnis, kelembagaan, dan operasional IKD yang dimiliki perusahaan terkait. Kedua, penyelenggara mengembalikan surat penetapan atas status tercatat yang dimiliki. Dan ketiga, penyelenggara melakukan pelanggaran ketentuan peraturan.

Sebelumnya diketahui, IKD tercantum dalam beleid POJK No. 13/POJK.02/2018. Di dalamnya berisi pemain digital yang sedang dalam proses penelitian dan pendalaman model bisnis melalui mekanisme regulatory sandbox. Apabila proses penelitian telah selesai, Penyelenggara IKD dimungkinkan untuk melanjutkan ke proses pendaftaran dan perizinan yang akan diatur kemudian.

Inovasi layanan fintech memang cukup pesat dalam 10 tahun terakhir, ragam layanan diluncurkan untuk memfasilitasi kemudahan transaksi keuangan. Sayangnya, belum semua jenis bisnis terakomodasi regulasi. Untuk mengimbangi laju teknologi yang cepat, mekanisme regulatory sandbox dihadirkan, baik oleh OJK maupun Bank Indonesia sebagai perwakilan pemerintah yang bertugas menaungi industri keuangan.

Berdasarkan pemetaan layanan dalam Fintech Report 2020, saat ini ada banyak lebih dari 20 jenis layanan finansial yang model bisnisnya tercatat oleh regulator. Di klaster IKD sendiri, ada 16 model bisnis yang diamati sejak Agustus 2020, termasuk di dalamnya insurtech dan regtech.

Klaster model bisnis fintech di Indonesia

Hadirnya otoritas dalam industri fintech tentu penting, salah satu fungsi yang paling signifikan ialah meneggakan aturan untuk melindungi konsumen itu sendiri. Di sisi lain, industri fintech memeng sangat diperlukan di Indonesia, untuk memfasilitasi kalangan undeserverd dan unbankable yang jumlahnya masih cukup signifikan – sembari memberikan pemahaman yang lebih baik tentang literasi keuangan.

Pay OK

Aplikasi Pay OK Suguhkan Layanan Perencanaan Keuangan dan Investasi

Berdasarkan daftar penyelenggara IKD (Inovasi Keuangan Digital) OJK per Agustus 2020, terdapat tujuh platform klaster Financial Planer yang beroperasi di Indonesia. Selain Halofina, Fundtastic, Finansialku, dan beberapa platform lainnya; Pay OK tercatat menjadi salah satu yang juga menerima lisensi dari OJK pada tanggal 15 Juli 2019. Pay OK sendiri adalah aplikasi yang membantu nasabah mencatat dan merencanakan keuangan serta melakukan investasi.

Pay OK didirikan oleh Jayant Kumar (CEO) dan Najmuddin Husein (COO). Jayant memiliki pengalaman kerja di bidang teknologi di perusahaan Hong Kong, India dan Canada. Sementara Husein telah bekerja 13 tahun di industri perbankan dan fintech. Keduanya memiliki visi untuk membangun platform digital yang mempermudah interaksi antara pengguna dan perencanaan keuangan mereka.

“Misi kami selain mempermudah pengguna untuk merencanakan keuangan, kami hadir untuk menambah daya penetrasi produk keuangan di masyarakat, serta meningkatkan literasi keuangan di Indonesia,” ungkap Jayant.

Pay OK memulai operasional pada awal tahun 2019. Pada tahun pertama, timnya melakukan riset pasar untuk memastikan bahwa produk yang dibangun sesuai dengan keinginan pengguna. Sebelum mendapat lisensi, Pay OK juga sempat berpartisipasi di batch 4 GK Plug and Play Indonesia. Di sana mereka dikenalkan ke beberapa rekanan bank, mentor dari berbagai industri serta investor yang berpotensi. Perusahaan mengakui hal ini turut berperan dalam validasi bisnis model mereka.

Targetkan milenial di kala pandemi

Financial advisor adalah profesi yang menganalisis dan membantu nasabah untuk merencanakan keuangan mereka. Sesuai aturan, layanan seperti Pay OK tidak diperkenankan merekomendasikan sebuah produk ke nasabah tanpa algoritma yang transparan dan diuji. Oleh karena itu, timnya mencoba menampilkan solusi investasi secara transparan dan terbuka dan tidak melakukan pengelolaan dana pengguna. Semua transaksi pembelian dan penjualan investasi dilakukan langsung oleh pengguna. Pay OK dalam hal ini hanya meneruskan langsung ke Mitra Penyedia Produk Investasi.

Ketika disinggung mengenai diferensiasi bisnis dibandingkan pemain sejenis, Jayant mengungkapkan pada dasarnya dilakukan adalah bersama untuk memperkenalkan literasi produk dan layanan keuangan kepada masyarakat di Indonesia.

Dalam situasi pandemi ini, timnya juga mengaku ada banyak hal yang mempengaruhi laju bisnis, banyak integrasi dengan mitra yang terlambat sehingga mendorong mereka untuk menghadirkan inovasi baru pada aplikasi. Saat ini, Pay OK memperhatikan bawa banyak warga Indonesia mulai bisnis sendiri dari rumah untuk menjual makanan, peralatan rumah, pakaian secara online di e-commerce maupun media sosial.

Perusahaan mencoba beradaptasi untuk membangun fitur pencatatan keuangan usaha yang dapat membantu user kami yang wiraswasta untuk mengelola keuangan bisnis secara mudah dan otomatis.

“Dengan ini, kami menargetkan segmen user baru yaitu millennial yang beradaptasi saat pandemi dengan menjual online,” tambahnya.

Pay OK menerima investasi dari angel investor pada awal tahun 2019, dilanjutkan investasi dari perusahaan berbasis Indonesia di awal tahun 2020. Di awal 2021, perusahaan berencana melakukan fundraising untuk bisa ekspansi ke pasar lebih besar. Saat ini Pay OK telah tersedia untuk membantu pengguna di kota besar seperti Jakarta, Medan, dan Surabaya.

“Total tim saat ini ada 20, kami berharap tim kecil kami bisa membawa impact yang besar terhadap pengguna Pay OK. Tim kami terdiri dari individu yang ingin berinovasi di industri keuangan,” tutup Jayant.

Application Information Will Show Up Here
Layanan Skoring Kredit Fineoz

Fineoz Tawarkan Platform Berbasis AI untuk Penilaian Risiko Kredit

Masih besarnya ketimpangan kredit masyarakat unbanked dan underbanked, membutuhkan metode penilaian kredit atau credit scoring yang menyesuaikan profil calon nasabah. Berbagai pemain penilaian kredit di Indonesia terjun menawarkan teknologi yang mereka kembangkan untuk menyelesaikan isu tersebut. Salah satunya adalah Fineoz.

Startup ini didirikan oleh Anis Radianis yang punya ketertarikan kuat di industri ini, berawal dari risetnya tentang pemanfaatan AI untuk pasar unbanked. Fineoz memulai perjalanannya ketika Anis terlibat dalam beberapa penelitian dan proyek yang berkaitan dengan kecerdasan buatan di perusahaan-perusahaan Eropa pada 2015.

Di sana pula, ia mulai pengembangan Fineoz sebelum akhirnya mantap untuk di bawa ke Indonesia pada tahun lalu. “Berdirinya Fineoz di Indonesia dapat mempermudah masyarakat unbanked maupun underbanked untuk dapat menerima pinjaman,” ujarnya kepada DailySocial.

Dia menyatakan konsumen unbanked di Indonesia sudah mencapai lebih dari 100 juta orang atau hampir mencapai 60% dari potensi calon debitur. Oleh karenanya, dia meyakini bahwa pemanfaatan teknologi AI untuk penilaian kredit mampu menjadi solusi. Tanpa teknologi, isu keterbatasan akses pada masyarakat unbanked tidak akan terselesaikan.

CEO dan Founder Fineoz Anis Radianis / Fineoz
CEO dan Founder Fineoz Anis Radianis / Fineoz

Produk dan monetisasi

Fineoz memiliki berbagai produk yang membantu penilaian risiko kredit, di antaranya AiCheck yakni layanan pemeriksaan kredit dengan memvalidasi identitas calon nasabah; AiScore yakni produk penilaian kredit Fineoz berbasis AI untuk menilai risiko kredit calon nasabah; AiCredit yakni produk untuk menentukan harga kredit yang terbaik bagi calon nasabah; dan AiCare yang menyediakan metode pembayaran kredit yang optimal bagi calon nasabah.

Inovasi teranyar yang dirilis Fineoz adalah IdAlternative Score, hasil kerja sama dengan Pefindo Biro Kredit dan telah siap diberlakukan untuk semua lembaga jasa keuangan di Indonesia. Anis bercerita Pefindo memiliki data nonkredit yang banyak, namun data tersebut belum digunakan secara optimal.

Pihak Pefindo mengaku kepada dirinya, ternyata 30% dari masyarakat yang mengajukan pinjaman di jasa keuangan tidak bisa mendapatkan hasil skor dikarenakan belum ada riwayat kredit.

Produk sinergi ini akan menggunakan data nonkredit dalam memproses penilaian risiko kredit. Informasi calon debitur akan diterima langsung melalui saluran digital dari data instansi pemerintah, institusi publik, dan data organisasi. Alhasil instansi keuangan dapat memperluas dengan mudah ruang lingkup calon debitur dan menjangkau masyarakat tanpa harus memiliki riwayat kredit sebelumnya.

“Hubungan kemitraan dengan Pefindo berlangsung dalam bentuk partnership, yang mana kami memberikan technological support (aplikasi) dan juga tenaga ahli. Kami menyediakan data-data alternatif untuk Pefindo. Sedangkan produk IdAlternative Score akan dipasarkan Pefindo yang menargetkan lembaga jasa keuangan agar mereka dapat menjangkau masyarakat unbanked.”

Kemitraan antara kedua belah pihak akan dilanjutkan dalam pengembangan berikutnya. Dalam waktu dekat, IdAlternative Score akan memanfaatkan data telekomunikasi terkemuka untuk komponen penilaian kredit. Lalu pada tahun depan, akan memanfaatkan beberapa daya pembayaran dan transaksi di platform e-commerce.

Untuk monetisasinya, seluruh produk yang dikembangkan Fineoz menggunakan konsep application as services atau pay as you go. Lembaga jasa keuangan hanya membayar sesuai dengan permintaan yang mereka butuhkan. Semakin banyak data yang ditampung Fineoz, semakin banyak kebutuhan dari penilaian kredit. “Dengan itu, proses monetisasinya akan berjalan sesuai dengan kebutuhan.”

Target berikutnya

Anis mengklaim dengan memanfaatkan teknologi AI, penilaian kredit Fineoz hanya butuh waktu kurang dari lima detik dengan tingkat akurasi hingga 85%. Penilaian yang diterima juga lebih mudah untuk dipahami karena menggunakan Algoritma White-Box.

Tidak hanya itu, nilai yang didapatkan juga disesuaikan dengan kemampuan calon nasabah dalam membayar pinjaman. Perusahaan memanfaatkan sumber data yang bervariasi karena telah bekerja sama dengan provider telekomunikasi, seperti Telkom dan Indosat, serta beberapa sumber data alternatif legal di Indonesia. Kemampuan ini diharapkan bisa membawa Fineoz lebih mencolok ketimbang pemain sejenis.

Kemitraannya dengan Pefindo, diharapkan dapat menjadi batu loncatan untuk perjalanan Fineoz di Indonesia. Anis mengatakan perusahaan akan menggaet lebih banyak kemitraan seperti, perusahaan telekomunikasi, e-commerce, dan utilities untuk memperkaya data agar hasil penilaian lebih tajam. Bahkan perusahaan sudah berancang-ancang untuk ekspansi ke Asia Tenggara.

Ia juga menyebutkan bahwa tahun ini perusahaan akan memulai penggalangan pendanaan eksternal seri A yang diharapkan dapat rampung segera. “Pendanaan Fineoz masih dengan bootstrapping, memanfaatkan dana dari teman dan keluarga. Namun, mulai tahun 2020 ini, Fineoz berencana untuk melakukan pendanaan fundraising institusi untuk seri A,” tutupnya.