Tag Archives: Inspigo

Industri podcast di Indonesia masih mencari jatidiri sambil belajar dari industri yang sama di Tiongkok dan Amerika Serikat

Memetakan Posisi Indonesia di Pertumbuhan Industri Podcast Global

Di antara industri konten kreatif yang terus melejit selama beberapa tahun terakhir, salah satu yang menjadi rising star adalah konten audio podcast. Sebuah riset bertajuk “Global Podcasting Market by Genre, by Formats, by Region, Industry Analysis and Forecast, 2020 – 2026” menyebutkan bahwa ukuran pasar podcast global diperkirakan akan mencapai $41,8 miliar pada tahun 2026, mengalami pertumbuhan pasar sebesar 24,6% CAGR dalam periode tersebut.

Secara sederhana, podcast adalah file audio digital yang dapat diunduh pengguna — atau di beberapa aplikasi, streaming — dan dengarkan melalui internet, biasanya tersedia sebagai seri yang dapat dengan mudah diterima oleh pendengar. Meskipun podcast sangat beragam dalam hal konten, format, nilai produksi, gaya, dan panjang, semuanya didistribusikan melalui RSS, atau Really Simple Syndication, format standar yang digunakan untuk menerbitkan konten. Dalam hal podcast, RSS berisi semua metadata, karya seni, dan konten acara.

Menurut beberapa sumber, podcasting bermula dari blogposting yang dikembangkan oDavid Winer dan Christopher Lydon pada awal 2000-an. Winer membuat kanal RSS yang mengumpulkan rekaman audio wawancara antara mantan wartawan NPR, Christopher Lydon, dengan ahli teknologi dan politikus. Dalam kurun waktu yang sama, Adam Curry memperkenalkan program Daily Source Code yang saat itu didistribusikan lewat iPod.

Hal ini menarik minat seorang jurnalis Ben Hammersley yang kemudian membahas animo masyarakat terkait maraknya penyebaran konten audio dan secara tidak sengaja menemukan terminologi podcasting [singkatan dari iPod dan broadcasting]. Pada masa awalnya, pasar ini berfokus pada audiens khusus atau niche dan topik individu — seperti televisi kabel atau blog — berbeda dengan radio yang ditujukan untuk audiens massal, jadi harus memiliki konten dengan daya tarik luas.

Image
Sumber: Website Andreessen Horowitz

Pada tahun 2005, Apple merilis versi 4.9 yang mendukung distribusi podcast dalam semua platformnya. Ketika itu, Steve Jobs mengatakan, “Podcasting adalah generasi radio berikutnya, dan pengguna sekarang dapat berlangganan lebih dari 3.000 Podcast gratis dan setiap episode baru secara otomatis dikirimkan melalui Internet ke komputer dan iPod mereka.”

Apple Podcast memainkan peran penting dalam pengembangan industri dan tetap mendominasi tangga aplikasi untuk mendengarkan. Namun, pangsa pasarnya telah turun dalam beberapa tahun terakhir, dari lebih dari 80% menjadi 63%. Hal ini terlihat wajar mengingat semakin banyak platform yang mulai mengakomodasi distribusi podcast seperti Google Podcast dan Spotify.

Saat ini, orang-orang telah semakin banyak menghabiskan waktu untuk mendengarkan podcast. Menurut kompilasi portal data dan statistik, Statista, 37 persen orang dewasa di Amerika Serikat (AS) telah mendengarkan podcast, angka ini meningkat lebih dari tiga kali lipat selama satu dekade terakhir.

Konsumsi audio podcast di AS tahun 2008-2020. Sumber: Statista

Lahir dan berkembang di pasar AS, popularitas podcast menyebar dengan cepat ke seluruh dunia. Industri podcast di Tiongkok disebut telah 23x lebih besar dari Amerika karena satu alasan utama: Podcast di Tiongkok sebagian besar memiliki model bisnis langganan berbayar, sementara podcast di Amerika hampir semuanya gratis dan hanya didukung iklan.

Sebagai negara dengan industri podcast yang terbilang masih “bayi”, kiblat mana yang sekiranya pas untuk pasar Indonesia?

Model bisnis podcast

Dilansir dari HBR, model bisnis yang baik harus bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Siapa pelanggannya? Dan apa nilai yang ditawarkan?’ Lalu hal tersebut juga harus menjawab pertanyaan mendasar: Bagaimana kita menghasilkan uang dalam bisnis ini? Apa logika ekonomi mendasar yang menjelaskan bagaimana perusahaan dapat memberikan nilai kepada pelanggan dengan biaya yang sesuai?”

Dalam sebuah utas di Twitter, Co-Founder dan partner Village Global, sebuah VC tahap awal yang berbasis di US, Erik Torenberg menjabarkan fakta-fakta menarik terkait monetisasi dalam industri podcast. Erik mengungkap beberapa alasan industri ini masih kesulitan dalam menemukan sumber pendapatan adalah karena monetisasi tidak bisa dilakukan pada saluran distribusi yang paling besar [Apple], pemasaran ekor panjang [long-tail marketing] yang belum mencukupi, serta kelengkapan data yang belum tersedia dan perangkat “targeting” yang belum canggih.

Monetisasi bisnis podcast saat ini layaknya internet pada masa awal, masih baru dan belum stabil. Seiring meningkatnya jumlah pendengar, podcast bisa mulai menghasilkan pendapatan melalui iklan yang masuk. Namun, terkadang iklan saja tidak cukup. Dalam utasnya, Erik turut menyampaikan penggambaran model bisnis potensial yang dapat dipelajari dari Tiongkok.

Yang pertama dan masih jadi yang utama adalah iklan atau sponsor. Meskipun dinilai efektif dan dengan cara yang unik (karena dapat menyasar demografi serta geografi yang nyaris tanpa batas), terkadang iklan saja tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan produksi.

Selain itu, ada donations yang memungkinkan pembuat konten mendapatkan revenue melalui donasi lewat pihak ketiga dari para pendengarnya. Salah satu platform yang familiar digunakan di Indonesia, Anchor, memungkinkan pendengar memberikan donasi kepada pembuat konten hingga $10/bulan.

Lalu ada subscription dan a la carte purchases. Model berlangganan premium ini populer di Tiongkok. Salah satu platform audio konsumen yang sudah mencapai status unicorn, Ximalaya, memiliki fitur berlangganan seharga $3 per bulan yang memungkinkan pengguna mengakses lebih dari 4000 e-book dan lebih dari 300 kursus audio atau podcast premium. Konten audio juga tersedia a la carte, mulai dari $0,03 per episode, atau mulai dari $10 hingga $45 untuk kursus audio berbayar.

Menurut observasi penulis, dua skema pertama (iklan dan berlangganan), menjadi konsep yang paling memungkinkan untuk diterapkan jaringan pembuat konten tanpa platform independen.

Ekosistem yang mulai matang

Selama lima tahun terakhir, aplikasi audio khusus di China telah berkembang pesat. Faktanya, pengguna pasar audio online tumbuh lebih dari 22% di China pada tahun 2018, meningkat lebih cepat daripada aplikasi video atau membaca. Melihat China dapat menggambarkan model bisnis potensial — sebagian melalui mengadopsi pendekatan audio-sentris daripada mengikuti definisi podcasting yang terbatas.

Ximalaya diketahui telah memiliki 70 persen hak buku audio atas judul buku terlaris di China dan baru-baru ini melakukan investasi di media Himalaya yang berbasis di San Francisco. Didukung Tencent, Ximalaya telah membangun platform dan komunitas berbasis audio, Ximalaya FM, dengan rata-rata 250 juta pengguna bulanan. 146 juta di antaranya mendengarkan konten audio perusahaan melalui perangkat internet-of-things (IoT) dan perangkat pihak ketiga lainnya.

Per Maret 2020, Ximalaya berhasil menempati peringkat kedua setelah Apple sebagai platform yang paling sering digunakan untuk mendengarkan podcast di Tiongkok, mengungguli Spotify yang berada di peringkat ke-6.

Platform yang paling sering digunakan untuk mendengarkan podcast di Tiongkok per Maret 2020. Sumber: Statista

Di Indonesia, industri ini kian naik daun ketika Spotify membuka kanal khusus yang mempermudah siapa saja untuk mengunggah konten podcast. Beberapa nama yang sudah tidak asing seperti Rapot, Podkesmas, atau Rintik Sedu telah bertengger di kategori podcast terpopular di Spotify.

Podcast sebagai industri kreatif telah berkembang sedemikian rupa, variasi konten dan fleksibilitas menjadi dua alasan besar mengapa konsumen mendengarkan konten audio berbasis digital ini.

Salah satu platform podcast lokal yang juga ikut bersaing adalah Inspigo atau Inspiration on the Go yang belum lama ini dikabarkan telah disuntik dana oleh Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Berikut gambaran beberapa platform yang sering digunakan untuk mendengarkan podcast di Indonesia serta strategi monetisasinya.

Aplikasi Layanan Monetisasi
Spotify Distribusi musik dan podcast Iklan dan akses Spotify premium mulai dari Rp2,500 per hari hingga Rp79,000 per bulan
Apple Podcast Distribusi podcast Gratis (Khusus pengguna iOS)
Soundcloud Distribusi musik dan podcast Iklan dan akses premium mulai dari Rp36,000 hingga Rp174,000 per bulan
Pocket Casts Rekaman dan distribusi podcast Akses premium mulai dari Rp14,000 per bulan
Google Podcast Distribusi podcast Gratis
Anchor Rekaman dan distribusi podcast Gratis
NOICE Distribusi musik, podcast, radio dan audiobook Gratis
Inspigo Distribusi podcast, audio playbook Akses premium mulai dari Rp10,000 per 7 hari hingga Rp300,000 per 12 bulan

Pandangan pemain lokal

Pertumbuhan bisnis podcast yang semakin terlihat turut menarik minat investor lokal maupun global. Namun, mengingat tantangan monetisasi, pertanyaannya adalah apakah startup dapat membangun jalur yang tepat untuk menjadi bisnis yang berkelanjutan?

Aryo Ariotedjo, Co-Managing Partner Absolute Confidence, yang telah masuk sebagai seed investor di Podkesmas, mengungkapkan, “Dengan maraknya konten di Indonesia seperti YouTube, podcast merupakan industri yang baru berkembang 2 tahun terakhir seperti halnya YouTube waktu di tahun 2014. Menjadi pendukung para podcasters di awal-awal berkembangnya industri ini, dapat mampu mendongkrak talent-talent tersebut menjadi professional dan dapat me-monetize lebih baik lagi dan menciptakan content yang memang dicari berdasarkan data yang ada (data driven content creation).”

Di Indonesia sendiri, layanan podcast yang dari awal sudah yakin dengan model bisnisnya adalah Inspigo. Mereka membangun konten dengan tujuan konsumsi (pegawai) perusahaan. Sementara podcaster yang lain masih mencari popularitas dan pendengar setia di platform seperti Spotify dan Apple Podcast.

CIO Mugi Reksa Abadi Grup dan juga angel investor Michael Tampi menyatakan optimismenya dengan mengatakan, “Kita masih dalam tahap mencari format paling tepat, namun pemenang-pemenangnya sudah mulai terbentuk.”

Pendanaan Awal Inspigo

Platform Podcast Inspigo Dapat Investasi dari Telkomsel Mitra Inovasi

Platform podcast Inspigo dikabarkan mendapat investasi tahap awal dari Telkomsel Mitra Inovasi (TMI). Dari sumber yang kami peroleh, ini merupakan bagian dari putaran pendanaan awal. Unit CVC yang dinakhodai Andi Kristianto tersebut masuk lewat Signific Digital Asia Pte Ltd.

Pada April 2021, sebagaimana diberitakan Bisnis.com, perusahaan berbasis di Singapura, Signific Digital Asia Pte Ltd mencaplok saham Inspigo. Namun, Inspigo tidak menyebutkan besaran nilai yang dibayarkan Signific Digital Asia atas pengalihan saham tersebut.

DailySocial telah mengonfirmasi hal ini ke Founder Inspigo dan perwakilan TMI, namun berita ini diterbitkan belum ada pernyataan resmi dari keduanya. Kendati demikian, Inspigo justru sudah muncul di jajaran portofolio TMI pada website resminya.

Inspigo atau “Inspiration on the Go” merupakan platform podcast on-demand yang didirikan oleh Tyo Guritno, Yoris Sebastian, dan Eva Ditasari. Platform ini menghadirkan konten podcast dengan ragam topik dan speaker, mulai dari kesehatan, keuangan, musik, hingga gaya hidup. Konten-konten ini dapat dinikmati secara gratis maupun berbayar.

Perkembangan konten podcast Indonesia

Diberitakan juga baru-baru ini, TMI dikabarkan terlibat dalam pendanaan awal team esports lokal EVOS Esports. Masuknya TMI ke vertikal bisnis baru, yakni esports dan podcast, memperkuat anggapan bahwa Telkomsel tengah memperluas cakupan portofolionya.

Sejak awal berdiri di 2019, TMI telah memfokuskan investasinya pada vertikal big data, IoT, dan hiburan (musik, game, dan video). Investasi ini diharapkan dapat meningkatkan ekosistem bisnis digital, terutama yang dapat disinergikan ke bisnis utamanya di telekomunikasi.

Di sisi lain, industri konten berbasis suara memang tengah berkembang pesat di Indonesia. Karena hanya berbasis suara, ini menjadi salah satu faktor podcast mudah diterima di berbagai lanskap media di dunia. Terlebih, masa pandemi Covid-19 mendorong peningkatan konsumsi konten podcast di sejumlah platform digital, misalnya Spotify dan Google Podcast.

Podcast User Research in Indonesia di 2018 menyebutkan Spotify (52,02%) sebagai platform terpopuler untuk mendengarkan konten podcast. Namun, rupanya ada Inspigo yang masuk sebagai satu-satunya pemain lokal di jajaran 10 besar. Ini menandakan awareness terhadap platform podcast lokal sudah mulai terbangun.

Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

Di 2020, Indonesia mendominasi konsumsi podcast terbanyak se-Asia Tenggara menurut data Spotify. Sebanyak 20% dari total pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan, dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

Application Information Will Show Up Here

Podcast Popularity to Mark the Rise of Voice Based Content Industry in Indonesia

Voice-based content has existed before the internet, through the radio. As technology advanced, now voice-based content has evolved into on-demand content accessible through platforms.

One of those is the podcast or web podcast, which has become popular in recent years. Podcasts are serialized sound-based content that can be downloaded on your device. The term podcast or a combination of the words “iPod” and “broadcasting” was born along with the birth of this Apple device in 2001. Referring to Podcast Hosting data, there are 1.75 million podcast broadcasts in the world with 43 million episodes as of February 2021.

Now, voice-based content is transformed into on-demand content and available on various platforms, such as Apple Podcast, Spotify, Google Play Music, and Anchor. Not only on-demand, but the audio-based platforms Clubhouse is also gaining popularity among users in Indonesia.

Clubhouse is actually an audio-chat-based social media application that allows users to discuss various topics with other users. Exclusively, this application is to deliver a podcast format, but live. Then, how is the Indonesian market’s acknowledgment of voice-based content?

Podcast to lead the media landscape

Based on the information from several sources, there are some reasons why podcast is dominating the media landscape in a few countries, including Indonesia. First, podcast comes in a format that allows listeners to do other activities or multitask. This situation is different while enjoying video, e-book, or image based content,

In terms of consumers, this format is considered fine to take up their busy lives. The diversity of podcasts have the ability to build a community with the same preferences.

These factors are considered relevant for the Indonesian market. Referring to Podcast User Research in Indonesia in 2018, content variation and flexibility are two big reasons why consumers listen to this digital-based audio content.

Sumber Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Source: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

In addition, the smartphone’s existence is one of the driving factors why podcasts have paved the way from specialized media to become mainstream media. What we know is that podcast content is only available in certain media, such as iPods, media players, and desktops/laptops.

According to Grand View Research, low storage space, internet connection, and the limited media to access podcasts at that time hindered the growth of this industry. Now, smartphones with high-bandwidth internet connections are starting to empower the industry.

Trend of local podcast platform

The global podcast market value is estimated at $9.28 billion in 2019 and is predicted to reach $11.7 billion in 2020 according to Grand View Research data. In Indonesia, the number of content and listeners is still dominated by foreign platforms, such as Spotify and Google Podcast.

At least, this refers to Podcast User Research in Indonesia data in 2018, where Spotify (52.02%) was recorded as the most popular platform for podcast. However, Inspigo is actually included as the only local player in the top 10.

Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Source: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

This indicates the development of the local podcast platform awareness. The podcast growth trend in Indonesia has also encouraged a number of business players to develop similar platforms, such as Noice and PodMe.

Inspigo was launched in October 2017, but the platform was released to the public in April 2018. Meanwhile, Inspigo offers various packaged audio content, ranging from on-demand content, talk shows, and interactive sessions.

Meanwhile, Noice was launched in 2018 under PT Mahaka Radio Digital, a joint venture company formed by PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) and PT Quatro Kreasi Indonesia. Quatro is a consortium of four recording companies in Indonesia, including Musica, Aquarius, My Music, and Trinity.

Finally, PodMe was developed by a media conglomerate, the Media Group. The PodMe platform was released in October 2019 and offers a number of on-demand audio content, such as comedy, business, and the Kick Andy program.

Mahaka Radio’s President Director, Adrian Syarkawie revealed that Noice, which was originally developed as a streaming radio platform, was deemed insufficient to meet the growing market needs. In fact, on-demand content is considered to be growing rapidly in a number of countries, including Indonesia.

“If only from streaming radio alone, it seems [lacking] for digital applications. Moreover, people can still hear radio from other media. So, we are looking forward to what will be attractive to consumers through this application, and so we enter the podcast content, “he said to DailySocial.

In addition, on-demand audio content is getting highlighted by investors as an interesting digital business trend in the future. For example, Kopi Kenangan’s CEO and Co-founder, Edward Tirtanata, who recently announced as an angel investor through his fund, Kenangan Kapital, is reportedly going to invest in one of the local podcast platforms.

Although it is yet to be confirmed, Edward had mentioned in an interview with DailySocial that Indonesia demands more disruption in the consumer tech segment. In his observation, the products/services of this segment are still underrated in terms of technology.

Monetization hitch

Regardless, in any format, on-demand content will always lead to one big challenge, on how to monetize the business model. In general, on-demand content relies on two schemes, advertising and subscription systems.

The second option is quite attractive for platform providers to gain revenue. As long as customers can see/enjoy the value provided, they will continue to pay. Unfortunately, this option is considered difficult for the Indonesian market with a lack of willingness to pay.

Even Spotify, which has gone public, has to make a bet on making podcast content as its way to profitability. Referring to Spotify data in Indonesia, this strategy is actually make sense.

Spotify spotted that Indonesia is dominating podcast consumption in Southeast Asia in 2020. Around 20% of the total Spotify users in Indonesia listen to podcasts every month, and this number is higher than the global average percentage.

Spotify’s Head of Studios for Southeast Asia, Carl Zuzarte said that Indonesian podcast listeners have their own characteristics, the majority like content to listen to at night before bed. The consumption rate has increased in recent months, especially during the PSBB.

Meanwhile, in terms of podcasters, Box2Box ID’s Co-founder, Tio Prasetyo , also acknowledged the challenges of monetization. He said, podcasters still rely on revenue from brand-sponsored content. In this case, clients generally have an entire episode broadcast for their own promotion, similar to radio.

“The difference is, compared to radio, we can provide more accurate data, such as the number of listeners in real-time and reach to clients,” Utomo said as quoted from krAsia.

Utomo said podcasters are to raise additional income with other models, such as speaking at offline events or distributing broadcast material on podcast platforms for paid campaigns.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Demand pengguna tak lagi terbatas pada konten berbasis video dan gambar / Pexels

Popularitas Podcast Tandai Kebangkitan Industri Konten Berbasis Suara di Indonesia

Konten berbasis suara sebetulnya sudah ada sebelum zaman internet, yakni melalui radio. Seiring berkembangnya kecanggihan teknologi, kini konten berbasis suara berkembang menjadi konten on-demand yang dapat diakses melalui platform.

Salah satunya adalah podcast atau siniar web yang mulai populer dalam beberapa tahun terakhir ini. Podcast adalah konten berseri berbasis suara yang dapat diunduh pada perangkat. Istilah podcast atau kombinasi dari kata “iPod” dan “broadcasting” lahir seiring dengan kelahiran perangkat besutan Apple ini pada 2001. Mengacu data Podcast Hosting, terdapat 1,75 juta siaran podcast dengan 43 juta episode per Februari 2021 di dunia.

Kini konten berbasis suara menjelma menjadi konten on-demand dan dapat dinikmati di berbagai platform, seperti Apple Podcast, Spotify, Google Play Music, hingga Anchor. Tak cuma on-demand, platform berbasis audio Clubhouse juga mulai populer di kalangan pengguna di Indonesia.

Clubhouse sebetulnya adalah aplikasi media sosial berbasis audio-chat yang memungkinkan penggunannya untuk berdiskusi berbagai macam topik dengan pengguna lain. Bersifat eksklusif, aplikasi ini seperti menghadirkan format podcast, tetapi secara live. Lalu, bagaimana penerimaan pasar Indonesia terhadap konten berbasis suara?

Podcast mulai kuasai lanskap media

Berdasarkan informasi yang kami kutip dari sejumlah sumber, ada beberapa alasan mengapa podcast mulai mendominasi lanskap media di sejumlah negara, termasuk Indonesia. Pertama, Podcast hadir dengan format yang memungkinkan pendengar melakukan aktivitas lain atau multitasking. Situasi ini berbeda apabila menikmati konten berformat video, e-book, atau gambar,

Tentu bagi konsumen, format ini dinilai pas untuk mengisi kehidupan mereka yang sibuk. Keragaman konten podcast juga dinilai punya kemampuan untuk membangun komunitas yang memiliki preferensi sama.

Faktor-faktor  tersebut dinilai relevan bagi pasar Indonesia. Mengacu riset Podcast User Research in Indonesia di 2018, variasi konten dan fleksibilitas menjadi dua alasan besar mengapa konsumen mendengarkan konten audio berbasis digital ini.

Sumber Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Sumber Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

Selain itu, kehadiran smartphone menjadi salah satu driven factor mengapa podcast membuka jalan dari media khusus menjadi media arus utama. Yang kita ketahui awalnya konten podcast memang hanya dapat diakses di media tertentu saja, seperti iPod, media player, dan dekstop/laptop.

Menurut riset Grand View Research, terbatasnya media untuk mengakses podcast saat itu, koneksi internet, dan ruang penyimpanan yang rendah, menghambat pertumbuhan industri ini. Kini kehadiran smartphone dengan koneksi internet dengan bandwith tinggi justru mulai mendorong kembali industri ini.

Tren platrform podcast lokal

Nilai pasar podcast global diestimasi mencapai $9,28 miliar pada 2019 dan diprediksi mencapai $11,7 miliar di 2020 menurut data Grand View Research. Di Indonesia, konten maupun jumlah pendengar masih dikuasai oleh platform asing, seperti Spotify dan Google Podcast.

Setidaknya demikian mengacu data Podcast User Research in Indonesia di 2018, di mana Spotify (52,02%) tercatat sebagai platform terpopuler untuk mendengarkan konten podcast. Kendati demikian, rupanya ada Inspigo yang masuk sebagai satu-satunya pemain lokal di jajaran 10 besar.

Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial
Sumber: Podcast User Research in Indonesia 2018 / DailySocial

Ini menandakan awareness terhadap platform podcast lokal sudah mulai terbangun. Tren pertumbuhan podcast di Indonesia juga mendorong sejumlah pelaku bisnis untuk mengembangkan platform sejenis, misalnya Noice dan PodMe.

Inspigo diluncurkan pada Oktober 2017, tetapi platformnya baru dirilis ke publik pada April 2018. Adapun, Inspigo menawarkan konten audio yang dikemas secara beragam, mulai dari konten on-demand, talkshow, dan sesi interaktif.

Sementara Noice meluncur pada 2018 di bawah naungan PT Mahaka Radio Digital, perusahaan joint venture bentukan PT Mahaka Radio Integra Tbk (MARI) dan PT Quatro Kreasi Indonesia. Quatro merupakan konsorsium empat perusahan rekaman di Indonesia, yakni Musica, Aquarius, My Music, dan Trinity.

Terakhir, PodMe dikembangkan oleh konglomerasi media, yakni Media Group. Platform PodMe dirilis pada Oktober 2019 lalu dan menawarkan sejumlah konten audio on-demand, seperti komedi, bisnis, hingga program Kick Andy.

Presiden Direktur Mahaka Radio Adrian Syarkawie mengungkap, Noice yang awalnya dikembangkan sebagai platform radio streaming dinilai tak cukup untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus berkembang. Padahal, konten on-demand dinilai sedang berkembang pesat di sejumlah negara, termasuk Indonesia.

“Kalau hanya dari radio streaming saja, kelihatannya [kurang] untuk aplikasi digital. Terlebih orang masih bisa mendengar radio dari media lain. Jadi, kami melihat ke depan apa yang menarik bagi konsumen lewat aplikasi ini, dan maka itu kami masuk ke konten podcast,” ujarnya kepada DailySocial.

Tak hanya itu, konten audio on-demand juga mulai dilirik investor sebagai salah satu tren bisnis digital menarik ke depan. Misalnya, CEO dan Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata yang baru setahun belakangan merangkap sebagai angel investor lewat fund miliknya, yakni Kenangan Kapital, dikabarkan bakal berinvestasi di salah satu platform podcast lokal.

Meski belum mengonfirmasi kabar ini, Edward sempat menyebutkan dalam wawancara dengan DailySocial, bahwa Indonesia masih membutuhkan disrupsi lebih banyak di segmen consumer tech. Menurut pengamatannya, produk/layanan segmen ini di Indonesia masih terbilang underrated dari sisi teknologi.

Kerikil saat monetisasi

Terlepas dari itu semua, apapun formatnya, konten on-demand akan selalu bermuara pada satu tantangan besar, yakni bagaimana cara memonetisasi model bisnis. Umumnya, konten on-demand mengandalkan dua skema, yakni melalui iklan (ads) dan sistem berlangganan (subscription).

Opsi kedua memang menarik bagi penyedia platform untuk meraup pendapatan. Selama pelanggan dapat melihat/menikmati value yang diberikan, mereka akan terus membayar. Sayangnya, opsi ini dinilai masih sulit untuk pasar Indonesia yang punya willingness to pay yang rendah.

Bahkan Spotify yang sudah go public pun sampai harus bertaruh dengan menjadikan konten podcast sebagai cara untuk menuju profitabilitas. Jika mengacu data Spotify di Indonesia, tampaknya strategi tersebut masuk akal.

Spotify mencatat bahwa Indonesia mendominasi konsumsi podcast terbanyak se-Asia Tenggara pada 2020. Sebanyak 20% dari total pengguna Spotify di Indonesia mendengarkan podcast setiap bulan, dan jumlah tersebut lebih tinggi dari persentase rata-rata global.

Head of Studios Spotify untuk Asia Tenggara Carl Zuzarte mengatakan bahwa pendengar podcast Indonesia memiliki karakteristik tersendiri, yakni mayoritas menyukai konten yang bisa didengarkan di malam hari sebelum tidur. Konsumsinya meningkat dalam beberapa bulan terakhir terutama saat PSBB.

Sementara dari sisi podcaster, Co-founder Box2Box ID Tio Prasetyo Utomo juga mengakui adanya tantangan monetisasi. Menurutnya, saat ini podcaster masih mengandalkan pendapatan dari konten yang disponsori oleh brand. Di sini, klien umumnya meminta seluruh episode disiarkan untuk promosi mereka sendiri, mirip dengan radio.

“Bedanya adalah, jika dibandingkan radio, kami dapat memberikan data yang lebih akurat, seperti jumlah pendengar secara real-time dan jangkauan kepada klien,” ujar Tio sebagaimana dikutip dari krAsia.

Menurut Tio, podcaster bisa mendulang penghasilan tambahan dengan model lain, misalnya menjadi pembicara di acara offline atau menyebarkan materi yang disiarkan di platform podcast untuk kampanye berbayar.

Menurut Inspigo, kreator di Indonesia perlu menciptakan konten podcast yang beragam, termasuk yang menyasar pasar "niche"

Inspigo Yakin “Podcaster” Indonesia Mampu Ciptakan Konten Kreatif dan Bisnis yang Berkesinambungan

Dalam laporan bisnis kuartal kedua tahun 2019 yang diterbitkan Spotify, pertumbuhan jumlah pendengar podcast diklaim mengalami peningkatan sebanyak 50% dibanding kuartal sebelumnya.

Proses akuisisi terhadap Gimlet Media dan Anchor, yang menghasilkan konten podcast berkualitas dan memiliki jaringan yang cukup besar, memperkuat posisi Spotify sebagai penyedia konten podcast paling beragam secara global.

Pertumbuhan podcast di Indonesia

Di Indonesia sendiri mulai hadir beragam konten podcast di berbagai platform. Pilihannya cukup beragam, mulai dari komedi, bisnis, politik hingga hiburan.

Dalam survei yang dirilis DailySocial tahun lalu terungkap, alasan utama pendengar melirik podcast adalah pilihan konten yang beragam dan memberikan fleksibilitas saat menikmati konten. Bisa didengarkan sesuai dengan selera dan kondisi pendengar karena sifatnya yang on-demand. Dari survei tersebut juga terungkap beberapa platform podcast lokal yang mulai dikenali pendengar. Salah satunya adalah Inspigo yang menghadirkan konten podcast lokal terkurasi.

Menurut CEO Inspigo Tyo Guritno, tren peminatan konten podcast meningkat selama dua tahun terakhir. Dengan kemudahan produksi podcast, mulai banyak orang tertarik untuk mencoba, termasuk kreator YouTube dan influencer.

Meskipun demikian, Tyo menegaskan di Indonesia perkembangan podcast di Indonesia saat ini masih dalam fase awal. Orang Indonesia memiliki kultur yang sangat familiar dengan audio. Kebiasaan mendengarkan radio bisa dikatakan sangat melekat di keseharian, sehingga ia optimis podcast pasti akan mendapat tempat di hati orang Indonesia.

“Saat ini kami telah melakukan banyak eksperimen untuk berbagai format konten, berkolaborasi dengan berbagai komunitas, untuk terus menambah content range yang lebih luas agar bisa membantu pendengar dengan latar belakang dan kebutuhan berbeda,” kata Tyo.

Konten dan format

Persoalan konten juga menjadi perhatian para podcaster dan pendengar podcast di berbagai platform. Tyo melihat sebaiknya kreator konten podcast tidak hanya menciptakan konten dengan topik mainstream, tetapi lebih meluas didukung dengan format yang menarik.

“Salah satunya juga dengan munculnya konten-konten yang lebih niche, seperti podcast cerita anak, podcast tentang game, podcast tentang film, atau podcast tentang kecantikan. Sesuai dengan perkembangan positif dari data kita akan naiknya pendengar di kategori ini,” kata Tyo.

Langkah selanjutnya adalah bagaimana supaya pendengar podcast menghargai effort para podcaster yang sudah membuat konten dan juga tercipta ekosistem industri podcast yang membuat para kreator menjadi sustainable.

“Karena industri podcast Indonesia masih di tahap awal, ekosistem yang mendukung seluruh pelaku juga belum terbentuk. Hal ini perlu dipikirkan secara seksama. Agar nantinya ekosistem ini menjadi sehat dan sustainable, baik secara bisnis, konten, hingga regulasi,” kata Tyo.

Pertumbuhan vs profit

PwC dalam laporannya memprediksi tahun ini periklanan global di segmen podcast akan menembus angka $1 miliar (Rp 14 triliun) pertamanya. Potensi tersebut, menurut Tyo, bisa menjadi tantangan tersendiri bagi bisnis podcast di Indonesia yang masih di tahap awal.

Untuk itu perlu dipertimbangkan lebih jauh oleh penyedia platform dan pencipta konten podcast, apakah fokus ke growth terlebih dahulu atau mulai memikirkan untuk mengantongi profit.

Banyak podcaster yang memulai podcast dari hobi. Ke depannya, yang bisa diperhatikan, adalah bagaimana podcast bisa menjadi lebih dari sekedar hobi. Tidak bisa dipungkiri bawah financial support juga dibutuhkan agar podcaster bisa konsisten dan menciptakan karya podcast yang berdampak positif bagi pendengarnya.

Idealnya bisnis podcast yang sustainable adalah mereka yang bisa mengalami pertumbuhan organik dengan menyasar konsumen yang bersesuaian. Menurut Tyo, perilaku dan respon konsumen membutuhkan lebih banyak eksplorasi di bidang monetisasi.

“Kami ingin turut membantu menciptakan ekosistem industri podcast yang ideal, yang berkontribusi besar di perekonomian negara dan menempatkan Indonesia sebagai salah satu pelaku podcast dunia yang mempunyai konten-konten lebih keren dibanding dengan beberapa negara yang sekarang menjadi acuan. Dan melihat betapa kreatifnya orang Indonesia, kami yakin sekali ini bisa terjadi dalam beberapa tahun ke depan,” tutup Tyo.

Podcast On-Demand Inspigo Bisa Dinikmati Secara Offline memanfaatkan fitur download

Podcast On-Demand Inspigo Bisa Dinikmati Secara Offline

Pengguna Inspigo kini dapat menikmati konten-konten audio atau podcast secara offline. Artinya, konten podcast Inspigo dapat didengarkan tanpa perlu terhubung koneksi internet.

“Kami umumkan bahwa kini Inspigo punya fitur download sehingga konten podcast kami dapat dinikmati secara offline,” ujar CEO Inspigo Tyo Guritno di Press Conference Inspigo di Jakarta, Selasa (4/9).

Tyo menuturkan fitur download ini dikembangkan untuk menyasar segmen pengguna yang tinggal di kawasan minim atau yang tak terjangkau internet sama sekali.

“Kami selalu percaya bahwa inspirasi itu tak hanya untuk segelintir orang, dan (kami ingin) konten ini bisa dikonsumsi di mana saja dan kapan saja,” tambah Tyo.

Ada segmen pengguna Inspigo yang berasal dari Papua di mana akses internet sangat terbatas. Menurut pengakuan mereka kepada Tyo, pengguna tersebut harus pergi ke kota mencari akses internet agar bisa terhubung dengan layanan podcast Inspigo.

”Sesuai visi Inspigo, kami ingin empower masyarakat, terutama anak-anak muda, untuk dapat topik inspiratif dengan mudah. Kalau tidak cepat mengikuti perubahan di era sekarang, kita akan terlambat,” tuturnya.

Inspigo merupakan platform penyedia podcast on-demand yang menyajikan ragam topik, mulai dari kesehatan, keuangan, musik, hingga gaya hidup. Inspigo diinisiasi oleh Tyo Guritno, Yoris Sebastian, dan Eva Ditasari. Saat ini versi public beta Inspigo telah meluncur di Android dan iOS.

Podcast di dalam Inspigo disajikan dalam bentuk talkshow berdurasi sekitar 6-7 menit yang diisi narasumber dari berbagai latar belakang dan dipandu oleh host. Inspigo juga menghadirkan konten tips berdurasi 2-3 menit dengan gaya monolog.

Meski belum bisa menunjukkan data pengguna, Tyo menyebutkan bahwa Inspigo telah didengar luas mulai dari Sabang hingga Merauke dengan segmen usia sebagian besar di rentang usia 18-34 tahun.

Fokus pada kurasi konten

Saat ini, Inspigo masih dikembangkan dengan kocek sendiri alias bootstrapping. Meski berminat mencari pendanaan dari venture capital (VC), Tyo mengungkap saat ini ia lebih fokus mengembangkan konten lebih beragam agar Inspigo dapat dipakai lebih luas lagi.

“Sekarang ini kami mau kembangkan konten lebih banyak supaya lebih banyak yang pakai. Kalau nanti sudah mau scale up, dan jelas model bisnisnya, barulah kami ke arah sana [cari pendanaan],” ujar Tyo.

Dapat dikatakan Inspigo belum mematok model bisnis yang pasti mengingat layanan podcast tidak memiliki slot iklan, berbeda dengan layanan streaming musik. “Saat ini, kami kerja sama dengan untuk buat branded content, termasuk main ke offline dan online event,” jelasnya lagi.

Co-founder Inspigo Yoris Sebastian menambahkan, penguatan variasi konten menjadi fokus mereka saat ini mengingat layanan Inspigo menargetkan segmen pengguna milenial yang bekerja.

“Kami sebetulnya dapat permintaan banyak untuk jadi narasumber, tetapi kami lebih memilih untuk kurasi dari pengguna bukan speaker-nya. Kami cari topik sesuai relevansi, yang cocok dengan working millenial.”

Application Information Will Show Up Here
Mengenal Inspigo, layanan on-demand podcast

Mengenal Layanan “Podcast On-Demand” Inspigo

Konten audio atau podcast mulai mendapat tempat di Indonesia. Banyak orang-orang yang mulai memproduksi dan mendengar konten audio tersebut. Peluang ini ditangkap Inspigo, sebuah aplikasi yang menyajikan konten-konten audio atau podcast, atau disebut juga on-demand podcast. Banyak konten dengan narasumber ternama dan topik-topik menarik yang bertujuan menyajikan konten positif dan mendidik untuk Indonesia.

Inspigo diinisiasi Tyo Guritno, Yoris Sebastian, dan Eva Ditasari. Versi private beta diluncurkan pada Oktober tahun lalu dan versi public beta baru meluncur April tahun ini. Aplikasinya sudah tersedia di platform Android dan iOS.

“Inspigo percaya bahwa media audio podcast mampu menjadi alat belajar yang mengisi kebutuhan para millennial untuk mengonsumsi konten online yang berguna, tetapi tetap menarik dan menghibur secara lebih efisien dan hemat,” terang Tyo.

Ia melanjutkan, konsep on-demand yang diusung Inspigo mampu memberikan kemudahan bagi pengguna untuk menikmati dan memilih berbagai topik, seperti skill for the future, self improvement, mindfulness, career developmentcommunication skills, leadership, dan lainnya.

Selain kualitas topik dan narasumber, Inspigo juga memperhatikan kualitas audio sehingga bisa dinikmati untuk menemani perjalanan, olahraga dan kegiatan lainnya.

“Seluruh proses produksi podcast Insipigo dilakukan oleh tim konten Inspigo yang terdiri dari content journalist, audio editor, sound engineer, dan inspihost,” papar Tyo.

Podcast dikemas dalam bentuk talkshow yang melihatkan host (disebut Inspihost) dan narasumber dari berbagai macam latar belakang, termasuk profesional, public figure, penulis buku, hingga atlet. Insipigo percaya apa yang mereka lakukan akan memberikan banyak manfaat bagi pengguna dan podcast mampu menjadi media belajar yang bisa memajukan bangsa.

“Mimpi kami adalah di setiap aktivitas Inspigoers (pendengar Inspigo), yang dimulai di pagi hari hingga ditutup malam hari, selalu tersedia konten podcast inspiratif dan relevan untuk menemani semua aktivitas serta menunjang kehidupan Inspigoers,” tutup Tyo.

Application Information Will Show Up Here