Tag Archives: insurance

Bisnis PasarPolis 2023

Klaim Pertumbuhan Positif, PasarPolis Tunjuk Presiden Baru

Melalui model bisnis dan operasional yang efektif, platform insurtech membuat layanan asuransi lebih mudah diakses dan berorientasi pada pelanggan. Meskipun tantangan masih ada, kerja sama antara startup di bidang ini dan perusahaan asuransi yang mulai terbangun, yang didukung oleh lingkungan regulasi yang kondusif.

Salah satu platform insurtech yang telah berdiri sejak tahun 2015, PasarPolis terus mengembangkan inovasi agar bisa menjadi the next gen digital insurance yang selalu mengikuti tren kebutuhan pasar. Untuk memperkuat posisi mereka di industri, baru-baru ini mereka menunjuk Presiden baru yaitu Peter van Zyl untuk turut menavigasi strategi perusahaan.

Peter dikenal sebagai veteran profesional dengan rekam jejak panjang di industri asuransi selama lebih dari 20 tahun. Sebelum bergabung dengan PasarPolis, Peter menjabat sebagai Presiden Direktur & CEO Allianz Indonesia selama 7 tahun dan menduduki posisi manajemen senior di AIG selama lebih dari 15 tahun.

Presiden PasarPolis Peter van Zyl / PasarPolis

Disampaikan dalam keterangan resmi, untuk jangka pendek Peter akan berfokus memperkuat posisi PasarPolis di pasar dan mengimplementasikan strategi baru guna meningkatkan daya saing perusahaan. Sementara di jangka panjang, visi Peter adalah menjadikan PasarPolis sebagai perusahaan asuransi digital terdepan dengan layanan, produk, dan klaim yang mudah, cepat, dan terjangkau.

“Kami memprioritaskan pengalaman berasuransi yang lebih menyenangkan mulai, dari pemilihan produk hingga klaim yang 10x lebih baik bagi pelanggan kami melalui digitalisasi,” kata Peter.

PasarPolis juga akan memfokuskan kepada peningkatan penetrasi dan literasi asuransi di negara Asia Tenggara lainnya, seperti Vietnam dan Thailand, mengingat potensi yang masih besar, terutama di tengah peningkatan kesadaran masyarakat terhadap perlindungan asuransi pasca pandemi.

Dari sisi pasar, Vietnam dan Indonesia memiliki kriteria pasar asuransi yang serupa, meskipun kesadaran akan asuransi di Vietnam masih relatif rendah daripada Indonesia; serta Thailand merupakan pasar asuransi yang sudah cukup matang, dengan tingkat penetrasi lebih tinggi. Tahun 2019 lalu perusahaan melakukan ekspansi ke Vietnam dan Thaland.

Pertumbuhan positif

Diklaim melalui pendekatan digital, PasarPolis telah mencapai segmen pasar yang sulit dijangkau oleh saluran distribusi tradisional. Produk-produk yang ditawarkan juga dinilai sangat relevan dengan kebutuhan masyarakat masa kini, seperti asuransi perjalanan hingga perlindungan gadget (microinsurance).

Dengan mengedepankan pendekatan omnichannel, PasarPolis juga ingin memberikan akses yang simpel dan mudah terhadap produk asuransi, mulai dari pemilihan polis hingga penyelesaian klaim. PasarPolis terus berupaya meningkatkan distribusi polis asuransi secara lebih tepat sasaran, melalui layanan keagenan yang dimiliki.

Pandemi juga dinilai telah mengubah cara masyarakat dalam memenuhi berbagai kebutuhannya, termasuk dalam berasuransi yang sekarang lebih mudah dilakukan melalui digital. Secara preferensi, inovasi produk asuransi yang melekat dengan kehidupan sehari-hari masyarakat juga semakin menjadi tren.

Tercatat pada tahun 2022, jumlah polis yang diterbitkan oleh PasarPolis mencapai lebih dari 500 juta. Mereka juga mengklaim berhasil melindungi hampir 30% populasi Indonesia atau lebih dari 80 juta pelanggan.

Dari sisi inovasi customer experience, per Juni 2023, PasarPolis telah berhasil menyelesaikan 98% dari total penyelesaian klaim B2B2C (asuransi nonkredit) dan 95% dari total klaim asuransi perangkat diselesaikan dalam waktu kurang dari 2 jam.

Berkolaborasi dengan perusahaan asuransi umum Tap Insure, PasarPolis kini telah menjadi ekosistem asuransi digital full-stack yang mampu melakukan underwrite produk secara mandiri. Sebagai perusahaan insurtech terkemuka di Indonesia, PasarPolis kini memiliki lebih dari 7.500 Mitra aktif dan bekerja sama dengan lebih dari 40 partner ekosistem untuk memenuhi kebutuhan asuransi yang melekat di dalam keseharian masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia.

Dinamika industri insurtech

Di pasar asuransi digital, PasarPolis berhadapan langsung dengan sejumlah pemain kunci seperti Qoala dan Fuse. Namun demikian industri ini baru mendapatkan kabar kurang sedap dengan tutupnya layanan Futuready — diketahui mereka memiliki fokus utama menyediakan produk asuransi mikro. Sementara para rivalnya bermain di banyak model bisnis, termasuk yang menjadi adalan adalah layanan keagenan.

Pemain lainnya, yakni Aigis, awal tahun ini memilih pivot dari penyedia layanan insurtech B2B menjadi SaaS manajemen keuangan industri kreatif. Startup yang didukung Init6, Goodwater Capital, dan Y Combinator ini juga melakukan rebranding menjadi Finnix.

Terkait pendanaan, tiga startup telah membukukan investasi baru di semester pertama 2023 ini. Pertama Igloo yang membukukan nilai investasi 716 miliar Rupiah pada pendanaan seri B mereka dan berkomitmen memperdalam penetrasinya di pasar Indonesia. Kemudian Qoala juga mendapatkan tambahan 113 miliar Rupiah pada putaran seri B mereka. Lalu terakhir ada Bang Jamin yang baru mendapatkan pendanaan segar dari Northstar Group dan BRI Ventures.

Application Information Will Show Up Here
Startup insurtech Futuready mengumumkan tutup operasional di Indonesia setelah beroperasi sejak 2016 digawangi oleh Sendy

Startup Insurtech Futuready Tutup di Indonesia

Startup insurtech Futuready mengumumkan tutup operasional di Indonesia.

“Mohon maaf kami, PT Futuready Insurace Broker (FIB), sudah tidak beroperasi lagi,” dikutip dari situs resmi Futuready, diakses pada hari ini (4/7).

Perusahaan melanjutkan, “dari kami semua di FIB, terima kasih banyak telah memercayai kami selama ini. Adalah hal yang menyenangkan telah menyediakan produk asuransi bagi Anda secara online sejak 2016.”

Tidak disebutkan penyebab keputusan tersebut diambil.

Sebelumnya, induk Futuready, Aegon Group, menjual bisnisnya di Thailand pada November 2022 kepada perusahaan ekuitas swasta berbasis di Singapura, The Huntington Group. Di Thailand, sebelumnya menjalankan bisnis sebagai telemarketing sejak 2007, kemudian rebrand jadi Futuready Thailand yang menawarkan solusi asuransi yang berfokus pada konsumen melalui saluran afinitas dan mitra.

Di Indonesia, Aegon, mengempit 80% kepemilikan saham di Futuready. Aegon merupakan perusahaan asuransi jiwa dan manager aset yang berbasis di Den Haag, Belanda.

Saat pertama kali beroperasi di Indonesia pada 2016, Futuready memanfaatkan lisensi sebagai broker asuransi yang diperoleh dari OJK. Petinggi saat itu, Sendy, menyampaikan broker memiliki posisi yang unik karena dapat membantu nasabah dalam berasuransi. Broker melaksanakan tugasnya membantu nasabah menentukan pilihan produk asuransi terbaik dengan objektif dan transparan.

Tidak hanya konsultasi, perusahaan juga dapat memberikan jasa keperantaraan dalam penutupan asuransi serta penanganan penyelesaian klaimnya dengan bertindak atas nama dan demi kepentingan nasabah, bukan kepentingan perusahaan asuransi.

Setelah Sendy, posisi tertinggi Futuready Indonesia diisi oleh Keet Peng Onn sejak Agustus 2019. Onn sebelumnya menduduki beberapa posisi penting di Aegon Group.

Putar otak pasarkan asuransi

Di Indonesia, penetrasi masyarakat terhadap produk asuransi terbilang rendah. Data OJK menunjukkan, tingkat penetrasi asuransi di Indonesia pada 2021 mencapai 3,18% persen, yang terdiri dari penetrasi asuransi sosial (1,45%), asuransi jiwa (1,19%), asuransi umum (0,47%), dan sisanya asuransi wajib.

Sementara itu, kontribusi aset industri asuransi baru mencapai 5,8% terhadap PDB dengan penetrasi di bawah 4%. Padahal, untuk menjadi negara maju, kontribusi asuransi harus mencapai 20% dari PDB.

Founder & CEO PasarPolis Cleosent Randing merinci ada beberapa permasalahan mendasar yang ada dalam industri asuransi. Misalnya, inovasi yang tidak terlalu kencang, produk yang tidak terjangkau untuk masyarakat luas, hingga proses bisnis banyak yang masih manual. Dari sini, banyak sekali kesempatan digitalisasi yang dapat dilakukan oleh pemain insurtech.

Dengan kondisi tersebut, pendekatan PasarPolis adalah membangun digital engagement, menautkan asuransi sebagai bagian dari gaya hidup digital masyarakat Indonesia, dengan menghadirkan layanan embedded insurance.

“Seperti saat orang membeli barang di marketplace, asuransi berasa seperti udara [sesuatu yang mengiringi, dalam hal ini untuk perlindungan barang]. Jadi tujuannya mendatangkan asuransi ke kehidupan orang, bukan orang yang datang untuk mencari asuransi. Kemitraan ini adalah strategi terbaik untuk mengakses pelanggan,” jelas Cleo.

Co-Founder & COO Qoala Tommy Martin menambahkan, tiap kali ada inovasi yang mengubah perilaku masyarakat akan menimbulkan risiko baru. Kesempatan inilah yang bisa digarap perusahaan asuransi, sehingga produknya juga dituntut untuk terus berinovasi. Dunia asuransi itu sendiri dikenal sebagai industri yang kaku dengan proses kerja yang tidak sedinamis layanan insurtech.

“Asuransi harus menjadi lifestyle yang bukan dicari untuk satu tahun, tapi bisa dibeli beberapa kali dalam setahun. Makanya harus dikaitkan dengan lifestyle,” ujarnya.

Kedua perusahaan di atas juga mulai tancap gas memanfaatkan kanal distribusi yang paling banyak dicari konsumer, yakni keagenan. Fuse bahkan hanya memfokuskan diri di model bisnis ini saja.

Bisnis keagenan

Sebelumnya, Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu menyampaikan, bagi perusahaan asuransi jiwa, agen itu ibarat darah segar. Bila tidak melakukan rekrutmen, akan membahayakan perusahaan yang mengadopsi strategi agency. Namun, catatan ini hanya berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa yang menggunakan agency sebagai kanal distribusinya.

Togar juga menegaskan model keagenan tidak bisa dipisahkan dari budaya masyarakat Indonesia hingga seluruh masyarakat memahami pentingnya proteksi asuransi jiwa bagi dia dan keluarganya. Sebab, produk asuransi sampai saat ini masih ‘dijual’, bukan ‘dibeli’.

Bisnis keagenan ini termasuk mahal dan memiliki turnover yang tinggi. Kendati begitu, perusahaan yang mengandalkan kanal ini tetap harus melakukan perekrutan agar tetap tumbuh dalam kondisi apapun. Togar menyebut ada rumusan umum dalam merekrut agen, yakni 10:3:1. Artinya, dari setiap 10 orang yang diundang, hanya tiga orang yang tertarik dan mengikuti pelatihan. Namun pada akhirnya hanya satu orang yang bersedia menjadi agen asuransi jiwa.

“Kalau dianalogikan, mie instan itu tinggal taruh di display, lalu orang datang membelinya. Produk asuransi jiwa enggak bisa begitu. Dia harus ditawarkan. Nah, inilah yang menyebabkan kenapa peranan tenaga pemasar asuransi jiwa menjadi penting,” katanya.

Fuse Vietnam

Sukses Rangkul 80 Ribu Mitra Agen Asuransi di Indonesia, Fuse Replikasi Model Ini di Vietnam

Sebagai platform insurtech yang memberdayakan agen asuransi dengan platform digital, saat ini Fuse mengklaim terus mengalami pertumbuhan bisnis  positif. Meskipun menyadari masih rendahnya penetrasi asuransi di Indonesia, namun banyak peluang bagi insurtech untuk menggarap sektor ini dengan layanan yang beragam.

Kepada DailySocial.id, Founder & CEO Fuse Andy Yeung mengungkapkan, hingga saat ini dan tahun 2023 mendatang, fokus perusahaan terus berupaya  memperkuat posisi sebagai insurtech terbesar di Indonesia.

“Kami terus berupaya memanfaatkan berbagai aspek untuk meningkatkan daya saing digital di tanah air. Beberapa caranya dengan mengoptimalkan sistem digital, proses dan saluran distribusi Fuse, serta membangun kepercayaan pelanggan terhadap ekosistem asuransi.”

Setelah meluncurkan Fuse Pro beberapa waktu lalu, mereka melihat partner/agen/broker masih punya peran penting dalam rantai nilai penjualan asuransi. Di masa mendatang peran tersebut tidak akan didisrupsi oleh teknologi. Melalui Fuse Pro diharapkan bisa membantu dan mendukung para mitra bisa melakukan transaksi asuransi secara online, serta meningkatkan keterampilan digital mereka.

Saat ini Fuse memiliki lebih dari 80 ribu partner/agen/broker terdaftar yang tersebar di berbagai wilayah Indonesia. Fuse juga menggenjot strategi kemitraan. Salah satunya bersama Tokopedia untuk pemenuhan kebutuhan asuransi umum bagi pengguna.

Platform insurtech ini didirikan sejak 2017 oleh Andy Yeung dan Ivan Sunandar. Mereka mengklaim sebagai aplikasi pionir yang berfokus pada model keagenan. Hal ini dinilai relevan dengan kondisi di Indonesia, sebanyak 97% dari populasi masih berstatus underinsured dikarenakan kurang percaya dengan sistem perasuransian yang ada saat ini.

Selain Fuse yang mengandalkan layanan keagenan, insurtech lainnya yang menawarkan layanan serupa di antaranya adalah, PasarPolis melalui PasarPolis Mitra dan Qoala dengan Mitra Qoala Plus. Hanya saja, keduanya fokus dari ritel dulu baru ke bisnis, sementara Fuse sebaliknya.

Pertumbuhan positif di Vietnam

Tahun 2021 lalu Fuse telah merampungkan pendanaan seri B. Tidak disampaikan nominal investasi yang didapat. Adapun putaran ini dipimpin oleh GGV Capital dengan keterlibatan investor sebelumnya, termasuk East Ventures Growth, SMDV, Golden Gate Ventures, Heyokha Brothers, Emtek, dan sejumlah investor yang tidak disebut identitasnya.

Fuse berada di posisi yang tepat saat ini untuk memasuki pasar asuransi yang masih underpenetrated atau belum terlayani. Dengan menggunakan platform teknologi Fuse yang unik, yaitu menggabungkan berbagai model distribusi, menyesuaikan dengan berbagai cara-cara konsumen untuk membeli asuransi.

“Kesuksesan di Indonesia akan kami replikasikan ke banyak negara di Asia Tenggara, karena kami berharap kehadiran Fuse bisa membuat semakin banyak orang di Asia Tenggara mendapatkan perlindungan asuransi.”

Terkait dengan pertumbuhan bisnisnya di negara lain seperti Vietnam, tercatat bahwa saat ini Fuse telah menerbitkan lebih dari 5 juta polis di negeri naga biru tersebut sejak resmi hadir tahun lalu.

Di sana Fuse menawarkan produk asuransi mikro melalui kanal e-commerce dengan harga yang terjangkau bagi semua kalangan. Lantas baru- baru ini, Fuse mereplikasi model Business to Agent/Broker to Customer–yang terbukti sukses dikembangkan di pasar Indonesia–ke negara Vietnam.

Menurut data laporan e-Conomy SEA 2022 yang dipublikasikan oleh Google, Temasek dan Bain & Company. Pertumbuhan ekonomi digital Vietnam diproyeksikan akan cemerlang pada tahun 2025. Vietnam diprediksi mencapai GMV sebesar $ 23 miliar di akhir tahun 2022 dan  US$ 49 miliar di tahun 2025.

Industri asuransi umum di Vietnam juga diprediksi akan tumbuh 2 karena didukung oleh pemulihan ekonomi yang kuat, peningkatan frekuensi bencana alam, dan pertumbuhan asuransi wajib.

“Kami sangat meyakini bahwa transformasi asuransi digital dapat membantu lebih banyak orang mendapatkan proteksi asuransi, dan semoga tingkat penetrasi asuransi dapat meningkat secara substansial di tahun-tahun mendatang di Indonesia, Vietnam dan Asia Tenggara,” kata Andy.

Application Information Will Show Up Here
Shopee Insurtech

Induk Shopee Beri Sinyal Masuk ke Insurtech, Dikabarkan Akuisisi Perusahaan Asuransi

Sea Group, induk Shopee, dikabarkan mengakuisisi perusahaan asuransi umum Asuransi Mega Pratama, menurut pemberitaan di Financial Times. Bila informasi ini akurat, bisa dipastikan Sea Group menjadi raksasa teknologi dengan solusi keuangan terlengkap di Asia Tenggara.

Dalam jajaran portofolio bisnis keuangannya sejauh ini, Sea Group memiliki anak usaha di bidang pembiayaan lewat CS Finance (ShopeePay Later), uang elektronik lewat ShopeePay, serta perbankan lewat SeaBank dan Bank Mayora. Sementara, kompetitornya, Grab dan GoTo belum mencapai level tersebut.

Asuransi Mega Pratama itu sendiri, sebelumnya adalah bagian dari Grup Bakrie, hingga akhirnya diakuisisi pada 2003 oleh perusahaan transportasi dan perkapalan PT Wahana Mandiri Sentosa Cemerlang. Kemudian pada awal tahun dibeli oleh sebuah entitas yang dimiliki oleh Andy Indigo, keponakan dari Martua Sitorus, pemilik Wilmar International.

Bisa dikatakan, masuknya ke ranah asuransi akan memberikan warna baru dalam rangkaian variasi produk di ekosistem di Sea Group. Misalnya, di bank dapat dikawinkan jadi produk bancassurance untuk menggenjot kontribusi fee-based income.

Adapun di Shopee sendiri, sejauh ini konsumen dapat membeli asuransi mikro untuk setiap transaksi di Shopee dengan harga dan proses klaim yang simpel. Perusahaan bekerja sama dengan insurtech seperti PasarPolis, Qoala, dan perusahaan asuransi umum lainnya.

Sebagai gambaran, potensi asuransi di Indonesia masih begitu besar. Penetrasinya masih mandeg di kisaran 3% sejak lima tahun belakangan. Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Founder dan CEO PasarPolis Cleosent Randing menuturkan ada beberapa masalah mendasar di industri asuransi, seperti inovasi yang loyo, produk tidak terjangkau untuk masyarakat umum, dan proses bisnis yang masih manual.

Makanya, pendekatan yang tepat untuk pemain insurtech adalah membangun konsep embedded insurance, dengan menautkan produk asuransi sebagai bagian dari gaya hidup digital. Ibaratnya, layanan PasarPolis diintegrasikan dengan berbagai layanan digital melalui sambungan backend. Lalu meracik bersama perusahaan asuransi untuk menyuguhkan produk asuransi yang lebih terpersonalisasi.

Mengutip dari laporan “Insurtech Ecosystem in Indonesia 2021” yang dirilis DSInnovate, bisnis insurtech di dunia telah berkembang pesat, menawarkan berbagai model bisnis spesifik.

Di Indonesia sendiri, beberapa model paling populer adalah marketplace, digital brokers, digital carriers, dan micro insurers. Bahkan sebuah startup bisa sekaligus mengakomodasi beberapa model bisnis, seperti PasarPolis dalam hal ini sebagai marketplace, digital brokers, on-demand insurers, dan digital carriers.

Varian model bisnis asuransi berbasis teknologi
Application Information Will Show Up Here
Bindcover

Upaya Bindcover Efisienkan Proses Bisnis Asuransi untuk Perusahaan

Bindcover adalah platform insurtech yang mencoba memberikan kemudahan untuk pialang dan perusahaan asuransi untuk dapat saling terhubung.

Inspirasinya datang ketika Victor Roy selaku Founder & CEO Bindcover datang mengunjungi London tahun 2018. Di sana ada Lloyd’s, yakni sebuah market asuransi/risiko terbesar di dunia — konsepnya mirip bursa, hanya saja difokuskan untuk prospek asuransi. Di dalamnya mempertemukan broker/pialang asuransi dan perusahaan asuransi. Dari sana Lloyd’s mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan asuransi yang unik, mulai dari asuransi kapal Titanic sampai produk kendaraan listrik masa kini seperti Tesla.

Namun ketika mendalami proses bisnisnya, Victor melihat ada potensi digitalisasi yang dapat memberikan efisiensi. Ketika perusahaan hendak melakukan placement, dokumen yang harus disiapkan dan dibawa sangat banyak — bertemu secara face to face. Proses tersebut masih dirasa manual, komputerisasi hanya dilakukan pada tahap pencatatan.

Founder & CEO Bindcover Victor Roy / Bindcover

Pada saat pulang ke Indonesia, tercetuslah ide untuk Lloyd’s versi digital untuk menjadi wadah bagi pialang dan perusahaan untuk menjalankan bisnisnya. Di pasar lokal pun, berdasarkan pengalaman Victor di industri asuransi sejak 2004, ia melihat bahwa ketika bisnis besar (terkenal dengan asuransi kebakaran) menginginkan produk asuransi prosesnya tidak bisa semudah mencari asuransi mobil atau jiwa. Misalnya untuk asuransi yang mampu meng-cover jaminan kecelakaan kebakaran di suatu pabrik — risiko tersebut unik dan perusahaan penyedia asuransi biasanya harus melakukan kalkulasi kustom untuk mengakomodasinya.

“Contohnya ada orang punya pabrik furnitur, ketika ingin mendapat produk asuransi kebakaran biasanya isu pertama yang dihadapi mereka bingung harus menghubungi siapa, ketika datang ke situs perusahaan asuransi pun kadang tidak bisa dihubungi untuk berdiskusi intens, bahkan tidak sedikit yang kesulitan mencari tahu perusahaan mana yang mau menyediakan produk asuransi tersebut karena kayu itu termasuk risiko tinggi. Ketika sudah dapat pun, kadang perhitungan harga juga tidak transparan — sulit mencari pembanding, karena risikonya unik,” jelas Victor.

Ia melanjutkan, “Begitu dapat pialang atau agen, biasanya dokumen yang harus disiapkan banyak sekali, mulai dari legalitas PT, ukuran bangunan, produksi dll. Dan ketika sudah selesai pemberkasannya, untuk dapat harga biasanya bisa memakan waktu berbulan-bulan. Itulah pain point-nya, entri datanya susah, cari datanya susah, negosiasinya kompleks, harganya tidak transparan, hingga kapasitasnya kurang.”

“Dan pain point paling penting sebenarnya saat proses klaim. Karena jika kita melihat di situs, produk asuransi berlomba menjadi yang paling murah, padahal yang terpenting adalah bagaimana mereka menangani klaim,” imbuhnya.

Solusi yang dihadirkan Bindcover

Saat ini Bindcover telah tercatat dalam Inovasi Keuangan Digital di OJK untuk klaster Insurance Broker Marketplace. Sesuai yang didefinisikan OJK, Insurance Broker Marketpalce adalah platform bersama yang bersifat tertutup dan diperuntukkan untuk komunitas badan usaha berizin asuransi; mulai dari pialang asuransi/reasuransi dan perusahaan asuransi/reasuransi.

Model bisnis insurance broker marketplace / OJK
Model bisnis insurance broker marketplace / OJK

Di dalam platform web Bindcover, terdapat banyak pialang dan perusahaan yang bisa mendaftar. Pialang dapat mengunggah berbagai prospek klien dengan risiko-risiko unik di dalamnya, kemudian perusahaan asuransi bisa melihat dan menimbang untuk memfasilitasi kebutuhan tersebut. Semua proses administrasi tercatat dan didokumentasikan di platform — baik dari sisi pialang yang mengunggah data klien ataupun perusahaan yang mengelola transaksi. Tujuan utamanya, Bindcover ingin menjadi layanan “satu pintu”.

Fitur lain yang turut disuguhkan memungkinkan antara pialang dan perusahaan asuransi melakukan negosiasi di platform. Hal ini dinilai Viktor menjadi aspek penting karena terkait kepatuhan — bisnis asuransi adalah salah satu yang diregulasi ketat. Komunikasi yang disajikan pun menyeluruh. Misalnya, seorang pialang yang mengunggah profil risiko di platform bisa mengetahui perusahaan mana saja yang mengunduh data tersebut dan kapan, sehingga dapat melakukan follow-up lebih lanjut. Biasanya kalau melalui email atau telepon menjadi kurang terstruktur pencatatannya.

Bindcover juga tengah mengembangkan teknologi berbasis AI untuk menyediakan data pendukung dalam proses penilaian risiko suatu bisnis. Misalnya dengan melakukan crawling data-data dari internet yang relevan terkait dengan bisnis tertentu yang akan menjadi klien asuransi. Namun untuk saat ini manajemen risiko memang masih manual, baik pencatatan data dan analisisnya — khususnya untuk risiko yang nilainya besar.

Sudah dapat pendanaan pre-seed

Saat ini model bisnis Bindcover adalah B2B. Lebih lanjut Victor menceritakan, mereka punya dua revenue stream yang dijalankan. Pertama, mengenakan biaya per polis dengan nilai yang bergantung dari premi yang berhasil di-underwriting. Untuk polis yang bernilai di bawah 2 juta, Bindcover tidak mengenakan biaya.

Sementara model kedua, ada sharing fee dari pialang yang mendapatkan inquiry klien dari Bindcover. Tidak dimungkiri, dengan adanya layanan digital beberapa perusahaan juga mencoba memesan kebutuhannya melalui Bindcover. Namun demikian, karena bukan pialang (tidak memiliki lisensi broker), yang biasa dilakukan ialah meneruskan inquiry tersebut ke mitra yang terdaftar di platformnya.

“PT kami berdiri akhir 2018. Setahun setelahnya kami masih terus mencari bentuk dan mengembangkan platform, hingga pada Februari 2020 mendapatkan izin IKD dari OJK. Sayangnya setelah siap beroperasi malah dihadapkan dengan pandemi. Namun demikian di Juli 2020 soft-launching tetap diadakan. Setelah satu tahun berjalan, angkanya tidak jelek, sampai akhir Juli 2021 ada 18 perusahaan pialang yang masuk ke Bindcover dari total 159 yang ada; lalu ada 22 perusahaan asuransi dari 70 general insurance company yang ada di Indonesia. Secara bisnis yoy juga peningkatannya sampai 100%, ” ujar Victor.

Bindcover juga sudah mendapatkan pendanaan pre-seed pada Juli 2021 lalu dari Loyal Ventures yang berbasis di Kanada. Awal tahun 2022 ini perusahaan juga mulai melakukan penggalangan dana untuk mengakselerasi bisnis yang tengah dikerjakan.

“Selain itu tahun ini kami mau memastikan ke regulator bentuk yang lebih firm dari model bisnis ini, agar memiliki standpoint yang lebih jelas. Karena 2022 ini kami berencana ekspansi partnership ke B2B2C, salah satunya dengan masuk ke ekosistem finansial menggandeng perbankan. Selain itu, kami juga akan berkolaborasi dengan startup yang memiliki basis pengguna UMKM,” imbuh Victor.

Mantap bermain di segmen bisnis

Di saat insrutech lain berlomba memenangkan pasar konsumer dengan menghadirkan produk asuransi mikro atau digitalisasi keagenan, Bindcover memilih fokus ke segmen bisnis. Victor punya alasan kuat terkait hal ini.

“Saat ini GDP rata-rata kita $4000 per tahun, dari penghasilan yang ada belum ada kebutuhan untuk memiliki asuransi. Jarang ada orang yang nilai membeli asuransi tanpa di paksa. Selain dari sisi income, literasi finansial berkaitan dengan asuransi masih sangat rendah, kalau tidak salah di kisaran 14%. Bagi saya ini sulit, apalagi jika ingin masuk ke pasar yang lebih mikro di daerah. Mungkin momentumnya di beberapa tahun lagi. Sementara untuk segmen bisnis, secara mendasar kebutuhan proteksi bakalan ada; dengan daya beli yang stabil juga,” ujarnya.

Victor juga mencoba melihat dari kebutuhan pasar di global, platform ini berpotensi untuk dibawa ke kancah regional. Pasalnya kondisinya saat ini baru ada 70an perusahaan asuransi dan 5 perusahaan reasuransi di Indonesia. Saat kapasitasnya kurang, maka pemain dari luar dapat masuk ke Indonesia. Ini akan menjadi fokus berikutnya dari Bindcover, mengembangkan reasuransi — saat ini juga masih mengeksplorasi perizinannya. Menarinya ke beberapa negara aksesnya juga sudah terbuka, misalnya Jepang, Australia, dan Amerika Serikat yang akan memudahkan saat melakukan ekspansi bisnis.

Cleosent Randing (tengah) bersama anggota tim PasarPolis di Jakarta / PasarPolis

Strategi PasarPolis Menempatkan Asuransi sebagai Bagian Gaya Hidup Digital

Sejak lima tahun ke belakang, penetrasi asuransi di Indonesia masih konsisten di kisaran mendekati 3%. Metrik tersebut dihitung berdasarkan pertumbuhan (growth) produk atau layanan asuransi dengan GDP. Itu pun masih keberadaan asuransi jiwa masih sangat mendominasi. Program pemerintah mulai “mendorong” masyarakat untuk memiliki layanan BPJS Kesehatan.

Dari fakta tersebut, teknologi diyakini dapat menjembatani kesenjangan yang ada. Hadirnya produk asuransi yang dikemas dalam sebuah aplikasi digital, diharapkan mampu mendekatkan layanan terhadap kebutuhan masyarakat – di tengah angka kesadaran berasuransi yang berangsur meningkat, khususnya selama masa pandemi.

Hal tersebut diyakini Founder & CEO PasarPolis Cleosent Randing.

Pertumbuhan penetrasi asuransi dari 2017 sampai dengan 2021

Dalam sebuah diskusi media yang digelar akhir Oktober 2021 lalu, Cleo (nama panggilan Cleosent Randing) menekankan proposisi nilai yang coba diangkat perusahaannya adalah platform asuransi yang customer-centric bukan product-centric. Mereka mencoba menghadirkan layanan asuransi persis di belakang kemajuan kehidupan masyarakat. Ambil contoh, ketika seseorang membeli handphone, bersamaan dengan itu mereka bisa langsung mendapatkan perlindungan atas kerusakan, sehingga memberikan ketenangan tersendiri. Hal itu dilakukan PasarPolis melalui kemitraannya bersama Xiaomi Indonesia.

“PasarPolis ingin membangun next generation insurance company and product; termasuk di dalamnya menghadirkan layanan klaim instan [80% selesai dalam 18 detik]. Tujuannya tak lain meningkatkan kepercayaan masyarakat,” imbuh Cleo.

Embedded insurance

Jika dirunut lebih dalam, menurut Cleo ada beberapa permasalahan mendasar yang ada dalam industri asuransi. Misalnya inovasi yang tidak terlalu kencang, produk yang tidak terjangkau untuk masyarakat luas, hingga proses bisnis banyak yang masih manual. Dari sini, banyak sekali kesempatan digitalisasi yang dapat dilakukan oleh pemain insurtech.

Dengan kondisi tersebut, pendekatan yang coba dilakukan PasarPolis adalah terlebih dulu membangun “digital engagement”. Mereka mencoba menautkan asuransi sebagai bagian dari gaya hidup digital masyarakat Indonesia, apalagi pandemi juga turut mendorong digitalisasi di semua lini. Dari sana, strategi yang dilakukan adalah dengan menghadirkan layanan “embedded insurance”.

Sederhananya, layanan PasarPolis dapat terintegrasi dengan berbagai layanan digital melalui sambungan di backend. Saat ini mereka terlah bermitra dengan lebih dari 30+ ekosistem aplikasi, termasuk Gojek, Traveloka, Bukalapak, Shopee, Citilink, Telkom, Home Credit, dan lain-lain. Hal ini pula yang mereka lakukan di pasar regional — saat ini PasarPolis mulai menjangkau pasar Thailand dan Vietnam, segera meluncur di Malaysia dan Filipina.

Gambaran layanan PasarPolis yang terintegrasi di beberapa aplikasi digital

Dengan masing-masing rekanan, PasarPolis juga menyuguhkan layanan yang unik. Misalnya bersama Tokopedia mereka menghadirkan layanan Proteksi Kerusakan Barang dan Proteksi Layar Retak. Bersama Gojek, mereka menghadirkan fitur baru bernama GoSure untuk menyediakan produk asuransi mikro untuk ekosistem pengguna di dalamnya. Sementara bersama DANA, mereka juga menghadirkan fitur bernama DANA Siaga, berbentuk produk asuransi standalone yang disediakan oleh PasarPolis.

Diferensiasi produk tersebut bisa digulirkan lantaran saat ini PasarPolis memang memiliki ekosistem produk asuransi mikro yang cukup luas. Tercatat saat ini ada sekitar 170+ jenis produk asuransi dan 30+ rekanan perusahaan asuransi. Dengan model bisnis ini, PasarPolis juga saat ini terdaftar sebagai platform “Insurance Hub” di Otoritas Jasa Keuangan – sebelumnya juga telah terdaftar sebagai layanan broker digital.

“Kami menghadirkan embedded insurance, agar produk asuransi tersemat dalam daily digital journey/lifestyle. Seperti saat orang membeli barang di marketplace, asuransi berasa seperti udara [sesuatu yang mengiringi, dalam hal ini untuk perlindungan barang]. Jadi tujuannya mendatangkan asuransi ke kehidupan orang, bukan orang yang datang untuk mencari asuransi. Kemitraan ini adalah strategi terbaik untuk mengakses pelanggan,” jelas Cleo.

Cleo juga menegaskan, di beberapa kemitraan sifatnya sangat strategis – diketahui Gojek, Tokopedia, dan Traveloka merupakan investor tahap awal PasarPolis; Xiaomi juga merupakan investor PasarPolis. Sementara bersama beberapa pihak lain ia mengatakan “more losely”.

Mulai bangun bisnis kemitraan

Dengan pendekatan bisnis yang dilakukan, sepanjang 2020 dan 2021 ini, PasarPolis telah menerbitkan sekitar 600 juta polis. Sementara total akumulasi pengguna yang berhasil diakomodasi telah mencapai 21 juta lebih — termasuk dari ekosistem kemitraan yang dimiliki. Sementara untuk Gross Written Premium-nya sendiri, Cleo enggan menyebutkan detail nominal, hanya saja telah tumbuh 4-5x lipat year-on-year.

Perjalanan PasarPolis sejak didirikan tahun 2015

Akhir 2020 lalu, PasarPolis juga meluncurkan aplikasi keagenan “PasarPolis Mitra”. Sejak diluncurkan, saat ini mereka telah memiliki sekitar 15 ribu+ mitra aktif yang membantu perusahaan untuk mengedukasi pasar. PasarPolis Mitra bukan menjadi agen asuransi karena punya mekanisme yang berbeda, hanya memberi referensi produk asuransi kepada konsumen. Produk asuransi yang dijual tergolong simpel dengan premi yang ringan. Mitra yang tergabung ini harus melalui proses pelatihan demi memastikan tidak terjadi misselling.

Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), model keagenan memang menjadi salah satu yang paling efektif setelah bancassurance. Pendapatan premi dari kanal keagenan tercatat mencapai Rp30,44 triliun sepanjang semester I/2021. Kendati capaian tersebut turun 4,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu, namun porsinya termasuk yang cukup besar.

Pengembangan teknologi

Awal tahun ini PasarPolis menerima pendanaan $5 juta dari International Finance Corporation (IFC), institusi keuangan di bawah naungan Bank Dunia yang fokus pada percepatan inklusi dan literasi keuangan di berbagai negara berkembang. Pendanaan ini direngkuh selang empat bulan setelah mengumumkan Seri B sebesar $54 juta. Salah satu fokusnya adalah untuk pengembangan teknologi terpadu guna mendigitalkan bisnis asuransi secara menyeluruh.

“Bagi kami pengembangan teknologi tidak bisa di-outsource. Teknologi menjadi landasan penting bagi bisnis,” ujar Cleo.

Untuk saat ini, ada empat aspek teknologi penting yang dikembangkan dan dijadikan proposisi oleh PasarPolis, meliputi:

  • Smart Instant Claim; memanfaatkan teknologi machine learning dan image processing untuk mengautmasi proses klaim dan pembayaran ke konsumer. Memastikan juga sistem klaim proaktif memberikan notifikasi ke pelanggan.
  • API Connection; menghadirkan standardisasi API untuk memudahkan platform digital menghadirkan layanan asuransi. PasarPolis menghadirkan SDK dengan jaminan kemudahan 1 hari dalam menambahkan produk ke sistem.
  • Green & Red Channel Tech; sistem penilaian analisis risiko pelanggan dengan basis data terintegrasi untuk proses underwriting yang lebih baik.
  • Automated Risk Assesement; layanan berbasis AI untuk mereduksi proses penilaian dan klaim secara manual.

Sistem AI yang dikembangkan, saat ini mampu secara efektif melakukan verifikasi identitas, melakukan prediksi perilaku, pengenalan gambar, hingga pelayanan konsumen. Selain itu, bersama para rekanannya, PasarPolis juga mengembangkan “join data lake” untuk meningkatkan data dan kemampuan underwriting.

Berbagai data yang digunakan untuk membantu meningkatkan kualitas layanan asuransi bersama mitra

Untuk pengembangan teknologi, selain tim di Indonesia, Cleo juga mengatakan mereka memiliki pusat pengembangan yang berbasis di India. Keyakinan founder untuk mendemokratisasi bisnis asuransi dengan teknologi membuat produk-produk digital menjadi fokus tersendiri [dan penting] di perusahaan.

Model bisnis insurtech

Berdasarkan laporan bertajuk “Insurtech Ecosystem in Indonesia 2021” yang dirilis DSInnovate, bisnis insurtech di dunia telah berkembang pesat, menawarkan berbagai model bisnis spesifik. Di Indonesia sendiri, beberapa model paling populer adalah marketplace, digital brokers, digital carriers, dan micro insurers. Bahkan sebuah startup bisa sekaligus mengakomodasi beberapa model bisnis, seperti PasarPolis dalam hal ini sebagai marketplace, digital brokers, on-demand insurers, dan digital carriers.

Pemain lainnya, Fuse, mengambil pendekatan mendigitalkan konsep keagenan yang sejauh ini sudah populer di industri asuransi. Salah satu alasannya, proses ini akan memakan waktu yang relatif lebih singkat dalam kaitannya dengan edukasi pasar. Diklaim Gross Written Premium yang berhasil dibukukan Fuse mencapai angka $50 juta (lebih dari Rp700 miliar) pada 2020. Nilai tersebut ditargetkan sepanjang tahun ini menembus kisaran $100-120 juta (sekitar Rp1,4-1,7 triliun).

Varian model bisnis asuransi berbasis teknologi

Ada pendekatan lain yang dilakukan startup lokal, misalnya Lifepal yang fokus untuk membantu calon nasabah membandingkan, membeli, dan menggunakan produk asuransi. Mereka menghadirkan aplikasi marketplace asuransi terpadu, menghubungkan puluhan produk asuransi dan menyuguhkannya ke konsumen akhir. Tahun ini Lifepal mengumumkan pendanaan seri A senilai $9 juta. Digabungkan dengan perolehan sebelumnya, total dana investasi yang telah dikumpulkan perusahaan mencapai $12 juta.

Model bisnis yang semakin matang, kepercayaan investor yang  semakin meningkat, dan penetrasi asuransi yang terus bertambah menjadi kesempatan sendiri bagi startup insurtech. Begitu pula yang diyakini Cleo dan tim PasarPolis.

“Sejak 5 tahun lalu, gaya hidup konsumen sudah bergerak ke digital, tapi kala itu asuransi belum bisa mengakomodasi [gaya hidup tersebut]. Sekarang semua sudah serba digital, pun demikian layanan asuransi […] Pada akhirnya, digital insurance bukan sekadar perusahaan asuransi yang memiliki aplikasi, namun harus mampu menempatkan kehidupan masyarakat di depan asuransi, untuk menghasilkan kehidupan yang bebas dari rasa khawatir,” ujar Cleo.

Application Information Will Show Up Here
Cekpremi bisa dikatakan sebagai salah satu pelopor insurtech di Indonesia / Cekpremi

Upaya Cekpremi Agar Tetap Relevan sebagai Insurtech

Cekpremi bisa dikatakan sebagai salah satu pelopor insurtech di Indonesia. Mereka mengawali bisnisnya sebagai portal perbandingan produk asuransi online sejak 2014, dan kini menjadi bagian Fuse, untuk menjalankan strategi B2C dalam melengkapi rangkaian bisnis yang komprehensif. Layanan tersebut masih menjadi solusi utama di Cekpremi.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Direktur Cekpremi Ziko Goi menjelaskan secara umum masih luas potensi yang bisa dikembangkan oleh perusahaan fintech dalam meningkatkan penetrasi produk asuransi. Mengacu pada data OJK, sekitar 97% masyarakat Indonesia belum terproteksi asuransi karena kurang percaya dengan sistem yang ada.

Terlebih itu, sejumlah perusahaan asuransi juga belum mengaplikasikan teknologi, sehingga kesulitan untuk mengembangkan produk asuransi dan menyediakan akses yang mudah.

“Ekosistem digital yang dibangun asuransi bisa menjadi jawaban bagi tantangan ini dan menawarkan kanal distribusi beragam untuk memasarkan produk asuransi,” terang dia.

Menanggapi hal tersebut, Cekpremi terus membenahi dirinya agar tetap relevan dengan kebutuhan masyarakat. Ziko menuturkan awalnya Cekpremi mempelopori penjualan asuransi kendaraan di Indonesia. Seiring berjalannya perkembangan digital, Cekpremi menyambut kesempatan tersebut dengan melakukan ekspansi ke produk asuransi lainnya, seperti properti, perjalanan, asuransi kesehatan dan jiwa, alat berat, barang bergerak, liabilitas, perkapalan, dan lainnya.

Perluasan ini berdampak pada peningkatan jumlah pengguna. Meski tidak dirinci lebih detail, disebutkan pengguna baru Cekpremi bertambah lebih dari puluhan ribu orang tiap tahunnya. Pelanggan ini datang dari kalangan individu dengan range usia generasi muda dan generasi X usia 30-45 tahun, juga nasabah korporat. “Saat ini juga mulai banyak generasi muda yang mulai mencari asuransi karena dampak Covid-19 yang membuat masyarakat semakin sadar akan pentingnya asuransi.”

Bermitra dengan Fuse

Sebagai catatan, pada 2018 Fuse bergabung dengan Cekpremi dan Ivan Sunandar (Founder Cekpremi) menjadi Co-Founder & COO Fuse. Sejak saat itu, Cekpremi yang fokus pada B2C comparison turut melengkapi dan memperkuat model bisnis di Fuse yang juga bermain di ranah B2A (business to agent/broker) dan B2B2C (asuransi mikro dan institusi finansial). “Cekpremi bermitra dengan Fuse, sebagai insurtech terbesar di Indonesia, Fuse memiliki sejumlah model bisnis dan menjadi insurtech dengan layanan paling komprehensif.”

Tak hanya bermitra dengan Fuse, Cekpremi sendiri juga melakukan langkah lainnya dengan sejumlah perusahaan asuransi untuk mengembangkan produk asuransi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Mulai dari asuransi kendaraan bermotor, asuransi kesehatan, jiwa, properti, asuransi perjalanan dan lain-lain.

Perusahaan asuransi yang bekerja sama dengan Cekpremi antara lain Simas Insurtech, Etiqa, Artarindo, Staco Mandiri, Tokio Marine Insurance Group dan Zurich Insurance.

“Cekpremi akan terus berupaya untuk menyediakan akses asuransi secara mudah melalui teknologi, menghadirkan produk asuransi yang sesuai dengan kebutuhan dan memberikan layanan terbaik bagi nasabah.”

DailySocial.id turut mendapat informasi bahwa Cekpremi dikabarkan akan melakukan rebrand agar memiliki posisi yang jelas dibandingkan Fuse. Namun sayangnya, Ziko enggan merinci lebih lanjut terkait rumor tersebut.

Perjalanan startup insurtech, umumnya dimulai dari portal perbandingan produk asuransi, bahkan produk keuangan pada umumnya seperti yang diawali oleh CekAja, sebelum merambah ke berbagai produk lainnya. Dalam perjalanannya, Cekpremi, bersama pemain lainnya seperti Lifepal, Asuransiku, Futuready, hingga Cermati, menghubungkan perusahaan asuransi konvensional ke platform digital.

Kemudian pengalaman berasuransi semakin lama makin menyeluruh, tidak hanya pada saat pembelian saja, namun juga saat proses klaim. Juga, semakin mudah ditemukan di berbagai aplikasi konsumer populer agar penetrasinya dapat meningkat secara perlahan.

Seperti yang disebutkan dalam laporan yang disusun DSInnovate bertajuk “Insurtech Ecosystem in Indonesia Report 2021”, disampaikan bahwa memberikan pengalaman pelanggan digital yang sederhana adalah kunci di era di mana pelanggan terbiasa dengan saluran digital.

“Pendekatan yang paling efisien adalah memberikan pengalaman nyata kepada pengguna. Produk asuransi mikro dapat menjadi pilihan untuk memperkenalkan cara kerja asuransi dan manfaat yang diberikannya,” tulis laporan tersebut.

Akan tetapi, diperlukan akses yang dibutuhkan dalam siklus hidup produk asuransi. Hal tersebut meliputi, informasi dan perbandingan produk, proses pembelian dan klaim, proses pembayaran dan pencairan. “Tantangannya adalah membuat aspek-aspek ini dapat dicapai secara instan dan real-time.”

 

Fuse Closes Series B+ Round, Expanding to the Regional Market

Fuse Insurtech (12/13) announced additional series B+ funding of over $25 million (approximately 363 billion Rupiah). This round was led by an undisclosed global investor with specialization in raising funds for fintech, with the participation from previous investors such as East Ventures (Growth Fund), GGV Capital, eWTP, and EMTEK.

Over the past six months, Fuse had closed three Series B funding rounds of over $50 million (approximately 725 billion Rupiah) in total. In other words, strengthening Fuse’s position in the centaur list. The fresh funds will be used to expand to more countries in Southeast Asia. The company currently has more than 460 employees, with branch offices in Indonesia, Vietnam and China.

Fuse’s Founder & CEO, Andy Yeung expressed his delight that Fuse has been recognized by global-scale fintech investors amidst the rapid competition in Southeast Asia’s insurtech market. We are excited to gain access and insight from other fintech and insurtech portfolio companies in this global network.

“The strong interest from global investors, along with our recent achievement by entering the World’s Top 100 Insurtechs 2021 list published by Sønr Global and Ernst & Young, reaffirms our current ecosystem approach. The technology platform developed by Fuse makes insurance more accessible to people in Southeast Asia,” Yeung said in an official statement.

He continued, based on a report, Southeast Asia’s middle class is predicted to grow to 350 million consumers with $300 billion income and increasing digital literacy. He said, Fuse is well positioned to enter this large, under-penetrated insurance market through its unique technology platform, which provides a variety of distribution channels adjusting to consumer needs.

“With the investor’s trust, insurance companies, business partners and end-customers, Fuse will continue to do its best to develop the most affordable insurance products and meet their needs. We strongly believe that the transformation of digital insurance can help more people get insurance protection, and hopefully insurance penetration rates can increase substantially in the years to come in Indonesia and Southeast Asia.”

Since its debut in 2017, Fuse has taken an application approach to enable insurance sales with a B2A (Business to Agent/Broker) business model. The company has a comprehensive business model, B2A, B2C comparison, B2B2C (micro insurance and financial institute), which allows it to help partners distribute insurance products with affordable operating costs to end-customers.

There are more than 60 thousand marketers/partners are using the Fuse Pro application to market insurance products. The company also collaborates with more than 40 insurance companies, ranging from general insurance companies to life insurance companies, which supports Fuse to provide more than 300 insurance products for end-customers.

Since the third quarter of 2021, Fuse has been officially appointed by Tokopedia as a strategic insurtech partner to provide all general insurance products for Tokopedia users. As of last September, Fuse’s gross premium income (Gross Written Premium/GWP) has exceeded IDR 1 trillion, making Fuse the largest insurtech company in Indonesia.

In a previous interview with DailySocial.id, Yeung explained that agents/brokers play an important role in the insurance sales chain and they will not be disrupted by technology in the near future. Finally it was decided to build a Fuse Pro application to enable and support agents/brokers in digitization. At the same time, helping them turn their offline business into online.

“In other words, we are ‘shifting existing insurance’ online, rather than trying to ‘create’ new insurance markets like microinsurance. That’s why we focus on this agent/broker business model, especially from day one,” he said.

The agent’s essential role

Actually, insurtech startups currently also have agency services to boost sales of insurance products through agents (B2B) in addition to retail channels (B2C). PasarPolis has PasarPolis Partners and Qoala with Qoala Plus Partners. However, both of them focus from retail first to business, while Fuse is the opposite. There is nothing wrong with these two business segments as it has the same objective, to increase the penetration of insurance products in Indonesia.

Agents are at the forefront of insurance companies in driving its business. According to Indonesian Life Insurance Association (AAJI), this channel contributed to 36.1% of the total life insurance premium income until the third quarter of 2020. Moreover, followed by the bancassurance line 46.95% and the telemarketing line 1.88%, and others 15 0.06%. In total, the number of licensed insurance agents rose 2.1% to 635,326 people during the period.

AAJI’s Executive Director, Togar Pasaribu said, for life insurance companies, agents are like fresh blood. If you don’t do recruitment, it will endanger the company that adopts the agency strategy. “Please note that not all life insurance companies use agencies as their distribution channel. Therefore, this only applies to life insurance companies that use agents as salespeople,” he said as quoted from Kontan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan Fuse Seri B+

Fuse Kantongi Tambahan Dana Seri B+, Perkuat Ambisi ke Pasar Regional

Startup insurtech Fuse hari ini (13/12) mengumumkan tambahan pendanaan dalam putaran seri B+ dengan total nilai lebih dari $25 juta (sekitar 363 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh investor global spesialis penggelontor dana untuk fintech dengan identitas dirahasiakan, serta dukungan dari investor sebelumnya seperti East Ventures (Growth Fund), GGV Capital, eWTP, dan EMTEK.

Selama enam bulan ini, Fuse telah menutup tiga putaran pendanaan Seri B dengan total perolehan lebih dari $50 juta (sekitar 725 miliar Rupiah). Dengan kata lain, mengokohkan posisi Fuse ke dalam jajaran startup centaur. Dana segar yang didapat perusahaan akan digunakan untuk membawa platform Fuse ke lebih banyak negara di Asia Tenggara. Perusahaan saat ini memiliki lebih dari 460 pegawai, dengan kantor cabang di Indonesia, Vietnam, dan Tiongkok.

Founder & CEO Fuse Andy Yeung menuturkan, rasa senangnya karena Fuse mendapat pengakuan dari investor fintech skala global di tengah pesatnya persaingan insurtech di Asia Tenggara. Pihaknya bersemangat untuk mendapatkan akses dan wawasan dari perusahaan portofolio fintech dan insurtech lainnya di jaringan global ini.

“Minat yang kuat dari investor global, bersama dengan prestasi terbaru kami masuk daftar World’s Top 100 Insurtechs 2021 yang diterbitkan oleh Sønr Global dan Ernst & Young, menegaskan kembali pendekatan ekosistem kami saat ini. Platform teknologi yang dikembangkan Fuse membuat asuransi lebih mudah diakses oleh masyarakat di Asia Tenggara,” ucap Yeung dalam keterangan resmi.

Dia melanjutkan, menurut laporan yang ia kutip, pada tahun ini kelas menengah Asia Tenggara diprediksi akan tumbuh menjadi 350 juta konsumen dengan pendapatan $300 miliar dan semakin melek digital. Menurutnya, Fuse berada di posisi yang tepat untuk memasuki pasar asuransi besar yang kurang terpenetrasi ini melalui platform teknologi uniknya, yang menghadirkan kanal-kanal distribusi yang bervariasi sesuai dengan kebutuhan konsumen.

“Dengan kepercayaan dari investor, perusahaan asuransi, partner bisnis dan end-customer, Fuse akan terus berusaha sebaik mungkin untuk mengembangkan produk asuransi yang paling terjangkau dan sesuai kebutuhan. Kami sangat percaya bahwa transformasi asuransi digital dapat membantu lebih banyak orang mendapatkan proteksi asuransi, dan semoga tingkat penetrasi asuransi dapat meningkat secara substansial di tahun-tahun mendatang di Indonesia maupun Asia Tenggara.”

Sejak beroperasi di 2017, Fuse mengambil pendekatan aplikasi untuk memungkinkan penjualan asuransi dengan model bisnis B2A (Business to Agent/Broker). Perusahaan memiliki bisnis model yang komprehensif, yakni B2A, B2C comparison, B2B2C (asuransi mikro dan financial institute), yang memungkinkan untuk membantu partner mendistribusikan produk asuransi dengan biaya operasional yang terjangkau kepada end-customer.

Terdapat lebih dari 60 ribu tenaga pemasar/partner yang menggunakan aplikasi Fuse Pro untuk memasarkan produk asuransi. Fuse juga bekerja sama dengan lebih dari 40 perusahaan asuransi, mulai dari perusahaan asuransi umum hingga perusahaan asuransi jiwa, yang mendukung Fuse untuk menyediakan lebih dari 300 produk asuransi bagi end-customer.

Sejak kuartal ketiga 2021, Fuse telah resmi ditunjuk oleh Tokopedia sebagai mitra insurtech strategis untuk menyediakan semua produk asuransi umum bagi user Tokopedia. Pada September lalu, pendapatan premi bruto (Gross Written Premium/ GWP) Fuse telah melampaui Rp1 triliun, yang menjadikan Fuse sebagai perusahaan insurtech terbesar di Indonesia.

Sebelumnya dalam wawancara bersama DailySocial.id, Yeung memaparkan bahwa agen/broker memainkan peran penting dalam rantai penjualan asuransi dan mereka tidak akan terganggu teknologi dalam waktu dekat. Akhirnya diputuskan untuk membangun aplikasi Fuse Pro untuk mengaktifkan dan mendukung agen/broker dalam digitalisasi. Sekaligus, membantu mereka mengubah bisnis offline menjadi online.

“Dengan kata lain, kami ‘menggeser asuransi yang ada’ ke online, daripada mencoba ‘menciptakan’ pasar asuransi baru seperti asuransi mikro. Itu sebabnya kami fokus pada model bisnis agen/broker ini terutama sejak hari pertama,” ujarnya.

Peran vital keagenan

Sebenarnya, startup insurtech saat ini juga memiliki layanan keagenan untuk mendongkrak penjualan produk asuransi lewat agen (B2B) selain kanal ritel (B2C). PasarPolis punya PasarPolis Mitra dan Qoala dengan Mitra Qoala Plus. Hanya saja, keduanya fokus dari ritel dulu baru ke bisnis, sementara Fuse sebaliknya. Tidak ada yang salah dengan kedua segmen bisnis ini karena semangat sama, yakni ingin meningkatkan penetrasi produk asuransi di Indonesia.

Agen adalah garda terdepan perusahaan asuransi dalam memacu bisnis. Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), jalur ini memberikan kontribusi terhadap 36,1% dari total pendapatan premi asuransi jiwa hingga kuartal III 2020. Kemudian, disusul jalur bancassurance 46,95% dan jalur telemarketing 1,88%, dan lainnya 15,06%. Secara total, jumlah agen asuransi berlisensi naik 2,1% menjadi 635.326 orang dalam periode tersebut.

Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengatakan, bagi perusahaan asuransi jiwa, agen itu ibarat darah segar. Bila tidak melakukan rekrutmen, akan membahayakan perusahaan yang mengadopsi strategi agency. “Harap dicatat bahwa tidak semua perusahaan asuransi jiwa menggunakan agency sebagai kanal distribusinya. Jadi hal ini hanya berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa yang menggunakan agen sebagai tenaga penjual,” ucapnya seperti dikutip dari Kontan.

Application Information Will Show Up Here

Fuse Sets Different Approach to Advance Insurance Product Literation

According to OJK, Indonesia’s insurance penetration in 2019 was at 2.81%. A year later, this value rose slightly to 2.92% and to 3.11% in June 2021. With relatively low rate, this is a positive signal for the insurance industry in the country, especially during the pandemic. In comparison, insurance penetration in Thailand reached 4.99% and Malaysia 4.72%.

The ratio of policyholders to the total population of Indonesia still considered very unequal. Many have been using this huge potential for growth, including insurtech startups, to continue to raise public awareness to have insurance in the easiest, cheapest, and most practical way. This step has been translated by intensively mixing micro-insurance products performed by many startups.

For Fuse, this approach is considered less effective to increase penetration in a short time. Founded by Andy Yeung and Ivan Sunandar, this startup actually takes a different approach, Fuse empowers insurance agents with a digital platform.

Yeung explained in an interview with DailySocial, when he first started Fuse in 2016, it was clear that agents/brokers play an important role in the insurance sales chain and they will not be disrupted by technology in the near future. Eventually, the Fuse Pro application was developed to enable and support agents/brokers in digitization. At the same time, helping them turn their offline business into online.

“In other words, we are “shifting existing insurance” online, rather than trying to “create” new insurance markets such as microinsurance. That’s why we focus on this agent/broker business model, especially from day one,” he said.

Yeung continued, microinsurance businesses require a long time to build trust with channel partners and educate its end customers. A clear example is the collaboration with Tokopedia. Fuse helped them launch its first transactional insurance top up as people buy plane tickets in 2018.

After 3 years of working together, Fuse finally won the Tokopedia’s trust and appointed it as the only insurtech service to support all general needs of insurance products offered on the Tokopedia platform starting this year.

Yeung himself is a serial entrepreneur. Previously, he has been involved in various startups. Some of them are engaged in video streaming, group buy e-commerce, mobile game publishing, and Wi-Fi sharing applications.

He shifted into establishing Fuse only because his first startup in Indonesia was not successful in monetizing. “That is why I looked into fintech and eventually ended up in the insurtech space.”

In 2018, Fuse joined Cekpremi and Ivan Sunandar (Co-founder of Cekpremi) became Fuse’s Co-Founder and COO. Ivan started Cekpremi in 2014, the startup is one of the leading insurance comparison sites in Indonesia.

Insurtech potential

Yeung said, the space for insurance and insurtech businesses growth in Indonesia is wide as there are many pain points to be resolved by entrepreneurs/insurance companies. These opportunities are infrastructure, such as payments, maturing cost-effective distribution channels, and awareness of the benefits of having insurance protection.

“However, the challenge is that more entrepreneurs/insurance companies enter this space and compete homogeneously, rather than being the pioneers to look to underserved areas.”

However, Fuse still treat insurance companies as partners to combine and underwrite various types of insurance products. Fuse becomes the party to distributes the insurance product effectively through its distribution channel partners.

He said that his team is yet to make Fuse a licensed insurance company in the near future. Therefore, it will be an independent technology platform that partners with more insurance companies. “Instead of making our own company to compete with our corporate partners.”

Currently, apart from Indonesia, Fuse also available in Vietnam since 2020. Insurance penetration and startups in that country still have huge potential for growth as it is in Indonesia, therefore, this opportunity not only worked for Fuse, but also other local startups.

Also, Yeung said his team plans to increase its presence in several other countries this year. The company has expanded its partnerships with some of its channel partners to other countries.

“In fact, we were told by potential investors looking across the insurtech space in Indonesia & Southeast Asia that we are considered one of the largest in terms of gross premium income (Gross Writing Premium/GWP) and even valuation.”

It is claimed that Fuse’s GWP will reach $50 million (more than Rp700 billion) in 2020. This year, the GWP value is targeted to reach  $100-120 million (around Rp1.4 trillion-Rp1.7 trillion).

According to DSInnovate’s data in the “Insurtech Report 2021”, Indonesia insurance industry’s GWP has reached $20.8 billion in 2020. Life insurance dominates with a value of 73.8%.

Even though it was affected by the pandemic on its entrance in Indonesia, this sector was relatively able to recover quickly as seen from the Gross Premium Income.

In the report above, there are several important factors that can drive insurance adoption. First, the claim process should be easier (48% of respondents). Next, it is related to the service provider brand that must be convincing (39%). Also, cost issues (37%) and benefits provided (11%).

Agent significance

Actually, insurtech startups also have agency services to boost sales of insurance products through agents (B2B) in addition to retail channels (B2C). PasarPolis has PasarPolis Mitra and Qoala with Mitra Qoala Plus. However, both of them focus from retail first to business, while Fuse is the opposite. There is nothing wrong with these two business segments as the spirit is still the same, to increase the penetration of insurance products in Indonesia.

Agents are at the forefront of insurance companies in accelerating business. According to data from the Indonesian Life Insurance Association (AAJI), this channel contributed to 36.1% of the total life insurance premium income until the third quarter of 2020. Then, followed by the bancassurance line 46.95% and the telemarketing line 1.88%, and others 15 0.06%. In total, the number of licensed insurance agents rose 2.1% to 635,326 people during the period.

AAJI Executive Director Togar Pasaribu said, for life insurance companies, agents are like fresh blood. If you don’t recruit, it will endanger the company that adopts the agency strategy. “Please note that not all life insurance companies use agencies as their distribution channel. Therefore, this only applies to life insurance companies that use agents as salespeople,” he said as quoted from Kontan.

Separately reached by DailySocial, Togar reiterated that the agency model cannot be separated from Indonesian culture, therefore, all people understand the importance of life insurance protection for them and their family. This is because the insurance products are ‘sold’, not ‘purchased’.

This agency business is expensive and has a high turnover. Even so, companies that rely on this channel still have to recruit in order to keep growing under any conditions. Togar said that there is a general formula for recruiting agents, it is 10:3:1. It means, out of every 10 people invited, only three people are interested and take part in the training. However, in the end only one person was willing to become a life insurance agent.

“In an analogy, you just put instant noodles on the display, then people come to buy them. Life insurance products can’t do that. He must be offered. Well, this is why the role of life insurance marketers is important,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian