Tag Archives: insurance broker marketplace

Bindcover

Upaya Bindcover Efisienkan Proses Bisnis Asuransi untuk Perusahaan

Bindcover adalah platform insurtech yang mencoba memberikan kemudahan untuk pialang dan perusahaan asuransi untuk dapat saling terhubung.

Inspirasinya datang ketika Victor Roy selaku Founder & CEO Bindcover datang mengunjungi London tahun 2018. Di sana ada Lloyd’s, yakni sebuah market asuransi/risiko terbesar di dunia — konsepnya mirip bursa, hanya saja difokuskan untuk prospek asuransi. Di dalamnya mempertemukan broker/pialang asuransi dan perusahaan asuransi. Dari sana Lloyd’s mampu mengakomodasi berbagai kebutuhan asuransi yang unik, mulai dari asuransi kapal Titanic sampai produk kendaraan listrik masa kini seperti Tesla.

Namun ketika mendalami proses bisnisnya, Victor melihat ada potensi digitalisasi yang dapat memberikan efisiensi. Ketika perusahaan hendak melakukan placement, dokumen yang harus disiapkan dan dibawa sangat banyak — bertemu secara face to face. Proses tersebut masih dirasa manual, komputerisasi hanya dilakukan pada tahap pencatatan.

Founder & CEO Bindcover Victor Roy / Bindcover

Pada saat pulang ke Indonesia, tercetuslah ide untuk Lloyd’s versi digital untuk menjadi wadah bagi pialang dan perusahaan untuk menjalankan bisnisnya. Di pasar lokal pun, berdasarkan pengalaman Victor di industri asuransi sejak 2004, ia melihat bahwa ketika bisnis besar (terkenal dengan asuransi kebakaran) menginginkan produk asuransi prosesnya tidak bisa semudah mencari asuransi mobil atau jiwa. Misalnya untuk asuransi yang mampu meng-cover jaminan kecelakaan kebakaran di suatu pabrik — risiko tersebut unik dan perusahaan penyedia asuransi biasanya harus melakukan kalkulasi kustom untuk mengakomodasinya.

“Contohnya ada orang punya pabrik furnitur, ketika ingin mendapat produk asuransi kebakaran biasanya isu pertama yang dihadapi mereka bingung harus menghubungi siapa, ketika datang ke situs perusahaan asuransi pun kadang tidak bisa dihubungi untuk berdiskusi intens, bahkan tidak sedikit yang kesulitan mencari tahu perusahaan mana yang mau menyediakan produk asuransi tersebut karena kayu itu termasuk risiko tinggi. Ketika sudah dapat pun, kadang perhitungan harga juga tidak transparan — sulit mencari pembanding, karena risikonya unik,” jelas Victor.

Ia melanjutkan, “Begitu dapat pialang atau agen, biasanya dokumen yang harus disiapkan banyak sekali, mulai dari legalitas PT, ukuran bangunan, produksi dll. Dan ketika sudah selesai pemberkasannya, untuk dapat harga biasanya bisa memakan waktu berbulan-bulan. Itulah pain point-nya, entri datanya susah, cari datanya susah, negosiasinya kompleks, harganya tidak transparan, hingga kapasitasnya kurang.”

“Dan pain point paling penting sebenarnya saat proses klaim. Karena jika kita melihat di situs, produk asuransi berlomba menjadi yang paling murah, padahal yang terpenting adalah bagaimana mereka menangani klaim,” imbuhnya.

Solusi yang dihadirkan Bindcover

Saat ini Bindcover telah tercatat dalam Inovasi Keuangan Digital di OJK untuk klaster Insurance Broker Marketplace. Sesuai yang didefinisikan OJK, Insurance Broker Marketpalce adalah platform bersama yang bersifat tertutup dan diperuntukkan untuk komunitas badan usaha berizin asuransi; mulai dari pialang asuransi/reasuransi dan perusahaan asuransi/reasuransi.

Model bisnis insurance broker marketplace / OJK
Model bisnis insurance broker marketplace / OJK

Di dalam platform web Bindcover, terdapat banyak pialang dan perusahaan yang bisa mendaftar. Pialang dapat mengunggah berbagai prospek klien dengan risiko-risiko unik di dalamnya, kemudian perusahaan asuransi bisa melihat dan menimbang untuk memfasilitasi kebutuhan tersebut. Semua proses administrasi tercatat dan didokumentasikan di platform — baik dari sisi pialang yang mengunggah data klien ataupun perusahaan yang mengelola transaksi. Tujuan utamanya, Bindcover ingin menjadi layanan “satu pintu”.

Fitur lain yang turut disuguhkan memungkinkan antara pialang dan perusahaan asuransi melakukan negosiasi di platform. Hal ini dinilai Viktor menjadi aspek penting karena terkait kepatuhan — bisnis asuransi adalah salah satu yang diregulasi ketat. Komunikasi yang disajikan pun menyeluruh. Misalnya, seorang pialang yang mengunggah profil risiko di platform bisa mengetahui perusahaan mana saja yang mengunduh data tersebut dan kapan, sehingga dapat melakukan follow-up lebih lanjut. Biasanya kalau melalui email atau telepon menjadi kurang terstruktur pencatatannya.

Bindcover juga tengah mengembangkan teknologi berbasis AI untuk menyediakan data pendukung dalam proses penilaian risiko suatu bisnis. Misalnya dengan melakukan crawling data-data dari internet yang relevan terkait dengan bisnis tertentu yang akan menjadi klien asuransi. Namun untuk saat ini manajemen risiko memang masih manual, baik pencatatan data dan analisisnya — khususnya untuk risiko yang nilainya besar.

Sudah dapat pendanaan pre-seed

Saat ini model bisnis Bindcover adalah B2B. Lebih lanjut Victor menceritakan, mereka punya dua revenue stream yang dijalankan. Pertama, mengenakan biaya per polis dengan nilai yang bergantung dari premi yang berhasil di-underwriting. Untuk polis yang bernilai di bawah 2 juta, Bindcover tidak mengenakan biaya.

Sementara model kedua, ada sharing fee dari pialang yang mendapatkan inquiry klien dari Bindcover. Tidak dimungkiri, dengan adanya layanan digital beberapa perusahaan juga mencoba memesan kebutuhannya melalui Bindcover. Namun demikian, karena bukan pialang (tidak memiliki lisensi broker), yang biasa dilakukan ialah meneruskan inquiry tersebut ke mitra yang terdaftar di platformnya.

“PT kami berdiri akhir 2018. Setahun setelahnya kami masih terus mencari bentuk dan mengembangkan platform, hingga pada Februari 2020 mendapatkan izin IKD dari OJK. Sayangnya setelah siap beroperasi malah dihadapkan dengan pandemi. Namun demikian di Juli 2020 soft-launching tetap diadakan. Setelah satu tahun berjalan, angkanya tidak jelek, sampai akhir Juli 2021 ada 18 perusahaan pialang yang masuk ke Bindcover dari total 159 yang ada; lalu ada 22 perusahaan asuransi dari 70 general insurance company yang ada di Indonesia. Secara bisnis yoy juga peningkatannya sampai 100%, ” ujar Victor.

Bindcover juga sudah mendapatkan pendanaan pre-seed pada Juli 2021 lalu dari Loyal Ventures yang berbasis di Kanada. Awal tahun 2022 ini perusahaan juga mulai melakukan penggalangan dana untuk mengakselerasi bisnis yang tengah dikerjakan.

“Selain itu tahun ini kami mau memastikan ke regulator bentuk yang lebih firm dari model bisnis ini, agar memiliki standpoint yang lebih jelas. Karena 2022 ini kami berencana ekspansi partnership ke B2B2C, salah satunya dengan masuk ke ekosistem finansial menggandeng perbankan. Selain itu, kami juga akan berkolaborasi dengan startup yang memiliki basis pengguna UMKM,” imbuh Victor.

Mantap bermain di segmen bisnis

Di saat insrutech lain berlomba memenangkan pasar konsumer dengan menghadirkan produk asuransi mikro atau digitalisasi keagenan, Bindcover memilih fokus ke segmen bisnis. Victor punya alasan kuat terkait hal ini.

“Saat ini GDP rata-rata kita $4000 per tahun, dari penghasilan yang ada belum ada kebutuhan untuk memiliki asuransi. Jarang ada orang yang nilai membeli asuransi tanpa di paksa. Selain dari sisi income, literasi finansial berkaitan dengan asuransi masih sangat rendah, kalau tidak salah di kisaran 14%. Bagi saya ini sulit, apalagi jika ingin masuk ke pasar yang lebih mikro di daerah. Mungkin momentumnya di beberapa tahun lagi. Sementara untuk segmen bisnis, secara mendasar kebutuhan proteksi bakalan ada; dengan daya beli yang stabil juga,” ujarnya.

Victor juga mencoba melihat dari kebutuhan pasar di global, platform ini berpotensi untuk dibawa ke kancah regional. Pasalnya kondisinya saat ini baru ada 70an perusahaan asuransi dan 5 perusahaan reasuransi di Indonesia. Saat kapasitasnya kurang, maka pemain dari luar dapat masuk ke Indonesia. Ini akan menjadi fokus berikutnya dari Bindcover, mengembangkan reasuransi — saat ini juga masih mengeksplorasi perizinannya. Menarinya ke beberapa negara aksesnya juga sudah terbuka, misalnya Jepang, Australia, dan Amerika Serikat yang akan memudahkan saat melakukan ekspansi bisnis.

Fuse Sets Different Approach to Advance Insurance Product Literation

According to OJK, Indonesia’s insurance penetration in 2019 was at 2.81%. A year later, this value rose slightly to 2.92% and to 3.11% in June 2021. With relatively low rate, this is a positive signal for the insurance industry in the country, especially during the pandemic. In comparison, insurance penetration in Thailand reached 4.99% and Malaysia 4.72%.

The ratio of policyholders to the total population of Indonesia still considered very unequal. Many have been using this huge potential for growth, including insurtech startups, to continue to raise public awareness to have insurance in the easiest, cheapest, and most practical way. This step has been translated by intensively mixing micro-insurance products performed by many startups.

For Fuse, this approach is considered less effective to increase penetration in a short time. Founded by Andy Yeung and Ivan Sunandar, this startup actually takes a different approach, Fuse empowers insurance agents with a digital platform.

Yeung explained in an interview with DailySocial, when he first started Fuse in 2016, it was clear that agents/brokers play an important role in the insurance sales chain and they will not be disrupted by technology in the near future. Eventually, the Fuse Pro application was developed to enable and support agents/brokers in digitization. At the same time, helping them turn their offline business into online.

“In other words, we are “shifting existing insurance” online, rather than trying to “create” new insurance markets such as microinsurance. That’s why we focus on this agent/broker business model, especially from day one,” he said.

Yeung continued, microinsurance businesses require a long time to build trust with channel partners and educate its end customers. A clear example is the collaboration with Tokopedia. Fuse helped them launch its first transactional insurance top up as people buy plane tickets in 2018.

After 3 years of working together, Fuse finally won the Tokopedia’s trust and appointed it as the only insurtech service to support all general needs of insurance products offered on the Tokopedia platform starting this year.

Yeung himself is a serial entrepreneur. Previously, he has been involved in various startups. Some of them are engaged in video streaming, group buy e-commerce, mobile game publishing, and Wi-Fi sharing applications.

He shifted into establishing Fuse only because his first startup in Indonesia was not successful in monetizing. “That is why I looked into fintech and eventually ended up in the insurtech space.”

In 2018, Fuse joined Cekpremi and Ivan Sunandar (Co-founder of Cekpremi) became Fuse’s Co-Founder and COO. Ivan started Cekpremi in 2014, the startup is one of the leading insurance comparison sites in Indonesia.

Insurtech potential

Yeung said, the space for insurance and insurtech businesses growth in Indonesia is wide as there are many pain points to be resolved by entrepreneurs/insurance companies. These opportunities are infrastructure, such as payments, maturing cost-effective distribution channels, and awareness of the benefits of having insurance protection.

“However, the challenge is that more entrepreneurs/insurance companies enter this space and compete homogeneously, rather than being the pioneers to look to underserved areas.”

However, Fuse still treat insurance companies as partners to combine and underwrite various types of insurance products. Fuse becomes the party to distributes the insurance product effectively through its distribution channel partners.

He said that his team is yet to make Fuse a licensed insurance company in the near future. Therefore, it will be an independent technology platform that partners with more insurance companies. “Instead of making our own company to compete with our corporate partners.”

Currently, apart from Indonesia, Fuse also available in Vietnam since 2020. Insurance penetration and startups in that country still have huge potential for growth as it is in Indonesia, therefore, this opportunity not only worked for Fuse, but also other local startups.

Also, Yeung said his team plans to increase its presence in several other countries this year. The company has expanded its partnerships with some of its channel partners to other countries.

“In fact, we were told by potential investors looking across the insurtech space in Indonesia & Southeast Asia that we are considered one of the largest in terms of gross premium income (Gross Writing Premium/GWP) and even valuation.”

It is claimed that Fuse’s GWP will reach $50 million (more than Rp700 billion) in 2020. This year, the GWP value is targeted to reach  $100-120 million (around Rp1.4 trillion-Rp1.7 trillion).

According to DSInnovate’s data in the “Insurtech Report 2021”, Indonesia insurance industry’s GWP has reached $20.8 billion in 2020. Life insurance dominates with a value of 73.8%.

Even though it was affected by the pandemic on its entrance in Indonesia, this sector was relatively able to recover quickly as seen from the Gross Premium Income.

In the report above, there are several important factors that can drive insurance adoption. First, the claim process should be easier (48% of respondents). Next, it is related to the service provider brand that must be convincing (39%). Also, cost issues (37%) and benefits provided (11%).

Agent significance

Actually, insurtech startups also have agency services to boost sales of insurance products through agents (B2B) in addition to retail channels (B2C). PasarPolis has PasarPolis Mitra and Qoala with Mitra Qoala Plus. However, both of them focus from retail first to business, while Fuse is the opposite. There is nothing wrong with these two business segments as the spirit is still the same, to increase the penetration of insurance products in Indonesia.

Agents are at the forefront of insurance companies in accelerating business. According to data from the Indonesian Life Insurance Association (AAJI), this channel contributed to 36.1% of the total life insurance premium income until the third quarter of 2020. Then, followed by the bancassurance line 46.95% and the telemarketing line 1.88%, and others 15 0.06%. In total, the number of licensed insurance agents rose 2.1% to 635,326 people during the period.

AAJI Executive Director Togar Pasaribu said, for life insurance companies, agents are like fresh blood. If you don’t recruit, it will endanger the company that adopts the agency strategy. “Please note that not all life insurance companies use agencies as their distribution channel. Therefore, this only applies to life insurance companies that use agents as salespeople,” he said as quoted from Kontan.

Separately reached by DailySocial, Togar reiterated that the agency model cannot be separated from Indonesian culture, therefore, all people understand the importance of life insurance protection for them and their family. This is because the insurance products are ‘sold’, not ‘purchased’.

This agency business is expensive and has a high turnover. Even so, companies that rely on this channel still have to recruit in order to keep growing under any conditions. Togar said that there is a general formula for recruiting agents, it is 10:3:1. It means, out of every 10 people invited, only three people are interested and take part in the training. However, in the end only one person was willing to become a life insurance agent.

“In an analogy, you just put instant noodles on the display, then people come to buy them. Life insurance products can’t do that. He must be offered. Well, this is why the role of life insurance marketers is important,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Model Bisnis Fuse Insurtech

Fuse Ambil Sudut Pandang Berbeda untuk Tingkatkan Literasi Produk Asuransi

Menurut data OJK, penetrasi asuransi di Indonesia pada 2019 berada di angka 2,81%. Setahun kemudian nilai ini naik tipis jadi 2,92% dan menjadi 3,11% di bulan Juni 2021. Meskipun masih terbilang kecil, peningkatan ini menjadi sinyal positif bagi industri asuransi di tanah air, apalagi terjadi selama pandemi. Sebagai perbandingan, penetrasi asuransi di Thailand mencapai 4,99% dan Malaysia 4,72%.

Rasio pemegang polis terhadap jumlah penduduk Indonesia masih sangat timpang. Potensi ruang tumbuh yang besar ini dimanfaatkan banyak pihak, termasuk startup insurtech, untuk terus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk memiliki asuransi dengan cara yang paling mudah, murah, dan praktis. Langkah tersebut diterjemahkan dengan gencar meracik produk asuransi mikro yang dilakukan oleh banyak startup.

Bagi Fuse, pendekatan tersebut dianggap kurang efektif dalam meningkatkan penetrasi dalam waktu cepat. Startup yang didirikan oleh Andy Yeung dan Ivan Sunandar ini justru mengambil pendekatan yang beda, Fuse memberdayakan agen asuransi dengan platform digital.

Dalam wawancara bersama DailySocial, Yeung menjelaskan, saat ia pertama kali merintis Fuse pada 2016, terpampang jelas bahwa agen/broker memainkan peran penting dalam rantai penjualan asuransi dan mereka tidak akan terganggu teknologi dalam waktu dekat. Akhirnya diputuskan untuk membangun aplikasi Fuse Pro untuk mengaktifkan dan mendukung agen/broker dalam digitalisasi. Sekaligus, membantu mereka mengubah bisnis offline menjadi online.

“Dengan kata lain, kami “menggeser asuransi yang ada” ke online, daripada mencoba “menciptakan” pasar asuransi baru seperti asuransi mikro. Itu sebabnya kami fokus pada model bisnis agen/broker ini terutama sejak hari pertama,” ujarnya.

Yeung melanjutkan, bisnis asuransi mikro membutuhkan waktu lama untuk membangun kepercayaan dengan mitra penyalur dan dengan demikian mendidik pelanggan akhir mereka. Contoh yang nyata terlihat dari kerja sama dengan Tokopedia. Fuse membantu mereka meluncurkan top up asuransi transaksional pertamanya saat orang membeli tiket pesawat di 2018.

Setelah 3 tahun bekerja sama, akhirnya Fuse mendapat kepercayaan dari Tokopedia dan menunjuknya sebagai satu-satunya layanan insurtech untuk mendukung semua kebutuhan umum produk asuransi yang ditawarkan di platform Tokopedia mulai pada tahun ini.

Yeung sendiri merupakan serial entrepreneur. Sebelumnya ia telah terlibat di berbagai startup. Beberapa di antaranya bergerak di video streaming, group buy e-commerce, mobile game publishing, dan aplikasi sharing Wi-Fi.

Ia terjun mendirikan Fuse hanya karena startup pertamanya di Indonesia tidak berhasil dalam melakukan monetisasi. “Itulah sebabnya saya melihat ke fintech dan akhirnya berakhir ke ruang insurtech.”

Pada 2018, Fuse bergabung dengan Cekpremi dan Ivan Sunandar (Co-founder Cekpremi) menjadi Co-Founder dan COO Fuse. Ivan memulai Cekpremi pada 2014, startup tersebut merupakan salah satu situs perbandingan asuransi terkemuka di Indonesia.

Peluang besar di insurtech

Menurut Yeung, ruang pertumbuhan untuk bisnis asuransi dan insurtech di Indonesia masih begitu luas karena banyak pain point yang harus diselesaikan oleh pengusaha/perusahaan asuransi. Peluang tersebut adalah infrastruktur, seperti pembayaran, saluran distribusi yang hemat biaya semakin matang, serta kesadaran akan manfaat memiliki asuransi untuk terlindungi.

“Meski begitu, tantangannya adalah jadi lebih banyak pengusaha/perusahaan asuransi yang masuk ke ruang ini dan bersaing secara homogen, daripada menjadi pionir untuk melihat ke daerah-daerah yang kurang terlayani.”

Kendati begitu, bagi Fuse, tetap memperlakukan perusahaan asuransi sebagai mitra untuk meracik dan underwrite berbagai jenis produk asuransi. Fuse menjadi pihak yang mendistribusikan produk asuransi tersebut secara efektif melalui mitra saluran distribusinya.

Ia menuturkan, pihaknya belum ingin menjadikan Fuse sebagai perusahaan asuransi berlisensi dalam waktu dekat. Justru tetap ingin menjadi platform teknologi independen yang bermitra dengan lebih banyak perusahaan asuransi. “Daripada membuat sendiri untuk bersaing dengan mitra perusahaan kami.”

Saat ini, Fuse tidak hanya beroperasi di Indonesia namun juga sudah hadir di Vietnam sejak 2020. Penetrasi asuransi dan startup di sana masih punya ruang tumbuh yang besar sama seperti Indonesia, makanya kesempatan tersebut juga digarap tak hanya Fuse, tapi juga startup lokal lainnya.

Bahkan, menurut Yeung, pihaknya berencana untuk menambah kehadiran di beberapa negara lainnya pada tahun ini. Perusahaan telah memperluas kemitraannya dengan beberapa mitra salurannya ke negara lain.

“Faktanya, kami diberitahu oleh calon investor yang melihat ke seluruh ruang insurtech di Indonesia & Asia Tenggara bahwa kami termasuk yang terbesar dalam hal pendapatan premi bruto (Gross Writing Premium/GWP) dan bahkan secara valuasi.”

Diklaim GWP Fuse mencapai angka $50 juta (lebih dari Rp700 miliar) pada 2020. Nilai GWP tersebut ditargetkan sepanjang tahun ini menembus kisaran $100-120 juta (sekitar Rp1,4 triliun-Rp1,7 triliun).

Menurut data yang diolah DSInnovate dalam “Insurtech Report 2021”, GWP yang telah dibukukan industri perasuransian di Indonesia telah mencapai $20,8 miliar pada tahun 2020. Asuransi jiwa mendominasi dengan nilai 73,8%.

Kendati sempat terdampak pandemi di awal kemunculannya di Indonesia, namun sektor ini relatif bisa cepat pulih jika dilihat dari Gross Premium Income yang didapat.

Dalam laporan di atas, ada beberapa faktor penting yang dapat mendorong adopsi asuransi. Pertama, isi proses klaim yang harus memudahkan (48% responden). Kemudian yang kedua terkait brand penyedia layanan yang harus meyakinkan (39%). Lalu dilanjutkan biaya (37%) dan manfaat yang diberikan (11%).

Peran vital keagenan

Sebenarnya, startup insurtech saat ini juga memiliki layanan keagenan untuk mendongkrak penjualan produk asuransi lewat agen (B2B) selain kanal ritel (B2C). PasarPolis punya PasarPolis Mitra dan Qoala dengan Mitra Qoala Plus. Hanya saja, keduanya fokus dari ritel dulu baru ke bisnis, sementara Fuse sebaliknya. Tidak ada yang salah dengan kedua segmen bisnis ini karena semangat sama, yakni ingin meningkatkan penetrasi produk asuransi di Indonesia.

Agen adalah garda terdepan perusahaan asuransi dalam memacu bisnis. Menurut data Asosiasi Asuransi Jiwa Indonesia (AAJI), jalur ini memberikan kontribusi terhadap 36,1% dari total pendapatan premi asuransi jiwa hingga kuartal III 2020. Kemudian, disusul jalur bancassurance 46,95% dan jalur telemarketing 1,88%, dan lainnya 15,06%. Secara total, jumlah agen asuransi berlisensi naik 2,1% menjadi 635.326 orang dalam periode tersebut.

Direktur Eksekutif AAJI Togar Pasaribu mengatakan, bagi perusahaan asuransi jiwa, agen itu ibarat darah segar. Bila tidak melakukan rekrutmen, akan membahayakan perusahaan yang mengadopsi strategi agency. “Harap dicatat bahwa tidak semua perusahaan asuransi jiwa menggunakan agency sebagai kanal distribusinya. Jadi hal ini hanya berlaku bagi perusahaan asuransi jiwa yang menggunakan agen sebagai tenaga penjual,” ucapnya seperti dikutip dari Kontan.

Secara terpisah, saat dihubungi DailySocial, Togar kembali menegaskan model keagenan tidak bisa dipisahkan dari budaya masyarakat Indonesia hingga seluruh masyarakat memahami pentingnya proteksi asuransi jiwa bagi dia dan keluarganya. Sebab, produk asuransi sampai saat ini masih ‘dijual’, bukan ‘dibeli’.

Bisnis keagenan ini termasuk mahal dan memiliki turnover yang tinggi. Kendati begitu, perusahaan yang mengandalkan kanal ini tetap harus melakukan perekrutan agar tetap tumbuh dalam kondisi apapun. Togar menyebut ada rumusan umum dalam merekrut agen, yakni 10:3:1. Artinya, dari setiap 10 orang yang diundang, hanya tiga orang yang tertarik dan mengikuti pelatihan. Namun pada akhirnya hanya satu orang yang bersedia menjadi agen asuransi jiwa.

“Kalau dianalogikan, mie instan itu tinggal taruh di-display, lalu orang datang membelinya. Produk asuransi jiwa enggak bisa begitu. Dia harus ditawarkan. Nah, inilah yang menyebabkan kenapa peranan tenaga pemasar asuransi jiwa menjadi penting,” katanya.