Tag Archives: International Finance Corporation

PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) akan mendapat investasi $150 juta dari private placement dan penerbitan surat utang yang dibeli oleh IFC

GoTo Bakal Dapat Suntikan Rp2,3 Triliun Melalui Private Placement dan Obligasi

PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) akan mendapat investasi senilai $150 juta (sekitar Rp2,3 triliun). Rinciannya, $100 juta berasal dari Penambahan Modal Tanpa Memberikan Hak Memesan Efek Efek Terlebih Dahulu (PMTHMETD) atau private placement dan penerbitan surat utang (obligasi) sebesar $50 juta.

Mengutip dari keterbukaan di Bursa Efek Indonesia, dalam mekanisme private placement ini, GOTO akan menerbitkan saham baru sejumlah 17,04 miliar lembar saham seri A (mewakili 1,42% dari seluruh saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh) dengan harga per saham Rp90. Seluruh saham akan diambil seluruhnya oleh Bhinneka Holdings (22) Limited, entitas independen yang didirikan berdasarkan hukum Cayman Islands.

“Melalui pengeluaran saham baru tersebut, Perseroan akan memperoleh dana sebesar Rp1,53 triliun atau setara dengan $100 juta,” tulis manajemen GOTO.

Kemudian, GoTo International Finance Limited (GTIF) menerbitkan surat utang berdasarkan Notes Subscription Agreement tanggal 2 Oktober 2023. Kesepakatan ini ditandatangani oleh dan antara GTIF sebagai penerbit, GOTO sebagai pemberi jaminan, Bhinneka Holdings sebagai pengambil bagian, dan Citibank, N.A. cabang Hong Kong sebagai kustodian.

Dari transaksi tersebut, GTIF akan menerima dana bersih sebesar $50 juta yang dapat digunakan untuk modal kerja atau kebutuhan lainnya.

Dirinci lebih lanjut, Bhinneka Holdings memperoleh dana untuk melakukan pengambilbagian atas saham baru perseroan melalui penerbitan instrument obligasi bersifat ekuitas kepada International Finance Corporation (IFC) dan WAF Investments Cayman LLC, entitas yang dimiliki oleh Franke & Company, sejumlah $150 juta dapat ditukarkan menjadi saham perseroan yang dimiliki oleh Bhinneka Holdings.

Dana hasil penggalangan ini akan digunakan perseroan untuk pelunasan melalui konversi atas utang perseroan di masa yang akan datang dan untuk mendukung kebutuhan modal kerja GOTO dan anak perusahaan. Rinciannya adalah sebagai berikut:

  1. 25% dari dana PMTHMETD untuk Perseroan;
  2. 15% dari dana PMTHMETD untuk PT Tokopedia;
  3. 15% dari dana PMTHMETD untuk PT Swift Logistic Solutions;
  4. 15% dari dana PMTHMETD untuk PT Dompet Anak Bangsa;
  5. 15% dari dana PMTHMETD untuk PT Multifinance Anak Bangsa;
  6. 15% dari dana PMTHMETD untuk PT GoTo Solusi Niaga (sebelumnya PT Multi Adiprakasa Manunggal).

Pernyataan resmi

Dalam keterangan resmi perseroan pada kemarin (3/10), manajemen GOTO menyampaikan IFC menggelontorkan investasi ini untuk mendorong inklusi keuangan dan keberlanjutan di Indonesia. Kesepakatan tersebut juga menegaskan komitmen bersama dalam memperluas manfaat ekonomi digital dan menjawab tantangan perubahan iklim.

“Kami bangga dapat bermitra dengan IFC, yang merupakan pemimpin di bidang Pembangunan berkelanjutan, sejalan dengan tujuan bersama kedua belah pihak untuk mewujudkan dampak signifikan bagi masyarakat dan bumi,” ujar Direktur Utama Grup GoTo Patrick Walujo dalam keterangan resmi.

Menurutnya, kemitraan ini akan memberikan dukungan lebih lanjut bagi bisnis GoTo, seiring dengan langkah perseroan dalam menjawab kebutuhan para pengguna, termasuk konsumen, mitra pengemudi, dan pedagang, dalam memenuhi kebutuhan dan mewujudkan cita-cita mereka.

IFC Country Manager untuk Indonesia dan Timor-Leste Euan Marshall menyampaikan pihaknya mengapresiasi kepemimpinan GOTO, sebagaimana ditunjukkan melalui komitmen dalam menjawab tantangan perubahan iklim, serta kontribusi GOTO dalam pembukaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi berkelanjutan.

“Bagi kami, investasi ini menjadi kontribusi penting dalam memperluas upaya-upaya tersebut, dan menegaskan kekuatan yang dimiliki teknologi dan digitalisasi dalam meningkatkan taraf hidup Masyarakat di seluruh Indonesia,” kata Marshall.

Kemitraan ini mencakup komponen non-finansial untuk mendukung perusahaan dalam transisi para mitra teknologi menuju penggunaan kendaraan listrik, meningkatkan efisiensi operasional, dan mengintegrasikan berbagai praktik bisnis berkelanjutan untuk mewujudkan bisnis netral karbon.

Amartha fokus menyalurkan pinjaman kepada pengusaha mikro, khususnya di kalangan perempuan / Amartha

IFC Akan Beri “Debt Funding” 379 Miliar Rupiah ke Amartha

Startup p2p lending Amartha dilaporkan akan memperoleh fasilitas pinjaman (debt funding) dari International Finance Corporation (IFC). Nominal yang diperoleh Amartha dalam kesepakatan tersebut adalah $25 juta (lebih dari 379 miliar Rupiah) dan membuka tambahan dana bersama para mitranya dengan besaran komitmen hingga $150 juta.

Mengutip dari situs IFC, disampaikan bahwa investasi yang diusulkan ini adalah tahap senior sekuritas beragun aset (senior tranche of asset backed securities) yang akan dibentuk untuk mengumpulkan piutang pinjaman, nantinya digunakan untuk meningkatkan akses ke keuangan bagi pengusaha mikro, terutama pengusaha perempuan.

Hingga artikel ini diturunkan, Co-Founder & CEO Amartha Andi Taufan Garuda Putra belum memberikan tanggapannya.

Amartha bukanlah satu-satunya portofolio asal Indonesia yang bergabung di IFC —dalam bentuk ekuitas dan debt. Sebelumnya, sudah ada beberapa startup di antaranya Kitabisa, AwanTunai, eFishery, PasarPolis, dan Adi Sarana Armada selaku induk dari AnterAja.

Sejak awal berdiri di 2010, Amartha fokus memberikan akses permodalan, khusus untuk pengusaha perempuan yang selama ini masuk ke dalam golongan unbanked dan underbanked.

Menurut data internal Amartha, secara kumulatif telah menyalurkan modal usaha senilai lebih dari Rp10 triliun. Modal usaha disalurkan kepada lebih dari 1,4 juta pelaku usaha ultra mikro yang tersebar di seluruh wilayah operasional Amartha.

Adapun sepanjang 2022 saja, mencapai lebih dari Rp4,7 triliun, tumbuh 93% (YoY) atau hampir dua kali lipat dari yang sebelumnya mencapai Rp2,4 triliun. Penyaluran modal ini didominasi oleh dukungan pendanaan dari 24 mitra perbankan dengan total penyaluran sekitar Rp3 triliun atau 60% lebih dari total sumber dana.

Pada September 2022, perusahaan membuat unit usaha baru yang fokus pada alternatif skoring kredit Ascore.ai. Platform ini dibangun di atas lebih dari 1 juta database mitra pengusaha ultra mikro Amartha selama tujuh tahun terakhir untuk mengukur risiko dalam menyalurkan pinjaman bagi segmen yang belum terlayani.

Solusi ini diharapkan dapat menghasilkan output berupa nilai risiko, perhitungan bunga pinjaman, pengolahan data, serta keputusan-keputusan yang berpengaruh pada bisnis. Dengan begitu, bisa mendorong lebih banyak bisnis untuk memahami pangsa pasarnya, serta memungkinkan pengambilan keputusan yang lebih bijak.

Solusi Ascore.ai dapat digunakan baik oleh institusi maupun individu. Bagi segmen institusi, tersedia layanan berupa verifikasi risiko, credit underwriting, advance credit analysis, dan pengecekan kredit nasabah. Layanan dapat menjangkau sektor fintech, microfinance/lembaga pembiayaan, perbankan seperti BPR dan BPD, koperasi, agrikultur, hingga marketplace dengan opsi produk paylater dan pinjaman.

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan Kitabisa IFC

IFC akan Berinvestasi ke Kitabisa Senilai 75 Miliar Rupiah

International Finance Corporation (IFC) mengajukan usulan investasi ke startup crowdfunding Kitabisa senilai $5 juta atau sebesar Rp74,8 miliar. Dalam laman resmi IFC, status pengajuan investasi ini tercatat masih menunggu persetujuan (pending approval).

“IFC mengusulkan investasi dalam bentuk ekuitas hingga $5 juta di perusahaan melalui pembelian saham preferen,” demikian disampaikan dalam Summary Investment Information (SII). Adapun, projected board date ditargetkan pada 23 Agustus 2021.

Melalui investasi ini, IFC memproyeksikan adanya peningkatan akses layanan asuransi ke segmen yang kurang terlayani di Indonesia. Kitabisa diharapkan dapat masuk ke segmen ini melalui pendekatan direct-to-consumer (D2C) dan digital native lewat produk asuransi syariah berbasis on-demand. 

Kitabisa juga diyakini dapat mengatasi hambatan tersebut di Indonesia berkat model bisnis berbasis digital secara end-to-end, pengembangan produk unik dan terjangkau, dan upayanya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya produk asuransi.

Sebagai informasi, Kitabisa mengoperasikan layanan donasi dan pengumpulan dana berbasis digital untuk melayani segmen berpenghasilan rendah dan menengah. Sementara, IFC merupakan konsorsium di bawah naungan World Bank yang telah berinvestasi ke sejumlah startup di Indonesia, yakni eFishery, AnterAja, dan PasarPolis.

Ekspansi bisnis

Dalam SII-nya, Kitabisa tercatat berencana ekspansi bisnis ke layanan syariah dan asuransi. Diketahui sebelumnya Kitabisa sempat mengoperasikan platform crowdinsurance bernama Saling Jaga pada April 2021. Namun, Saling Jaga terpaksa dihentikan operasionalnya pada 31 Agustus 2021 karena terkendala perizinan.

Berdasarkan pemberitaan tahun lalu, Kitabisa sebelumnya telah mendaftarkan Saling Jaga ke regulatory sandbox OJK. Menurut pihak OJK, salah satu concern dari platform ini adalah konsep crowdinsurance Saling Jaga yang melibatkan banyak orang untuk berdonasi gotong royong.

Pada Oktober 2021, Kitabisa melakukan pivot layanan insurtech dengan menyiapkan kanal Kitajaga. Melalui platform ini, masyarakat dapat membeli produk asuransi jiwa melalui aplikasi Kitabisa.

Sejak berdiri di 2013, Kitabisa telah memiliki 6 juta donatur, melakukan 100 ribu penggalangan dana, serta didukung 3000 NGO/yayasan/lembaga dan 250 program CSR/brand/perusahaan. Berdasarkan laporan audit Ernst & Young (EY) di 2020, total jumlah penerimaan donasi di Yayasan Kita Bisa telah mencapai Rp835 miliar.

Application Information Will Show Up Here
Bank Digital BNI

BNI akan Akuisisi 63,92% Saham Bank Mayora, Langkah Strategis Bangun Bank Digital

PT Bank Negara Indonesia Tbk (IDX: BBNI) akan mengakuisisi PT Bank Mayora melalui pengambilalihan saham sebesar 63,92%. Aksi korporasi ini menjadi langkah strategis BNI untuk mendirikan bank digital.

Berdasarkan prospektus akuisisi yang diterbitkan pada 22 Januari 2022, BNI akan mengambil alih saham Bank Mayora melalui penerbitan saham baru sebanyak-banyaknya 1,02 miliar saham atau 54,9% dari saham yang telah ditempatkan dan disetor penuh.

BNI juga akan mengambil sebanyak 169,08 juta saham Bank Mayora milik International Finance Corporation (IFC). Dengan demikian, BNI akan mengantongi 1,19 miliar saham Bank Mayora atau setara 63,92% dari total saham ditempatkan dan disetor ke Bank Mayora.

Sebelumnya, IFC pernah berinvestasi melalui penyertaan modal sebesar Rp290 miliar ke Bank Mayora untuk mendukung pembiayaan UMKM di Indonesia.

Perwakilan manajemen BNI mengungkap tren kemunculan produk digital, terutama pada layanan keuangan, mendorong perusahaan untuk mencaplok Bank Mayora. Dengan strategi anorganik ini, pihaknya dapat mendorong transaksi keuangan di kalangan masyarakat dengan layanan digital.

“Untuk dapat mendukung transaksi digital dan sejalan dengan transformasi BNI, perseroan akan membentuk suatu bank digital melalui strategi anorganik, yakni mengambil alih Bank Mayora yang selanjutnya akan ditransformasikan menjadi bank digital,” tulis manajemen BNI.

Adapun, saat ini saham Bank Mayora tersisa 36,98% yang struktur kepemilikannya terdiri dari Bank Mayora (80%) dan IFC (20%). Kesepakatan pengambilalihan saham telah disetujui oleh direksi dan dewan komisaris kedua bank terkait.

BNI akan menggelar Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pada 15 Maret 2022 untuk meminta persetujuan pemegang saham terkait akuisisi Bank Mayora. Pihaknya menargetkan dapat mengantongi izin OJK pada April 2022 sehingga akuisisinya terhadap Bank Mayora dapat efektif pada Mei 2022.

Sebagai informasi, Bank Mayora merupakan bank di bidang ritel dan konsumer yang menawarkan berbagai produk keuangan, mulai dari pinjaman (lending) dan simpanan (funding). Beberapa produk pinjaman yang ditawarkan di antaranya Kredit Kendaraan Bermotor (KKB), Kredit Multi Guna (KMG), dan Kredit Kepemilikan Rumah (KPR).

Pengembangan produk keuangan UMKM

Sebagaimana diungkap Direktur Utama BNI Royke Tumilaar beberapa waktu lalu, bank digital baru ini akan membidik segmen UMKM dan menggandeng mitra strategis berpengalaman untuk mengembangkan produk keuangan digital.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), terdapat sebesar 65,5 juta UMKM di 2019 atau naik 1,98% dari 64,2 juta di 2018. Sementara, baru sekitar 8 juta atau 13% UMKM yang terintegrasi atau memanfaatkan teknologi digital.

Apabila bicara strategi akselerasi, bank digital baru ini dapat memanfaatkan ekosistem jaringan rantai pasokan yang dimiliki Grup Mayora melalui produk lending dan saving sebagai langkah awal.

Bahkan, mengutip Kontan, Direktur IT & Operasi Bank BNI YB Hariantono mengungkap akan menggandeng Sea Group sebagai mitra strategisnya. Ia juga menyebut induk usaha Shopee ini akan menjadi pemegang saham di bank digital BNI. Ini menjadi menarik mengingat Sea Group sebelumnya telah masuk ke bank digital dengan mencaplok Bank Kesejahteraan Ekonomi (sekarang SeaBank).

Jika dipetakan dalam lingkup bank BUMN, BNI menyusul BRI yang menggunakan kendaraan bank bermodal kecil untuk mendirikan bank digital. Sebelumnya, BRI mentransformasikan anak usahanya BRI Agro menjadi Bank Raya. Berbeda dengan bank digital BNI, Bank Raya membidik target pasar pekerja informal atau gig economy di 2022.

Sementara itu, Bank Mandiri memilih untuk bertransformasi digital secara penuh tanpa perlu mengonversi menjadi neobank lewat akuisisi bank baru. Mandiri akan memperkuat segmen perbankan ritel dan wholesale dengan me-rebranding platform Mandiri Online menjadi Livin ‘by Mandiri. Mandiri akan menambah sejumlah fitur dan ekosistem layanan demi menyempurnakan konsep “super app“.

Alpha JWC Ventures Announces Third Fund of 6.1 Trillion Rupiah

Alpha JWC Ventures today (09/11) announced its third managed fund (Fund III) worth $433 million or equivalent to 6.1 trillion rupiah; bringing its Assets Under Management (AUM) to $630 million. In the press conference, Jefrey Joe as Co-Founder & General Partner said that this number has exceeded the initial target of $300 million. Several regional and global LPs are involved, including the International Finance Corporation (part of the World Bank Group) and Morgan Stanley Alternative Investment Partners.

In general note, Alpha JWC Ventures was founded in 2015 by Jefrey, Will Ongkowidjaja, and Chandra Tjan; focuses on providing early-stage funding for startups in Indonesia and Southeast Asia.

Fund journey

Their journey began with the first Fund I amounting to USD 50 million in 2016. It has been distributed to 23 startup companies in Southeast Asia, the majority have operational in Indonesia. More than 90 percent of the companies have now received follow-up funding.

Meanwhile, Alpha JWC Ventures’ Fund II closed in 2019 oversubscribed with a nominal value of $143 million; and has invested in 30 companies. To date, Fund I has generated 37% IRR (Internal Rate of Return) and Fund II has generated 87% IRR.

They have also produced 9 exits, including the acquisition of DealStreetAsia by Nikkei, the acquisition of Spacemob by WeWork, and the acquisition of Base.vn by Vietnam’s largest technology company FPT Corporation.

Since its launching this year, Alpha JWC Ventures’ Fund III has invested in seven startups in the financial technology, B2B SaaS, and MSME business solutions sectors in Indonesia, Singapore and Vietnam. Some of them are Esensi Solusi Buana, Spenmo, VIDA, GudangAda, and others.

Jeffrey in his presentation also said that the fund’s ticket size has ranged from hundreds of thousands to millions of dollars. The largest can reach $60 million in several phases. He clearly emphasizes that Alpha JWC Ventures’ principle is to be the number-one supporter of a startup (early stage investor).

Furthermore, along with the new managed funds in quantity, the number of startups invested may remain the same. Which means, they will increase the ticket size and focus more on follow-on funding for its portfolio startups.

“Since the debut in 2015, we have had a clear mission of bringing Indonesia and Southeast Asia into the center of the new global digital economy. Our journey and the Alpha JWC Ventures portfolio have proven that Indonesian and Southeast Asian startups can compete globally. We will continue to be at the forefront to create change and will not stop here,” Alpha JWC Ventures’ Co-Founder & General Partner, Chandra Tjan said.

3 unicorns, 11 centaur

Alpha JWC Ventures through its fund has took three portfolio companies to the unicorn status, Kredivo, Carro, and Ajaib. It is also said that they have 11 centaurs, including Kopi Kenangan, Lemonilo, Modalku, GudangAda, and others.

Jeffrey said, one of the centaurs will soon to become a unicorn in the near future.

“As a VC originating, founded and operated by Indonesians, we are working to increase the positive impact of the digital economy in the country through our investments and portfolio companies. Together with them, we have reached nearly 1 million MSMEs through financial and market access, created more than 12 thousand jobs, empowered more than 200 thousand women through various business opportunities, inspired more than 1 million people to become retail investors, and much more,” Alpha JWC Ventures’ Partner, Erika Go said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fund III Alpha JWC Ventures

Alpha JWC Ventures Umumkan Dana Kelolaan Ke-3 Senilai 6,1 Triliun Rupiah

Alpha JWC Ventures hari ini (09/11) mengumumkan telah menutup dana kelolaan ketiga (Fund III) senilai $433 juta atau setara 6,1 triliun rupiah; menjadikan Assets Under Management (AUM) mereka mencapai $630 juta. Dalam kesempatan temu media, Jefrey Joe selaku Co-Founder & General Partner mengatakan bahwa perolehan ini melebihi target awal mereka yakni $300 juta. Beberapa LP regional dan global terlibat, termasuk International Finance Corporation (bagian dari Grup Bank Dunia) dan Morgan Stanley Alternative Investment Partners.

Seperti diketahui, Alpha JWC Ventures didirikan tahun 2015 oleh Jefrey, Will Ongkowidjaja, dan Chandra Tjan; fokus memberikan pendanaan tahap awal untuk startup di Indonesia dan Asia Tenggara.

Perjalanan dana kelolaan

Perjalanan mereka dimulai dengan peluncuran Fund I sebesar USD 50 juta pada 2016. Dana kelolaan tersebut telah disalurkan ke 23 perusahaan rintisan di Asia Tenggara yang mayoritas berada di Indonesia. Lebih dari 90 persen dari perusahaan tersebut kini telah menerima pendanaan lanjutan.

Sementara untuk Fund II Alpha JWC Ventures ditutup pada 2019 secara oversubscribed dengan nominal $143 juta; dan telah diinvestasikan ke 30 perusahaan. Hingga kini, Fund I telah menghasilkan 37% IRR (Internal Rate of Return) dan Fund II menghasilkan 87% IRR.

Mereka juga telah menghasilkan 9 exit, termasuk akuisisi DealStreetAsia oleh Nikkei, akuisisi Spacemob oleh WeWork, dan akuisisi Base.vn oleh perusahaan teknologi terbesar di Vietnam FPT Corporation.

Sejak diluncurkan tahun ini, Fund III dari Alpha JWC Ventures telah diinvestasikan ke tujuh perusahaan rintisan di sektor teknologi finansial, SaaS B2B, dan solusi bisnis UMKM di Indonesia, Singapura, dan Vietnam. Beberapa di antaranya Esensi Solusi Buana, Spenmo, VIDA, GudangAda, dan lainnya.

Jefrey dalam presentasinya juga mengatakan, bahwa sejauh ini ticket size pendanaan mereka berkisar ratusan ribu sampai jutaan dolar. Bahkan yang terbesar bisa mencapai $60 juta dalam bentuk pendanaan bertahap. Yang jelas ia selalu menekankan, bahwa prinsip Alpha JWC Ventures menjadi pendukung pertama sebuah startup (early stage investor).

Selanjutnya turut disampaikan, dengan dana kelolaan baru secara kuantitas mungkin jumlah startup yang akan diinvestasi tetap sama. Yang artinya, mereka akan meningkatkan ticket size dan turut memberikan fokus lebih pada follow-on funding untuk startup yang telah menjadi portofolionya.

“Sejak awal pendirian pada tahun 2015, kami memiliki misi yang jelas yaitu membawa Indonesia dan Asia Tenggara menjadi pusat ekonomi digital dunia yang baru. Perjalanan kami dan portofolio Alpha JWC Ventures selama ini telah membuktikan bahwa startup Indonesia dan Asia Tenggara mampu bersaing di kancah global. Kami akan terus berada di garis depan sebagai pembawa perubahan dan tidak berhenti di sini,” kata Co-Founder & General Partner Alpha JWC Ventures Chandra Tjan.

3 unicorn, 11 centaur

Melalui pendanaannya, Alpha JWC Ventures telah mengantarkan tiga perusahaan portofolio mencapai status unicorn, yakni Kredivo, Carro, dan Ajaib. Mereka juga mengatakan telah memiliki 11 centaur, beberapa di antaranya Kopi Kenangan, Lemonilo, Modalku, GudangAda, dan lain-lain.

Disampaikan Jefrey, salah satu dari centaur tersebut akan menyusul menjadi unicorn dalam beberapa waktu mendatang.

“Sebagai VC yang berasal dari, didirikan, dan dioperasikan oleh orang Indonesia, kami bekerja untuk meningkatkan dampak positif ekonomi digital di negara ini melalui investasi dan perusahaan portofolio kami. Bersama mereka, kami telah menyentuh kehidupan hampir 1 juta UMKM melalui penyediaan akses pasar dan keuangan, menciptakan lebih dari 12 ribu lapangan pekerjaan, memberdayakan lebih dari 200 ribu wanita melalui berbagai peluang usaha, menginspirasi lebih dari 1 juta orang untuk menjadi investor ritel, dan masih banyak lagi,” ujar Partner Alpha JWC Ventures Erika Go.

IFC Masuk ke Jajaran Investor eFishery

International Finance Corporation (IFC) masuk menjadi investor startup akuakultur eFishery. IFC melalui “WM-IFC Co-Invest SPC Golden Hook SP”, kendaraan investasi hasil kerja sama dengan Wavemaker Partners, berhasil mencaplok 1,12% saham perusahaan melalui tiga transaksi sekunder. Kesepakatan ini disebut menuntun exit dua investor sebelumnya Maloekoe Ventures dan Social Capital.

Masuknya IFC juga telah dikonfirmasi oleh Founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah dan dikatakan bagian dari putaran seri B yang didapatkan tahun lalu. Aksi strategis ini menyambung rangkaian IFC dalam membantu pemulihan ekonomi Indonesia melalui berbagai inisiatif di sektor swasta. Sebelumnya, institusi keuangan di bawah naungan Bank Dunia ini juga telah berinvestasi kepada startup insurtech PasarPolis dan induk usaha AnterAja.

Bagian pendanaan seri B

Tepat satu tahun yang lalu, eFishery berhasil meraih pendanaan seri B yang dipimpin oleh Go-Ventures dan Northstar. Berdasarkan data yang disetor ke regulator, nilainya berkisar $15 juta tersebut telah membawa valuasi pasca-investasi mencapai $80 juta.

Didirikan pada tahun 2013, eFishery memiliki empat produk utama. Pertama adalah eFisheryFeeder, yakni perangkat pemberi pakan otomatis. Kedua adalah eFisheryFeed, membantu petani ikan dan udang mendapatkan produk pakan dengan harga kompetitif. Kemudian ada eFisheryFund, merupakan program pinjaman untuk pembudidaya. Dan yang keempat ada eFisheryFresh, platform online grocery untuk bantu petani jual hasil panen mereka.

Tahun lalu, eFishery juga telah menggandeng Alami Sharia sebagai mitra dan mendorong kehadiran paylater berbasis syariah serta menjalin kerja sama strategis dengan Investree terkait penyaluran pinjaman modal ke mitra petani/pembudidaya. Selain itu, layanan pembiayaan ini juga telah bermitra dengan iGrow, BRI Syariah, Amartha, dan Batumbu.

Startup akuakultur di Indonesia

Ukuran pasar akuakultur global diperkirakan akan memperoleh pertumbuhan pasar pada periode perkiraan 2020 hingga 2025, dengan CAGR 3,5%% pada periode perkiraan 2020 hingga 2025 dan diperkirakan akan mencapai $239,8 triliun pada 2025, dari $209,4 triliun pada tahun 2019.

Setiap tahun, akuakultur meningkatkan kontribusinya terhadap produksi makanan laut global. Sektor ini menghasilkan 110,2 juta ton pada tahun 2016, senilai $243,5 miliar dan merupakan 53 persen dari pasokan makanan laut dunia. Menurut data FAO, 90 persen volume produksi diproduksi di Asia.

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa startup yang mulai menyasar segmen sejenis. Sebut saja Aruna, startup teknologi yang menyediakan platform untuk mempermudah para nelayan dalam menjual produknya langsung ke pasar global dan domestik. Perusahaan ini juga telah berhasil meraih pendanaan di tahun 2020 dari East Ventures, AC Ventures, dan SMDV.

Satu lagi startup yang bergerak di sektor yang lebih spesifik yaitu Jala. Startup ini menghadirkan solusi teknologi untuk mengoptimalkan produktivitas petani udang di Indonesia. Di tahun 2019, timnya berhasil mengamankan pendanaan putaran awal dari 500 Startups sebesar 8 miliar Rupiah.

Mengutip dari Liputan6.com, Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia Indonesia memiliki potensi ekonomi kelautan sebesar $1,4 triliun per tahun. Namun, saat ini tingkat pemanfaatan sektor ini baru 7,5 persen sampai 20 persen saja.


Gambar Header: Depositphotos.com

IFC Pours 451 Billion Rupiah into AnterAja’s Parent Company

PT Adi Sarana Armada (IDX: ASSA), or logistics platform AnterAja’s parent company, received funding from the International Finance Corporation (IFC). The value is at $31 million or around 451 billion Rupiah. Previously, that consortium under the World Bank also invested in insurtech startup PasarPolis earlier this year.

The investment is obtained through the purchase of convertible bonds, it is debt securities that can be exchanged into shares at an agreed ratio. In this case, the bonds will be listed on the capital market for two years without interest — through a rights issue by ASSA.

One of the company’s post-funding main focus is to improve its logistics business and transportation network connectivity. AnterAja was particularly mentioned, as its development is expected to provide benefits for MSMEs amidst the rapid growth of the e-commerce business in Indonesia.

AnterAja was introduced by ASSA Rent in February 2019, as a business unit in the last mile logistics sector. The business unit alone has been established since August 2018 in a joint venture with logistics services from China SF Express and PT Spirit Bambu Runcing which shares are owned by William Tanuwijaya.

Then, it was stated that ASSA became the majority shareholder of 55%, SF Express 20%, and Spirit of Bambu Runcing 25%.

Focusing on serving the e-commerce sector, AnterAja has several logistics options, from same day delivery, next day delivery, and regular. It is said they already have around 15 thousand couriers and are able to send around 700 thousand packages per day.

ASSA alone is part of the Triputra Group conglomerate. It also oversees 10 companies related to rental of automotive assets and logistics. Apart from AnterAja, businesses that are close to digital are car rental platform ASSA Mobility (ShareFleet for B2B and ShareCar for B2C) and car marketplace Caroline.

Moreover, Triputra Group also involved in Waresix’ pre-series A funding in 2018. The company also invested in Kedai Sayur the following year. The rounds for the two startups were led by East Ventures.

Logistics investment

With the same hypothesis, investors are flocking added logistics business to their portfolios. The flow of funding for this startup has also increased consistently from year to year – including in the midst of economic uncertainty due to the pandemic.

From 2019 to the first half of 2021, there have been 16 funding rounds involving startups in the logistics sector. Of the 13 rounds of information citing their value, thetotal equity investment valued at $455 million. The trend is increasing in terms of funding quality from year to year.

Logistic startup investment trend for the last 3 years / DailySocial

The types of logistics services provided are quite diverse, from first mile, last mile, fleet management, aggregator, and others. Some players are focus on shipping at a certain level, for example covering import-export needs by providing access to a fleet of ships or aircraft cargo.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Investasi IFC ke ASSA

IFC Berinvestasi 451 Miliar Rupiah ke Induk AnterAja

PT Adi Sarana Armada (IDX: ASSA), atau induk platform logistik AnterAja, mendapatkan pendanaan dari International Finance Corporation (IFC). Nilainya mencapai $31 juta atau sekitar 451 miliar Rupiah. Sebelumnya konsorsium di bawah World Bank tersebut juga berinvestasi ke startup insurtech PasarPolis awal tahun ini.

Investasi didapat melalui pembelian obligasi konversi (convertible bond), yakni surat utang yang dapat ditukarkan menjadi saham dengan rasio yang sudah disepakati. Dalam kasus ini, obligasi akan tercatat di pasar modal selama dua tahun tanpa bunga — diterbitkan melalui right issue oleh ASSA.

Salah satu fokus utama perusahaan pascapendanaan ini adalah meningkatkan bisnis logistik dan konektivitas jaringan transportasi. AnterAja turut di-mention secara khusus, karena diharapkan perkembangannya nanti dapat memberikan manfaat untuk UMKM di tengah pertumbuhan pesat bisnis e-commerce di Indonesia.

AnterAja diperkenalkan ASSA Rent pada Februari 2019, sebagai sebuah unit usaha di bidang logistik last mile. Unit usahanya sendiri sudah didirikan sejak Agustus 2018 dalam joint venture bersama layanan logistik asal Tiongkok SF Express dan PT Semangat Bambu Runcing yang sahamnya dimiliki oleh William Tanuwijaya.

Saat itu disampaikan ASSA menjadi pemegang saham mayoritas sebesar 55%, SF Express 20%, dan Semangat Bambu Runcing 25%.

Fokus melayani sektor e-commerce, AnterAja memiliki beberapa opsi logistik, mulai dari same day delivery, next day day delivery, dan reguler. Dikatakan, mereka telah memiliki sekitar 15 ribu kurir dan mampu mengirim sekitar 700 ribu paket per hari.

ASSA sendiri merupakan bagian dari konglomerasi Triputra Group. Di bawahnya membawahi 10 perusahaan terkait penyewaan aset otomotif dan logistik. Selain AnterAja, bisnis yang erat dengan digital adalah platform penyewaan mobil ASSA Mobility (ShareFleet untuk B2B dan ShareCar untuk B2C) dan marketplace mobil Caroline.

Kemudian untuk Triputra Group sendiri, mereka sempat terlibat dalam pendanaan pra-seri A Waresix pada tahun 2018. Perusahaan juga berinvestasi pada Kedai Sayur di tahun berikutnya. Putaran di kedua startup tersebut dipimpin East Ventures.

Investasi bisnis logistik

Dengan hipotesis yang sama, investor juga terus berbondong-bondong menambah daftar portofolionya dari bisnis logistik. Aliran pendanaan untuk startup ini pun meningkat secara konsisten dari tahun ke tahun – termasuk di tengah ketidakpastian ekonomi akibat pandemi.

Sejak tahun 2019 hingga paruh pertama tahun 2021 ini, terdapat 16 putaran pendanaan yang melibatkan startup di bidang logistik. Dari 13 informasi putaran pendanaan yang menyebutkan nilainya, terkumpul investasi ekuitas mencapai $455 juta. Trennya meningkat dari sisi kualitas pendanaan dari tahun ke tahun.

Tren investasi startup logistik dalam 3 tahun terakhir / DailySocial

Adapun tipe layanan logistik yang disajikan juga cukup beragam, mulai dari first mile, last mile, manajemen armada, aggregator, dan lain-lain. Bahkan beberapa pemain fokus untuk pengiriman di level tertentu, misalnya mencakup kebutuhan eskpor-impor dengan menyediakan akses ke armada kapal laut atau kargo pesawat terbang.

Application Information Will Show Up Here

PasarPolis Announces Over 70 Billion Rupiah Funding from IFC

Insurtech startup PasarPolis announces follow on funding worth $5 million (more than 70 billion Rupiah) from the International Finance Corporation (IFC), a financial institution that operates under the World Bank that focuses on accelerating financial inclusion and literacy in developing countries. This funding was caught four months after announcing a Series B worth $54 million.

The two companies will gather to continue and strengthen the PasarPolis mission to democratize insurance coverage, one of which is through developing innovative microinsurance products that are affordable and in accordance with the needs of the community.

PasarPolis’ Founder & CEO, Cleosent Randing said the company needed world-class partners who could strengthen PasarPolis’s mission that is quite tough in order to encourage insurance penetration in Southeast Asia.

“We are ready to continue PasarPolis mission to answer the challenge of insurance inclusion in Southeast Asia, which remains such a homework, but through technology and microinsurance products, it can provide access to create a better impact,” he said in a virtual press conference, Thursday ( 4/2).

IFC’s Senior Country Officer, Jack Sidik said this investment is one of IFC’s series of efforts to assist Indonesia’s economic recovery through various initiatives in the private sector. In the past two months, IFC has mobilized IDR 5 trillion, mostly directed at the manufacturing sector in which most affected.

“Regarding PasarPolis, it is an equity [investment] of $5 million. We will help PasarPolis to expand insurance penetration in order to improve the digital economy. Thus, Indonesian workers and their families can have insurance and other safety nets,” Sidik said.

Separately, in an official statement, LeapFrog Investments Partner Fernanda Lima said that the cooperation between IFC and PasarPolis shows the great potential of insurance coverage at affordable prices, in order to increase positive social impacts. “With 30 insurance companies and 25 digital partners serving millions of new users during 2020, the opportunity for PasarPolis to expand its reach and services is extraordinary.”

Regarding the fresh funds, Randing explained that the company will continue to provide the best experience for consumers, from the product selection to the claim process. In terms of technology, it is also being improved for it can be easily used by underprivileged people and in remote areas, having limited use of digital technology.

He also emphasized that PasarPolis’ has other focus to increase insurance penetration and literacy in other ASEAN countries, such as Vietnam and Thailand, as one of the priorities in 2021. “From an industrial perspective, Vietnam and Indonesia have similar insurance market criteria, even though insurance awareness in Vietnam is relatively lower than Indonesia, Thailand is a fairly mature insurance market with a higher penetration rate.”

It is said that PasarPolis currently has more than 80 products specifically designed to lighten the burden and meet the unique needs of people. During the five years of operation, it is claimed that the company has provided protection to 11% of Indonesia’s population of around 30 million people.

As many as 90% of PasarPolis consumers are first time buyers, and 40% of policyholders are informal sector workers, such as online motorcycle taxi drivers, couriers, and online MSME players.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here