Tag Archives: internet of things

5G dan Implikasinya Terhadap Fitur-Fitur Gadget

Hari demi hari, kita semakin sering mendengar kata 5G disebut. Teknologi jaringan seluler generasi kelima ini memang masih belum bisa dibilang mainstream, tapi cepat atau lambat hal itu pasti akan terjadi, sama halnya seperti ketika 4G mengambil alih status mainstream dari 3G.

Di titik ini, sebagian besar dari kita mungkin sudah paham betul mengenai kelebihan yang ditawarkan 5G, tapi tidak ada salahnya kita mengingat kembali. Satu keunggulan utamanya tentu adalah soal kecepatan. Dalam skenario yang paling ideal menggunakan spektrum mmWave (millimeter wave), 5G tercatat bisa mencapai kecepatan download setinggi 1,8 Gbps, dan ini rupanya masih jauh dari kapabilitasnya secara teoretis.

Namun seperti yang saya bilang, kita semua mungkin sudah tahu soal itu. Yang lebih menarik untuk dibahas adalah bagaimana implikasi 5G dapat berujung pada lahirnya fitur-fitur baru yang spesifik pada beragam gadget yang kita gunakan sehari-harinya.

Kalau kita ingat-ingat, dulu sebelum ada jaringan 3G, ponsel hanya kita gunakan untuk sebatas mengirim SMS atau MMS. Barulah ketika 3G sudah mainstream, aplikasi chatting macam BBM atau WhatsApp mulai bertambah populer. Kemudian pada saat 4G sudah tersedia, giliran fitur video call yang jadi pilihan khalayak. Ini membuktikan bahwa setiap generasi akan menghadirkan fitur-fitur anyar yang bermanfaat, dan 5G tentu tidak akan luput dari itu.

Guna mengeksplorasi topik ini lebih jauh, saya pun memutuskan untuk berkonsultasi dengan dua sosok yang sudah mengikuti perkembangan industri telekomunikasi sejak lama, khususnya di Indonesia. Mereka adalah Shannedy Ong, Country Director Qualcomm Indonesia, dan Lucky Sebastian, seorang pakar yang sudah tidak asing lagi di kalangan komunitas pencinta gadget.

Dari penerus VoLTE sampai hilangnya expansion slot smartphone

Layanan cloud gaming seperti Microsoft xCloud bakal sangat terbantu oleh adanya 5G / Microsoft
Layanan cloud gaming seperti Microsoft xCloud bakal sangat terbantu oleh adanya 5G / Microsoft

Kita mulai dari yang paling sederhana dulu, yakni fitur panggilan telepon (audio). Di saat 5G sudah menjadi mainstream, panggilan telepon kemungkinan besar akan dialihkan ke jaringan 5G sepenuhnya, meneruskan standar VoLTE (Voice over LTE). Untuk panggilan video, hampir bisa dipastikan 5G bakal meningkatkan kualitasnya secara cukup signifikan. Kita tidak perlu terkejut seandainya video call dalam resolusi 4K bakal menjadi standar ke depannya.

Lanjut ke aspek lain, yaitu gaming, Lucky berpendapat bahwa 5G bakal menjadikan layanan cloud gaming seperti Google Stadia atau Microsoft xCloud kian populer lagi. Pasalnya, seperti yang kita tahu, layanan-layanan semacam ini benar-benar bergantung pada sepenuhnya kecepatan dan kestabilan koneksi internet, dan dua hal tersebut memang merupakan keunggulan utama yang ditawarkan oleh 5G.

Ketika gaming sudah bisa disalurkan melalui cloud, itu berarti smartphone tidak lagi memerlukan chipset yang luar biasa kencang, sebab semua pemrosesannya berjalan di server. Namun itu bukan berarti spesifikasi smartphone 5G ke depannya bakal lebih jelek daripada yang ada sekarang.

Justru sebaliknya, spesifikasi smartphone 5G kelas low-end nantinya malah bisa setara dengan ponsel kelas mid-end sekarang. Tren ini sudah mulai dibuktikan dengan munculnya chipset Qualcomm Snapdragon 480, yang kalau menurut Lucky arsitekturnya sudah bisa disetarakan dengan chipset Snapdragon seri 6 atau 7.

Kalau gaming bisa dialihkan ke cloud, bagaimana dengan produktivitas? Saya membayangkan kehadiran 5G nantinya bisa membantu memopulerkan layanan cloud video editing. Jadi bukan sekadar menyimpan videonya ke cloud saja, tapi juga langsung menyuntingnya secara online menggunakan perangkat apapun yang memiliki browser.

Proses rendering bisa dipercepat berkali-kali lipat karena mengandalkan keperkasaan komputer server, bukan perangkat yang kita gunakan, dan hasilnya bisa langsung diunduh dalam hitungan detik berkat 5G. Dalam skenario seperti ini, seorang video editor profesional pada dasarnya dapat bekerja di mana saja dan kapan saja, tidak perlu harus membawa-bawa laptop seharga puluhan jutanya ke mana-mana.

Satu hal menarik diungkapkan oleh Shannedy. Ia membayangkan bagaimana nantinya kombinasi 5G dan AI (artificial intelligence) dapat mewujudkan skenario video atau voice call dengan lawan bicara yang berbeda bahasa. Jadi kita hanya perlu berbicara menggunakan bahasa ibu masing-masing, dan smartphone kita akan menerjemahkannya secara instan, bukan lagi sebatas menampilkan caption terjemahan secara real-time.

Bisa dibayangkan betapa bergunanya fitur terjemahan instan ini untuk bidang-bidang seperti pendidikan atau kesehatan. Seandainya saya tertarik mengikuti kelas online mengenai winemaking, saya bisa langsung berguru pada para ahlinya di Itali, dan interaksi kami tidak akan terganggu sama sekali berkat fitur terjemahan instan semacam ini.

Standalone VR headset macam Oculus Quest 2 bakal 'naik kelas' dengan bantuan 5G / Oculus
Standalone VR headset macam Oculus Quest 2 bakal ‘naik kelas’ dengan bantuan 5G / Oculus

Kedua narasumber juga sependapat mengenai dampak positif 5G terhadap perkembangan teknologi virtual reality. Menurut Lucky, salah satu problem yang dialami konsumen saat ini adalah resolusi konten VR yang terbilang rendah. Di saat kecepatan download dan upload sudah tidak lagi menjadi penghambat, konten VR dalam resolusi 8K pun dapat disajikan dengan mudah.

Ketika problem-problem seputar teknologi VR ini sudah bisa diatasi dengan adanya 5G, tentu kita juga akan menyaksikan kemunculan berbagai layanan baru berbasis VR dari berbagai bidang. Dalam kasus kursus winemaking saya tadi, bukan tidak mungkin kelasnya dilangsungkan lewat medium VR, sehingga sesi belajar membuat wine yang saya ikuti bisa semakin interaktif lagi ketimbang sebatas video call biasa.

Juga menarik adalah opini Lucky mengenai kuota data. Ia memperkirakan bahwa ke depannya sistem kuota data kemungkinan akan hilang di saat 5G sudah benar-benar matang. Dengan kata lain, paket internet 5G dapat kita gunakan tanpa batasan kuota sedikit pun, dan itu dimungkinkan berkat bandwidth 5G yang lebar, serta dapat menampung koneksi berkali lipat lebih banyak.

Di titik itu, 5G tentu dapat menjadi fondasi yang sangat kuat untuk machine-to-machine communication. Keberadaan perangkat seperti 5G CPE (atau bisa juga kita sebut 5G router) bakal membantu mewujudkan konsep rumah pintar yang benar-benar wireless. Jadi ketimbang sepenuhnya mengandalkan internet kabel, konsumen juga punya opsi untuk menggunakan 5G sebagai sumber koneksi internet utama di kediamannya masing-masing.

Sebaliknya, apakah kehadiran 5G juga bakal berdampak pada ditinggalkannya sejumlah fitur lawas? Bisa jadi demikian. Salah satu yang langsung terpikirkan adalah expansion slot pada smartphone. Menurut Lucky, kehadiran 5G akan membuat fitur ini jadi tidak lagi relevan. Pasalnya, kecepatan akses ke cloud menggunakan jaringan 5G akan sama gegasnya dengan kecepatan perangkat mengakses media penyimpanan internal.

Di awal tahun 2021 ini, kita bahkan sudah melihat semakin banyak pabrikan yang tak lagi menyertakan expansion slot pada smartphone bikinannya. Lihat saja Samsung; dari tiga model Galaxy S21 yang mereka rilis, tidak ada satu pun yang bisa konsumen jejali dengan kartu microSD. Bukti lainnya datang dari OPPO; Reno5 5G yang mereka luncurkan belum lama ini tidak dilengkapi slot microSD, sedangkan Reno5 biasa punya.

Sepenting itukah 5G?

5G jadi kian relevan di era perekaman video 8K / Samsung
5G jadi kian relevan di era perekaman video 8K / Samsung

Pertanyaan di atas boleh dibilang adalah pertanyaan klise yang sebelumnya juga sering ditanyakan ketika 4G baru mulai diimplementasikan. Memang mudah sekali mengabaikan premis yang ditawarkan suatu teknologi baru jika kita belum pernah mencobanya, tapi begitu kita sudah menjajal, mungkin akan sulit untuk kembali ke skenario sebelumnya.

Sekarang mungkin kita sudah cukup puas dengan kecepatan menggunggah video 1080p menggunakan jaringan 4G. Namun kenyataannya sudah semakin banyak smartphone yang mampu merekam video 4K maupun 8K, dan ukuran video yang semakin besar ini bakal membuat 4G megap-megap.

Di setiap pergantian generasi, selalu ada yang namanya masa transisi. 5G tidak akan langsung menggantikan 4G dalam sekejap, sebab cakupan areanya juga akan diperluas secara bertahap sebelum akhirnya mampu menjangkau semuanya.

Menurut Shannedy, ketika 5G sudah mencapai skala ekonominya, semua smartphone dari kelas premium hingga low-end akan menawarkan konektivitas 5G. Di saat 5G sudah tersedia secara luas dan harga smartphone-nya sudah sangat terjangkau, maka tidak ada lagi alasan untuk tetap menggunakan smartphone 4G. Sama halnya dengan saat ini, hampir tidak ada lagi smartphone yang hanya memiliki konektivitas 3G.

Kesimpulannya, 5G mungkin belum terkesan penting sekarang, dan saya tidak heran seandainya sebagian besar konsumen masih bersikap tidak acuh. Namun satu hal yang harus selalu kita ingat adalah, 5G itu tidak akan hanya dinikmati oleh pengguna smartphone saja. Jaringan infrastruktur transportasi, kesehatan, industri berat, pertanian, dan lain sebagainya, semuanya juga akan terbantu oleh kehadiran 5G.

Di artikel ini pun saya baru membahas mengenai fitur-fitur anyar yang bisa 5G hadirkan di smartphone maupun gadget lain secara umum. Saya sama sekali belum membahas dampak positifnya di segmen lain, seperti misalnya otomotif. Mungkin ini bisa jadi topik pembahasan kita berikutnya.

Gambar header: Depositphotos.com.

Smart Hydroponic Technology Karya Siswa SMK Jadi Pemenang Gelaran Samsung Innovation Campus

Terus berkembangnya tren teknologi otomasi dan Internet of Things (IoT) merupakan indikator utama sedang berlangsungnya Revolusi Industri 4.0. Implikasinya sebenarnya sederhana saja: semakin banyak cabang industri yang bergantung pada pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi, dan itu pada akhirnya memicu kelahiran kategori pekerjaan baru yang belum pernah eksis sebelumnya.

Software developer atau data scientist mungkin adalah contoh dari sekian banyak profesi yang sedang meledak popularitasnya di era Revolusi Industri 4.0, dan kita tidak perlu terkejut melihat kurikulum pendidikan yang terus diperbarui dengan menyelipkan materi-materi seputar pengadopsian teknologi.

Selain upaya dari pihak sekolah, keikutsertaan dari pihak industri sendiri juga bakal sangat membantu mempersiapkan generasi muda dalam menghadapi tren baru di dunia industri. Pemikiran seperti inilah yang pada akhirnya mendorong Samsung untuk mengadakan program Samsung Innovation Campus (SIC) di beberapa SMA dan SMK.

Mungkin sebagian besar dari kita tidak banyak yang tahu, akan tetapi program ini telah berjalan sejak bulan Januari kemarin, dan pandemi rupanya tidak mencegah pelaksanaan program sampai pada tahap finalnya. Pada kenyataannya, tahap akhirnya yang berbentuk lomba (SIC Project Competition) malah baru saja berakhir pada tanggal 5 Oktober kemarin.

Jadi dari bulan Januari, Samsung telah memberikan berbagai pelatihan di SMA dan SMK seputar coding dan programming. Materi yang diajarkan bervariasi dari bahasa pemrograman yang simpel seperti Scratch, sampai C yang kerap digunakan untuk mengembangkan video game. Bukan cuma itu, topik robotik pun juga ikut diajarkan, spesifiknya platform Arduino yang sangat fleksibel.

Materi yang Samsung berikan bukan cuma ditujukan untuk murid saja, tetapi juga para guru, dengan tujuan akhir supaya materinya dapat disinkronisasikan dengan kurikulum yang digunakan di masing-masing sekolah.

Usai menerima pembekalan selama sekitar enam bulan, peserta program di SMA dan SMK diberi waktu satu bulan untuk mengeksekusi idenya, mengaitkan teori dengan permasalahan aktual yang sedang dialami masyarakat di sekitarnya. Setelah melalui proses seleksi yang ketat, pada akhirnya terpilih empat finalis dari empat sekolah yang berbeda:

  • SMKN 1 Geger, Madiun dengan proyek Smart Hydroponic Technology (SAHYT)
  • SMK Al Huda, Kediri dengan proyek Sistem Pengairan Otomatis (Smart Irrigation System) Berbasis Arduino
  • Binus School Simprug dengan proyek 2D Platformers Arcade Game
  • Binus School Serpong dengan proyek Automatic Dispenser for Hand Sanitizer

Samsung Innovation Campus Project Competition 2020

Ada banyak kriteria penilaian yang dijadikan acuan oleh tim dewan juri yang terdiri dari DR. Ahmad Saufi selaku Direktur Kemitraan dan Penyelarasan DUDI Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Risman Adnan selaku Direktur Manajemen R&D Samsung R&D Indonesia, dan Muhammad Ramli Rahim selaku Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia. Namun yang pasti, keempat finalis ini dipilih karena idenya bisa diaplikasikan dalam skala kecil ataupun besar.

Satu komentar juri yang paling menarik kalau menurut saya datang dari Muhammad Ramli, yang pada dasarnya berharap para finalis SIC Project Competition dapat meneruskan masing-masing proyeknya menjadi bisnis yang sah tanpa dibatasi oleh pihak sekolah. Saya pun langsung teringat kebiasaan jelek sekolah-sekolah zaman dulu yang kerap mengambil alih trofi lomba hanya dengan beralasan pemenangnya mengikuti kompetisi dengan membawa nama sekolah, bukan pribadi.

Keempat finalis ini tentu punya potensi untuk berevolusi menjadi startup ke depannya. Namun impian itu otomatis bakal pupus seumpama pihak sekolah mengambil alih lisensi atas proyeknya.

Pada akhirnya, yang berhasil memenangkan gelar juara adalah proyek Smart Hydroponic Technology (SAHYT) dari SMKN 1 Geger, Madiun. Tim dari sekolah ini pada dasarnya berhasil mengembangkan pompa air otomatis, sistem pupuk otomatis, dan sistem pengontrol suhu untuk tanaman hidroponik yang semuanya dapat dipantau serta dikendalikan lewat aplikasi mobile. Masing-masing anggota tim, lengkap bersama pembimbingnya, menerima hadiah berupa Samsung Galaxy A71.

Selain itu, terdapat pula juara favorit yang dipilih berdasarkan polling yang dilakukan oleh para undangan pada sesi penjurian, dan gelar tersebut jatuh pada Sistem Pengairan Otomatis Berbasis Arduino dari SMK Al Huda, Kediri. Semuanya berhak memperoleh hadiah berupa Samsung Galaxy A21s.

Dalam menyelenggarakan program perdana SIC ini, Samsung bekerja sama dengan Prestasi Junior Indonesia (PJI), anggota Junior Achievement Worldwide, salah satu organisasi nirlaba terbesar di dunia yang berfokus untuk membekali generasi muda mengenai pekerjaan dan kewirausahaan.

Program SIC ini merupakan program berkelanjutan, dan Samsung menargetkan untuk bermitra dengan lebih banyak lagi sekolah di Indonesia ke depannya. Di samping Indonesia, SIC juga diadakan di negara-negara lain seperti Thailand, Vietnam, Rusia, Chili dan Spanyol.

IFTTT Luncurkan Layanan Berlangganan dengan Sejumlah Kelebihan

Selama bertahun-tahun, IFTTT telah menjadi salah satu layanan yang paling berguna di kalangan pengguna perangkat smart home. Berbekal jutaan ‘resep’ atau applet, pengguna dapat menyambungkan satu perangkat dengan yang lain, maupun memfasilitasi interaksi antar layanan.

Selama ini IFTTT selalu ditawarkan sebagai layanan yang gratis buat konsumen secara umum. Namun baru-baru ini, pengembangnya memperkenalkan sebuah layanan berlangganan bernama IFTTT Pro. Paket berbayar ini akan hadir bersama-sama dengan paket gratisan yang sudah ada sejak lama.

Seperti yang sudah bisa dibayangkan, IFTTT Pro menawarkan sejumlah kelebihan dibanding versi gratisannya. Yang paling utama adalah, satu applet pada IFTTT Pro bisa mengakses data dari beberapa sumber sebelum akhirnya memicu beberapa aksi sekaligus.

Contoh yang paling gampang adalah, pelanggan IFTTT Pro bisa membuat sebuah applet yang akan mengakses data dari Google Calendar dan Slack sekaligus di malam hari, sebelum akhirnya mengirim instruksi ke lampu Philips Hue, serta ke smart speaker untuk memutar playlist Spotify favoritnya.

Sebagai perbandingan, untuk bisa memenuhi skenario di atas, pengguna IFTTT gratisan memerlukan 4 applet yang berbeda; dua untuk menghubungkan data dari Google Calendar dengan aksi di Philips Hue dan speaker, dua lagi untuk menghubungkan data dari Slack.

Sayangnya kehadiran IFTTT Pro juga berarti paket gratisannya ikut di-downgrade. Mulai sekarang, pengguna IFTTT hanya bisa meracik maksimal sebanyak 3 applet saja. Dengan kata lain, skenario yang saya gambarkan tadi cuma bisa diwujudkan hanya dengan berlangganan IFTTT Pro saja. Di samping itu, eksekusi setiap applet juga dipastikan berlangsung lebih cepat buat pelanggan IFTTT Pro.

IFTTT Pro dihargai $10 per bulan. Dalam rangka promosi, pelanggan bisa mendapat potongan harga selama setahun dengan menentukan sendiri tarif berlangganannya, asalkan tidak kurang dari $2 per bulan. Promosi ini hanya berlaku sampai tanggal 7 Oktober 2020.

Sumber: IFTTT via The Verge.

The Story of IoT Based Solution Developers in Indonesia

The Internet of Things (IoT) technology is getting more popular for the last five years because it becomes one of few strategic components that support the industry 4.0. Simply put, the IoT technology allows various kinds of electronics to communicate and circulate data, either cross-devices or with other systems or apps.

Last year, the government through Kemkominfo issued regulations regarding LoRA WAN frequency as stated in the Regulation of the Director General of Resources and Equipment of Post and Information Technology Number 3 in 2019 on Technical Requirements for Low Power Wide Area Telecommunications Equipment and/or Devices.

The IoT-based solutions players appreciate this regulation. It’s just some regulations are still expected, including providing a discount for import fees for spare parts or raw materials imported from abroad. This discount policy is considered to be able to encourage the IoT industry to develop faster considering that many devices are still imported from abroad, especially China.

Regulating foreign companies and accessible import

One of the startups in this sector is Habibi Garden, which for the last two years has focused on helping farmer groups in West Java. Habibi Garden CEO Irsan Rajamin told DailySocial that import policy was quite important. The existence of a special tax to ease tariffs will provide a positive stimulus for IoT players in Indonesia.

He also added, “The expected regulation, is when the foreign IoT technology entering Indonesia, there should be a partnership or collaboration in any way possible with local companies or startups. Therefore, there is an obligation for transfer knowledge.”

A similar thought from eFishery’s Chief of Product, Krisna Aditya. He said to support local startups to develop is by regulating foreign IoT companies at least to give space for locals to penetrate the current market.

“Regulations such as TKDN that favor Indonesian startups are indeed favorable. Then, the tax incentives or the easy importing for basic parts needed to develop IoT products are also very important. Almost all required parts to develop IoT are still imported, therefore, when the import process is facilitated with the aim of developing startups in Indonesia, it will open up new jobs in Indonesia,” he added.

Perangkat HabibiGrow dari Habibi Garden
HabibiGrow by Habibi Garden

DycodeX’ Co-founder & CEO, Andri Yadi agreed on this subject. He said that reducing import tariffs could be a positive impact on the IoT industry. However, to regulate is not easy. It takes time and effort to record a lot of devices wheter to reduce the cost.

Another regulation that is also expected is TKDN for devices entering Indonesia. Although the discussion is still ongoing in the internal association, this rule is considered to be able to boost the growth of the IoT industry in Indonesia.

Andri said, this TKDN regulation must be prepared in advance, especially the readiness of the local players. Avoid regulations backfire at all cost. When it is expected to grow, instead, it only hinders the developing industry due to unpreparedness.

Stories of local players

The Indonesian IoT Association or ASIoTI is quite optimistic about the opportunities of the IoT industry in Indonesia. Even at the end of 2019 they targeted 200 million sensors in 2020. This target is somewhat missed due to the Covid-19 pandemic, but its development still provides potential and opportunities.

In addition to industrial automation, a number of solutions in the agriculture and fisheries sector can be optimized. Habibi Garden and SmarTernak (one of the solutions from DycodeX) have a solution that is almost similar, but applicable into two different things. HabibiGarden for the agriculture sector and Smarternak for the livestock sector.

Habibi Garden claimed to have collaborated with West Java Digital Service, especially for the agricultural sector. They help farmers to optimize the way they work through the IoT tool. Both in open land or in the greenhouse.

Penerapan perangkat SmarTernak
Implementation of SmarTernak

Some devices developed by Habibi Garden include tools to monitor the condition of the growing media, devices that can be controlled remotely to provide fertilizer, water, pesticides, and the like, as well as several other devices.

“We produce 200 sensors that are packaged for 20 farmer groups in West Java. The tools we use include automatic watering systems, cooling systems for greenhouses, weather monitoring systems and planting media. With this tool farmers can know exactly when to do watering and fertilization, with this farmers can get the efficiency of production costs and labor,” Irsan said.

SmarTernak also comes with similar solution. Focused on West Java, Smarternak has begun to focus on monetization and implementation.

“In terms of devices, some are installed in cows, some are installed in cages. The ones installed in cages are temperature sensors and water supply. If used in cattle for tracking activity, how long he eats, how long he sleeps,” said Andri .

There is also eFishery, a startup whose business unit is developing an IoT device to facilitate fish and shrimp feeding. This startup has developed tens of thousands of devices installed in fish/shrimp ponds in 120 cities/regencies throughout Indonesia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Regulasi di bidang IoT perlu diperkuat, sementara impor bahan baku perlu dipermudah. Pemain mulai mampu memonetisasi layanan

Cerita Pengembang Solusi Berbasis IoT di Indonesia

Teknologi Internet of Things (IoT) lima tahun belakang cukup populer karena termasuk satu dari beberapa komponen strategis yang mendukung industri 4.0. Secara sederhana, teknologi IoT memungkinkan berbagai jenis alat elektronik untuk bisa saling berkomunikasi–melakukan perputaran data, baik antar sesama perangkat maupun dengan sistem atau aplikasi.

Tahun lalu pemerintah melalui Kemkominfo mengeluarkan regulasi mengenai penggunaan frekuensi LoRA WAN seperti yang tertuang dalam Peraturan Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Nomor 3 Tahun 2019 tentang Persyaratan Teknis Alat dan/atau Perangkat Telekomunikasi Low Power Wide Area.

Para pemain solusi berbasis IoT mengapresiasi regulasi ini. Hanya saja masih ada beberapa regulasi yang diharapkan untuk segera hadir, termasuk memberikan keringanan biaya masuk atau impor untuk spare part atau bahan mentah yang didatangkan dari luar negeri. Kebijakan keringanan ini dinilai bisa mendorong industri IoT berkembang lebih cepat mengingat banyak perangkat yang masih didatangkan dari luar negeri, khususnya Tiongkok.

Meregulasi pemain asing dan kemudahan impor

Salah satu startup di sektor ini adalah Habibi Garden, yang selama dua tahun terakhir fokus membantu kelompok tani di Jawa Barat. CEO Habibi Garden Irsan Rajamin kepada DailySocial mengatakan, kebijakan impor cukup penting. Adanya pajak khusus untuk meringankan tarif akan memberikan stimulus positif bagi para pemain IoT di Indonesia.

Selain itu ia menambahkan, “Regulasi yang diharapkan, jika ada teknologi IoT dari luar yang masuk ke Indonesia, sebisa mungkin ada partnership atau kolaborasi dengan perusahaan atau startup lokal. Jadi ada kewajiban transfer knowledge.”

Hal senada disampaikan Chief of Product eFishery Krisna Aditya. Ia menyampaikan bahwa untuk mendukung startup lokal berkembang setidaknya harus ada regulasi yang membatasi produk-produk IoT dari luar untuk memberikan ruang pemain lokal menggarap pasar yang ada di Indonesia.

“Regulasi seperti TKDN yang memihak startup Indonesia juga dibutuhkan. Kemudian insentif pajak atau kemudahan melakukan impor part-part yang dibutuhkan untuk mengembangkan product IoT juga sangat penting. Hampir semua part yang dibutuhkan dalam mengembangkan IoT masih impor jadi ketika proses impor ini dipermudah dengan tujuan untuk mengembangkan startup di Indonesia maka itu akan membuka lapangan pekerjaan baru yang ada di Indonesia,” lanjut Krisna.

Perangkat HabibiGrow dari Habibi Garden
Perangkat HabibiGrow dari Habibi Garden

Hal ini diamini Co-Founder & CEO DycodeX Andri Yadi. Ia menyampaikan bahwa pemotongan tarif impor ini memang bisa memberikan dampak positif bagi industri IoT. Hanya saja untuk meregulasinya tidak mudah. Butuh waktu dan effort untuk mendata banyak sekali perangkat jika nantinya akan diberlakukan keringanan.

Peraturan lain yang juga diharapkan hadir adalah TKDN untuk perangkat yang masuk ke Indonesia. Meski pembahasan yang ada masih dalam tahap internal asosiasi, aturan ini dinilai bisa mendongkrak pertumbuhan industri IoT di Indonesia.

Menurut Andri, aturan TKDN ini harus disiapkan secara matang terlebih dahulu, terutama kesiapan para pemain lokal. Jangan sampai regulasi justru menjadi bumerang. Diharapkan tumbuh tetapi malah menghambat industri berkembang karena ketidaksiapan.

Sepenggal cerita pemain lokal

Asosiasi IoT Indonesia atau ASIoTI cukup optimis dengan peluang industri IoT di Indonesia. Bahkan pada akhir 2019 silam mereka menargetkan 200 juta sensor pada tahun 2020 ini. Target ini diperkirakan agak meleset karena adanya pandemi Covid-19, tapi perkembangannya tetap memberi potensi dan peluang untuk banyak hal.

Selain otomasi di bidang industri, sejumlah solusi di sektor pertanian dan perikanan bisa dioptimalkan. Habibi Garden dan SmarTernak (salah satu solusi dari DycodeX) memiliki solusi yang hampir mirip, tapi diterapkan untuk dua hal yang berbeda. HabibiGarden untuk sektor pertanian dan Smarternak untuk sektor peternakan.

Habibi Garden mengaku telah menjalin kerja sama dengan Jabar Digital Service, khususnya untuk sektor pertanian. Mereka membantu para petani untuk mengoptimalkan cara kerja mereka melalui perangkat IoT. Baik mereka yang ada di lahan terbuka atau di dalam greenhouse.

Penerapan perangkat SmarTernak
Penerapan perangkat SmarTernak

Beberapa perangkat yang dikembangkan Habibi Garden antara lain alat untuk memonitor kondisi media tanam, alat yang bisa dikontrol jarak jauh untuk memberikan pupuk, air, pestisida, dan semacamnya, serta beberapa perangkat lainnya.

“Kita memproduksi 200 sensor yang dipaketkan untuk 20 kelompok tani di Jawa Barat. Alat yang kita gunakan antara lain sistem penyiraman otomatis, sistem pendinginan untuk greenhouse, sistem monitoring cuaca dan media tanam. Dengan alat ini petani bisa mengetahui dengan pasti kapan harus melakukan penyirapan dan pemumukan, dengan ini petani bisa mendapatkan efisiensi ongkos produksi dan tenaga kerja,” cerita Irsan.

Hal yang sama dilakukan SmarTernak. Masih fokus di Jawa Barat, saat ini Smarternak sudah mulai fokus monetisasi dan implementasi.

“Dari segi perangkat ada yang dipakaikan di sapi, ada yang dipasang ke kandang. Yang dipasang di kandang merupakan sensor temperatur dan suplai air. Kalau dipakaikan di ternak itu untuk keperluan tracking activity, berapa lama dia makan, berapa lama dia tidur,” kisah Andri.

Ada pula eFishery, startup yang salah satu unit bisnisnya mengembangkan perangkat IoT untuk memudahkan pemberian makan ikan dan udang. Startup ini sudah mengembangkan puluhan ribu perangkat yang dipasang di kolam-kolam petani ikan / udang di 120 kota / kabupaten di seluruh Indonesia.

Perusahaan penyedia layanan IoT global Sigfox segera menggelar layanan komersial di Indonesia pada 20 Februari 2020.

Optimisme Sigfox Bermain di Ranah IoT Berbasis Non Seluler

Perusahaan penyedia layanan IoT global Sigfox segera meluncurkan layanan komersial di Indonesia pada 20 Februari 2020, setelah memproses lisensi resmi dari Komenkominfo bulan lalu. Perusahaan mengedepankan konsep kolaborasi dengan profesional IT untuk mengembangkan perangkat dan aplikasi lokal, agar implementasi IoT bisa lebih masif di segala sektor industri.

CEO Sigfox Indonesia Johnny Swandi Sjam menjelaskan, kolaborasi adalah solusi yang ingin diberikan perusahaan buat meningkatkan kualitas SDM lokal agar dapat bersaing dengan global. Pasalnya, ketika suatu produk berhasil diciptakan, ada peluang yang bisa dibawa melalui Sigfox untuk didistribusikan ke pasar global.

“Mitra IT ini bisa siapa saja, asalkan mereka bisa buat sensor dan aplikasi lokal. Perguruan tinggi punya peluang yang besar di sini. Itu yang akan kita genjot,” terang Johnny, Selasa (18/2).

Sikap terang-terangan Sigfox untuk menggaet mitra sebenarnya cukup diapresiasi untuk menggairahkan para maker IoT lokal, yang termasuk dalam ekositem pendukung IoT.

Sebelum resmi komersil, Sigfox sudah mulai menunjukkan diri ke publik sejak Mei 2019. Johnny menyebut selama kurun waktu tersebut, perusahaan banyak berbenah mempersiapkan bisnis dan menunggu regulasi diterbitkan Kemenkominfo sebelum mengajukan perizinan.

Dia menjelaskan model bisnis Sigfox adalah b2b2c. Perusahaan hanya menyediakan jaringan IoT berfrekuensi pada rentang 920 MHz-923 MHz dengan teknologi netral. Slot frekuensi ini memang disediakan oleh pemerintah buat para maker IoT non-operator atau unlicensed.

Mereka tidak akan dikenakan biaya hak penggunaan (BHP) frekuensi, namun harus tetap membayar biaya hak penyelenggaraan telekomunikasi dan kewajiban pelayanan universal (USO) yang ditentukan berdasarkan model bisnis masing-masing.

Berkat frekuensi tersebut, Sigfox menawarkan solusi IoT low power wide area (LPWA) atau listrik berdaya rendah. Ekosistem IoT terdiri dari empat bagian, yakni aplikasi (A), back end (B), connectivity (C), dan device (D). Perusahaan berada di posisi C.

Solusi yang ditawarkan berbeda dengan perangkat IoT kebanyakan. Data transfer jauh lebih kecil dan kecepatan yang rendah. Alhasil baterai jauh lebih awet dan tahan hingga tiga tahun untuk radius sensor antara 8 km-10 km.

Melalui mitra teknologi yang digaet, kedua belah pihak akan meriset kebutuhan IoT berdasarkan industri dan menyesuaikan dengan kumpulan paten yang sudah dikantongi Sigfox. Mitra tersebutlah yang akan melakukan proses manufakturnya. Sigfox akan membantu distribusi penjualan.

“Sebelum produk dikomersialkan, Sigfox akan memeriksanya untuk distandarisasi demi memastikan dia berjalan di frekuensi yang tidak mengganggu jaringan lain.”

Rencana bisnis Sigfox

Sebagai langkah awal, perusahaan menawarkan dua perangkat sensor yaitu Personal Tracker untuk melacak kendaraan, baik kendaraan pribadi maupun kendaraan industri, dan Wallet Tracker yang dapat digunakan sebagai tanda pengenal karyawan dan dapat dipantau melalui aplikasi.

Kedua produk di atas dapat disesuaikan kembali sesuai dengan kebutuhan target pengguna. Pengembangan Wallet Tracker, bersama mitra IT yang digaet Sigfox, berhasil membuat produk tracker untuk jamaah umroh dan disebutkan telah didistribusikan ke publik.

Pada tahap awal ini, jaringan IoT 0G Sigfox tersedia di area Jakarta dan sekitarnya dan Bandung. Kota lainnya akan menyusul seperti Medan, Pekalongan, Surabaya, Denpasar, Balikpapan, dan Belitung. Lokasi-lokasi tersebut, menurut Johnny, berpotensi untuk dikembangkan karena ada pasar di sana.

Adapun sektor-sektor industri yang dibidik Sigfox, adalah properti, pertanian, perikanan, dan lainnya. “Sejauh ini belum ada [mitra properti], tapi di properti itu IoT bisa punya banyak implementasi. Misalnya untuk sensor metering, sensor gerak, potensinya ada banyak.”

Ke depannya, apabila pengembangan sensor yang semakin masif ada kemungkinan untuk di bawa ke luar negeri di mana Sigfox beroperasi. Perusahaan memiliki jaringan yang terbesar di lebih dari 70 negara di sedunia.

Tidak hanya bermain di ranah b2b2c, Johnny menyebut Sigfox juga akan menjual produk sensornya secara b2c langsung ke konsumen. Produk yang dijual seperti sensor untuk hewan peliharaan dan sensor tracking untuk memantau kendaraan.

Dari seluruh target perusahaan, Johnny menargetkan dalam setahun ke depan perusahaan dapat menjual 1 juta sensor.

Diklaim ada sekitar 40 calon mitra teknologi yang masuk mendaftar di Sigfox, akan tetapi menurut Johnny tidak semua akan diajak menjadi mitra. Satu mitra yang telah resmi adalah Institut Teknologi Bandung (ITB).

Literally, Indonesia Is Yet to Welcome the 5G Era

Five years ago, the Indonesian government expected to start implementing the 5G network in 2020. Today, weeks after 2020 started, commercializing is yet to happen. In some countries, such as the United States and South Korea, 5G is now available.

Before we get into commercializing, even the regulation is not ready. What the public aware is, the Ministry of Communication and Informatics (Kominfo) is currently preparing the regulation and its derivatives. 5G technology is projected to run five years later.

One thing that is on progress is the frequency that will be used to implement the 5G network. The 700MHz band as said to be the key spectrum is not yet discharged from analog TV. Meanwhile, the migration of analog TV to digital is to be carried out in 2024.

In terms of timeline, this plan is quite realistic. Reasonably, there is no ecosystem to support the development of 5G technology in Indonesia. In fact, there is still a long journey to get there.

The Minister of Communication and Information, Johnny G. Plate even told us not to rush for 5G technology to be immediately commercialized. “The trial isn’t even finished,” he said as quoted by Detik.

Do we really need 5G?

In more developed countries, such as the US and South Korea, the 5g technology is now available / Unsplash
In more developed countries, such as the US and South Korea, the 5g technology is now available / Unsplash

Five years can be a short period of time in the global dynamic competition and massive technology development. Not mentioning the industrial revolution of 4.0. If we get loose for a minute, there’s a chance we can get far left behind from the neighbor countries.

Moreover, 5G is no longer about how we can stream without buffering or downloading movies faster than a day. This fifth-generation cellular technology can be a game-changer for human life, industry and the country’s economy.

5G guarantees extraordinary speeds – though not yet proven – one of which is to transfer data at 800 Gbps. 5G can also handle thousands of devices and sensors simultaneously. Therefore, it’s not surprising 5G is called the fastest telecommunications protocol.

The people who benefit most from the implementation of 5G are not data and cellular customers, but the industry. Moreover, the manufacturing sector is the main pillar of the country’s economy.

The use of the Internet of Things (IoT), automation, big data to real-time analysis in the manufacturing industry is said to be able to increase productivity and great efficiency. Layers of business processes that used to be done manually will be run with automation.

A T Kearney consulting firm, as quoted by Business Times, predicts the adoption of 5G has a devastating impact on the industrial sector in Southeast Asia of US$ 147 billion in 2025.

A total of US $ 81 billion of the previous number mentioned will be contributed by the trade, transportation and financial industries. Then the value is to increase by another US$ 59 billion if the manufacturing sector utilizes the Internet of Things (IoT).

In reality, Indonesia is yet to call for 5G. First, the circulation of our telecommunications infrastructure is still uneven. Internet penetration alone is not 100 percent. There are thousands of populations still using 2G mobile phones.

Second, supporting ecosystems, such as assemblers company and its equipment, are not ready. When it’s time to generate the domestic industry, we have to think about people who develop it – it is impossible to depend on foreign countries.

Third, we have no examples of appropriate cases or use cases to be implemented. Thus, why bother implementing technology with very expensive switching costs.

Not to mention the literacy and technology adoption issue. What should be a concern – when targeting the industrial sector – is how they perceive the importance of technology implementation in business processes.

The government alone cannot assure the ideal time when the 5G technology can be implemented in Indonesia. The Director-General of Resources and Equipment of Post and Information Technology (SDPPI) Kominfo Ismail revealed that there are many technical issues should be discussed further.

Ismail said the implementation of 5G is not only a matter of frequency availability but also the readiness of the ecosystem and monetization of the 5G infrastructure that was built. “Therefore, we are still focusing on trials with operators now,” he told DailySocial.

The explosion of data consumption

Adoption and Consumption of digital content in Indonesia is increasing / Unsplash
Adoption and Consumption of digital content in Indonesia is increasing / Unsplash

As previously mentioned, 5G is an investment to compete in the global market. We don’t need to re-evaluate when 3G enters the Indonesian market and it takes more than 10 years to encourage its penetration.

Ecosystem development should be the government’s priority as the first step to remaining consistent with its digital economic vision. And the industrial sector can make a contribution to drive digital economic growth, not just startups and corporates.

In addition, the urgency to implement 5G technology is getting inevitable given the increasing consumption of internet data in Indonesia. With a total population exceeds 250 million, a data explosion can occur along with the massive trends in the use of video-based services.

In an era where mobile content is getting very popular, dozens of people are streaming video and music simultaneously. The highly cited increase in data consumption can disrupt the dense spectrum.

The Chairperson of the Indonesian IoT Association Teguh Prasetya agreed on this when highlighting the urgency of implementing 5G. He said, user demand for applications that require high bandwidth, low latency, and high speed will increase in the next three years. It is not limited in a residential area but also in industrial estates and big cities.

Another thing to be highlighted is the readiness of related ecosystem, starting from the providers of devices, networks, applications, and content. It is related to the investment side, both from capital expenditure, operational costs and human resources.

Therefore, Teguh continued, the government needs to consider the growth of domestic supporting ecosystems, starting from technology providers, system integrators, communities and domestic producers who can play a role in the development of 5G in the country.

“As to judge from the three things above, our concentration and priority at the moment are to focus on the distribution of broadband to all levels of society in Indonesia by optimizing the existing 4G technology in addition to other fixed broadband,” he said.

Use case optimization

Meanwhile, MDI Ventures’ Head of Investor Relations & Capital Raising, Kenneth Li discussed the importance of using the right case for the 5G implementation. He emphasized on the use case that is not easily replaced by 4G or its predecessor technology.

As an example, streaming activity. 3G technology was developed to allow streaming activities, while 2G technology can hardly do this.

However, in the context of developing IoT, he said that there are still many developers who embrace the concept of product development that can be substituted with technology.

“They still apply the concept ‘best with 5G but work on 4G or 3G‘. In fact, if they thought about creating technology that only works for 5G, the market penetration will be very slow, “Kenneth told DailySocial.

The above concept is considered possible to slow the growth of 5G technology, particularly with use cases related to IoT. Thus, he emphasized on developing use cases that also applies to the use of the current technology.

“With more and more use case primary, in the future [development of use cases] I think all is good,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

5G di Indonesia

Sesungguhnya Indonesia Belum Menyambut Era 5G

Lima tahun lalu, pemerintah Indonesia pernah menargetkan penerapan jaringan 5G di 2020. Sekarang sudah memasuki 2020, tapi komersialisasi ini belum juga terjadi. Di beberapa negara, seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, layanan 5G kini sudah mengudara.

Jangankan komersialisasi, regulasinya pun belum ada. Yang publik tahu, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) saat ini masih menggodok aturan dan turunannya. 5G diestimasi meluncur lima tahun dari sekarang.

Salah satu yang masih digodok adalah frekuensi yang akan digunakan untuk mengimplementasi jaringan 5G. Pita 700MHz yang digadang menjadi spektrum kunci, belum terbebas dari TV analog. Sementara, migrasi TV analog ke digital baru akan dilaksanakan di 2024.

Secara timeline, rencana ini terdengar cukup realistis. Pasalnya, ekosistem untuk mendukung pengembangan teknologi 5G di Indonesia belum ada. Intinya, masih sangat panjang perjalanan untuk menuju ke sana.

Menkominfo Johnny G. Plate bahkan meminta agar kita tidak usah terburu-buru meminta 5G untuk segera dikomersialisasikan. “Trial-nya saja belum selesai,” begitu katanya sebagaimana dikutip Detik.

Sudah perlukah kita 5G?

Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, layanan 5G kini sudah mengudara / Unsplash
Di negara maju seperti Amerika Serikat dan Korea Selatan, layanan 5G kini sudah mengudara / Unsplash

Tapi bisa jadi lima tahun bukan waktu yang lama di era persaingan global dan masifnya perkembangan teknologi. Belum lagi bicara revolusi Industri 4.0. Jika kita lengah sedikit, kita akan jauh tertinggal–setidaknya dari negara tetangga.

Lagipula, 5G bukan lagi bicara soal bagaimana kita bisa streaming tanpa buffering atau mengunduh film tanpa perlu ditinggal pulang seharian. Teknologi seluler generasi kelima ini dapat menjadi game changer bagi kehidupan manusia, industri dan perekonomian negara.

5G menjanjikan kecepatan luar biasa–meski belum terbukti–yang salah satunya adalah melakukan transfer data sebesar 800 Gbps. 5G juga dapat menangani ribuan perangkat dan sensor secara bersamaan. Maka tak heran 5G disebut sebagai protokol telekomunikasi tercepat.

Yang paling diuntungkan dengan implementasi 5G bukanlah kita pelanggan data dan seluler, melainkan industri. Lebih lagi, sektor manufaktur sebagai penopang utama ekonomi negara.

Pemanfaatan Internet of Things (IoT), automasi, big data hingga analisis secara real time pada industri manufaktur disebut dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi yang besar. Berlapis-lapis proses bisnis yang biasanya dilakukan secara manual dapat sepenuhnya dijalankan dengan automasi.

Firma konsultan A T Kearney, seperti dikutip dari Business Times, memprediksi bahwa penerapan 5G membawa dampak dahsyat terhadap sektor industri di Asia tenggara sebesar US$147 miliar pada 2025.

Dari angka tersebut, senilai US$81 miliar bakal disumbang oleh industri perdagangan, transportasi dan keuangan. Kemudian nilai tersebut bakal bertambah lagi US$59 miliar jika sektor manufaktur memanfaatkan Internet of Things (IoT).

Secara realistis, Indonesia memang belum membutuhkan 5G. Pertama, penyebaran infrastruktur telekomunikasi kita masih belum merata. Penetrasi internet saja belum 100 persen. Masih banyak yang sampai sekarang menggunakan ponsel 2G.

Kedua, ekosistem pendukung, seperti pabrik perakit dan perangkatnya, belum siap. Kalau memang ingin membangkitkan industri dalam negeri, kita harus pikirkan siapa yang akan mengembangkannya–tak mungkin bergantung pada luar negeri.

Ketiga, kita belum memiliki contoh kasus atau use case yang tepat untuk diimplementasikan. Jadi buat apa repot implementasi yang biaya switching teknologinya saja sudah mahal.

Belum lagi soal literasi dan adopsi teknologi. Yang patut menjadi concern–kalau memang sasarannya sektor industri–adalah bagaimana mereka memandang pentingnya implementasi teknologi dalam proses bisnis.

Pemerintah bahkan belum dapat memastikan kapan idealnya 5G diterapkan di Indonesia. Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kominfo Ismail mengungkapkan ada banyak masalah teknis yang perlu dibahas lebih dalam.

Menurut Ismail, implementasi 5G bukan hanya masalah ketersediaan frekuensi, tetapi juga kesiapan ekosistem dan monetisasi infrastruktur 5G yang dibangun. “Jadi saat ini kita masih fokus pada uji coba bersama para operator,” tuturnya kepada DailySocial.

Ledakan konsumsi data

Adopsi dan konsumsi konten digital di Indonesia terpantau tinggi dan terus meningkat / Unsplash
Adopsi dan konsumsi konten digital di Indonesia terpantau tinggi dan terus meningkat / Unsplash

Sebagaimana disampaikan di awal, 5G merupakan investasi untuk bersaing di pasar global. Kita tidak perlu mengulang ketika 3G masuk Indonesia dan butuh waktu lebih dari 10 tahun untuk mendorong penetrasinya.

Pembangunan ekosistem sebagai langkah awal layak menjadi prioritas pemerintah jika ingin tetap konsisten dengan visi ekonomi digitalnya. Dan sektor industri dapat dilibatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi digital, tak hanya startup dan korporat saja.

Di sisi lain, urgensi untuk menerapkan 5G semakin tak terelakkan mengingat konsumsi data internet di Indonesia terus meningkat. Dengan populasi mencapai lebih dari 250 juta, ledakan data dapat terjadi sejalan dengan semakin masifnya tren penggunaan layanan berbasis video.

Di era di mana konten bergerak menjadi primadona, ratusan juta orang streaming video dan musik secara bersamaan. Peningkatan konsumsi data yang sangat masih disebut dapat mengganggu pita spektrum yang semakin padat.

Hal ini diamini oleh Ketua Umum Asosiasi IoT Indonesia Teguh Prasetya saat menyoroti urgensi implementasi 5G. Menurutnya, permintaan pengguna terhadap aplikasi yang membutuhkan bandwidth tinggi, latensi rendah dan kecepatan tinggi akan meningkat dalam tiga tahun ke depan. Ini tak hanya di lingkungan perumahan saja, tetapi juga kawasan industri dan kota besar.

Hal lain yang disoroti adalah kesiapan dari ekosistem terkait, mulai dari penyedia perangkat, jaringan, aplikasi, maupun konten. Kesiapan ini berkaitan dari sisi investasi, baik dari belanja modal, biaya operasional dan SDM.

Maka itu, lanjut Teguh, pemerintah perlu mempertimbangkan penumbuhan ekosistem pendukung dalam negeri, mulai dari penyedia teknologi, sistem integrator, komunitas dan produsen dalam negeri yang dapat berperan dalam pengembangan 5G di Tanah Air.

“Menilik dari tiga hal di atas, saat ini tentunya konsentrasi dan prioritas utama kita adalah penyebarluasan broadband hingga semua lapisan masyarakat di Indonesia dengan mengoptimalkan teknologi 4G yang sudah ada di samping juga fixed broadband lainnya,” ungkapnya.

Optimalisasi use case

Sementara itu, Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li menyoroti pentingnya use case yang tepat pada implementasi 5G. Ia menekankan penciptaan use case yang tidak mudah digantikan 4G atau teknologi pendahulunya.

Sebagai contoh, aktivitas streaming. Teknologi 3G dikembangkan untuk bisa menjalankan streaming, sedangkan teknologi 2G hampir tidak untuk melakukan hal ini.

Namun, dalam konteks pengembangan IoT, ia menilai masih banyak developer yang menganut konsep pengembangan produk yang teknologinya dapat tersubtitusi.

“Mereka masih menerapkan konsep ‘best with 5G but work over 4G or 3G‘. Karena apabila mereka cuma memikirkan menciptakan teknologi yang dapat digunakan 5G, maka penetrasi pasar akan sangat lambat,” ucap Kenneth kepada DailySocial.

Konsep di atas yang menurutnya dinilai dapat memperlambat pertumbuhan 5G, terutama yang use case-nya berkaitan dengan IoT. Maka itu, ia menekankan untuk mengembangkan use case sesuai dengan kegunaan teknologi pada zamannya.

“Dengan semakin banyak use case primary seperti tadi, ke depannya [pengembangan use case] saya rasa akan baik,” tambahnya.

Pasca penyuntikkan dana, sinergi Telkom Group dan Roambee akan memperkenalkan produk baru di kuartal pertama 2020

Telkomsel Suntik Pendanaan Seri B1 ke Startup Logistik Berbasis IoT “Roambee”

Telkomsel melalui unit investasi Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) baru saja mengumumkan portofolio pendanaan baru kepada startup logistik berbasis IoT asal Amerika Serikat, yakni Roambee.

Roambee menerima pendanaan seri B1 dengan nominal yang tidak disebutkan. Sebelumnya di 2018, Roambee telah memperoleh pendanaan pertamanya lewat MDI Ventures yang diinisiasi Telkom Group.

“Saya belum bisa share detail sinerginya. Tapi ada [produk kolaborasi] yang dirilis di kuartal pertama,” ungkap CEO Telkomsel Mitra Inovasi Andi Kristianto dalam pesan singkatnya kepada DailySocial.

Sebagaimana disampaikan dalam keterangan pers, sinergi terhadap Roambee diharapkan dapat mendorong perusahaan di Indonesia untuk mengadopsi teknologi digital. Ditambah, baik Roambee dan Telkomsel memiliki solusi IoT yang dapat dikembangkan bersama.

Berdiri di 2013, Roambee mengembangkan solusi smart logistics dan asset monitoring berbasis IoT yang diperuntukkan bagi pelanggan enterprise, terutama yang memiliki sistem supply chain berbasis digital.

Sementara di Telkomsel, IoT telah menjadi salah satu fokus pengembangan bisnisnya dalam beberapa tahun terakhir. Strategi ini tak lain untuk memperkuat posisinya sebagai digital telco company di Indonesia.

Terlebih, teknologi 5G yang akan berperan penting terhadap pengembangan ekosistem IoT—meski masih melalui perjalanan panjang—akan segera menuju komersialisasi di Indonesia.

Hingga saat ini, Telkomsel telah menelurkan sejumlah  layanan baik melalui pengembangan sendiri maupun kolaborasi, antara lain Smart Connectivity, Fleet Sight, dan InTank. Untuk Fleet Sight, Telkomsel telah berkolaborasi dengan Pertamina dan Bluebird.

Pengembangan produk existing

Dihubungi terpisah, Head of Investor Relations & Capital Raising MDI Ventures Kenneth Li mengungkap bahwa sinergi ini akan diawali dengan pengembangan produk dari solusi existing milik Roambee. Pertimbangannya karena solusi tersebut dinilai sudah product-fit.

“Produknya tracking solutions untuk menyasar klien enterprise Telkomsel. Kalau [pengembangan] solusi baru, nanti [ada] ke depannya,” ujar Kenneth kepada DailySocial.

Menurut Kenneth, Roambee dipilih karena teknologinya dinilai telah terbukti, dan bahkan telah digunakan perusahaan besar ternama di dunia, seperti DHL, Deutch Telecom, dan Unilever. “Jadi, [teknologinya] sudah cukup strong,” tambahnya.

Selain itu, dengan jejak pendanaan pertama dari MDI Ventures di 2018, Roambee saat itu juga mengembangkan produk yang sama, seperti tracking solutions, untuk disinergikan dengan bisnis Telkom Group.

”Solusinya berjalan karena memang ada demand di pasar, terutama dari e-logistic yang membutuhkan real time monitoring of package on delivery,” tutupnya.

OPPO INNO DAY Jadi Panggung Demonstrasi Atas AR Headset, Router 5G, dan Beragam Inovasi Teknologi Lainnya

Menjelang pergantian tahun, OPPO menggelar event tahunan baru bertajuk OPPO INNO DAY guna mendemonstrasikan beragam inovasi teknologi yang mereka siapkan dalam menyambut tahun depan. Tema yang diangkat adalah “Create Beyond Boundaries”, dan seperti yang bisa kita tebak, sebagian besar inovasinya berkaitan dengan teknologi 5G, namun beberapa juga menyentuh ranah augmented reality (AR) dan Internet of Things (IoT).

Guna menyambut tren 5G, OPPO pun memperkenalkan router Wi-Fi pintar yang mendukung teknologi tersebut. Berbekal modem Snapdragon X55, router ini dapat dijejali kartu SIM 5G. Dari kacamata sederhana, menggunakan perangkat ini berarti konsumen dapat menikmati kecepatan teknologi 5G melalui jaringan Wi-Fi, sangat berguna seandainya mereka masih memakai ponsel 4G.

Router OPPO 5G CPE / OPPO
Router OPPO 5G CPE / OPPO

OPPO bilang router ini mampu mengakomodasi lebih dari 1.000 perangkat yang terhubung, baik dalam mode jaringan standalone (SA) maupun non-standalone (NSA), membuatnya ideal dijadikan sebagai hub untuk ekosistem smart home. Perangkat ini rencananya akan dipasarkan pada kuartal pertama tahun depan, kemungkinan besar berbarengan dengan smartphone flagship-nya yang mengunggulkan chipset terbaru Qualcomm.

Lanjut ke ranah berikutnya, OPPO turut mengumumkan OPPO AR Glass yang mengemas tiga kamera (dua fisheye dan satu standar), sensor time-of-flight (ToF) untuk mengukur kedalaman, serta diffractive waveguide, yang diyakini sebagai salah satu teknologi display terbaik untuk augmented reality. Juga menarik adalah bagaimana pengguna dapat menavigasikan konten tanpa bantuan controller.

OPPO AR Glass / OPPO
OPPO AR Glass / OPPO

Wujudnya mengingatkan saya pada Microsoft HoloLens ketimbang Magic Leap One, dan OPPO bilang perangkat ini telah mengandalkan teknologi 3D surround sebagai sistem audionya. Seperti router 5G-nya, AR Glass juga dijadwalkan hadir di pasaran pada kuartal pertama tahun depan.

Dalam acara yang sama, OPPO turut mengungkapkan rencananya untuk merilis smartwatch dan true wireless earphone di kuartal pertama 2020. Wujud sekaligus detail lengkapnya masih disimpan baik-baik oleh OPPO, namun mereka menjanjikan bahwa smartwatch-nya bakal berperan sebagai ekstensi dari smartphone dengan bekal kapabilitas AI dan deep learning.

Di segmen smartphone sendiri, OPPO memamerkan prototipe ponsel yang tak memiliki notch maupun kamera pop-up. Sebagai gantinya, kamera depannya disembunyikan di balik layar. Dilansir oleh GSM Arena yang berkesempatan mencoba, modul kameranya masih kelihatan saat area layar di sekitarnya menampilkan warna-warna cerah, tapi tidak demikian saat menampilkan warna gelap.

Dibandingkan generasi pertama teknologinya yang OPPO pamerkan di bulan Juni kemarin, teknologi under-screen camera terbaru ini dapat menyerap cahaya lebih banyak, dan tim riset OPPO pun terus menyempurnakan desain panel OLED yang digunakan demi memaksimalkan kinerja kamera depan tersembunyi ini.

OPPO AR Glass

Dari event ini sebenarnya bisa kita simpulkan bahwa OPPO tak lagi segan keluar dari zona nyamannya demi memperluas portofolio produknya. Tidak tanggung-tanggung, OPPO bahkan sudah menyiapkan anggaran riset dan pengembangan sebesar 50 miliar yuan (± Rp 99,5 triliun) untuk berbagai segmen teknologi, tidak melulu smartphone saja.

Pernyataan dari founder sekaligus CEO OPPO, Tony Chen, berikut ini adalah yang paling gamblang: “OPPO lebih dari sekadar produsen smartphone sejak awal. Pada kenyataannya, smartphone hanya sebatas pintu gerbang untuk menghadirkan berbagai macam portofolio layanan teknologi. Bagi OPPO dan bahkan seluruh industri, tidak akan ada perusahaan yang hanya berfokus pada smartphone saja.”

Sumber: 1, 2, 3, 4, 5, 6.