The ISP (Internet Service Provider) company, Biznet, has established its newest subsidiary, PrimaMedix, engaged in manufacturing specific products for the health industry. One of the launched products is a high-quality mask in which becomes a major necessity since the Covid-19 pandemic.
This is quite interesting information given the two companies are at odds with their industrial segmentation. PrimaMedix‘s President Director, Adi Kusma explained that public health is very important, especially during the ongoing pandemic.
Therefore, the company wants to take part in the current situation, not only through internet services but also by providing one of the medical equipment which has now become a major necessity, such as masks.
“Therefore, PT Prima Medix Nusantara or PrimaMedix is here to answer the people’s need for quality masks, which have become a major need, especially since the Covid-19 pandemic several months ago,” he explained, Tuesday (11/8).
PrimaMedix produces masks made in Clean Room Class ISO 8 to ensure the best quality and provide maximum protection from viruses and germs. This mask is made with the best materials and filtering technology.
There are two types of masks available to purchase, the 3-Ply Surgical Mask and the N95 Respiratory Mask, which certainly match the health requirements at affordable prices. Adi admitted that the PrimaMedix factory is capable of producing around 4 million masks per month and to be increased according to the demand.
These masks can be obtained through the PrimaMedix.net website, e-commrece platforms, and offline channels such as hypermarkets, supermarkets and minimarkets.
The next step for PrimaMedix
Adi mentioned two PrimaMedix’s head offices in Bali and Jakarta. However, the factory is located in Bali. He said they choose Bali because it offers a very good environment for the production process. In Bali, the team is assisted by individuals who are experts in their fields.
“Apart from that, Bali also has a strategic location that can make the distribution process run effectively and efficiently.”
In the future, Adi creates opportunities to expand to other health products aside from masks. “We will review society’s demand in the health industry in order to provide the best health solutions supported by the latest technology.”
In terms of companies, he continued, Biznet solution will be related to the use of technology, such as internet services, data centers and cloud computing to support daily business and operational activities.
During the pandemic, Biznet received an increase in new applications for subscription by up to 40%. The increase was triggered by the public’s call to do activities at home, therefore, a high-quality internet connection became a major requirement.
Currently, Biznet is available in more than 110 cities in Java, Bali, Sumatra, Batam, Kalimantan, and Sulawesi with a total network length of more than 45 thousand kilometers. It is said that until now, Biznet continues to expand its network so that customers can enjoy the best internet service.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Perusahaan ISP (Internet Service Provider) Biznet mendirikan anak usaha teranyar PrimaMedix yang bergerak sebagai manufaktur khusus industri kesehatan. Salah satu produk yang sudah dirilis adalah masker berkualitas tinggi yang menjadi kebutuhan utama semenjak pandemi Covid-19.
Pengumuman ini cukup menarik karena kedua perusahaan ini bertolak belakang dengan segmentasi industrinya. Kepada DailySocial, Presiden Direktur PrimaMedix Adi Kusma hanya menerangkan bahwa kesehatan masyarakat menjadi yang sangat penting, terutama di masa pandemi yang masih berlangsung.
Oleh karenanya, perusahaan ingin turut andil dalam memberikan dukungan tersebut, tidak hanya melalui layanan internet tetapi juga menyediakan salah satu alat kesehatan yang kini telah menjadi kebutuhan utama, yakni masker.
“Maka dari itu PT Prima Medix Nusantara atau PrimaMedix hadir untuk menjawab kebutuhan masyarakat akan masker berkualitas yang saat ini telah menjadi kebutuhan utama, khususnya semenjak pandemi Covid-19 beberapa bulan lalu,” paparnya, Selasa (11/8).
PrimaMedix memproduksi masker yang dibuat di dalam ruangan Clean Room Class ISO 8 untuk memastikan kualitas terbaik dan memberikan perlindungan maksimal dari virus dan kuman. Masker ini dibuat dengan bahan dan material terbaik dengan teknologi filtering terbaik.
Ada dua jenis masker yang sudah bisa dibeli, yakni Surgical Mask 3-Ply dan Respiratory Mask N95 yang dipastikan memenuhi persyaratan kesehatan dan harga terjangkau. Adi mengaku pabrik PrimaMedix mampu memproduksi sekitar 4 juta masker per bulan dan dapat ditingkatkan sesuai kebutuhan di lapangan.
Masker ini dapat diperoleh melalui situs PrimaMedix.net, platform e-commrece, dan channel offline seperti hypermarket, supermarket, dan minimarket.
Masa depan PrimaMedix
Adi menerangkan PrimaMedix memiliki dua kantor pusat yang ada di Bali dan Jakarta. Namun pabriknya berlokasi di Bali. Menurutnya pemilihan lokasi ini lantaran Bali menawarkan lingkungan yang sangat baik untuk proses produksi. Di sana pun, tim dibantu oleh individu-individu yang ahli di bidangnya.
“Selain itu, Bali juga memiliki lokasi yang strategis sehingga proses distribusi produk masker kami pun dapat berjalan dengan lebih efektif dan efisien.”
Ke depannya, Adi membuka peluang untuk perluas ke produk kesehatan lainnya sehingga tidak hanya produksi masker saja. “Kami akan melihat kebutuhan masyarakat pada industri kesehatan agar dapat memberikan solusi kesehatan terbaik yang didukung dengan teknologi terkini.”
Dukungan Biznet untuk perusahaan, sambungnya, akan berkaitan pada pemanfaatan solusi yang dihadirkan Biznet seperti layanan internet, data center, dan cloud computing untuk mendukung kegiatan bisnis dan operasional sehari-harinya.
Biznet sendiri selama pandemi mendapat kenaikan permohonan baru untuk berlangganan hingga 40%. Kenaikan tersebut dipicu oleh himbauan masyarakat untuk beraktivitas di rumah, sehingga koneksi internet yang berkualitas pun menjadi kebutuhan yang utama.
Saat ini Biznet telah tersedia di lebih dari 110 kota di Pulau Jawa, Bali, Sumatera, Batam, Kalimantan, dan Sulawesi dengan total panjang jaringan mencapai lebih dari 45 ribu kilometer. Disebutkan hingga saat ini Biznet terus memperluas jaringan agar pelanggan bisa menikmati layanan internet terbaik.
Penyedia layanan internet GIG, sebagai bagian bisnis Indosat, terus berbenah untuk bisa lebih banyak mengakuisisi pengguna. Selain memperkenalkan berbagai inovasi layanan, GIG juga melakukan perubahan dari sisi manajemen untuk meningkatkan penetrasi ke pasar-pasar yang relevan.
Beberapa inovasi yang dikenalkan GIG antara lain GIG 2Go, sebuah layanan home fiber Wi-Fi dengan metode pembayaran pra bayar. Layanan yang diklaim sebagai home fiber Wi-Fi prabayar pertama di Indonesia. Ada juga GIG Space sebagai pusat layanan GIG yang memberikan pelayanan berupa penjualan dan registrasi, pembayaran dan customer service.
GIG juga memperkenalkan nexGIG, layanan home IPTV dengan mengusung keunggulan kecepatan bandwith yang terpisah dengan layanan internet dan dengan pilihan kanal yang beragam, seperti kanal sepakbola internasional.
Dalam usahanya terus mengembangkan layanan dan memperkuat penetrasi pasar, GIG juga melakukan perubahan di jajaran manajemen dan aktif dalam merekrut talenta baru. Yang baru adalah menggaet mantan Business Development Director Grab Indonesia Bayu Seto untuk bergabung dan mengisi posisi Chief Commercial Officer.
Bayu akan mengemban tugas untuk mengelola pemasaran, sales, product business development dan customer experience GIG. Bergabungnya Bayu diharapkan mampu meningkatkan penetrasi GIG.
“Untuk lebih meningkatkan penetrasi GIG ke pasar-pasar relevan, Indosat Ooredoo & IM2 telah melakukan penyegaran pada jajaran top manajemen di perusahaan,” terang CEO GIG Hari Sukmono.
Menanggapi posisi barunya, Bayu cukup yakin bisa membawa GIG semakin berkembang dan memperkuat penetrasi pada pasar-pasar terkait.
“Saya sangat antusias dapat bergabung dalam perusahaan penyedia layanan internet terbaik di tanah air. Di tengah persaingan kompetitif ini, saya yakin dapat membawa GIG untuk semakin berkembang dan memperkuat penetrasi pada pasar terkait,” terang Bayu.
Sebelum mendapuk Bayu sebagai CCO, GIG juga memperkuat jajaran top management sejak Q2 2018 dengan bergabungnya Yune Marketatmo sebagai CTO.
Perusahaan penyedia layanan internet Biznet mengungkapkan kucuran dana investasi yang bakal digelontorkan tahun ini sebesar US$100 juta untuk pembangunan jaringan fiber optic hingga 25 ribu km, dibandingkan posisi tahun lalu mencapai 18 ribu km. Angka invesstasi bisa dibilang meningkat dibandingkan kucuran investasi yang dilakukan perusahaan pada 2015, diklaim sebesar US$70 juta.
Dari target tersebut, Biznet mengaku telah merampungkan sebagian proyek pembangunan dengan penambahan 2 ribu km. Dengan demikian, Biznet telah memiliki jaringan hingga 20 km mencakup di lebih dari 100 kota di Jawa, Bali, Sumatera, dan Batam.
“Kami kucurkan investasi untuk pembangunan fiber optic sekitar US$100 juta. Kami bentuk jaringan yang berbentuk ring, mendekati jaringan yang sudah kami bangun sebelumnya agar tidak ada degradasi layanan. Ditargetkan pada akhir tahun ini bisa capai 25 ribu km, tahun lalu sebesar 18 ribu km,” ucap Brand Manager Biznet Gitanissa Laprina, Kamis (8/6).
Adapun saat ini, Biznet masih memproses pembangunan jalur backbone yang dilakukan dalam beberapa jalur seperti: Jalur Semarang-Kudus-Purwodadi-Bojonegoro-Gresik-Surabaya, Jalur Purwokerto-Kebumen-Purworejo-Yogyakarta, dan Jalur Kepanjen-Lumajang.
Gitanissa juga menargetkan adanya penambahan pengguna, diharapkan bisa mencapai 450 ribu pengguna sampai akhir tahun ini dari posisi saat ini sekitar 400 ribu pengguna home pass.
Target Biznet Gio Cloud
Dalam kesempatan yang sama juga hadir pihak dari salah satu anak usaha Biznet yakni Biznet Gio Cloud, perusahaan patungan dengan Internet Initiative Japan Inc (IJC). CEO Biznet Gio Dondy Bappedyanto mengungkapkan saat ini pihaknya banyak melakukan inisiatif bisnis baru dalam rangka memperbesar layanannya, di antaranya menambah tiga lokasi server
Satu lokasi yang bakal segera diresmikan berada di MidPlaza, Jakarta pada September 2017. Dua lokasi lainnya masih dalam tahap diskusi. Sementara ini, Biznet Gio Cloud baru memiliki satu lokasi yang ada di Technovillage, Cimanggis.
“Kami rencanakan server Biznet Gio bakal berada di seluruh Biznet Pop yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk sementara ini, kami targetkan total akhir server yang kami miliki berjumlah empat,” ucap Dondy.
VP Sales and Marketing Biznet Gio Cornelius Hertadi menambahkan keberadaan tambahan server menjadi selling point Biznet Gio Cloud dalam menjamin keberlangsungan layanan terus berjalan. Sesuai dengan visi perusahaan yang ingin menjadi layanan cloud computing yang dapat diandalkan dan aman.
“Dengan adanya dua lokasi server, ada redundant jaminan tidak akan terputus. Ketika terjadi kejadian yang tidak menguntungkan konsumen, mereka bisa langung otomatis backup dan server tetap langsung nyala.”
Hal lainnya yang sedang disiapkan Biznet Gio Cloud adalah penyiapan ISO 27001 untuk standar keamanan informasi, melengkapi sertifikasi yang sudah dipegang perusahaan yakni Payment Card Industri Data Security Standard (PCI DSS). Kehadiran tambahan sertifikasi ini akan mengukuhkan tingkat percaya diri perusahaan dalam menggaet konsumen.
“PCI DSS dan ISO 27001 itu adalah dua sertifikasi standar yang umumnya dimiliki perusahaan cloud computing di luar negeri. Di Indonesia sendiri, baru kami yang memiliki PCI DSS, sertifikasi ini sangat berguna untuk menggaet perusahaan fintech. Lima di antaranya sudah memakai layanan kami karena mereka memerlukan penyimpanan data finansial yang penting.”
Perusahaan juga berencana untuk meluncurkan produk baru untuk menjangkau konsumen dari kalangan UKM menengah ke bawah pada September 2017 mendatang. Selama dua tahun berdiri, Biznet Gio Cloud baru menjangkau UKM skala menengah ke atas. Jumlahnya diperkirakan sekitar 300 perusahaan.
Dibandingkan lima tahun yang lalu, ukuran filegame terkini sangatlah besar, bisa mencapai berpuluh-puluh gigabyte hanya untuk satu game saja. Akan tetapi gamer sekarang tidak hanya dituntut untuk memiliki kapasitas penyimpanan yang besar, tetapi juga koneksi internet yang memadai, sebab membeli game secara digital jauh lebih praktis ketimbang fisik.
Steam seperti yang kita tahu adalah salah satu platform distribusi game yang paling populer sejauh ini berkat koleksinya yang cukup lengkap. Tak hanya itu, Steam juga menjadi pilihan apabila Anda hendak bermain Dota 2, mengingat semuanya berjalan pada server-nya.
Di Indonesia, salah satu alasan utama mengapa Steam bisa populer adalah Dota 2. Tren esport yang setiap harinya semakin bertumbuh juga turut didukung oleh besarnya jumlah pemain Dota 2 di Indonesia. Saya memang tidak punya jumlah pastinya, akan tetapi setiap kali bermain di server Asia Tenggara minimal saya selalu menjumpai satu player dari Indonesia, dan orangnya pun tidak pernah sama.
Namun di balik pesatnya pertumbuhan tren esport tanah air, masih ada pertanyaan lain terkait faktor pendukungnya: apakah koneksi internet di Indonesia bisa mengatasi tuntutan besar dari para gamer, salah satunya mengunduh game berukuran masif dengan cepat? Untuk itu, kita bisa merujuk pada statistik yang dikumpulkan oleh Steam sendiri.
Di situ kita bisa melihat penyedia layanan internet mana yang paling terbukti kecepatannya selama mengunduh game dari Steam, dan ternyata MyRepublic – atau yang berbadan perusahaan PT. Eka Mas Republik – yang menduduki posisi teratas. Selisihnya juga cukup jauh, dengan rata-rata hampir 17 Mbps dibandingkan pesaing-pesaingnya yang berada di kisaran 8 – 9 Mbps.
Tanpa bermaksud mempromosikan atau menjatuhkan ISP (Internet Service Provider) tertentu, MyRepublic yang ekspansi layanannya di Indonesia tergolong baru ini ternyata bisa dibilang cukup mumpuni. Bukan cuma di Steam, MyRepublic ternyata juga unggul di Netflix, berdasarkan Speed Index yang diterbitkan oleh layanan streaming film tersebut.
Fakta ini sebenarnya malah bisa dijadikan catatan bagi ISP lain untuk meningkatkan kualitas layanannya masing-masing. Ujung-ujungnya tetap konsumenlah yang diuntungkan, dan di saat yang sama esport di tanah air bisa terus berkembang dengan pesat.
Grup Lippo mendirikan bisnis baru penyedia layanan internet berbasis satelit (Lippo Star 1) bernama First Net. Layanan tersebut didesain untuk menyediakan akses internet di kawasan pedalaman dan daerah terpencil di Indonesia. First Net hadir di bawah bendera Delta Nusantara Network, anak perusahaan Grup Lippo First Media, yang berkolaborasi dengan operator satelit lokal Adiwara.
Layanan First Net telah meluncur sejak Desember 2015 silam. Sejak peluncuran perdananya, perusahaan mengklaim telah melakukan pembicaraan dengan beberapa klien potensial. Beberapa di antaranya bergerak di sektor perkebunan kelapa sawit, pendidikan (sekolah), dan maskapai penerbangan, terutama di daerah Sumatera Selatan, Pulau Nias, dan Papua.
Direktur Delta Nusantara Networks Aryanto Koedinar menjanjikan bahwa First Net dapat menyediakan akses internet berkecepatan 2-20 Mbps dengan memanfaatkan teknologi Very Small Aperture Terminal (VSAT). Terkait dengan biaya, layanan bulanan diatur pada kisaran harga hingga Rp 15 juta berdasarkan situs resminya.
VSAT mengacu pada stasiun penerima sinyal dari satelit dengan antena penerima berbentuk piringan yang berukuran kurang dari tiga meter. Fungsi utamanya adalah untuk menerima dan mengirim data ke satelit, contohnya pada transaksi kartu kredit atau polling. Kelebihannya, VSAT memiliki kemampuan untuk digunakan pada benda bergerak, seperti pada kapal laut.
Dikutip dari Jakarta Globe, Ariyanto mengatakan, “Masih ada peluang yang sangat besar untuk perusahaan-perusahaan internet di Indonesia [dan] VSAT dapat mengisi kesenjangan di daerah terpencil yang memiliki infrastruktur menantang.”
“Kami dapat menjangkau daerah-daerah terpencil yang biasanya sulit dijangkau oleh [layanan] kabel. Jadi, perusahaan perkebunan atau perusahaan tambang dapat menggunakan layanan kami, begitu juga sekolahan dan rumah sakit,” tambahnya.
Delta Nusantara Networks sendiri adalah anak perusahaan First Media yang berada di bawah payung Grup Lippo. Sejauh ini, Delta telah menginvestasikan dana sebesar $1,5-2 juta dalam rangka mempersiapkan setidaknya dua transponder satelit untuk layanan, yang akan diarahkan lebih untuk klien perusahaan.
Hadirnya layanan First Net, yang berkolaborasi dengan operator satelit lokal Adiwara, akan bersaing dengan IM2 dari Indosat, Metrasat, dan IndiHomeSky. Ketiga layanan tersebut juga menggunakan teknologi VSAT yang mirip dalam menawarkan akses Internet berbasis satelit.
4G/LTE, bagaimana kabarnya di Indonesia? Seperti yang kita ketahui, teknologi jaringan seluler berkecepatan tinggi ini masih belum lama hijrah di tanah air, dan cakupannya pun masih belum seluas jaringan 3G. Namun apakah pertumbuhannya akan terus berjalan lambat seperti itu?
Sama sekali tidak. Buat yang sudah lebih dulu pesimis, ketahuilah bahwa seminggu ini saja ada begitu banyak kabar seputar perkembangan jaringan 4G/LTE di Indonesia. Tanpa perlu berbasa-basi, simak ringkasan yang kami ambil dari beberapa sumber berikut ini.
4G/LTE 1800 MHz menggantikan 900 MHz
Mulai awal bulan Juli kemarin, sejumlah operator telah melangsungkan uji coba jaringan 4G/LTE di frekuensi 1800 MHz. Menkominfo Rudiantara sendiri menegaskan bahwa ekosistem di band (pita) 1800 MHz ini lebih optimal ketimbang 900 MHz. Pada kesempatan lain, perwakilan XL Axiata juga sempat memaparkan bahwa implementasi jaringan 4G/LTE di frekuensi 1800 MHz ini memungkinkan pelanggan untuk mencapai kecepatan akses data hingga 100 Mbps.
Pertanyaan yang terpenting, kapan kita bisa menikmatinya? Sang Menkominfo sendiri memastikan bahwa pembangunan infrastruktur 4G/LTE 1800 MHz akan selesai akhir tahun ini juga. Dengan kata lain, awal tahun 2016 semua kawasan Indonesia sudah bisa dijangkau oleh jaringan 4G/LTE dalam frekuensi tersebut.
Selagi membahas soal implementasi teknologi 4G/LTE, silakan Anda simak survei pendapat masyarakat terkait hal tersebut. Versi singkatnya: hampir semua responden melihat implementasi 4G/LTE sebagai hal yang positif, meski baru seperempat dari mereka yang sudah menjajalnya.
Menyambung soal jaringan 4G/LTE 1800 MHz di atas, rupanya ada keputusan menarik yang diambil Telkomsel dan XL. Keduanya memilih menguji layanannya di kawasan Indonesia Timur; Telkomsel di Makassar, sedangkan XL di Lombok. Tentu saja ada pertimbangan khusus terkait tingkat penggunaan dan semacamnya, namun saya melihat langkah ini bisa jadi merupakan cara mereka menunjukkan bahwa tidak cuma Indonesia bagian barat saja yang ‘diperlakukan seperti raja,’ mengingat performanya di bagian barat sudah cukup oke, seperti yang sempat TRL coba langsung awal bulan Juni kemarin.
Di saat yang sama, XL rupanya juga punya ‘jurus’ untuk menggaet lebih banyak konsumen layanan 4G/LTE-nya. Di kawasan-kawasan yang masih didominasi perangkat 2G, XL menawarkan program bundling handset 4G. Intinya, mengarahkan konsumen agar beralih dari 2G langsung ke 4G LTE.
Bagaimana dengan Indosat? Selain berupaya untuk terus memperluas jaringan 4G/LTE-nya, Indosat juga punya cara tersendiri untuk menarik minat konsumen. Caranya adalah dengan menyediakan berbagai macam konten yang bisa di-stream dengan maksimal menggunakan layanan 4G/LTE. Konten-konten tersebut dikemas dalam tiga fasilitas khusus yang mereka namai Arena Musik, Arena Video dan Arena Game.
Lain halnya dengan Tri. Operator bermaskot robot tersebut hingga kini belum menawarkan layanan 4G/LTE. Kendati demikian, petinggi Tri menjelaskan bahwa mereka lebih memilih menunggu proses penataan frekuensi 1800 MHz rampung secara menyeluruh di akhir tahun 2015. Barulah setelah itu, mereka akan segera menjalankan komersialisasi layanan 4G/LTE secara bertahap di sejumlah kota.
Beralih ke pemain yang dulunya menjalankan layanan CDMA, Smartfren akan beralih dari CDMA dengan menghadirkan layanan 4G/LTE, memanfaatkan dua frekuensi yaitu 2300 MHz dan 850 MHz. Pelanggan CDMA akan tetap dilayani sampai beralih ke 4G/LTE. Meski berbeda sendiri, performanya tidak kalah, terbukti dari hasil pengujian TRL beberapa minggu yang lalu. Menurut rencana layanan 4G/LTE Smartfren ini akan rilis komersil pada semester 2 2015 di 22 kota.
Nama-nama besar operator di atas memang selangkah lebih awal, tapi bukan berarti monopoli pasar bisa diterapkan begitu saja. Sekedar mengingatkan, layanan 4G/LTE pertama di Indonesia justru berasal dari operator non-mainstream, yakni Bolt, pada akhir tahun 2013 kemarin.
Nah, kesuksesan Bolt ini mungkin saja memicu sosok-sosok baru lain untuk mengikuti jejaknya. Yang terbaru adalah PT Berca Hardayaperkasa. Mereka baru saja memperkenalkan layanan 4G/LTE yang mereka beri nama Hinet. Sebelum ini, perusahaan yang sama telah memiliki layanan berteknologi WiMAX, akan tetapi pada akhirnya mereka harus mengikuti tren dan mengadopsi teknologi 4G/LTE yang memang dinilai jauh lebih baik ketimbang WiMAX.
Hinet sendiri memanfaatkan teknologi 4G/LTE berbasis time-division duplex (TDD) di frekuensi 2,3 GHz, lain daripada yang lain. Terlepas dari itu, Hinet menawarkan kecepatan internet maksimum 125 Mbps dalam harga yang kompetitif. Satu catatan tambahan, Hinet hanya menawarkan layanan 4G/LTE dalam bentuk data saja, tanpa fungsi seluler, sama seperti yang diterapkan Bolt.
Kalau Hinet menyasar konsumen perangkat mobile, tidak demikian dengan MyRepublic. Perusahaan asal Singapura ini sudah resmi beroperasi di tanah air dan menawarkan layanan internet rumahan dengan harga yang amat sangat berani. Yang paling murah, ada paket 10 Mbps dengan harga Rp 200 ribu – tidak terlalu istimewa – namun Anda akan terkejut melihat paket termahalnya, yaitu 300 Mbps seharga Rp 900 ribu saja!
Diwacanakan pada awal tahun ini, regulasi Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) akhirnya disahkan. Apa artinya? Gampangnya, mulai 1 Januari 2017, smartphone 4G/LTE berbasis frequency-division duplex (FDD) yang ingin masuk ke pasar Indonesia haruslah memiliki nilai TKDN sebesar 30%.
Masih bingung? Well, pada dasarnya, smartphone–smartphone tersebut haruslah mengemas komponen-komponen buatan dalam negeri. Meski demikian, komponen-komponen yang dimaksud tidak harus berupa hardware, tetapi juga software. Dengan demikian, langkah yang diambil vendor pun bisa bermacam-macam.
Jadi, kalau memang membangun pabrik perakitan di sini tidak memungkinkan, suatu vendor bisa saja berfokus pada pengembangan software dengan cara menanamkan investasi atau menuntun dan membimbing para developer lokal sehingga ekosistem aplikasi buatan dalam negeri bisa semakin berkembang.
Smartphone 4G/LTE tidak lagi mahal
Kalau beberapa tahun yang lalu 4G/LTE adalah salah satu fitur unggulan smartphone kelas atas, sekarang anggapan itu sudah tidak berlaku lagi. Tidak percaya? Coba lihat Bolt Powerphone E1. Spesifikasinya lumayan, dan sistem operasi Android yang dijalankan pun sudah merupakan versi terbaru. Namun yang terpenting, dukungan 4G/LTE ia kemas dalam harga hanya Rp 1 juta.
Oke, Bolt mungkin bisa melakukannya karena memiliki layanan internet sendiri, bagaimana dengan vendor lainnya? Well, Anda bisa melirik Himax, yang baru saja menggebrak pasar dengan smartphone 4G/LTE berharga amat terjangkau. Himax Pure 3S namanya, dan pemasarannya baru saja dimulai pada tanggal 8 Juli 2015 ini. Berapa harganya? Rp 1,4 juta, dan saya yakin Anda akan sedikit tidak percaya melihat spesifikasi hebatnya.