Setelah resmi masuk ke Malaysia, startup payment gatewayXendit akan melanjutkan ekspansi berikutnya ke sejumlah negara di Asia Tenggara dalam rangka mewujudkan ambisi sebagai pemain terdepan di segmen ini. Malaysia merupakan ekpansi kedua Xendit setelah masuk ke Filipina sejak 2020.
“Kami bangga dengan produk kami. Misi kami adalah mengembangkan produk ini ke berbagai negara ASEAN. IPO bukan wacana sekarang tapi suatu hari. Fokus 2023 dan beberapa tahun ke depan masih ke regional, mau bawa produk dari Indonesia ke luar negeri,” terang Co-founder dan COO Xendit Tessa Wijaya dalam media gathering, Kamis (12/1).
Hanya saja, Tessa enggan memaparkan lebih rinci rencana strategis mengenai negara berikutnya yang tengah dijajaki. Ia menjelaskan ada sejumlah alasan strategis di balik keputusan perusahaan memilih Malaysia sebagai negara kedua yang dirambah, termasuk juga alasan memilih Payex sebagai mitra lokalnya.
Pertama, di Negeri Jiran tersebut punya kesamaan dari preferensi metode pembayaran yang dipilih. Salah satunya adalah memindai kode QR yang kini makin populer di Malaysia, hal yang sama juga terjadi di Indonesia dengan kehadiran QRIS. Kondisi tersebut memvalidasi bahwa teknologi yang sudah dibangun Xendit di Indonesia dapat diboyong ke sana agar terjadi pemerataan solusi gerbang pembayaran yang sama antara UMKM di Malaysia dengan Indonesia.
Kedua, dari Payex itu sendiri, startup yang disuntik Xendit, merupakan perusahaan sejenis yang baru berdiri sejak dua tahun lalu. Startup ini fokus pada penyediaan solusi gerbang pembayaran untuk UMKM, sejalan dengan misi Xendit yang ingin mendukung UMKM dengan menyediakan solusi pembayaran digital di Asia Tenggara.
Kesempatan tersebut membuka banyak potensi sinergi yang bisa dilakukan untuk mengembangkan UMKM di sana sedini mungkin agar dapat tumbuh bersama. “Terakhir, yang terpenting mereka itu punya company culture yang sama dengan kami. Kami sangat pentingkan itu karena misalkan punya culture yang selaras akan sangat gampang mengembangkan ide-ide yang ada.”
Sebagai catatan, ekspansi ke Malaysia ini merupakan tindak lanjut dari pengumuman investasi dari Penjana Kapital untuk Xendit pada 2021, melalui program Dana Penjana Nasional. Sebagai langkah strategis pertamanya di dalam negeri, Xendit telah mengumumkan investasi pada pemain fintech lokal, Payex – penyedia gerbang pembayaran berlisensi Bank Negara Malaysia. Tidak disebutkan nominal dana yang diberikan dari Xendit.
Pencapaian Xendit
Dalam kesempatan yang sama, perusahaan secara grup juga mengumumkan pencapaian bisnisnya selama setahun kemarin. Disebutkan telah memproses lebih dari 200 juta transaksi pembayaran digital di Indonesia dengan nilai total volume transaksi lebih dari $20 miliar (sekitar Rp300 triliun). Angka ini naik 30% secara year-on-year dibandingkan tahun sebelumnya.
Adapun, untuk jumlah merchant aktif yang dilayani Xendit Group mencapai 3.500 pelaku usaha, terdiri dari 70% merchant UMKM dan 30% perusahaan. Dari segi fitur, ada sejumlah peningkatan yang dilakukan perusahaan untuk meningkatkan kepuasan merchant.
Di antaranya, menyediakan pembayaran berkala (recurring payments) untuk permudah merchant dalam pembayaran melalui kartu kredit, e-wallet, debit langsung secara teratur. Kemudian, peningkatan autentikasi yang diperbarui untuk membantu merchant, menerima pembayaran melalui kartu kredit dengan aman, dan tokenisasi dompet elektronik demi menciptakan alur pembayaran yang lebih nyaman bagi pelanggan dan meningkatkan tingkat keberhasilan pembayaran
Dari data internal, juga dipaparkan mengenai tren pembayaran digital di Indonesia untuk menggambarkan frekuensi penggunaan layanan Xendit Group oleh merchant. Temuan tersebut adalah:
1.Virtual Account menjadi metode pembayaran paling populer.
Dari 200 juta transaksi yang diproses, sebanyak 36% di antaranya adalah transfer Virtual Account (VA). Selanjutnya, penggunaan uang elektronik dan kartu kredit menempati urutan kedua dan ketiga sebagai metode pembayaran terpopuler di merchant Xendit.
2.Paylater catatkan pertumbuhan 10 kali lipat.
Penggunaan fasilitas pembayaran paylater semakin diminati konsumen, terbukti dari volume pembayaran yang meningkat hingga 10 kali lipat, diikuti dengan kartu kredit (6 kali lipat), uang elektronik (5 kali lipat) dibandingkan tahun sebelumnya.
3.Sektor wisata dan hiburan bangkit signifikan pasca-pandemi.
Xendit Group mencatatkan sektor pariwisata tumbuh tertinggi (181,4%), kemudian disusul hiburan — gaming, tiket pertunjukan, tempat wisata (132,5%), dan restoran (68,4%). Sektor-sektor ini mengalami lonjakan transaksi sepanjang November-Desember 2022, memperlihatkan bahwa konsumen kembali membelanjakan uang untuk keperluan hiburan dan rekreasi pasca berakhirnya pandemi.
4.Transaksi tertinggi berada di sektor bisnis jasa.
Dari sekian banyak merchant Xendit Group, data menunjukkan bahwa sektor yang mencatatkan frekuensi transaksi paling banyak adalah jasa (96 juta transaksi), layanan finansial (61,3 juta transaksi), dan produk digital —voucher game, e-book (56 juta transaksi).
5.Penggunaan QRIS terus meningkat.
Selama 2022, Xendit Group telah memfasilitasi lebih dari 20 juta transaksi dengan volume sebesar $150 juta (sekitar Rp2 triliun). total volume transaksi ini meningkat 17,25% dari tahun sebelumnya.
Bertujuan menemukan peluang investasi berdampak pada sektor-sektor baru, Indies Capital Partners dan AC Ventures (ACV) menandatangani kesepakatan investasi lintas negara dengan Penjana Kapital. Kerja sama ini mencakup peluang investasi bersama melalui existing fund maupun terbaru.
Penandatanganan Memorandum of Cooperation (MoC) ini disaksikan oleh Perdana Menteri Malaysia Dato’ Seri Anwar Ibrahim serta Menteri Perdagangan Internasional dan Senator Industri Tengku Datuk Seri Utama Zafrul Tengku Abdul Aziz di Jakarta.
Sebagai informasi, Penjana Kapital merupakan bagian dari inisiatif pemerintah Malaysia untuk mendorong pengembangan startup teknologi.
“Melalui kerja sama lintas negara, kami memiliki peluang untuk memasuki pasar baru, mengakses sumber modal dan keahlian, serta mendorong inovasi dan pertumbuhan di kedua pasar,” kata Founding Partner ACV dan Managing Partner Indies Capital Partners Pandu Sjahrir.
Selain investasi, kesepakatan ini juga mencakuppertukaran informasi, jaringan, dan teknologi untuk pengembangan startup di Indonesia dan Malaysia pada sejumlah sektor utama, antara lain data center, pendidikan, hospitality, mobility, dan pengelolaan limbah.
Bina relasi
Pandu menambahkan bahwa Penjana Kapital, Indies Capital Partners, dan ACV merupakan pemain utama dalam lanskap investasi Indonesia dan Malaysia. Kerja sama ini diharapkan dapat mempererat hubungan ekonomi antara kedua negara dan mempromosikan keterhubungan kawasan di Asia Tenggara.
Baik Indonesia dan Malaysia telah menunjukkan komitmen untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Berdasarkan data dari Malaysia External Trade Development Corporation (Matrade), total nilai perdagangan antara Malaysia dan Indonesia naik 43,5% secara YoY menjadi RM95,1 miliar ($21,6 miliar) pada 2021.
Total ekspor Malaysia ke Indonesia naik 32,5% menjadi RM39,22 miliar ($6,9 miliar), sedangkan total impor naik 52,3% menjadi RM55,88 miliar ($12,7 miliar) pada periode yang sama.
Tambahan informasi, Indies Capital Partners merupakan pengelola kredit swasta di Asia Tenggara yang kini telah berkembang ke aset alternatif dengan dana kelola lebih dari $800 juta. Sementara, AC Ventures telah mengelola lebih dari $500 juta aset yang terbagi dalam lima fund.
Pada akhir 2022, AC Ventures telah mengumpulkan putaran pertama dana kelolaan kelima (Fund V) sekitar $162,5 juta atau setara Rp2,4 triliun yang sebagian besar berasal dari Limited Partner (LP) dana kelolaan sebelumnya. Sejauh ini, AC Ventures telah menyuntik investasi ke 22 startup selama sembilan bulan terakhir di 2022 melalui Fund V, termasuk SkorLife, KLAR, dan BRIK.
Digitalisasi telah memberi dampak yang cukup signifikan bagi perkembangan dunia investasi di tanah air. Penetrasi teknologi diyakini telah memperkecil entry barrier atau keadaan yang menghalangi orang untuk mulai berinvestasi. Mulai dari kehadiran platform teknologi hingga penyebaran konten literasi menjadi ‘bekal’ untuk para generasi muda memulai investasi.
DailySocial.id mengundang dua figur terkait untuk membahas kondisi industri investasi masa kini untuk para generasi muda Indonesia dalam sesi diskusi #SelasaStartup. Mereka adalah Head of IDX Marco Poetra Kawet dan Head of Financial Education Bibit Vivi Handoyo Lie.
Secara umum, investasi adalah ketika kita menempatkan sesuatu di masa kini dengan harapan bisa berkembang di masa depan. Hal ini termasuk berinvestasi pada diri sendiri. Terkait finansial, investasi sangat dipengaruhi oleh pemilihan instrumen yang tepat. “Instrumen investasi yang tepat akan membawa kalian mencapai tujuan finansial. Kalau tidak berkembang, berarti ada yang salah,” ungkap Marco.
Ada beberapa alasan mengapa banyak orang yang masih enggan untuk mulai berinvestasi. Pertama, anggapan bahwa investasi itu membutuhkan uang yang banyak. Kedua, proses berinvestasi dinilai rumit, ditambah banyak sentimen negatif disebabkan kasus investasi bodong yang banyak menimpa masyarakat awam.
Lain dulu, lain sekarang. Investasi masa kini sudah tidak lagi mengharuskan investor untuk datang secara langsung untuk setiap proses administratif. Peran regulator yang memungkinkan digitalisasi di sektor ini seperti eKYC berdampak signifikan bagi pertumbuhan dunia investasi masa kini. Evolusi dalam sektor ini sangat terbantu oleh infrastruktur digital, penetrasi internet, juga penggunaan smartphone.
Kontribusi platform teknologi
Kehadiran aplikasi wealthtech dengan multi-aset investasi diklaim menjadi salah satu faktor pendorong tren kenaikan investor ritel. Hal ini dikarenakan mereka dapat mengintegrasikan beberapa kelas aset untuk memperluas portofolio, mengawasi asetnya, dan membantu perencanaan untuk tujuan jangka panjang.
Berdasarkan data Bursa Efek Indonesia per 14 Oktober 2021, jumlah investor pasar modal telah tumbuh sebesar 489 persen mencapai 6,5 juta investor, dibandingkan pada akhir 2017 lalu yang masih di angka 1,12 juta. Hal ini juga didorong oleh meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap investasi.
Sebagai perwakilan IDX, Marco mengungkapkan bahwa pihaknya menyambut baik startup teknologi yang telah menyediakan platform investasi. Ia turut memaparkan informasi bahwa sekitar 80% dari total investor di pasar modal adalah generasi muda, rata-rata berumur di bawah 40 tahun.
“Peran generasi muda ini sangat besar. Dengan angka yang besar ini, tentunya membutuhkan dukungan dari semua stakeholder. Kita berharap semua stakeholder tetap comply dengan aturan yang ada. Kita beri keleluasaan sebisa mungkin untuk menggaet investor menggunakan berbagai platform dan social media yang ada,” ujarnya.
Bibit sendiri memiliki misi untuk mempermudah akses terhadap investasi, termasuk dengan kolaborasi bersama perusahaan teknologi lainnya. Salah satu partnernya adalah Bank Jago. Pihaknya ingin menciptakan jaringan seluas mungkin. Dengan kolaborasi, harapannya adalah bisa menciptakan fitur yang membuat investasi lebih memiliki value.
“Ke depannya, kami tidak hanya ingin mempermudah untuk para investor memulai, tetapi juga dalam memilih instrumen investasi yang tepat, serta dalam menjalani setiap prosesnya. Kita mau menghadirkan solusi yang scalable. Kita mulai dari Stockbit untuk saham, lalu kita hadirkan Bibit, untuk investor pemula,” ungkap Vivi.
Di Indonesia sendiri, selain Bibit, banyak platform yang menawarkan kemudahan berinvestasi untuk pemula seperti Moduit yang memang secara tegas menargetkan generasi muda sebagai sasarannya. Ada juga Ajaib yang belum lama ini menawarkan investasi aset kripto, salah satu instrumen yang juga tengah diminati masyarakat.
Penyebaran konten literasi
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia berada di level 38,03% pada 2019. Angka ini menunjukkan, dari setiap 100 jiwa penduduk hanya ada sekitar 38 orang yang memiliki pemahaman tentang lembaga keuangan dan produk jasa keuangan dengan baik. Dengan demikian terdapat 62 jiwa penduduk lainnya yang belum memiliki literasi keuangan.
Salah satu penggerak investasi yang cukup kuat adalah FOMO atau fear of missing out. Banyak orang yang latah dan akhirnya hanya ikut-ikutan. Meskipun hal ini bisa mencemplungkan mereka di kolam investasi, namun tetap harus bijak dalam memilih. Marco menyampaikan pentingnya bagi investor untuk punya analisa sendiri.
Generasi jaman sekarang sudah sangat dimanjakan dengan platform-platform yang menyajikan data perusahaan yang sudah diproses oleh provider. Tidak seperti jaman dulu yang masih harus melihat laporan keuangan masing-masing perusahaan. Platform ini bisa digunakan sebagai referensi, namun tetap disesuaikan dengan preferensi pribadi dan profil risiko.
Demikian pula konten-konten terkait investasi dan literasi keuangan sudah semakin banyak beredar. Meskipun begitu, tetap harus selektif dalam menyaring informasi. Pastikan realibilitas dan legalitas dari sumbernya. Platform teknologi seperti Bibit juga menawarkan kelas gratis untuk mereka yang mau memperdalam pemahaman terkait investasi.
Edukasi mindset itu penting, jangan cuma cari cepat untung. Investasi ini konsepnya lebih ke marathon. Intinya, investasi membutuhkan komitmen dan usaha. “Kalau bisa tanpa usaha dan analisa apapun di saham, semua orang bisa kaya. Harus ada kemauan untuk belajar,” ujar Vivi.
Menurut Vivi, instrumen investasi yang cocok untuk pemula tidak bisa disamaratakan. Pilih investasi yang sesuai jangka waktu dan profil resiko. Saham memiliki profil risiko yang lebih tinggi, pergerakannya lebih volatile. Di sisi lain, obligasi lebih sederhana untuk jangka panjang. Begitu pula untuk jangka pendek, ada pilihan lainnya. Kembali pada pilihan instrumennya.
Instrumen seperti reksa dana bisa menjadi pilihan, karena ada profesional yang bantu mengelola. Selain itu ada juga Surat Berharga Negara (SBN) untuk pemula, namun dana harus disimpan dalam jangka waktu lama. Ada beragam strategi investasi mengacu pada instrumennya.
“Yang mau ditanamkan adalah, ada banyak pilihan instrumen investasi. Tidak masalah condong ke mana. Intinya, generasi muda berinvestasi di jalur yang tepat. Terkait porsinya, bisa disesuaikan,” ujar Marco.
Investasi di tengah isu resesi
Menurut Marco, Indonesia dewasa ini tengah berusaha mengubah pola dari saving society menuju investment society. Ekosistemnya sedang dan masih berlangsung. Bahkan di tengah isu resesi global, pertumbuhan ekonomi Indonesia disebut kian melejit, dengan kontribusi generasi muda pada 60% PDB negara.
Terkait investasi di tengah ancaman resesi ini, Vivi menegaskan bahwa dalam ekonomi dan pasar modal, naik turun itu biasa. Resesi sendiri bukanlah hal baru. Menurut perhitungannya, separah apapun penurunan yang terjadi, pasar akan selalu kembali ke nilai awalnya, bahkan lebih tinggi. Pesan Vivi, “Untuk yang sudah mulai investasi, kalau kalian khawatir, ingat lagi tujuan awal berinvestasi. Buat yang belum mulai, jangan biarkan isu resesi menjadi alasan untuk tidak mau memulai.”
Marco menambahkan ada empat indikator fundamental ekonomi. Pertama, harga tukar Rupiah dengan USD, rendah bukan berarti kita terpuruk. Ini menlibatkan dominasi global, Amerika menunjukkan itu dengan pengaruh USD. Kedua, terjadinya inflasi yang kemudian coba diredam dengan kenaikan suku bunga. Ketiga, cadangan devisa negara. Lalu, yang terakhir, non-performing loan (NPL) untuk menghitung kemampuan masyarakat dalam menyelesaikan tanggung jawabnya.
Menurut Marco, orang yang berhasil adalah orang yang bisa melihat momentum. “It’s about momentum. Anda mau jadi orang yang termakan isu atau mengambil momentum? Resesi bisa jadi pertimbangan, tetapi tidak menghalangi investasi,” tutupnya.
This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.
Edward Ismawan Chamdani started his journey in the tech industry through the best-known computer company in the world. For years, he had his shared interest in the financial sector and finally started his own software company. With a decade-long experience in the industry and one of the perks of being an analyst, he builds a fine network within the startup and investment scene.
In partnership with Andi S. Boediman, Ideosource was built from brick to brick. Now it is expanding beyond just a VC. His other initiative, Gayo Capital, partnered with Ishara Yusdian and Jefri Sirait focuses on revenue-generating companies whose businesses organically create impact to the world. Recently, he also started a venture builder named Starcamp Asia aiming to bridge the founder’s gap in the country.
Edward has a personal purpose to unlock the ultimate potential of Indonesia sustainably from various aspects mainly in leveraging human capital surplus and abundant natural resources via technology disruption and implementation. In order to achieve this mission, he encourages people to be more invested in the core issues, it is upstream investment.
Indonesia is the tech paradise of Asia, where technologically enabled startups can find fertile soil to grow and deliver impactful contributions to the developing nation’s problems. The President himself has announced the Nation’s Vision To be the Digital Energy of ASIA. An achievable vision as Indonesia has been the biggest economy in Southeast Asia, 8th biggest in the world, and in the middle of a massive digital transformation changing its young population from a nation of workers into digital-savvy talent taking over the world, one unicorn at a time.
Starting with mechanical engineering, grasping some financial background, and accidentally creating a VC, Edward has been learning during the process. He is currently serving as Managing Partner at Ideosource Venture Capital, Gayo Capital, and StarCamp – with a mission to incubate, invest and accelerate with a “Purpose”.
DailySocial is glad to have such an insightful and passionate discussion of Edward’s biggest dream to unlock Indonesia’s ultimate potential. Below is an excerpt of the conversation.
What do you think of Indonesia’s investment ecosystem nowadays?
It was early 2011 when we first started Ideosource, startup quality was quite green. There are limited sources for mentors, and events, let alone VCs, we’re all still learning. Every time we find startups with a legitimate business model, it’s still not clear how the investment process should be carried out. Years passed by and we finally see a sweet spot around 2014-2015, turns out our investment was fruitful.
Over time, Indonesia’s startup ecosystem is getting mature and one by one reached unicorn status. Rudiantara, who at that time still leading Indonesia’s Communication and Informatics Ministry, initiated the leaders of these tech giants to meet with global investors, and the progress is superb. Indonesia is getting broadened and better exposure in the global tech scene. In 2018, was held the first Nexticorn (Next Indonesian Unicorn) with a vision to step up the game for Indonesia’s startup scene.
Observing the startup scene in the last few months regarding the global meltdown, it is still very promising. In fact, this is the right time for them to start fundraising due to the projection of investment decline in 1-2 years ahead, especially for heavily impacted VCs with big-level funding. However, in general, it will not affect the whole ecosystem we still have a great potential growth story. Our market share remains huge in several sectors, including commerce, fintech, and edtech.
The most interesting is in healthtech. Previously, we have substantial issues with online prescriptions and Electronic Medical Records. Under the supervision of a tech-literate figure, there are more policies that support tech accessibility and adoption. The presence of the Peduli Lindungi app, telemedicine service, and government collaborations with healthtech companies are proven effective during this pandemic.
In addition, there are many other sectors yet to optimize, including forwarding, logistics, cross border trading. In terms of natural resources from agriculture to human capital. There are huge potential lies in B2B while people are focusing on B2C.
The thing is, most investments are engaged in the downstream sectors instead of the upstream side due to market availability and accessibility. Upstream investments may take extra effort as it is aimed at the root causes that are often identified by determining the most immediate and direct causes and working backward from there. In many cases, upstream action addresses social, economic and environmental conditions.
Ideosource grasps the experience of investing in the upstream sector with eFishery. It is resulting in the shifting of the whole value chain, from the unbankable to bankable fish farmers through thoroughly distributed information. This is the kind of ecosystem that will drive the whole sector. As it extends the business and continues to the processing level, it will lead to export and import and ends up in the country’s exchange.
It is not about the downstream sector did not have an impact, it is only limited to the additional income for the players. When we focus on the producers, we can use local resources for the country’s economic resilience. I think VCs should consider this investment angle.
You have a background in mechanical engineering, strong experience in the financing industry and currently serve as Managing Partner in two giant VCs. Can you share a bit of the transition?
Previously, I’ve been in a sales organization that handles industrial product distributors. Then, I moved to IBM and really got into the tech stuff. In my last year, I’ve been handling the financial sector (around “11 banking institutions), combining IBM’s solutions to advise banking customers.
In 2002, I co-founded a software company, and my evolution as a founder continue until I decided to exit in 2007. However, I was still around as a Director for several years up to 2010. After that, I’m not immediately started a new company. What I learn as I started my own company, the hardest part is to align the vision, mission, and chemistry with partners. It is bad enough when you meet the wrong partner.
My next journey is to be a business consultant, and the story gets better when I worked with Plasa.com. That is where I build a work-related relationship with Andi S. Boediman, the other Managing Partner in Ideosource. It was late 2010 when I meet a general partner of a big-enough Private Equity (PE), and he said then would be the perfect timing to start a VC. We did our research around 4-5 months to finally debuted with Ideosource. It was a simple analysis, in late 2010, 3g penetration is still around 30 million with the rapid growth of internet users. It was also the beginning of the e-commerce era.
Starting with mechanical engineering, grasping some financial background, and accidentally creating a VC, I’m learning during the process. The thing is, I learned that running a business, and generating cash flow with available funds for growth are totally different. A conventional business survives only with cash flow. Once I entered the VC scene, there are other perspectives. It is ok if you don’t make a profitable business at the beginning, as long as you are analyzing a certain business model in a sector that you can be sure to be a dominant player.
This kind of perspective makes me see there are totally two different worlds. Many people find it hard to understand that capital market, venture investment, and startup thesis, are totally different from conventional business. An interesting fact, the availability of funds will never lessen. It is just a matter of who can convince people with loaded bags of money to invest.
What are your hypotheses on the portfolios?
In terms of analyzing, it is relatively similar. First, we need to look at the founder’s quality, integrity, and so on. Sometimes, when the founder is approved, the fund is secured. Furthermore, we are to discuss the sector, business model, addressable market, and the target for several years. Also, is it attractive enough for the investors? Because liquidity can only work if the story is compelling for the next investors. We’ll be reluctant if there’s no story.
What is your biggest hardship during the business journey?
Hardships are inevitable. I previously mentioned the hardest part is finding the right partner. That is one of the reasons why I have several initiatives with different partners. Each of them has quite a distinct appetite, knowledge, and passion. Ideosource was a fruit of the seed that Andi Boediman and I planted a decade before. Our creativity doesn’t stop there, Andi has his shared interest with Ideosource Entertainment, while I’m nurturing more impact-initiated startups with Gayo Capital.
Along the way, we found that investing in the upstream sector has its own challenge. The founder gap is clear. The quality of founders in the upstream and downstream sectors is quite big, especially outside of Java Island. Recently, we’ve launched our latest initiative named Starcamp to bridge founders with all kinds of information and tools to build qualities and step up their game. This is a marathon as we also develop the founders to deliver vision and mission.
You have previously mentioned the founder gap, also investors should be more invested in the upstream sector, what’s your take on this issue?
In terms of the founder gap, I think it is fine for the startups with a focus on the core technology to be headquartered in Java. When the infrastructure is ready, they can deploy it outside the island. Therefore, if there are other cases like eFishery, startups outside Java could replicate the concept. They did not necessarily become a tech company but they can be a facilitator.
There are many in the agriculture sector, these are companies we tried to invest in. We’ll create together a more scalable business model that allows them to expand outside of Java. This is the kind of upstream investment I was roaming about, for investors to invest in a certain technology to be licensed outside the island. An integrated value chain happens there.
The thing is, innovation in conglomeration takes 5 to 10 years, just like in the upstream sector. Not many startups are brave enough to enter this scene, only conglomerations with strong capital and a 10-year investment horizon. How can VCs have a conglomerate-like horizon and invest in such kinds of startups?
I have one terminology in Gayo Capital, a reverse conglomeration, inspired by the downstream sector portfolios in Ideosource’s early time which currently has contributed a lot more. Why can’t it be the upstream sector? If we’re going to rely only on conglomeration, the innovation is limited although it has a big contribution to the GDP. Startups have potential as long as they focus on creating an ecosystem that is integrated with each powerful core business, therefore, creating a solid value chain.
Aside from the current position, you’re also in charge of this year’s Nexticorn highlighting the emerging sector. Can you elaborate on this matter?
Such names are emerging this year, including the web3 and its definition which is still fragmented. However, the underlying of this blockchain technology has tremendous evolution. People are learning about bitcoin, the NFT is rising, and more platforms are developed to cater to this industry. The concept is aiming to be a decentralized autonomous organization. That’s the ultimate destination.
In the crypto scene, we’ve seen people are still relying on the exchange. In the future, the role might be getting less needed as people are having their own wallets and stuff. In the future, peer-to-peer will exist, and decentralized finance will happen. Disruption will be more extensive than ever, including in VCs.
VCs and investors are said to be more careful and selective to place their money. What is your suggestion for the startup?
I think those who are too insecure might lose the opportunity. Every situation has its moment. It all comes back to the hypothesis. Even in the most peculiar situation, if the market is there and in need of a solution, and it is possible to be executed, it is a deal. I think the more investors are hesitant, VCs who can see the opportunities shouldn’t stop.
In fact, using the “growth at all cost” strategy to be a dominant player is so last year. Investors are now looking for growth to profitability. It’s no longer an era for “burning money”, there are already many casualties. It is a natural correction. Investors will also see the country’s direction while doing investments related to the regulation and government. This will also be the highlight of this year’s Nexticorn. There will be related policymakers to explain Indonesia’s objective toward the tech industries, from crypto, tax, and exchange regulations.
As a seasoned investor with tons of experience in the industry. What is your biggest dream about this country’s tech and investment ecosystem?
After a decade or two in the tech industry, building Ideosource while hands-on in various sectors, focusing to impact with Gayo Capital, and bridging the founder’s gap with Starcamp, the main objective is one. I want Indonesia to be able to unlock its full potential. Even with the founder’s gap, there must be an initiative that we can work together to create a path for them. This is also the reason I’m very excited to join Nexticorn.
I’m also part of several associations, including Amvesindo and Aludi. All of their initiatives are merely to aspire the startup and investment ecosystem in Indonesia to be better. For the people to not depend solely on conventional financial sources and instead have alternative funding. From unbankable to bankable.
On the other side, we need to provide education and nurturing, also mentorship for them. As it continues to grow, various associations with its own specific subject, including Nexticorn, will open new doors to global investors. By saying this, hopefully, Indonesia can be faster to unlock and unleash its truest and full potential. Personally, after setting this vision and mission, I can work more focused and with purpose.
DOKU dikabarkan berinvestasi ke startup fintech penyedia solusi payment gateway asal Malaysia, “SenangPay”. Menurut sumber data yang telah diinputkan ke regulator, DOKU menyuntikkan dana tahap awal sebesar $1 juta (lebih dari 14 miliar Rupiah).
Saat kami konfirmasi lebih lanjut ke pihak DOKU, perwakilan perusahaan menyatakan belum ada konfirmasi yang bisa diberikan dari manajemen perihal aksi korporasi tersebut.
SenangPay sendiri adalah produk payment gateway yang dimiliki oleh Simplepay Gateway Sdn. Bhd. sejak 2015. SenangPay bekerja sebagai perantara yang akan meminta pembayaran dari penyedia bank kartu/rekening pelanggan konsumen dan kemudian mengkreditkannya ke rekening bank konsumen.
Model bisnis yang dijalankan SenangPay ini beririsan langsung dengan bisnis yang tengah dijalankan DOKU. Sebelumnya, dalam suatu kesempatan di awal tahun lalu, manajamen DOKU menyampaikan kontribusi yang diberikan bisnis payment gateway mendominasi sebesar 70% dibandingkan pilar bisnis lainnya, yakni DOKU Wallet dan remitansi dan disbursement.
Bila informasi ini akurat, maka langkah tersebut merupakan kesempatan DOKU untuk masuk ke pasar regional, di mulai dari Malaysia. Kapabilitas DOKU yang cenderung sudah berpengalaman di segmen ini sejak 2007, tentunya menjadi suntikan yang efektif bagi SenangPay dalam berinovasi di tengah upaya mempercepat adopsi sistem pembayaran online di Negeri Jiran tersebut.
Langkah serupa sebelumnya juga sudah dilakukan Xendit yang mengucurkan investasi strategis untuk startup sejenis asal Filipina, Dragonpay. Aksi ini diumumkan dalam rangka mendukung upaya Xendit pasca memasuki pasar Filipina sejak 2010 sebagai basis operasi kedua mereka setelah Indonesia.
Strategi investasi ekuitas ini bukanlah aksi pertama yang dilakukan DOKU. Dalam catatan DailySocial.id, DOKU sebelumnya pernah menyuntikkan dana untuk Bareksa.
Dalam laporan e-Conomy SEA 2021 yang disusun Google, Temasek, dan Baik, memperkirakan, nilai ekonomi digital di Asia Tenggara mencapai $174 miliar atau sekitar Rp2.480 triliun pada 2021. Sebanyak $70 miliar atau Rp997 triliun di antaranya disumbang oleh Indonesia.
Nilai ekonomi digital di Indonesia tumbuh 49% dibandingkan tahun lalu sebesar $70 miliar. Akan tetapi, menurut laporan ini, bila melihat berdasarkan pertumbuhan, Filipina adalah negara dengan pertumbuhan tertinggi sebesar 93%. Kemudian, disusul Thailand 51%, Indonesia 49%, dan Malaysia 47%.
Oleh karenanya, ekspansi regional adalah langkah yang realistis bagi tiap perusahaan karena masing-masing negara punya ruang tumbuh yang besar. Kesempatan tersebut tidak hanya dikuasai oleh Indonesia saja, kendati secara volume tetap dipegang Indonesia karena populasinya yang besar.
Startup food tech yang berkantor pusat di Singapura, Glife Technologies, mengumumkan telah mengakuisisi penuh PanenID (Indonesia) dan Yolek (Malaysia). Kedua akuisisi ini merupakan bagian dari rencana perusahaan untuk masuk ke Indonesia dan Malaysia pasca mengantongi pendanaan seri A pada November 2021.
Putaran ini bernilai S$11 juta ($8 juta) yang dipimpin oleh Heliconia Capital, anak perusahaan investasi yang dimiliki sepenuhnya oleh Temasek. Hibiscus Fund dana VC yang dikelola oleh RHL Ventures Malaysia dan KB Investment juga berpartisipasi dalam putaran tersebut.
Tidak disebutkan nominal transaksi dalam akuisisi ini. Namun bisa dipastikan, Glife menjadi pemegang saham tunggal terbesar di PanenID dan Yolek.
PanenID merupakan startup farm-to-table berbasis di Bali yang secara langsung menghubungkan hotel dan restoran dengan petani. Didirikan pada tahun 2017, PanenID mengkhususkan diri dalam manajemen rantai pasokan untuk pertanian berkelanjutan. Perusahaan mempelopori perdagangan yang adil untuk lebih dari 120 petani kecil di wilayah ini, yang secara langsung menghubungkan mereka dengan pelanggan akhir, restoran, dan hotel di Jakarta dan Bali.
Sementara Yolek adalah distributor B2B untuk produk kering, bebas daging beku dan produk nabati yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia. Dengan pengalaman lebih dari 30 tahun dalam industri distribusi makanan grosir, Yolek Vege Mart melayani lebih dari 600 pedagang di seluruh industri F&B yang mencakup pengecer makanan vegetarian dan organik, grosir dan bisnis HORECA di Klang Valley.
Sejumlah startup lokal juga tengah mengupayakan solusi supply chain produk pertanian ke segmen bisnis, di antaranya Tanihub, Agriaku, Eratani dan lain-lain. Bahkan karena besarnya potensi di B2B ini, Tanihub tahun lalu memilih untuk fokus ke segmen ini dan menutup model B2C yang sebelumnya turut dijalankan.
Ingin merevolusi rantai pangan pertanian
Co-founder & Deputy CEO Glife Caleb Wu menuturkan, misi utama perusahaan adalah merevolusi rantai pangan pertanian dengan meningkatkan efisiensi dalam prosesnya melalui adopsi teknologi yang bertujuan untuk menjembatani kesenjangan antara petani, pemasok, dan penjual. Menurutnya, baik Indonesia dan Malaysia adalah komunitas yang dinamis dalam bidang pangan dan pertanian. Perusahaan menyadari potensi besar untuk memanfaatkan pasar pertanian yang besar.
“Kemitraan strategis akan memungkinkan kami menghadirkan solusi teknologi terbaik Glife di luar batas Singapura dan kami sangat bersemangat untuk terhubung dengan lebih banyak petani dan restoran di kawasan ini. PanenID dan Yolek adalah mitra berharga dalam perjalanan kami, memanfaatkan pengetahuan lokal mereka untuk menjembatani kesenjangan dalam rantai nilai makanan dan memperkuat jaringan regional kami.”
Didirikan sejak 2018, Glife mendedikasikan diri untuk mengangkat petani, pemasok, dan pedagang di industri makanan dan pertanian karena bercita-cita untuk memberi makan Asia Tenggara secara berkelanjutan. Sebagai penyedia solusi layanan makanan yang terintegrasi secara vertikal, Glife memperluas layanannya pada 2021 dengan menyediakan berbagai teknologi digital restoran untuk merchant di industri HORECA.
Menurut Wu, kemitraan dengan kedua perusahaan ini nantinya akan mengimplementasikan GlifeWare, solusi Enterprise Resource Planning (ERP) yang dikembangkan internal di PanenID dan Yolek. Solusi ERP ini secara khusus bertujuan untuk meningkatkan layanan ujung ke ujung di seluruh rantai pasokan makanan termasuk Manajemen & Proses Pesanan, Sistem Manajemen Gudang, dan Sistem Manajemen Transportasi.
Keberhasilan implementasi GlifeWare di PanenID dan Yolek diharapkan dapat meningkatkan efisiensi operasional sebesar 30% – 50%, diukur dari operasionalnya kapasitas dan tingkat pemenuhan. Terhitung, Glife telah melayani lebih dari 1000 petani dan lebih dari 900 pedagang di Singapura.
CEO PanenID Johannes Dwi Cahyo mengatakan, pihaknya menyambut dengan antusias atas bergabungnya perusahaan di Glife. Menurutnya, Glife memahami kebutuhan industri rantai pasokan makanan dan memiliki bertujuan untuk menjembatani kesenjangan di atasnya. “Dengan platform teknologi yang kuat dari Glife, kami sangat senang melihat bagaimana hal itu akan meningkatkan operasional secara signifikan dan efisiensi bagi PanenID untuk memenuhi kebutuhan produk dan bahan makanan hotel dan restoran,” kata Johannes.
Direktur Yolek Desmond Tan turut menambahkan, “Perangkat lunak inovatif Glife dikombinasikan dengan pengalaman dan pengetahuan lokal kami sebagai distributor HORECA lebih dari 30 tahun di bidang distribusi makanan nabati dan ritel, telah menciptakan landasan yang kokoh untuk menumbuhkan kemitraan ini. Kami sangat senang dengan peluang pertumbuhan Yolek yang akan muncul dari adopsi solusi digital dalam industri yang konvensional ini.”
Untuk mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan ke depannya, Glife akan melanjutkan rencana ekspansi di kawasan Asia Tenggara dan secara bersamaan bergerak menuju putaran penggalangan dana Seri B yang dijadwalkan berlangsung pada paruh kedua tahun 2022.
Kendati peminatnya terus bertumbuh, layanan bertajuk aplikasi investasi atau wealthtech masih menyisakan sejumlah tantangan dalam kaitannya dengan penetrasi pengguna. Salah satunya terkait edukasi, termasuk untuk pengguna di kalangan muda. Untuk memudahkan bahasa [penyampaian] hingga menyederhanakan proses yang ada, aplikasi investasi “Saham Rakyat” hadir memberikan pilihan baru.
Berawal dari platform edukasi investasi saham, kini Saham Rakyat telah bertransformasi menjadi platform belanja saham yang mengadopsi konsep layaknya e-commerce. Hingga saat ini jumlah anggota komunitas Saham Rakyat sekitar 160 ribu orang.
“Dengan demikian bagi mereka yang ingin berinvestasi saham bisa melihat dulu saham yang diinginkan, dimasukkan ke dalam keranjang. Jika memang sudah yakin dan memiliki uang, bisa langsung melalui pembelian dalam platform,” kata Founder & CEO Saham Rakyat Kevin Hendrawan kepada DailySocial.id.
Melalui PT Samuel Sekuritas Indonesia yang sudah memiliki izin dari OJK, Saham Rakyat juga didukung oleh Kaesang Pangarep, putra dari presiden Joko Widodo sebagai Brand Ambassador.
Namun demikian, minat pasar yang besar dengan layanan investasi juga membuat persaingan di sektor ini makin ketat. Saat ini sudah ada beberapa platform serupa yang bisa digunakan untuk berinvestasi di berbagai jenis instrumen, mulai Ajaib, Bareksa, Pluang, PINA, dan masih banyak lagi.
Menyasar generasi muda
Serupa dengan bisnis sekuritas pada umumnya, Saham Rakyat berfokus kepada investor ritel. Sistem monetisasinya, mereka mengenakan biaya beli 0.15% dan jual 0.25%.
Terdapat beberapa fitur unggulan yang dimiliki oleh Saham Rakyat, di antaranya adalah Fitur Jual-Beli yang berkonsep “1-click buy” dan “1-click sell”. Tersedia juga Fitur Keranjang belanja, agar pengguna bisa melakukan pembelian saham layaknya melakukan pembelian melalui layanan e-commerce.
Selain itu aplikasi juga memiliki “Grup Chat” langsung dengan analis keuangan, sehingga dapat membantu investor untuk mendapatkan informasi terkini mengenai perkembangan pasar. Dan yang terakhir Saham Rakyat memiliki fitur Community, bisa dimanfaatkan sebagai wadah belajar bagi para pengguna baru untuk lebih mengerti mengenai dunia pasar modal.
“Saham Rakyat merupakan aplikasi Belanja Saham pertama di Indonesia, diperuntukkan untuk investor awam, proses jual beli kami merupakan yang paling simple menggunakan 1 click buy dan 1 click sell. Sehingga memudahkan investor awam untuk bisa memulai investasi tanpa perlu ribet,” kata Kevin.
Sebagai platform edukasi saham, Saham Rakyat berupaya untuk memberikan informasi yang relevan terkait saham kepada anggota komunitasnya. Dengan demikian bisa memberikan awareness yang akurat seputar investasi saham dan menghindari adanya persepsi bahwa investasi saham bisa memberikan hasil lebih dan tidak memiliki risiko yang besar. Dalam hal ini Saham Rakyat memberikan pemahaman bahwa dengan berinvestasi di saham, bisa memberikan return yang lebih baik dibandingkan dengan deposito. Bukan menjadi wadah untuk mereka cepat kaya atau banjir keuntungan.
Tahun 2022 ini ada beberapa rencana yang ingin dilancarkan oleh Saham Rakyat. Namun sebagai platform yang fokus hanya kepada investasi saham, mereka memiliki rencana untuk meluncurkan fitur yang lebih mempermudah pengguna untuk melakukan proses jual-beli saham dalam platform. Hal tersebut yang saat ini belum banyak dilakukan oleh platform yang menawarkan layanan serupa. Target Saham Rakyat di tahun ini juga ingin mengenalkan lagi investasi saham sampai ke seluruh penjuru tanah air.
“Saya merasa akhirnya setelah beberapa lama generasi muda bisa melihat bahwa investasi saham bisa mereka lakukan tanpa mengeluarkan uang yang banyak. Pandemi juga membantu lebih banyak orang untuk tertarik berinvestasi di saham secara online dan menjadi investor saham,” kata Kevin.
Edukasi jadi kunci
Menurut hasil survei yang dilakukan terhadap 1500 responden dalam Fintech Report 2021, layanan investasi seperti yang disuguhkan Saham Rakyat kini mendapatkan awareness dan minat yang cukup besar dari masyarakat. Menurut data OJK, hingga Desember 2021 kemarin jumlah investor ritel untuk pasar modal di Indonesia sudah mencapai 7,48 juta orang, naik 92,7% dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya. Jelas layanan wealthtech berperan besar di sini.
Namun demikian, di tengah laju adopsi layanan yang kencang, kami meyakini bahwa edukasi literasi keuangan tetap menjadi hal yang harus diupayakan semua elemen yang terlibat di industri ini, termasuk pemilik platform — khususnya terkait dengan risiko, tidak hanya sekadar menjual jargon untung berlipat. Apalagi berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019, indeks literasi keuangan baru di angka 38,03%. Literasi ini terkait dengan pemahaman masyarakat untuk produk-produk keuangan yang digunakan.
Cukup lama tidak terdengar kabarnya, pendiri Indonesia Flight Marcella Einsteins kini mendirikan startup baru bernama “Cuanz”. Startup ini tampaknya menjadi langkah perdana Marcella di sektor fintech mengingat sebelumnya ia lama berkecimpung di industri Online Travel Agent (OTA).
Sebagai pengingat, Marcella merupakan salah satu founding team (pekerja di awal pendirian) di Tiket.com pada 2012 silam. Di sana, ia sempat menduduki posisi sebagai Business Manager dan VP Product. Di 2015, Marcella mendirikan Indonesia Flight, platform OTA baru yang memfasilitasi pemesanan pesawat untuk beragam maskapai. Indonesia Flight disebut memiliki segmen berbeda dengan Tiket.com.
Kemudian di 2017, Indonesia Flight diakuisisi oleh Blibli — sebelumnya Blibli terlebih dulu mengakuisisi Tiket.com. Pasca-akuisisi tersebut, tidak diketahui lagi bagaimana kelanjutan operasional Indonesia Flight sampai sekarang.
Hingga pada September 2021 Marcella mendirikan Cuanz dengan posisinya sebagai Co-founder. Cuanz merupakan aplikasi informasi seputar investasi yang menggabungkan konten dan kanal dari berbagai komunitas penggiat saham. Pengguna dapat mengakses informasi sesuai kebutuhan (personalized).
Social investtech
DailySocial.id mencoba menghubungi Marcella Einsteins untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai startup terbarunya. Namun, Marcella belum dapat memberikan komentar lebih dalam.
Diketahui dari laman LinkedIn-nya, Cuanz fokus pada investasi, mulai dari saham, kripto, forex, dan NFT. Cuanz tercatat telah bermitra dengan lebih dari 50 channel investasi. Platform ini disebut telah men-scale bisnisnya hingga ratusan juta Rupiah dalam satu bulan pertama beroperasi. Cuanz juga meluncurkan aplikasinya di perangkat Android dan iOS dalam kurun tiga bulan usai peluncurannya.
Mengintip aplikasinya sekilas, Cuanz hadir dengan menawarkan konsep berjejaring bagi investor untuk mengakses informasi seputar investasi, seperti saham atau kripto lewat grup dan channel. Pengguna dapat berlangganan secara gratis. Selain itu, Cuanz juga menyediakan berbagai mentor bagi yang ingin belajar berinvestasi.
“Alih-alih disebut sebagai news agreggator, kami sebut Cuanz sebagai social investtech. Kami berkiblat pada public.com dan shares.io,” ujar Marcella dalam pesan singkatnya kepada DailySocial.id.
Dalam konteks ini, istilah social investtech merujuk konsep platform jejaring sosial bagi investor, di mana mereka dapat berdiskusi tentang investasi, tren terbaru, termasuk kesempatan berjejaring dengan komunitas atau investor lainnya. Ambil contoh public.com, platform ini menghasilkan pendapatan lewat sejumlah cara, dua di antaranya adalah model berlangganan (subscription), optional tipping bagi pengguna yang melakukan transaksi.
Di Indonesia, rata-rata platform di bidang teknologi investasi mengadopsi model marketplace yang memungkinkan investor ritel untuk membeli instrumen investasi secara lebih mudah, misalnya saham dan reksa dana. Beberapa platform ini di antaranya adalah Ajaib, Pluang, dan Bibit. Platform ini juga dilengkapi dengan fitur group/channel sebagai wadah diskusi dan jejaring bagi sesama pengguna.
Layanan edukasi investasi
Di tengah meningkatnya minat investor ritel, beberapa startup mengembangkan platform berbasis edukasi untuk membantu masyarakat memahami mekanisme dan berbagai instrumen investasi. Beberapa bahkan memberikan analisis harian untuk membantu menentukan keputusan investasi.
Beberapa startup tersebut adalah Emtrade; belum lama ini mereka mendapatkan dukungan dari Pandu Sjahrir sebagai investor sekaligus advisor. Lainnya ada juga Ternak Uang yang awal pekan lalu mengumumkan perolehan pendanaan awal yang dipimpin Partick Walujo.
Banyak orang berlomba-lomba untuk menciptakan inovasi, namun untuk membangun perusahaan atau mengembangkan produk baru bukanlah tugas yang mudah. Sekitar 90% startup gagal mempertahankan bisnisnya. Sebuah fakta yang menimbulkan pertanyaan: di mana letak kesalahan yang menyebabkan mereka gagal dan apa yang dapat dilakukan untuk meningkatkan peluang keberhasilan mereka?
Berbagai inisiatif sudah diluncurkan untuk mendukung pengembangan bisnis, seperti modal ventura dari sisi kapital, begitu pula program akselerator dan inkubator untuk dukungan yang lebih integral kepada calon pengusaha. Masih dalam lingkup dukungan terhadap pengembangan bisnis, Pintar Ventura Group menawarkan konsep yang terbilang baru di Indonesia, yaitu venture studio.
Konsep Venture Studio
Cukup berbeda dengan pendekatan modal ventura, venture studio terlibat erat dalam operasi sehari-hari dan keputusan strategis dalam upaya pengembangan bisnis baru. Setelah startup menunjukkan daya tarik, ia dapat mencari untuk meningkatkan modal dari investor luar, termasuk VC. Konsep ini cukup dekat dengan definisi venture builder.
Co-Founder & CEO Pintar Ventura Group Vlad Ayukaev mengatakan, “Venture Studio merupakan solusi yang tepat untuk membangun bisnis dengan risiko yang lebih kecil. Ini mungkin bukan konsep yang familiar di Asia Tenggara, namun konsep ini telah terbukti berhasil di Eropa, utamanya pasar di mana pengusaha masih mengalami kesulitan untuk mendapat dukungan kapital secara independen.”
Setelah lebih dari satu tahun beroperasi, Pintar Ventura Grup (PVG) sudah memulai inisiatif venture studio dan menetapkan fokus untuk produk fintech yang menyasar pasar UMKM. “Kami percaya bahwa kekuatan ekonomi utama Indonesia adalah UMKM. Negara ini memiliki sekitar 57 juta bisnis, di mana sekitar tiga per empatnya belum mengalami digitalisasi,” tambah Vlad.
Dalam agenda media visit secara virtual bersama tim DailySocial.id, Vlad mengakui perusahaan telah mengalami pertumbuhan cukup pesat dalam satu tahun belakangan. Dengan 16 tim developer yang kebanyakan offshore, perusahaan menargetkan untuk ekspansi dan membangun pusat R&D terpisah di Indonesia.
PVG didukung oleh perusahaan keluarga dari Eropa yang memiliki keyakinan besar akan pasar di Indonesia. Saat ini, PVG telah melancarkan dua proyek di ranah fintech yaitu Point of Sales dan Bill Payment. “Target kami adalah untuk bisa mengembangkan paling tidak 5 proyek di tahun ini. Untuk masing-masing proyek, kami akan berinvestasi dari sisi kapital dan pengembangan produk hingga BEP (Break Event Point),” lanjutnya.
Dalam hal ini, perusahaan menyadari bahwa inisiatif ini membutuhkan proses yang tidak singkat. Demi melancarkan potensi bisnis yang ada, PVG juga tengah mencari partner lokal yang memiliki kesamaan visi untuk bekerja sama untuk mengembangkan inisiatif ini.
Produk yang fokus pada UMKM
Dalam agenda membantu pengembangan bisnis yang fokus menyasar UMKM, PVG mengaku telah berinvestasi sebanyak $2,5 juta atau setara 35 miliar Rupiah. Selain itu juga memiliki 2 dua portfolio produk yaitu POS bernama Posy dan platform pembayaran Klikoo yang telah menjangkau lebih dari 20 ribu UMKM di Indonesia.
“Tidak ada satu solusi yang bisa menjawab semua pain point dalam industri ini. Maka dari itu, kami ingin menciptakan sebuah ekosistem produk yang sangat niche untuk UMKM. Berangkat dari satu pain point satu ke pain point yang lainnya,” ujar Chief Business Development PVG Januar Parlindungan.
Salah satu produk yang telah diluncurkan adalah Posy, sebuah platform Point of Sales yang didesain untuk UMKM di Indonesia. Platform ini menawarkan kemudahan bagi UMKM untuk mengatur inventaris, membuat laporan keuangan serta membantu analisis kinerja bisnis dan pegawai. Selain itu yang akan segera meluncur adalah Klikoo yang menawarkan kemudahan dalam melakukan transaksi PPOB.
Disinggung mengenai tantangan, perusahaan menyadari bahwa pemahaman pasar lokal sangat dibutuhkan untuk segmen ini. Perusahaan sendiri sudah yakin dengan teknologi mumpuni yang dimiliki. Sejauh ini, timnya melihat bahwa digitalisasi menjadi salah satu masalah yang paling mendasar, selain regulasi. “Saya tidak ingin menciptakan aturan sendiri, maka dari itu kami mencoba menarik partner lokal sebanyak mungkin selama itu bisa membantu peluncuran produk lebih cepat dan penetrasi yang lebih luas,” ujar Vlad.
Dari sisi pemerintah, pemulihan transformatif tahun 2022 di sektor UMKM dan koperasi ialah meningkatkan jumlah UMKM untuk masuk ke ekosistem digital sebesar 30%, sekitar 20 juta UMKM ditargetkan untuk go digital. Saat ini UMKM yang telah on boarding ke ekosistem digital sebesar 16,9 juta pelaku usaha.
Terkait produk untuk UMKM, lanjut Vlad, satu hal yang paling penting adalah mengetahui celah atau hook untuk menggaet merchant. Bukan hanya menjadi perantara, tapi juga bisa memberikan nilai atau value akhir bagi mereka. Dengan memberi harga yang cukup terjangkau, harapannya merchant akan bertahan lebih lama. Hal ini melibatkan loyalitas dari kedua belah pihak. “Kami mungkin akan kehilangan sedikit revenue, namun bisa menawarkan lebih banyak value. Penting sekali untuk mengetahui hook yang tepat untuk masing-masing segmen,” ujar Vlad.
The private equity firm founded and led by Patrick Walujo and Glenn Sugita, Northstar Group, announced its flagship fund with a value of $590 million or around 8.3 trillion Rupiah.
The Northstar Equity Partners V Limited (Northstar V) funds will be channeled to Southeast Asian growth companies focusing on the consumption, financial services, digital economy and recovery sectors from the COVID-19 pandemic.
In total, Northstar currently manages a portfolio of $2.5 billion (over 35 trillion Rupiah). Northstar’s supporting investors include sovereign wealth funds, insurance companies, institutional investors, family offices, and high net worth individuals.
During 2021, Northstar V funds have been channeled to FMCG company Greenfields Dairy, fintech startup Advance Intelligence Group, and SaaS startup for warung, Ula. Advance AI has reached the unicorn status, while Ula has reached soonicorn status with a valuation of over $100 million.
Northstar Group’s Co-Founder and Managing Partner, Patrick Walujo said, “Over the past two years, we have all seen unprecedented volatility, uncertainty and complexity. However, Southeast Asia, in particular, Indonesia continue to present long-term investment opportunities. As the market recovers from the COVID-19 pandemic, favorable demographic conditions, rising wealth and consumption, higher levels of education and continued digitalization will drive substantial growth in the region.”
“The successful fundraising of our fifth flagship fund that took place during today’s challenging times is a testmony to the strong team and our portfolio’s quality, as well as the returns we have provided investors. We look forward to building partnerships with more entrepreneurs in Southeast Asia to drive their business growth through our capital and expertise,” Northstar Group’s Co-Founder and Managing Partner, Glenn Sugita added.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian