Salah satu platform yang mencoba menghadirkan solusi SaaS manajemen, POS, dan pengelolaan bisnis untuk pemilik laundry adalah Saku Laundry. Sebagai aplikasi, Saku Laundry mencoba memberi jawaban untuk berbagai masalah usaha laundry. Mulai dari kerentanan manipulasi data, kesulitan mengaudit nota transaksi, hingga pengelolaan laporan keuangan. Untuk melengkapi data dan melakukan operasional, Saku Laundry juga menerapkan teknologi Internet of Things (IoT).
Kepada DailySocial.id, CEO Saku Laundry Yusmin Joe mengungkapkan rencana perusahaan yang sedang mencari investor strategis.
Pemanfaatan IoT
Menurut Yusmin, pemilik laundry seringkali kesulitan mengontrol usaha laundry mereka. Ada kerentanan oleh oknum untuk memanipulasi nota, tidak melaporkan transaksi, dan potensi fraud lainnya.
“Yang diutamakan dari aplikasi ini adalah mengamankan bisnis mereka karena kita support dari sisi IoT (Internet of Thing). Jadi bisa menjalankan laundry dari aplikasi kita. Ketika ada nota yang tidak tercatat maka mesin laundry tidak bisa beroperasi.” kata Yusmin.
Melalui aplikasi, pemilik bisnis laundry bisa mengontrol mesin secara otomatis. Saat ini Saku Laundry sudah digunakan sejumlah brand laundry terkemuka. Berfokus pada Software as a Service (SaaS), aplikasi ini telah digunakan lebih dari 300 merchant di seluruh Indonesia. Sekitar 80% masih terpusat di Jabodetabek.
Selain Saku Laundry, platform lainnya di segmen ini di antaranya adalah D-Laundry dan Smartlink. Perusahaan merupakan salah satu dari 9 peserta terbaik yang berhak mengikuti rangkaian Demo Day DSLaunchpadX.
Ingin menambah merchant aktif
Segmen lain yang digarap Saku Laundry adalah layanan laundry on-demand atau antar jemput laundry yang bisa memudahkan pelanggan agar tidak perlu datang ke outlet. Selain itu, Saku Laundry meluncurkan “Laundromat Saku Laundry”. Layanan ini merupakan penjualan mesin laundry dengan sistem pengelolaan digital.
Saku Laundry juga sudah mendukung pembayaran QRIS yang dapat menerima jenis pembayaran dari semua cashless provider.
Sebagai perusahaan SaaS, Saku Laundry menjual hardware IoT untuk pemilik usaha laundry mulai dari Rp6 juta. Mereka juga mengenakan biaya berlangganan mulai dari Rp100 ribu per bulan. Saku laundry juga mengenakan 10% dari nilai transaksi kepada setiap pemesanan dari pelanggan.
Untuk mengembangkan bisnis, perusahaan memiliki rencana penggalangan dana tahun ini. Saku Laundry menargetkan memiliki total 500 merchant aktif. Perusahaan juga berencana untuk menyediakan pembiayaan dan layanan manajemen pengelolaan bagi mereka yang ingin membuka bisnis laundry.
“Seiring permintaan pasar yang meningkat, kita juga menghadirkan konsultasi, baik untuk merchant-merchant laundry yang sudah berjalan ataupun untuk bisnis yang ingin lebih berkembang,” kata Yusmin.
Mendapatkan dana pinjaman berbentuk debt financing dari Bank OCBC NISP awal bulan Februari lalu, startup aquatech eFishery, dikabarkan tengah menggalang dana baru yang berpotensi menyematkan statusnya menjadi startup unicorn bervaluasi lebih dari 1 miliar dollar — yang pertama di luar sektor e-commerce, fintech, logistik, dan retail.
Dilansir pertama kali oleh DealStreetAsia, eFishery disebutkan sedang dalam proses finalisasi investasi senilai $150 juta (hampir 2,3 triliun Rupiah) yang dipimpin Khazanah Nasional Berhad, sovereign wealth fund milik Pemerintah Malaysia.
Menurut data yang kami miliki, eFishery secara total sudah mendapatkan dana investor senilai $115 juta (lebih dari 1,7 triliun Rupiah), dengan $90 juta di antaranya dikucurkan saat putaran pendanaan Seri C setahun lalu.
Sejumlah investor yang tak ingin disebutkan namanya menyebutkan memang eFishery sudah berada di ambang valuasi unicorn.
DailySocial mencoba untuk mendapatkan konfirmasi tentang hal ini, tetapi pihak eFishery menolak menjawab secara detail.
“Saat ini, kami sedang menjalankan bisnis seperti biasa sambil secara internal mengamati berbagai aspek yang perlu dikembangkan. Bila kami memiliki rencana atau informasi terkait hal terkait, akan kami informasikan segera.”
Didirikan pada tahun 2013, eFishery dimulai sebagai proyek kecil untuk membantu petani lokal mengelola kolam ikan mereka dengan lebih efisien. Saat ini, perusahaan telah berkembang menjadi penyedia teknologi akuakultur terkemuka di Indonesia, dengan jumlah karyawan lebih dari 900 orang. Perusahaan tengah menjajaki potensi ekspansi ke India dalam waktu dekat.
Produk andalan eFishery adalah perangkat IoT (Internet of Things) yang terpasang di kolam ikan untuk memantau kualitas air dan level pakan secara real-time. Perangkat yang terhubung ke aplikasi seluler memungkinkan pembudidaya untuk memantau dan mengontrol kolam mereka dari jarak jauh, menyesuaikan pakan dan parameter air, dan menerima peringatan bila ada masalah atau anomali.
Timeline penggalangan dana
Pendekatan inovatif perusahaan terhadap akuakultur dan komitmennya terhadap keberlanjutan telah membantu perusahaan membangun reputasi yang kuat dan menarik pendanaan dari investor terkemuka lokal hingga asing.
Pada tahun 2013, eFishery mengumpulkan pendanaan putaran awal dari beberapa angel investor. Kemudian pada tahun 2016, eFishery mengumpulkan $2,5 juta dalam putaran pendanaan Seri A yang dipimpin oleh Aqua-Spark, dana investasi global yang berfokus pada akuakultur berkelanjutan. Dana tersebut kemudian digunakan perusahaan untuk meningkatkan produksi perangkat IoT dan memperluas operasinya di Indonesia.
Pada tahun 2018, eFishery mengumpulkan $4 juta dalam putaran pendanaan Seri B yang dipimpin Wavemaker Partners dan UOB Venture Management. Dana tersebut digunakan untuk mengembangkan produk dan layanan baru, termasuk aplikasi seluler untuk petani dan pasar untuk jual beli ikan dan udang.
Kemudian di tahun 2022, eFishery mengumpulkan $90 juta dalam putaran pendanaan Seri C. Dana segar tersebut digunakan perusahaan untuk memperluas operasinya di Indonesia dan mengembangkan teknologi baru untuk lebih mengoptimalkan operasi akuakultur.
Pada tahun 2022 eFishery mendapatkan pinjaman jangka pendek (loan) senilai Rp500 miliar dari Bank DBS Indonesia. Bagi DBS Indonesia ini adalah pinjaman pertama untuk sektor aquatech, sementara bagi eFishery adalah fasilitas pinjaman pertama dari bank.
Centrepark Citra Corpora melalui anak usahanya yang merupakan pengembang aplikasi manajemen parkir Parkee, berinvestasi ke startup pengembang solusi teknologi AI dan IoT bernama Alfabeta. Tidak disebutkan besaran investasi yang diberikan. Kemitraan ini membuka peluang kolaborasi kedua perusahaan dalam pengembangan bisnis, termasuk membangun sistem perparkiran berbasis AI.
Alfabeta berdiri sejak 2018, salah satu produk yang dikembangkan adalah intelligent video analytics yang dapat diimplementasikan dalam berbagai sektor bisnis. Sementara Parkee debut sejak 2019 dengan layanan mobile app, reporting, dan sistem pendukung manajemen parkir yang terintegrasi.
Parkee telah digunakan di berbagai lokasi parkir di 50 kota di Indonesia, mulai dari Jakarta, Tangerang, Surabaya, Bandung, Medan, Batam, hingga Semarang.
“Kami ingin ciptakan onestop-solution untuk klien kami, seperti mall, airport, seaport, jadi mencakup berbagai identifikasi data, baik kendaraan maupun penggunanya. Teknologi ini akan terus berkembang,” kata Direktur Utama Centrepark Citra Corpora Charles Richard Oentomo.
Sementara CEO Alfabeta Taufiq Wibowo menjelaskan bahwa latar belakang kerja sama ini karena pihaknya memiliki sejumlah teknologi yang siap mendukung Parkee.
“Kami melihat kebutuhan teknologi cukup besar di industri yang sama dengan Parkee, ditambah kami juga punya banyak teknologi, seperti Automatic Number Plate Recognition (ANPR); Vehicle Detection, Counting, & Tracking; sampai Object Detection, Counting, & Tracking,” ujar Taufiq.
Selain Parkee, sejumlah perusahaan juga menggarap layanan pengelolaan parkir, salah satunya Soul Parking. Tidak hanya perangkat lunak manajemen parkiran, startup yang mendapat pendanaan awal dari AC Ventures dan sejumlah angel investor ini juga mengembangkan modul Compact Motorcycle Storage, sebuah kantong parkir portabel untuk sepeda. Telkomsel juga sempat membuat unit bisnis bernama Parkirin, mengembangkan layanan SaaS untuk pengelolaan parkir di gedung.
Hadirnya Alfabeta tentu diharapkan bisa menambah proposisi nilai Parkee. Selain memperluas pilihan pembayaran, penyegaran fitur juga menjadi salah satu fokus mereka.
Teknologi Alfabeta
ANPR dapat mendeteksi plat Tanda Nomor Kendaraan Bermotor (TNKB) dan mendaftarkan hasilnya secara otomatis ke dalam basis data pengguna. Sementara Vehicle Detection, Counting, & Tracking ialah teknologi yang mendeteksi jenis kendaraan yang lewat, menghitung jumlahnya, dan melacak jalur yang dilewati. Sedangkan Object Detection, Counting, & Tracking mendeteksi keberadaan & pergerakan, serta menghitung jumlah objek yang berada di dalam jangkauan kamera.
Teknologi ini bukan hanya memberi manfaat bagi pengelola gedung, melainkan juga bagi pengguna parkir, yakni keamanan yang optimal. Setiap kendaraan yang masuk akan terdeteksi mulai dari plat nomor, jenis, logo bahkan hingga warna kendaraannya. Sehingga, jika ada upaya mengubah nomor plat di area parkir, maka bisa langsung terdeteksi.
“Ketika data diverifikasi dan hasilnya sama, maka sistem itu akan otomatis mempersilakan kendaraan keluar. Jika tidak bisa, maka sistem akan memberi warning alarm dan akan memberitahu security tempat. Jadi pengguna dipastikan bakal merasa aman,” kata Charles.
Keunggulan lain, pengguna tidak perlu repot menyiapkan uang tunai untuk pembayaran. Setiap transaksi langsung akan terhubung melalui aplikasi di smartphone pengguna, pembayaran pun bisa dilakukan melalui QRIS maupun e-wallet demi kepraktisan
Meluncur pada tahun 2013, eFishery saat ini sudah mengalami transformasi bisnis yang masif dan melahirkan ekosistem yang mengedepankan kebutuhan para petani ikan di Indonesia. Masih memanfaatkan Smart Autofeeder sebagai entry point, kini eFishery tidak hanya dikenal sebagai startup pengembangan teknologi IoT untuk sektor aquaculture, tetapi juga menjadi sebuah koperasi yang membantu petani ikan mendapatkan modal pembiayaan, melakukan pembelian pakan, hingga penjualan ikan.
Kepada DailySocial.id, Co-Founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah menyampaikan rencana ekspansi mereka ke India, fokus mereka memperluas kolaborasi, dan merampungkan pendanaan untuk mendukung pertumbuhan bisnis.
Ekspansi dan kolaborasi
Perusahaan masih konsisten dengan produk andalan mereka yaitu eFishery Smart Autofeeder yang merupakan mesin pemberi pakan ikan otomatis cerdas yang diatur menggunakan smartphone. Alat ini memberi pakan secara otomatis, mencatat data pakan, dan terhubung ke internet. Data-data tersebut dikumpulkan kemudian diutilisasi perusahaan dalam menyediakan solusi berikutnya, yakni eFarm dan eFisheryKu. Ke depannya perusahaan masih menyediakan penyewaan eFeeder kepada petani ikan.
“Entry point masih di Smart Autofeeder dan aplikasinya. Hal tersebut akan selalu menjadi bagian dari teknologi kita, karena untuk membangun ekosistem end to end basisinya harus dari data dan teknologi. Hal tersebut yang membedakan kita dengan trader biasa atau tengkulak,” kata Gibran.
Di sisi lain, perusahaan juga melihat sudah banyak petani ikan yang memanfaatkan eFishery sebagai sebuah koperasi yang bisa menjadi wadah membeli pakan dengan harga terjangkau, mendapatkan modal usaha, hingga sebagai platform menjual ikan dengan mudah dan nyaman.
“Awalnya sektor seperti ini tidak ada sentuhan teknologi. Fokus kita adalah menyediakan teknologi untuk mengurangi kesenjangan ekonomi. Dengan mengurangi kesenjangan ekonomi melalui teknologi, [eFishery] bisa meningkatkan kehidupan mereka. Meskipun tidak fully driven dari kita, tapi jika ada solusi yang tepat impact-nya bisa masif,” kata Gibran.
Salah satu layanan yang lahir dari umpan balik para petani ikan adalah program PayLater yang disebut Kabayan (Kasih, Bayar Nanti), di mana pembudidaya pengguna eFishery bisa membeli pakan dengan bayar nanti.
Setelah melakukan pilotrun di Thailand, Vietnam, Bangladesh, dan India, eFishery memiliki rencana fokus ekspansi ke satu negara saja, yaitu India. Tahun ini fokus mereka akan melancarkan commercial pilot dan ekspektasi tahun depan commercial roll out bisa dilakukan.
“Di sisi lainnya selama 3 tahun terakhir kita juga masih fokus melakukan perluasan area layanan di Indonesia. Pasarnya masih besar, tapi sambil jalan kita juga mau melihat apakah ada peluang yang perlu kita mulai dari sekarang, agar kita mendapatkan pemahaman terkait pasar,” kata Gibran.
Saat ini eFishery sudah melayani 26 provinsi mulai dari Aceh, Nusa Tenggara Timur hingga Sulawesi Utara, serta sekitar 300 lebih kabupaten dan kota. Yang mereka belum garap adalah kawasan Timur Indonesia, seperti kepulauan Maluku dan Papua. Target eFishery beberapa tahun depan adalah ekspansi ke seluruh Indonesia.
“Fokus dari eFishery adalah tetap fokus di menghadirkan value ke petani dengan operating model yang light asset dan scalable. eFishery juga selalu fokus ke unit economics,” ujar Gibran.
Potensi penggalangan dana baru
Saat ini eFishery sudah berada dalam tahapan Seri C dengan total raihan investasi mencapai setidaknya $115 juta. Tidak termasuk startup yang agresif melakukan penggalangan dana, Gibran menegaskan saat melakukan fundraising fokus mereka adalah bagaimana investor tersebut bisa memberikan nilai lebih (added value) dan sejalan dengan misi dan visi perusahaan.
Disinggung soal potensi penutupan putaran baru yang bisa melambungkan perusahaan ke jajaran unicorn baru, Gibran enggan berkomentar lebih jauh.
“Kalau dari eFishery is about what we want to do. Jadi apa dulu yang mau kita investasikan, butuhnya berapa banyak, kemudian dari siapa dana segar tersebut juga menjadi penting bagi kita. Having said that, ada investor yang kita lagi coba assess, tapi harus kita pastikan sudah sejalan dengan visi kita,” ujarnya.
Ditambahkan Gibran, saat ini juga sudah ada beberapa proyek strategis yang sedang mereka piloting dan masih dalam tahapan awal. Jika sudah berjalan dan ternyata dibutuhkan kapital lebih banyak, kegiatan penggalangan dana bakal mereka lakukan.
“Sejak penggalangan dana Seri A, eFishery sudah mampu mengelola bisnis dengan baik dan telah fokus ke profitability. Jadi ke depannya investor akan mendukung apa yang sudah kita lakukan,” kata Gibran.
Ia melanjutkan “Saat ini ada sekitar 40 startup Indonesia yang menyasar sektor aquaculture sudah mendapatkan dana segar dari investor. Harapannya eFishery bisa memberikan impact kepada mereka sebagai pembuka jalan dan akhirnya membuat beberapa investor tertarik untuk berinvestasi kepada sektor ini.”
Meluncur pada tahun 2018, startup penyewaan power bankReCharge sempat mengalami growth positif hingga tahun 2019. Namun ketika pandemi datang di awal 2020, menyebabkan bisnis mereka terhambat. Untungnya kini kondisi berangsur pulih, bisnis ReCharge mulai menunjukkan pertumbuhan meskipun belum sepenuhnya kembali normal.
Kepada DailySocial.id, Co-Founder & CEO ReCharge Dick Listijono mengatakan, secara internal perusahaan masih tetap berjalan sehat, namun kegiatan eksternal seperti edukasi pasar dan kampanye pemasaran terpaksa dihentikan agar bisa lebih fokus kepada pengembangan power bank vending machine.
“Sebelum pandemi kita tumbuh dengan cepat, user adaptaion juga bagus. Kita juga sudah mulai bereksperimen dengan vending machine lain dalam skala kecil. Kemudian saat pandemi datang kami melihat apa yang bisa ReCharge lakukan dalam waktu 5 tahun mendatang (post pandemic). Dan kami melihat ReCharge masih memiliki peluang,” kata Dick.
Pesatnya akselerasi digital akibat dari pandemi turut dirasakan sebagai berkah tersendiri bagi ReCharge untuk mengembalikan performa bisnis. Jika dulunya mereka fokus kepada perluasan area di kawasan publik seperti KRL dan mal, kini perusahaan melihat ada lokasi baru yang kemudian menarik untuk dijajaki.
Saat ini perusahaan sudah memasang sebanyak lebih dari 1.000 ReCharge Station di kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi serta telah merambah kota lain, seperti Bandung dan Yogyakarta. Penambahan area masih akan digencarkan di waktu mendatang.
Mereka juga secara resmi meluncurkan kampanye #ReChargeHarimu bersamaan dengan pemasangan ReCharge Station (mesin tempat penyewaan power bank) di area transportasi publik, yaitu di 35 Halte TransJakarta, 23 Stasiun KRL line Jakarta Kota – Bogor, dan 13 Stasiun MRT Jakarta.
“Bukan hanya smartphone saja, saat ini berbagai barang elektronik sudah memanfaatkan power bank untuk mengisi ulang tenaga mereka. Termasuk di dalamnya vape dan gaming console,” kata Dick.
Kolaborasi dengan superapp
Meskipun telah memiliki aplikasi sendiri yang berfungsi sebagai pemesanan dan pembayaran, namun untuk memperluas layanan dalam waktu dekat mereka akan meresmikan kolaborasi strategis dengan salah satu platform superapp. Enggan disebutkan siapa perusahaan tersebut, Dick menegaskan melalui kolaborasi ini nantinya pihak ReCharge bisa memanfaatkan layanan mereka di platform yang lebih besar dan lebih luas jangkauan pasarnya.
Sejak awal beroperasi, aplikasi ReCharge telah diunduh oleh lebih dari 1 juta pengguna. Kebanyakan pelanggan ReCharge adalah para pengemudi ojek online, karyawan kantor, serta anak-anak muda yang sering membuat konten dengan menggunakan smartphone. Selain para komuter dan anak muda, ReCharge juga menargetkan k-poper, gamer, dan para pekerja yang mobilitasnya tinggi.
Perusahaan masih mengembangkan sendiri power bank mereka. Enggan untuk menawarkan power bank dari brand berbeda, agar kualitas dan keamanan bisa terjaga. Selain lebih tipis beratnya, power bank milik ReCharge juga telah dilengkapi dengan kabel dan chip khusus yang bisa dimanfaatkan oleh mereka untuk melihat kualitas dan ketahanannya memanfaatkan teknologi IoT.
Untuk bisa menempatkan vending machine power bank di lokasi yang tepat, perusahaan menerapkan beberapa persyaratan. Di antaranya adalah melihat dari kesibukan trafik masyarakat di lokasi tersebut, waktu yang lebih banyak dihabiskan hingga keramaian.
“Kami masih mengembangkan 100% mesin sendiri. Kami enggan untuk menggunakan produk lain, dilihat dari keamanan dan kenyamanan dari layanan yang kami berikan kepada pengguna. Power bank kami tidak murah harganya, berbeda dengan kualitas dari power bank pada umumnya,” kata Dick.
Untuk menjaga kualitas dan layanan yang ada, perusahaan juga mengklaim tidak menaikkan harga sewa secara khusus. Namun ada beberapa kebijakan penyesuaian harga yang sengaja dilakukan oleh perusahaan, untuk melihat kebiasaan pengguna dan penentuan harga sewa untuk mereka ke depannya.
Dari sisi biaya, ReCharge memberikan kenyamanan bagi pengguna dengan harga sewa yang terjangkau, yakni 1-2 jam Rp2.000/jam, 3-4 jam Rp4.000/jam, dan 24 jam sebesar Rp30.000.
Rencana penggalangan dana
Tahun ini ReCharge memiliki rencana untuk menutup penggalangan dana putaran tahap lanjutan. Tahun 2019 lalu perusahaan telah memperoleh dana segar seri A yang diberikan oleh Alto Partners Multi-Family Office. Jika dana segar tersebut sudah diperoleh, rencananya akan digunakan untuk bisa mengembangkan mesin dan melakukan kegiatan pemasaran.
Selain menggalang dana, ReCharge juga memiliki target yang ingin dicapai. Di antaranya adalah menambah jumlah mesin secara masif. Saat ini ReCharge sudah memiliki layanan hampir 90% di kawasan Jabodetabek. Mulai dari tempat perbelanjaan, tempat transportasi umum, sekolah, rumah sakit dan lainnya.
Perusahaan juga telah meluncurkan loyalty program kepada pengguna berupa voucher. Dengan mengumpulkan poin dari setiap penyewaan power bank yang dilakukan, nantinya pengguna bisa melakukan redeem point tersebut di mitra ReCharge. Saat ini yang sudah menjalin kemitraan dengan mereka adalah restoran Hokben, rencananya perusahaan akan menambah jumlah mitra lebih banyak lagi.
Ke depannya ReCharge juga ingin menyasar gerai F&B. Dengan menempatkan mesin yang lebih kecil ukurannya, capital expenditure (CapEx) yang lebih kecil dan tentunya lebih cepat dan mudah untuk di-deploy, diharapkan bisa menambah jumlah pengguna ReCharge.
“Kami menargetkan user acquisition khususnya bagi pengguna perangkat mobile yang pertama kali melakukan download dan penyewaan power bank pertama kalinya melalui ReCharge. Selain itu, kami juga ingin meningkatkan permintaan dari para partner bisnis untuk pemasangan mesin ReCharge Station, terutama untuk area retail dan F&B pada wilayah jangkauan kami saat ini yakni Jabodetabek, Bandung, dan Yogyakarta,” tutup Dick.
Startup agritech ARIA mengumumkan perolehan pendanaan sebesar $5 juta (lebih dari 74 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures, investor sebelumnya yang berpartisipasi dalam putaran pra-awal pada Maret 2022. Triputra Group dan GK-Plug & Play kembali berpartisipasi dalam putaran ini, bersama dengan investor strategis lainnya, seperti Michael Sampoerna dan Arkana Ventures.
Dana segar ini akan dialokasikan ARIA untuk membantu petani membangun sistem pertanian termekanisasi dengan pemberdayaan drone, menjamin pengembangan produk yang baik dan terarah, dan pengembangan IoT. Sistem ini terus dikembangkan dengan target spesifik para petani demi kemajuan agrikultur di Indonesia.
Co-founder & CEO ARIA William Sjaichudin menyampaikan perolehan dana segar ini merupakan bukti kuat dari keyakinan ARIA untuk mengembangkan sektor pertanian Indonesia dengan pemanfaatan solusi digital. “Kami percaya solusi yang kami hadirkan dapat membuka potensi terbesar dari industri agrikultur di Indonesia, serta menciptakan dampak positif dalam perkembangan Indonesia secara keseluruhan,” ucapnya dalam keterangan resmi, Senin (29/8).
Partner East Ventures Melisa Irene turut menyampaikan keputusan di balik East Ventures untuk melipatgandakan investasinya di ARIA. Menurut dia, pihaknya telah melihat perkembangan yang positif yang dihadirkan ARIA dalam menyediakan solusi digital yang lebih baik untuk para petani.
“Dengan besarnya potensi di bidang agrikultur Indonesia, kami percaya ARIA akan menjadi solusi yang tepat dalam mengintegrasikan solusi digital dan agrikultur untuk memberdayakan lebih banyak petani di Indonesia,” kata Melisa.
Pencapaian ARIA
Bersamaan dengan pengumuman ini, sambungnya, ARIA turut meluncurkan aplikasi pertamanya, “ARIA TANI”. Aplikasi ini adalah solusi menyeluruh bagi B2C untuk memberikan layanan agrikultur yang terintegrasi. ARIA TANI ditenagai dengan teknologi IoT dan konektivitas untuk meningkatkan produktivitas pada perkebunan skala besar di Indonesia.
“Aplikasi ini menawarkan penggunaan drone sebagai layanan utama dan diintegrasikan dengan layanan produk lainnya, seperti pupuk, agrokimia, serta alat-alat pertanian, untuk memastikan para petani dapat menerima layanannya secara tepat waktu.”
Sebagai catatan, ARIA didirikan pada Oktober 2021 oleh William Sjaichudin, Arden Lim (CPO) dan Yosa Rosario (COO). Mereka menyadari bahwa salah satu permasalahan terbesar dalam sektor agrikultur di Indonesia adalah penurunan jumlah petani yang semakin mengkhawatirkan. Kondisi ini membuat proses penyiraman serta proses panen sulit dilakukan karena keterbatasan tenaga kerja, yang berakibat pula pada turunnya kualitas tanaman, tingginya risiko gagal panen dan menimbulkan kerugian pada petani.
ARIA juga mengembangkan solusi IoT untuk pelacakan para pekerja (worker tracker). pengembangan ini memiliki fokus meningkatkan visibilitas para petani di perkebunan skala besar, serta mengatasi konektivitas yang buruk di kondisi lapangan yang sulit. Solusi ini dikombinasikan dengan mekanisasi pemupukan lewat drone sprayer untuk meningkatkan efisiensi waktu kerja dan pengunaan bahan baku di perkebunan pada tahapan penyemprotan, pemupukan, dan hingga proses panen.
“Dengan pengembangan inovasi IoT dalam penerapan agrikultur, ARIA memberikan sebuah solusi untuk meningkatkan visibilitas dalam kondisi lapangan yang sulit dengan worker tracker yang dapat meningkatkan efisiensi waktu kerja, serta dengan drone sprayer yang memberikan layanan pemupukan secara mekanik. Dengan solusi tersebut, para petani memperoleh hasil analisa lahan dan informasi akurat mengenai kebutuhan pupuk di area-area yang telah ditentukan serta meningkatkan efisiensi pemupukan di lapangan,” ungkap Co-Founder dan CPO ARIA Arden Lim.
“Pada tahun 2022, kami berkolaborasi dengan ARIA untuk mendukung Precision Forestry Project di Provinsi Jambi. ARIA dengan cepat beradaptasi dan mencapai lebih dari 95% pencapaian kuantitatif dalam 3 bulan, yang menjadi bukti performa yang memprioritaskan kepuasan konsumen. Kami berharap pencapaian ARIA dapat ditingkatkan lebih jauh melalui kolaborasi yang saat ini berlangsung dan di masa depan,” ujar Koordinator Remote Sensing Sinar Mas Forestry Umar Hadi Sucipto.
Arden menuturkan, perusahaan akan terus mengembangkan jaringan infrastruktur dan secara cepat membentuk titik distribusi pada 17 cabang yang tersebar di seluruh Indonesia. Tujuannya adalah untuk menjangkau pasar potensial, memudahkan pembelian armada drone dalam jumlah besar, serta pengembangan aset kunci IoT berupa teknologi pelacakan, sehingga menghadirkan nilai tambah dan dampak bermakna bagi para pelanggan ARIA.
Dalam beberapa bulan penerapan, ARIA telah mendapatkan hak eksklusif untuk penyemprotan dengan drone di Indonesia dari Bayer Agrochemicals. Pencapaian ini membuktikan kualitas serta dedikasi yang konsisten terhadap layanan yang dimanfaatkan serta didukung oleh 17 cabang layanan ARIA di seluruh nusantara. ARIA juga mengamankan kontrak pemetaan hutan dengan APP untuk 300 ribu Hektar QC Weeding, dengan hasil terbaik di kelasnya dan memperkuat keunggulan dengan kualitas gambar dan penerimaan sebesar 97%, sehingga menjadi standar terbaru dalam kualitas pekerjaan.
Startup coffee-tech “Morning” mengumumkan pengumpulan pendanaan seri A senilai $5 juta (lebih dari 73,5 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures. Investor sebelumnya, zVentures (modal ventura milik Razer) dan Wee Teng Wen (Grup Lo & Behold), serta investor baru P9 Capital turut berpartisipasi dalam putaran ini.
Morning akan memanfaatkan dana segar tersebut untuk mengembangkan dan mendiversifikasi penawaran produk, serta memperluas kehadiran Morning secara global. Sebagai informasi, pengumuman investasi ditandai oleh penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) yang berlangsung pada acara Indonesia – Singapore Business Forum pada hari ini (14/6) di Hilton Singapore Orchard, Singapura.
Morning adalah perusahaan teknologi kopi dengan visi ingin membuat specialty coffee lebih mudah diakses di lingkungan rumah. Mesin Morning didukung oleh IoT menggunakan fitur presisi penyeduh yang dikombinasikan dengan ekosistem yang digerakkan oleh resep untuk menghasilkan setiap cangkir kopi persis seperti yang diinginkan oleh sang pemanggang.
Pengalaman Mesin Morning dilengkapi dengan Morning Marketplace, sebuah platform yang menampilkan kopi kapsul dari pemanggang kopi terkemuka di dunia. Startup ini didirikan pada pertengahan tahun lalu oleh Leon Foo (CEO) yang memiliki keahlian di bidang kopi.
“Budaya kopi telah berkembang pesat di seluruh dunia dalam dekade terakhir. Ditambah dengan permintaan yang meledak untuk solusi kopi rumahan yang lebih nyaman, didorong oleh pandemi dan tren kerja jarak jauh. Kami percaya bahwa Morning diposisikan secara optimal untuk memanfaatkan tren ini,” ucap Foo dalam keterangan resmi.
Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengatakan, “Kami percaya bahwa pengalaman menikmati kopi yang baik adalah kombinasi dari biji kopi terbaik, roaster, dan kemampuan untuk menyajikannya tepat waktu. Investasi ini akan meningkatkan kolaborasi Asia Tenggara dan memamerkan ekosistem SEA ke pasar global dengan mengintegrasikan biji kopi terbaik Indonesia dengan kemudahan teknologi kopi yang dirancang Singapura dan mesin Morning.”
Sejak peluncuran resminya, Morning telah menjual ribuan Mesin Morning berkemampuan IoT yang ikonik di hampir 30 negara. Cakupan bisnisnya tak hanya di Singapura dan Asia Tenggara saja, tapi akan diperluas ke Inggris dalam rangka melanjutkan ekspansi globalnya selama 12 hingga 18 bulan ke depan.
Morning memberikan pengalaman baru berupa ekosistem IoT dengan resep yang memengaruhi parameter minuman tertentu yang dapat digunakan para pelanggan untuk menyeduh kopi berkualitas kafe dengan satu sentuhan di rumah mereka. Meski praktis, perusahaan menjamin soal kualitas yang tetap terjaga. Saat ini, aplikasi Morning memiliki lebih dari 1.000 resep roaster yang dikembangkan oleh komunitas Morning yang terdiri dari 60 roaster kopi terkemuka.
Sebelumnya, dalam portofolio East Ventures juga terdapat startup yang bermain di gerai ritel kopi bernama Fore Coffee. Asal-muasalnya, Fore Coffee adalah proyek inkubasi dari salah satu portofolio East Ventures, yakni Otten milik Robin Boe. Otten sendiri adalah perusahaan yang menjual alat-alat perkopian, seperti penggiling, mesin espresso, dan penyeduh.
Dalam berjalannya waktu, Fore Coffee kini berhasil memiliki 110 gerai per Februari 2022. Lokasinya tersebar di 18 kota metropolitan, seperti Jabodetabek, Denpasar, Palembang, Yogyakarta, Malang, hingga Batam. Diklaim pula, Fore Coffee menyebut telah menjual 5 juta cup kopi di sepanjang 2021. Salah satu produk musimannya, Almond Cocoa Series yang dirilis akhir November 2021, tercatat menjadi menu terlaris dengan penjualan lebih dari 300 ribu gelas.
Perjuangan untuk digitalisasi di industri akuakultur terus digalakkan oleh banyak pihak. Di tengah potensinya yang menggiurkan, menurut Food and Agriculture Organization, Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 negara peringkat teratas produksi akuakultur, namun banyak proses hulu hingga hilir yang dilakukan secara manual. Kendala tersebut memengaruhi berjalannya proses produksi budidaya di negara ini.
Guntur Mallarangeng, Bobby Indra Gunawan, Alexander Farthing, dan Aristya Noerhadi, dengan latar belakang dari multidisiplin, mencakup akuakultur, ilmu kelautan dan mikrobiologi, serta teknologi dan kewirausahaan; memutuskan untuk menyelesaikan tantangan tersebut. Kemudian DELOS pun lahir pada November 2021. DELOS memperkenal misi “Revolusi Biru”, yakni sebuah cara untuk mengembangkan dan memodernisasi teknologi akuakultur Indonesia agar mampu bersaing dengan pemain sejenis di skala global.
DELOS fokus pada budidaya udang karena merupakan komoditas laut di Indonesia yang paling besar dan berharga. Berdasarkan data yang dikutip DELOS, pertambakan udang adalah industri yang besar tapi tidak optimal. Nilai ekspornya di Indonesia saat ini berada di kisaran $2-2,5 miliar, seharusnya angka tersebut bisa menjadi setidaknya $4-5 miliar per tahun karena Indonesia memiliki garis pantai, iklim, dan masyarakat yang sulit dikalahkan.
“Kenapa industri budidaya maritim Indonesia yang besarnya miliaran USD per tahun, tetap ketinggalan dibandingkan negara lain? Jawaban dari pertanyaan ini menarik, karena jawabannya sama-sama sederhana dan rumit. Sederhananya, tidak banyak petambak yang memiliki kemampuan finansial untuk investasi di bidang teknologi budidaya atau pengertian teknis tentang teknologi budidaya, sehingga akhirnya ketinggalan dengan petambak-petambak di negara lain,” ucap Guntur kepada DailySocial.id.
Ia melanjutkan, jawaban lebih rumitnya ini berkaitan dengan masalah sistemik. Bila dilihat secara makro, masalah-masalah ini berasal dari kurangnya perkembangan dan aplikasi sains pertambakan di Indonesia; kurangnya inklusi finansial di industri pertambakan; kurangnya adopsi teknologi terkini di industri pertambakan; dan kurangnya tenaga-tenaga ahli dan keahlian yang berkembang di industri pertambakan.
“Gabungan dari keempat poin di atas merupakan faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya kemajuan industri pertambakan kita. Kurangnya inklusi finansial dari institusi finansial negeri kita berkontribusi kepada seretnya investasi yang bisa diperoleh industri pertambakan, sehingga membuat harga inovasi, bahkan investasi berkepanjangan, tak terjangkau,” sambungnya.
Guntur bilang, “Kurangnya investasi ini membuat pelatihan dan perkembangan tenaga ahli sangat lambat, bahkan tidak mencukupi untuk target perkembangan industri. Kurangnya tenaga ahli dan investasi membuat riset, perkembangan dan aplikasi sains, dan adopsi teknologi menjadi sulit untuk dipercepat.”
Solusi DELOS
Guntur menjelaskan, sains adalah akar dari industri akuakultur ini karena memiliki proses yang panjang untuk membuat penemuan baru dan menjadikan penemuan-penemuan itu menjadi sesuatu yang bisa diterapkan di lapangan. Dalam menjalani proses tersebut, DELOS mengangkat perspektif yang sedikit berbeda dalam memperkenalkan teknologi kepada petani udang.
“Kita anggap sebuah tambak bagaikan sebuah komputer, maka kita bisa lihat bahwa tambak akan membutuhkan hardware dan software. Selain itu, tambak membutuhkan update sehingga teknologi yang ada sekarang bisa menjadi lebih baik lagi. Teknologi peningkatan produktivitas DELOS dinamakan Aquahero, produk yang tujuannya untuk meningkatkan kesejahteraan dan daya saing petambak Indonesia.”
Aquahero ini ditenagai dengan algoritma prediktif yang dinamai PrawnHub Engine (PH Engine). Mesin tersebut sedang diprogram agar dapat gunakan ratusan hingga ribuan hektar tambak yang telah dikelola perusahaan sebagai dataset. Dataset akan dicerna oleh mesin sehingga DELOS bisa memberikan rekomendasi operasional kepada petambak.
“Selebihnya, kami juga menginstalasikan SOP yang sudah kami riset ke tambak-tambak mitra kami, sehingga mereka bisa menggunakan SOP yang terbaru dan terbarukan, yang sudah terbukti meningkatkan produktivitas. Ini semua didampingi oleh tim DELOS ahli, full-time, untuk mengawasi dan membimbing tambak-tambak mitra kami.”
Sementara itu, dari sisi perangkat kerasnya, ada beberapa poin instalasi infrastruktur yang sudah ada dan harus diinstalasikan. Contohnya, IoT seperti auto-feeder, sanitasi air, pengolahan limbah, dan laboratorium agar kualitas air tetap terjaga. DELOS juga terus melakukan pembaruan di teknologi tersebut dengan riset agar harga capex bisa ditekan dan harga lebih terjangkau.
“Kami sudah mulai riset tentang genetika udang dan penyakit udang (virus dan bakteri) sehingga bisa mulai membuat proses dan alat uji penyakit lebih cepat dan murah, agar dapat menjangkau semua petambak di Indonesia. Kami juga sedang bekerja sama dengan institusi finansial untuk membuat akses finansial lebih mudah untuk mitra-mitra tambak kami.”
Selain produktivitas, DELOS juga turut mengatasi rantai pasok yang terintegrasi ke pasar luar negeri dan akses keuangan masih menjadi masalah mendasar bagi industri akuakultur Indonesia. Lewat solusi AquaLink, memungkinkan petambak udang dengan pemasok untuk memfasilitasi penjualan hasil panen dengan harga dan sistem pembayaran yang terbaik.
Tantangan selanjutnya yang akan dijawab oleh DELOS adalah akses finansial dan kesulitan permodalan yang dialami banyak petambak independen. Lantaran, banyak petambak terpaksa menggunakan uang dari kantong mereka sendiri sebagai modal usaha. Ini merupakan hambatan besar karena banyak petambak yang tidak memiliki rencana cadangan jika tambak udang mereka tidak menghasilkan keuntungan.
Melalui AquaBank, DELOS menghadirkan layanan pendanaan yang dilengkapi dengan penilaian risiko dan kebutuhan yang unik untuk setiap tambak dan pemiliknya. Dengan demikian, petambak dapat terbantu mencapai kesuksesan.
Guntur melanjutkan, masing-masing produk dan jasa memiliki strategi go-to-market (GTM) dan timeline yang berbeda-beda. Semuanya ini kembali berakar pada sains. Sains memiliki proses yang panjang untuk membuat penemuan baru dan menjadikan penemuan-penemuan itu menjadi sesuatu yang bisa diterapkan lapangan.
Ia pun meyakini lewat kerja sama dengan banyak petambak dan laboratorium di seluruh Indonesia, DELOS optimistis solusinya yang sedang dalam uji riset dapat diaplikasikan dalam satu hingga dua tahun mendatang, terutama yang sifatnya berbasis SOP dan membutuhkan dataset yang besar.
“Untuk hal-hal yang bersifat genetik, mungkin akan membutuhkan waktu yang sedikit lebih lama. Namun, kami percaya bahwa terobosan-terobosan ilmiah ini harus dikerjakan dan diterapkan, agar Indonesia bisa menjadi pemimpin dunia dalam budidaya maritim.”
Rencana berikutnya
Di samping bisnis, DELOS juga menaruh perhatian besar bagi pengembangan sumber daya manusia dalam industri akuakultur. Pihaknya akan mendirikan DELOS Maritime Institute (DMI) di Yogyakarta sebagai pusat pelatihan dengan kurikulum kelas dunia dan praktik lapangan, untuk menciptakan generasi baru siap kerja di bidang akuakultur sebagai manajer tambak, teknisi, asisten laboratorium, maupun petugas lapangan.
Selain itu, DMI juga akan menjadi pusat penelitian ilmiah dan teknologi di bidang akuakultur, di antaranya pendeteksian dini dan pencegahan penyakit hewan ternak serta inovasi infrastruktur tambak. “Proses edukasinya cukup panjang, tetapi memang kami siapkan tim untuk mengurus masing-masing mitra petambak. Kami ibaratkan tambak seperti sekolah dan lab besar, sehingga proses pembelajaran tidak pernah berhenti.”
Diklaim, sejak pertama kali beroperasi hingga kini, DELOS on track untuk menjalankan pendampingan 100 hektare tambak udang intensif dan super-intensif dalam waktu dekat. Permintaan dari berbagai wilayah untuk disambangi DELOS turut membludak.
“Lebih dari 600 hektar tambak yang masih menunggu sentuhan DELOS. Kami memang ingin mendorong Indonesia untuk sadar bahwa lautan kita yang luas memiliki potensi besar untuk menjadi sumber penggerak ekonomi nasional yang besar dan berkelanjutan.”
Dalam menjalankan bisnisnya, Guntur mengaku bahwa DELOS memiliki falsafah bisnis yang cukup sederhana: value creation dan value capture. Untuk create value, atau menciptakan nilai tambah, di industri pertambakan dengan cara meningkatkan hasil produksi industri secara menyeluruh.
Selebihnya, pihaknya akan mulai mencari untung ketika industri sudah merasakan dampak positif operasional dan kontribusi DELOS. Semua solusi yang ditawarkan sifatnya kolaboratif. “Semua tambak-tambak kami bermitra dengan kami, entah itu solusi peningkatan produktivitas, solusi supply chain, atau solusi financing. Yang kami berusaha untuk bangun adalah kepercayaan dan hubungan kerja jangka panjang.”
Bukan rahasia umum kalau industri akuakultur di Indonesia penuh dengan isu klasik, sehingga menjadikannya tidak seseksi industri riil dan nonriil lainnya. Kendala tersebut memengaruhi berjalannya kegiatan akuakultur di negara ini. Padahal, menurut Food and Agriculture Organization, Indonesia menempati peringkat ke-2 dari 10 negara peringkat teratas produksi akuakultur.
Meski masuk posisi atas, akan tetapi jumlah total produksi akuakultur negara ini sangat jauh berbeda dengan Tiongkok. Pada 2019, produksi ikan budidaya di Tiongkok sebesar 68,42 juta ton per tahun, sementara Indonesia 15,89 juta ton. Padahal, panjang garis pantai Tiongkok yang bisa dimanfaatkan untuk budidaya hanya 14.500 km, sementara Indonesia 99.083 km.
Kiwi Aliwarga dan Rico Wibisono, dengan latar belakang yang mendalam di dunia akuakultur mencoba untuk menyelesaikan isu klasik ini dengan mendirikan FisTx (dibaca Fistek) di Yogyakarta pada 2019. Kiwi sendiri merupakan pengusaha diaspora yang sukses membangun bisnis di Myanmar. Di kancah startup, Kiwi membangun UMG Idealab yang merupakan lengan investasi dari UMG Myanmar. Portofolionya tersebar di regional, tidak hanya di Indonesia saja, mulai dari Aruna, Crowde, Botika, Prosehat, Perawatku, Arutala, dan lainnya.
Sementara itu, Rico Wibisono punya ketertarikan di dunia perikanan sejak kecil hingga akhirnya melanjutkan di bangku kuliah. Kemudian, terjun ke industri ini dengan bekerja untuk berbagai perusahaan di CP Prima, Manggalindo, dan beberapa proyek di luar Indonesia, yakni di Vietnam, Brazil, Arab Saudi, dan Brunei Darussalam mengerjakan proyek tambak udang.
“Ketertarikan kami dalam dunia akuakultur, meneruskan kami untuk mengembangkan teknologi perikanan yang berkelanjutan berfokus pada 3P (profit, people, planet),” terang Co-founder dan COO FisTx Rico Wibisono kepada DailySocial.id.
Inovasi FisTx
FisTx menyoroti setidaknya ada empat tantangan dalam budidaya tambak udang, yakni manajemen tambak, operasional, tambak, dan alam, contohnya pemilihan lokasi tambak yang rawan bencana alam, seperti tsunami dan gempa. Oleh karenanya, FisTx berfokus pada pengembangan teknologi untuk budidaya udang pada proses perbaikan air yang lebih berkelanjutan.
Misalnya, mobile water sterilizer yang merupakan teknologi desinfeksi ramah lingkungan dengan sinar ultraviolet. Teknologi ini tidak menghasilkan residu bila dibandingkan dengan bahan kimia bahkan bisa mengefisiensikan biaya disinfektan sebesar 35%-53%. Alat ini juga dapat digunakan sebagai water treatment unit.
Kemudian, mengembangkan Recirculating Aquaculture System (RAS), yakni teknologi yang berkonsep kolam petak untuk sistem budidaya secara intensif dengan memanfaatkan air secara terus menerus, sehingga air pada kolam utama terjaga kualitasnya, menghemat penggunaan air dan biaya pergantian air. Produk ini serupa dengan akuarium, air kolam tidak dibuang tetapi disaring terus menerus. Air yang ada di kolam dapat dikonservasi dan dipakai berkesinambungan dengan sistem filtrasi yang perusahaan kembangkan.
Berikutnya, menghadirkan teknologi untuk imbuhan pakan guna meningkatkan penyerapan nutrisi, sehingga pertumbuhan lebih cepat dan limbah lebih sedikit. “Semua teknologi ini diarahkan pada keberlanjutan dan kesejahteraan petambak. Proses development-nya bergantung pada ketersediaan sumber daya dan kebutuhan pasar, ada yang tiga sampai delapan bulan.”
Disediakan pula aplikasi yang dinamai FisTx Aquagram yang dapat digunakan petambak untuk memantau kondisi tambak langsung dari ponsel mereka. Aplikasi merupakan teknologi pengukur kualitas air yang dapat mencatat kualitas air secara real time, tidak hanya untuk satu petak tambak tapi juga memantau empat petak sekaligus. Petambak akan memperoleh informasi terkait durasi pemberian pakan, jarak waktu pemberian pakan, kadar oksigen, hingga suhu dan tingkat keasamaan air.
Dalam satu alat sensor, mampu mengukur berbagai indikator. Beberapa di antaranya, suhu air kolam, EC, nilai pH, DO (Dissolved Oxygen atau kadar oksigen terlarut) dan ORP (Oxidation Reduction Potential). Semua data ini akan muncul pada aplikasi FisTx dalam sekali klik.
Dari seluruh rangkaian produk tersebut, FisTx menyesuaikan kembali dengan kebutuhan para petambak. Pihaknya menyediakan FisTx 360 yang merupakan sistem berlangganan untuk membantu semua kebutuhan budidaya, mendampingi petambak dengan konsultasi dan manajemen tambak selama satu siklus, mulai dari persiapan hingga panen. “Tapi kami juga menyediakan sistem beli putus, terutama untuk konsumen kami yang belum dijangkau oleh tim offline, tapi kami tetap terbuka dengan konsultasi online.”
Rico mengakui proses edukasi dalam memperkenalkan solusi Fistx tidak bisa dianggap sepele. Karena animo positif baru diterima perusahaan, apabila lokasi tambak dan persona petambaknya dilihat dari psikologi dan psikografinya. Maka dari itu, saat masuk ke lokasi baru perusahaan mengambil strategi dengan mencari early adopter dan dikawal hingga muncul hasil panen yang memuaskan.
“Dari situ terjadilah mouth to mouth branding, inilah yang kami lakukan dalam menjawab itu. Alhamdulillah, hingga saat ini kami memiliki 340 petambak yang tersebar di 21 provinsi.”
Salah satu perusahaan yang sudah menggunakan teknologi FisTx adalah PT Nayottama Kelola Laut Indonesia (NKLI). Awalnya, NKLI menggunakan teknologi existing Aqua Input sejak 2021 dan merasakan terjadinya peningkatan hasil tambak secara berkala dari 18 ton hingga 51 ton per hektare atau kenaikan hampir tiga kali lipat.
Kemudian, NKLI upgrade teknologi terbaru RAS FisTx untuk kolam budidaya yang terletak di Tasikmalaya, Jawa Barat, Januari 2021 lalu. Selain ramah lingkungan, manfaat lain yang didapat dari penggunaan teknologi RAS adalah meningkatkan produktivitas, meminimalisir permasalahan udang mati dini, dan hemat hingga 30% jika dibandingkan dengan pemakaian kimia seperti kaporit. Produksi per hari pun lebih cepat, tingkat pertumbuhan meningkat rata-rata sekitar 20%, dengan efisiensi pakan hingga 23,5%.
Harapan di akuakultur
Rico menilai solusi yang dibangun oleh FisTx ini sejatinya dapat diimplementasikan di luar tambak udang, seperti kepiting, belut, lobster, dan sidat. Hal tersebut sudah menjadi misi berikutnya perusahaan, kendati fokus utama saat ini masih pada budidaya udang.
“Potensi perikanan Indonesia luar biasa besar dan kami akan berikan hak yang sama untuk setiap spesies lain untuk dibudidayakan secara luas. [..] menjadi karunia besar bagi kami untuk bisa mengembangkan spesies lokal yang memiliki high demand, sehingga dapat memajukan pesisir seperti peradaban maritim yang ditinggalkan oleh nenek moyang kita. Melalui budaya ini, kami ingin mengulang kembali kejayaan peradaban pesisir.”
Saat ini, FisTx didukung dengan 19 orang, terbagi jadi empat orang sales offline, tiga sales Aqua Input, dan satu sales project. Perusahaan akan terus menambah tim, terutama untuk bagian teknis dan expert agar solusi FisTx dapat lebih masif diadopsi banyak petambak di Indonesia. Meski tidak dijelaskan secara rinci, FisTx telah didukung dengan sokongan investasi dari UMG Idealab, perusahaan yang juga dipimpin oleh Kiwi.
“Tahun ini kami berfokus pada dua hal, yaitu sebagai base untuk target bisa profit di 2023 dan melakukan branding,” tutup Rico.
One of the biggest obstacles in the agriculture industry is the lack of interest among young generation of becoming farmers. The large amount of land to be cultivated using conventional methods also makes it difficult for most farmers to optimize their performance.
In fact, when there is a pest attack, farmers should have anticipated quickly and it usually requires a large number of workers to carry out the process. As a result, many farmers experienced crop failures and large losses because it was too late to overcome the issue.
Through this problem, ARIA, as an agritech startup, comes with a solution to increase productivity using drones and IoT, while providing prevention and predictive agricultural solutions to large-scale farmers and plantations. In addition, the idea for developing this product is to help farmers and plantation owners get good agricultural products, while at the same time attracting more young farmers to enter the agricultural sector.
ARIA’s Co-Founder & CEO, William Sjaichudin revealed to DailySocial, starting with drone technology, they wanted to be an agritech platform that could help farmers get quality agricultural products with the right planting process, while minimizing labor work in the field.
“Most agritech platforms in Indonesia are currently focused on the supply chain. However, many of them are complaining about the low quality of farmers’ harvests. With the technology and services we have, we want to overcome these problems and focus on quality control,” William said.
Focus on B2B segment
ARIAwas co-founded by Arden Lim (CPO) and Yosa Rosario (COO). Currently, they operate two business verticals, B2B companies such as plantations and forestry. Especially for B2B clients, ARIA provides SaaS technology that helps them to carry out the planting process using directly connected data, so they can carry out accurate spraying activities.
Meanwhile, for both individual and farmers who own plantations, they expect to apply the best practices that previously been applied to large companies such as Sampoerna, Sahabat Agro Group, Sinarmas, Triputra Group, and as ARIA’s current clients.
“Our target this year is to be able to serve 60 to 70 percent of B2B clients and 30 percent to farmers. We hope that ARIA can also help through programs owned by local governments and available vacant land,” William added.
Starting from technology, ARIA is quite confident to create jobs that attract the new potential farmers in Indonesia. Therefore, the regeneration of farmers can run well, replacing the farmers who are currently fewer in number and most of them have aged.
From the responses of farmers in various regions who welcome their mapping technology and drone spray, ARIA sees the potential to be able to produce new young farmers and drone pilots in the future.
“For the drone pilots, we currently have around 16 people and targeting to grow 40 more by the end of the month. Our drone pilots come from each region, adjusting the demand from the units ordered,” William said
ARIA adopts a business model as a service company. As buying and selling drones is difficult, their way of running a business is to provide drones at a low cost, service per hectare. Thus, it can be more affordable for farmers. In order to integrated services, ARIA also collaborates with Bayer in the supply of chemicals for agriculture.
“In the future, we want to be able to make our own drones. What distinguishes us from other platforms is our direct approach by providing solutions. We are an end-to-end software and hardware platform for farmers,” William said.
Early stage fundraising plan
Currently, ARIA has secured pre-seed funding, which was organized and led by GK-Plug and Play Indonesia, East Ventures and market leaders in agriculture and logistics such as Triputra Group, Waresix, and Sahabat Group who participated in this series.
ARIA will use this funding to develop its infrastructure network and quickly establish distribution points in 17 branches spread across Indonesia to reach 40 billion hectares of ARIA’s potential market. This development was also accompanied by the purchase of a large drone fleet, as well as the development of a key IoT asset in the form of tracking technology to provide value and impact of change for ARIA customers.
“It is very important for ARIA to deal with the regeneration of young Indonesian farmers, who are constrained by limited land and suffer from working in low-income professions throughout Indonesia. Farmers in Indonesia are slowly dying. ARIA’s vision is to grow a new generation of young millennial farmers who are tech-savvy and able to compete and develop at a global level,” William said.
In order to get a strategic partner who can help ARIA open up more opportunities, in the near future ARIA will also complete an early stage fundraising. It’s in the finalizing stage, according to the plan, ARIA will get the fresh funds at the end of March.
“The biggest advantage in Indonesia as an agriculture country is being a farmer. However, as they are still using the conventional methods, the opportunities and benefits that can be obtained by farmers stay limited. Through ARIA, we want to make the farming profession more profitable,” William concluded.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian