Tag Archives: Ishara Yusdian

Jaring Pangan (JaPang)

Jaring Pangan Dapat Pendanaan Pra-Seri A dari Gayo Capital, Akan Realisasikan Token Komoditas di 2024

Startup rantai pasok komoditas Jaring Pangan (JaPang) mendapat pendanaan pra-seri A sebesar $11,5 juta atau 175 miliar Rupiah dari Gayo Capital. JaPang akan memperkuat pasokan komoditas di sektor hulu (upstream) sebagai strategi kunci menuju pengembangan token komoditas (commodity token) di 2024.

DailySocial.id berkesempatan berbincang eksklusif dengan JaPang; Co-founder Tjong Benny dan Edison Tobing, Executive Chairman Ivan Arie Sustiawan, serta Gayo Capital; Co-founder dan Managing Partner Ishara Yusdian dan Investment Principal Eldo Wana Kusuma.

Disampaikan Ishara, Gayo Capital memiliki komitmen investasi sebesar $11,5 juta dengan menggabungkan antara debt financing dan equity. Investasi akan dikucurkan secara bertahap di mana fokus utama tahun pertama adalah memperkuat cakupan pasokan komoditas di Pulau Jawa.

Hal ini untuk memperkuat posisi JaPang dan mitra di sektor hulu dalam membangun dan mengendalikan sekitar 10% dari volume transaksi komoditas di wilayah terkait melalui kolaborasi dan/atau akuisisi mitra di sektor hulu. Strategi ini akan memperkuat underlying dari token komoditasnya nanti.

Sebelumnya pada akhir 2021, JaPang telah mendapat suntikan investasi awal (seed) senilai $500 ribu yang merupakan gabungan dari para pendiri dan sejumlah angel investor.

“Kami memiliki tiga lapis assessment risk untuk menentukan apakah startup dapat tumbuh, mencapai profitabilitas, dan punya exit path. Kami mulai dari debt financing, misalnya, tiga bulan pertama harus capai zero NPL. Ini penting untuk memastikan investasi dapat diputar menjadi GMV, opex, dan lainnya. Kemudian diputar lagi pada bulan berikutnya sampai 12-18 bulan ke depan,” tutur Ishara.

Selain memperkuat 10% kontrol supply chain pada wilayah yang ditargetkan, pihaknya berharap pertumbuhan bisnis dari mitra downstream (JaPang Warung Rakyat/JAWARA dan Juragan) juga tercapai. “Kami meyakini Japang dapat memiliki confidence level lebih dalam debut penawaran token komoditas dengan mitra strategis yang direncanakan apabila strategi KPI tersebut terpenuhi,” tambahnya.

Pada pendanaan kali ini, Ishara Yusdian juga masuk sebagai Strategic Advisor di JaPang. Dengan pengalamannya sebagai serial investor dan corporate venture builder di Amerika Utara, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru, ia akan membantu memperkuat model bisnis dan operasional JaPang hingga siap menuju Sustainable Web3.

Sementara, Tjong Benny mengatakan pihaknya fokus mendigitalisasi sektor pertanian dan peternakan agar sejalan dengan visinya menjaga pasokan pangan di Indonesia. Ada dua segmen pasar yang dibidik, yakni B2B dan B2B2C untuk memberdayakan pelaku UMKM dengan produk utama beras, daging, dan ayam.

Produk ini dipilih mengingat potensi pasarnya besar, yakni potensi konsumsi beras nasional mencapai $22 miliar di 2020, sedangkan daging dan ayam nasional mencapai $6,3 miliar. Japang juga menyediakan bahan pokok makanan lainnya, yakni telur, gula, dan garam.

“Awalnya, kami mulai dengan B2B melalui strategi private label untuk masuk ke pasar. Memang traction B2B besar, tetapi belum bisa merata atau sustainable. Namun, kami melihat kebutuhan masyarakat sangat besar. Kami bergerak ke B2B2C agar dapat menjangkau lebih banyak user. Untuk skala pasar Indonesia, segmen ini kurang tersentuh,” jelasnya.

Kuasai 10% pangsa

Saat ini, JaPang baru mencakup sekitar 2%-3% permintaan pasokan di Jabodetabek dan Surabaya, itu pun dipenuhi oleh lini B2B2C JaPang Warung Rakyat (JAWARA). Menurut Ishara, dengan jumlah mitra RMU yang dimiliki saat ini, Japang dapat berpotensi memenuhi 10% dari permintaan commodity trading di kawasan tersebut.

“Jika dikalkulasi dalam 1-3 tahun ke depan, Japang bisa menjadi referensi index pricing berdasarkan transaksi yang terjadi. Maka itu, kami ingin JaPang engage dengan strategic partner yang dapat menjangkau pemain upstream. Sulit untuk menguasai 10% [pangsa] commodity trading kalau tidak bermitra dengan pelaku upstream,” lanjutnya.

Ivan Arie Sustiawan menambahkan, JaPang akan menambah jumlah sourcing pasokan mereka untuk memastikan ketersediaan supply dan demand dapat terpenuhi sesuai roadmap. JaPang kini telah bekerja sama dengan 10 rice milling unit (RMU), 3 rumah patok ayam, dan 2 kandang telur.

Selain itu, JaPang juga akan bekerja sama dengan penjamin komoditas (off-taker) untuk jangka panjang, baik dari BUMN maupun sektor swasta. Pada komoditas beras misalnya, produksi penggilingan padi oleh mitra RMU hanya untuk JaPang. Penambahan jumlah RMU juga akan bergantung dari milestone JaPang ke depan.

“JaPang tak hanya membidik sebagai pemimpin di pasar commodity trading, tetapi juga menjadi market maker. Kenapa memperkuat sisi upstream? Siapa pun yang bisa lock suplai di upstream, bisa menjadi market maker. Itu yang kami lakukan, baik itu beras, ayam, atau telur. Semoga bisa tercipta kestabilan harga dan jaminan ketersediaan,” ujarnya.

Token komoditas JaPang

Upaya JaPang untuk memperkuat pasokan dari sektor hulu dalam dua tahun ke depan menjadi langkah strategis untuk merealisasikan pengembangan token komoditas (commodity token) di 2024. Pengajuan lisensi ke Bappebti dan peluncuran token ini juga dilakukan secara bertahap sambil mengikuti perkembangan regulasi terkait.

Menurut Japang, commodity token justru memiliki underlying operation yang nyata dibandingkan dengan aset kripto, seperti Bitcoin atau Ethereum. Dalam kasus ini, JaPang fokus pada rantai pasok komoditas bahan pokok sebagai underlying. Token ini dapat menjadi salah satu cara bagi masyarakat yang tidak punya akses layanan keuangan untuk mencari modal usaha.

“Kami harap dapat menjadi yang pertama [meluncurkan token komoditas di Indonesia] karena kami sudah ada konsep dan kriteria. Staple food akan menjadi salah satu faktor utama kami menciptakan tokenomic. Apabila terwujud, ini bisa menjadi game changer di staple food. Kita tidak lagi bicara social commerce atau grocery karena harganya akan bergantung pada commodity token itu,” tambah Ivan.

Token komoditas bukanlah hal baru. Di 2017, ada sebuah proyek penggalangan dana bernama Bananacoin (BCO) yang diinisiasi pengembang asal Rusia untuk perkebunan pisang di provinsi Vientiane, Laos. Mengacu sejumlah sumber, harga BCO dipatok senilai $0,50 pada Initial Coin Offering (ICO). Untuk memastikan BCO bernilai, setiap token mengacu pada harga satu kilogram pisang di pasar.

“Sebelum masuk ke tokenomic, kami harus mencapai beberapa hal, termasuk target 10%. The closer we get there, ini akan menjadi kekuatan dalam proposal bahwa underlying kami sudah bisa represent komoditas supply chain, sehingga kami–bukan menentukan harga–berpartisipasi pada index pricing itu sendiri. Ini akan membuat stablecoin bisa di-exchange,” tutur Edison Tobing.

Sustainable Web3

Lebih lanjut, Ishara menuturkan sejak setahun terakhir Gayo Capital tengah mengeksplorasi potensi bisnis, terutama agritech, yang dapat dibawa ke jenjang Web3. Pihaknya mulai mengubah tesis investasinya di mana fokus utama tetap pada sektor impact. Namun, pihaknya membatasi investasi startup di sektor hulu yang modelnya masih tradisional.

“Di Gayo Capital, we will still focus on our part which is impact. Namun, kami ingin melihat portfolio mana yang sekiranya punya benang merah untuk kami embark ke Web3. That’s why our new investment thesis kita namai Sustainable Web3,” ungkapnya.

Menurutnya, JaPang siap melangkah menuju sustainable Web3 karena memiliki model bisnis yang baik dan bermain pada rantai pasok komoditas yang banyak dikonsumsi orang Indonesia. Baik beras, ayam, dan telur, punya trading cycle yang sangat tinggi atau bisa mencapai empat kali perputaran di pasar per minggu, per bulan, hingga per tahun.

Sementara itu, Eldo Wana Kusuma menambahkan inisiatif ini menjadi langkah besar untuk mendorong transparansi agrikultur di Indonesia. Apalagi pihaknya telah melihat sejumlah tantangan yang dialami pelaku agri di lapangan, salah satunya adalah kecurangan harga pada hasil panen petani oleh pihak ketiga.

“Kami melihat [commodity token] ini sebagai sustainable token, bukan yang bisa ‘digoreng’ sesuka hati. Commodity token tidak akan menggantikan fungsi P2P atau layanan inklusi keuangan. Idenya adalah [mendorong] transparansi harga komoditas. Token beras, misalnya, akan selalu diperbarui sesuai harga pasar di dunia. Real time.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here

Gayo Capital Announces Two New Portfolios, Alatté Beauty and PasarMIKRO

The venture company under Ideosource, Gayo Capital, officially announced seed funding for two of its newest portfolios, Alatté Beauty and PasarMIKRO. Gayo Capital is reluctant to mention the exact investment value the two have received. However, Alatté Beauty is said to have secured around $100- $500 thousand, while PasarMIKRO around $500 thousand – $1 million.

Gayo Capital’s Co-founder & Managing Partner, Ishara Yusdian said the two portfolios are in line with the company’s vision to provide “impact investment”. He also prepared a business roadmap to encourage future business growth for both of them.

“We are impact investors. Therefore, we incubate first, give mentoring and pre-seed rounds before the product launches. Once launched, we entered as investors for the seed round,” Ishara said in an interview with DailySocial.

Thus, Gayo Capital has nine portfolios now, including in the agricultural segment (Lampung Cocoa Farmers, Inacom, Tunas Farm, PasarMIKRO, AGRetail & AGLogistics), waste management (WLabku, DAUR), and lifestyle (Alatté Beauty and Foom).

Alatté Beauty’s development

Throughout 2020, Gayo Capital saw a trend of increasing sales of beauty products during the pandemic. Moreover, his team began to conduct various researches in Q2 2020 and found that the average local cosmetic brand is still using the retail business model. In order to invest in this sector, Ishara said he wanted to find a business model that could have a broad impact.

He said, Alatté met Gayo Capital’s criteria. With a reseller-based business model, he believes Alatté can have a broad impact, especially for MSMEs in Indonesia. In contrast to most retail cosmetic brands, which are considered to require large capital to become a reseller. In fact, there is no assistance regarding selling, engagement, and transformation to digital selling.

“After our exploration, we found that Alatté has a different model from other brands, partnering with individuals and MSMEs. Think about resellers, such as the Oriflame [model]. Therefore, Alatté prepared the whole thing, the reseller will make sales and they will receive coaching, starting from the framework, marketing, and going to the market. Indirectly, Alatté is one of the medium to increase the GDP contribution from MSMEs,” he explained.

Ishara said, Alatté has achieved organic growth. Moreover, Alatté’s focus in 2021 is to fully increase sales figures through digital platforms, such as Tokopedia and Shopee. In 2022, Alatté will expand to offline stores, such as Watson, Sephora, Sociolla, and Metro.

Next, in the following year, then Alatté will enter into innovation development. One of the use cases that is currently being prepared is the development of face recognition to provide a virtual experience for buyers of Alatté cosmetic products.

“it’s currently on trial. But, we’ll be able to launch it if we have a significant number we can get. Therefore, it depends on the reseller in the area. Alatté’s equity value is different from other brands. The sales forecast seems very close . For example, when the equity value has been built, we want to make Alatté the first local cosmetics brand to be IPO,” he said.

Farmer’s financing facility

Next, the PasarMIKRO, this platform is prepared to synergize with existing portfolios in agriculture, Lampung Cocoa Farmers (PKL) and Inacom. Ishara revealed, PasarMIKRO  has provided financing facilities to more than 50 farmers. This year, his team targets to provide access to finance to 200 farmers in Indonesia.

In a general note, PasarMIKRO provides financing facilities for upstream farmers with risk profiling in accordance with POJK. Ishara assessed that farmers and ranchers in the regions have the ability to supply their crops to large retailers, such as Carrefour and Giant. However, this is considered difficult without the help of middlemen.

“PasarMIKRO has a business model similar to Investree P2P, only it is channeled into the captive market, including farmers and breeders. PasarMIKRO also provides facilities where farmers can trade their crops to agri food companies, such as Japfa Comfeed,” he added.

Target in 2021

During this year, Gayo Capital is preparing some other plans. Ishara revealed that his team would collaborate with the International Design School (IDS) and state-owned subsidiary PT INTI to prepare digital-based learning content. He said, the pre-employment market potential is huge, especially after Lebaran.

As a general note, IDS is owned by Andi Boediman, who is also a Managing Partner at Ideosource. Gayo Capital will announce a new portfolio in the third quarter, a Singapore-based insurtech platform, Ocktolife.

In addition, the company will launch three incubation programs this year. First, Start Camp Asia which aims to consolidate and integrate the MICRO Market with the existing portfolio. Second, Codiac for the integration and collaboration of AGRetail & AGLogistics with external parties.

Third, PILAR, the program that prepares leadership assistance for its portfolio, most of which are from agricultural verticals. “I think we have to have standards for those running the company. Currently, we are still providing one by one assistance,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Partner di Gayo Capital, meliputi Jefri Sirait, Ishara Yusdian, dan Edward Ismawan Chamdani / Gayo Capital

Gayo Capital Umumkan Dua Portofolio Baru, Alatté Beauty dan PasarMIKRO

Perusahaan ventura di bawah naungan Ideosource, Gayo Capital, resmi mengumumkan pendanaan tahap awal untuk dua portofolio terbarunya, yaitu Alatté Beauty dan PasarMIKRO. Gayo Capital enggan menyebutkan nilai investasi pasti yang diterima keduanya. Namun, Alatté Beauty disebutkan mengantongi investasi di kisaran $100-$500 ribu, sedangkan PasarMIKRO di rentang $500 ribu-$1 juta.

Co-founder & Managing Partner Gayo Capital Ishara Yusdian mengatakan, kedua portofolio tersebut sejalan dengan visi perusahaan untuk memberikan “impact investment”. Pihaknya juga telah menyiapkan roadmap bisnis untuk mendorong pertumbuhan bisnis keduanya ke depan.

“Kami adalah impact investor. Jadi awalnya kami inkubasi dulu, berikan mentoring dan pre-seed round sebelum produk meluncur. Begitu sudah meluncur, kami masuk sebagai investor untuk seed round,” ujar Ishara dalam wawancaranya kepada DailySocial.

Dengan demikian, Gayo Capital kini telah memiliki sembilan portofolio, antara lain di segmen agrikultur (Petani Kakao Lampung, Inacom, Tunas Farm, PasarMIKRO, AGRetail & AGLogistics), waste management (WLabku, DAUR), dan lifestyle (Alatté Beauty dan Foom).

Pengembangan Alatté Beauty

Di sepanjang 2020, Gayo Capital melihat ada tren peningkatan penjualan produk kecantikan selama masa pandemi. Dari sini, pihaknya mulai melakukan berbagai riset di Q2 2020 dan menemukan bahwa rata-rata brand kosmetik lokal masih menggunakan model bisnis ritel. Untuk berinvestasi di sektor ini, Ishara menyebut ingin mencari model bisnis yang bisa memberikan dampak luas.

Menurutnya, Alatté memenuhi kriteria yang dicari Gayo Capital. Dengan model bisnis berbasis reseller, ia meyakini Alatté dapat memberikan dampak luas, terutama bagi UMKM di Indonesia. Berbeda dengan kebanyakan brand kosmetik ritel yang dinilai membutuhkan modal besar untuk menjadi reseller. Bahkan, tidak ada pendampingan mengenai cara berjualan, engagement, dan transformasi ke digital selling.

“Setelah kami eksplorasi, kami menemukan Alatté memiliki model berbeda dari merek lain, yaitu partnering dengan individual dan UMKM. Think about reseller, seperti [model] Oriflame. Jadi semua disiapkan oleh Alatté, reseller akan melakukan penjualan dan mereka akan menerima pembinaan, mulai dari framework, marketing, hingga go to the market-nya. Jadi, secara tidak langsung, Alatté menjadi salah satu upaya mendongkrak kontribusi GDP dari UMKM,” jelasnya.

Menurut Ishara, saat ini Alatté sudah mengantongi pertumbuhan secara organik. Untuk itu, fokus Alatté di 2021 adalah menaikkan angka penjualan sepenuhnya melalui digital platform, seperti Tokopedia dan Shopee. Di 2022, Alatté akan merambah offline store, seperti Watson, Sephora, Sociolla, dan Metro.

Kemudian di tahun selanjutnya, barulah Alatté akan masuk ke pengembangan inovasi. Salah satu use case yang tengah disiapkan adalah pengembangan face recognition untuk memberikan virtual experience bagi pembeli produk kosmetik Alatté.

“Sekarang lagi trial. But, we’ll be able to launch it if we have a significant number yang bisa kami dapatkan. Jadi sekarang tergantung dari reseller di daerah. Equity value Alatté berbeda dibanding brand lain. Sales forecast sudah kelihatan mendekati lah sekarang. Semisal sudah bangun equity value, kami bahkan ingin buat Alatté jadi brand lokal kosmetik pertama yang di-IPO-kan,” paparnya.

Fasilitas pembiayaan petani

Berlanjut ke PasarMIKRO, platform ini dipersiapkan untuk dapat bersinergi dengan portofolio existing di agrikultur, yaitu Petani Kakao Lampung (PKL) dan Inacom. Ishara mengungkap, saat ini PasarMIKRO telah memberikan fasilitas pembiayaan ke lebih dari 50 petani. Tahun ini, pihaknya menargetkan dapat memberikan akses pembiayaan ke 200 petani di Indonesia.

Sebagaimana diketahui, PasarMIKRO menyediakan fasilitas pembiayaan bagi petani di hulu dengan risk profiling sesuai dengan POJK. Ishara menilai bahwa petani dan peternak di daerah memiliki kemampuan untuk memasok hasil panennya ke peritel besar, seperti Carrefour dan Giant. Namun, hal ini dinilai sulit tanpa bantuan perantara tengkulak.

“PasarMIKRO memiliki model bisnis seperti pemain P2P Investree, hanya saja ini disalurkan untuk captive market, yaitu petani dan peternak. PasarMIKRO juga sediakan fasilitas di mana petani bisa trading hasil panen ke perusahaan makanan agri, seperti Japfa Comfeed,” tambahnya.

Target di 2021

Di sepanjang tahun ini, Gayo Capital juga tengah menyiapkan sejumlah rencana lainnya. Ishara mengungkap, pihaknya akan bekerja sama dengan International Design School (IDS) dan anak usaha BUMN PT INTI untuk menyiapkan konten pembelajaran berbasis digital. Menurutnya, potensi pasar pra-kerja sangat besar, terutama usai Lebaran nanti.

Sekadar informasi, IDS dimiliki oleh Andi Boediman, yang juga merupakan Managing Partner di Ideosource. Gayo Capital juga akan mengumumkan satu portofolio baru di kuartal ketiga ini, yaitu Ocktolife, platform insurtech berbasis di Singapura.

Selain itu, perusahaan juga akan meluncurkan tiga program inkubasi di tahun ini. Pertama, Start Camp Asia yang bertujuan untuk melakukan konsolidasi dan integrasi PasarMIKRO dengan portofolio existing. Kedua, Codiac untuk integrasi dan kolaborasi AGRetail & AGLogistics dengan external party.

Ketiga, PILAR atau program mempersiapkan pendampingan leadership bagi portofolionya yang sebagian besar dari vertikal agrikultur. “Rasanya kami harus punya standarisasi untuk mereka yang running the company. Kalau sekarang, kami masih memberikan pendampingan one by one.” Tambahnya.

Gayo Capital’s First Move as Ideosource’s New Venture Entity

After the new unit, Ideosource Entertainment, created to accommodate investment in a specific industry, Ideosource plans to target another business coverage. The company has officially announced a new entity named Gayo Capital, in charge of Ideosource Green Initiative.

Gayo Capital’s Co-Founder & Managing Director, Edward Ismawan Chamdani told DailySocial that the new venture has its own managed fund consists of “strategic investors” as Gayo Capital’s partner; later, there will be other funds as the investment thesis developed.

“Gayo was formed in early 2020, in fact, the idea and research have been brewed for 2.5 years,” Chamdani said.

Gayo Capital also has Ishara Yusdian to lead along Chamdani, both are fully responsible for the operation and execution of the defined roadmap. While Jefri Sirait and Andi S. Boediman acted as advisors.

Gayo Capital investment approach

The investment approach is quite unique, they’re focus on two things. First, Gayo targets companies that are working on a large traditional/conventional market share, for example in the agricultural, logistics, retail, supply chain, and others. However, they ensure that technology can be components of disruption. Ideosource’s experience is expected to improve the process of digital transformation in order to improve business.

Second, the founder sees fund pattern in venture capital does not match the investment thesis in conventional companies. There should be a breakthrough in order to connect. Therefore, an operating holding is formed, combining the “venture debt” model. It allows companies to obtain a “working capital” kind of funding, comes with intensive equity; in financial terminology, it is called “quasi-equity”.

“However, this pattern is to be combined with the venture capital model, in general, using a closed-ended fund structure, particularly for our investment in pure-tech companies,” Chamdani continued. “We basically expect to form a ‘reversed conglomeration’, where the companies we help and invest in are able to innovate and put a breakthrough in their respective sectors and make changes to the bottom-up business patterns.”

In addition to capital assistance, as an operating holding, Ideosource expects to play a role in providing direction, opening networks, providing access to capital, and forming inter-company synergies.

“Gayo Capital as an operating holding company has invested in several companies such as Inacom, PT Petani Kakao Lampung, WLabku, Hydro Retailindo, Foom.id, and several other portfolios in the ongoing process of mentorship and initial investment,” Chamdani said.

Optimizing business potential in Indonesia

In particular, Chamdani also told the reason behind Gayo Capital’s focus on business in Indonesia. There are quite principal reasons; He told an example, most of the agricultural sectors, such as coconut, cocoa, pepper, and others are managed by regular farmers. However, there is no disruption in terms of the supply chain that provides efficiency in the buying and selling, export-import, and product innovation processes.

“While we know that Indonesia’s strongest demographics in the world for this sector and archipelago land have indeed been the target of the entire world since the colonial era, it’s time for innovation to grow not from the top-down course, we hope the bottom-up can be more and more bold,” explained Edward.

Gayo through its social foundations will also penetrate the farmer-specialize education sector with a specific curriculum according to their managed land; currently under discussion with the stakeholders to be involved.

Investment amid pandemic

Debuting amid a crisis caused by the pandemic didn’t wash off the spirit of Gayo Capital’s founders. Edward and his team believe that timing as one of the key components along with strategy, roadmap, team, and capital.

“In every crisis, there will be a greater opportunity, just as the ball we press into the water will bounce higher and faster when released,” Chamdani shared a parable. “Every week we’ll be contacted by 1 to 3 Asian and American financial companies wanted to dig more on Gayo Capital, and we believe that we’re working in the right sector.”

We’ve come into anticipation of the “new normal” situation. Edward also said the shaded sectors are now increasingly focused on transparency. That is because each party is getting more literate on technology, creating technological opportunities to be elaborated.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Gayo Capital

Gayo Capital Debut sebagai Entitas Ventura Baru dari Ideosource

Setelah Ideosource Entertainment sebagai anak unit ventura yang mengakomodasi investasi di bisnis hiburan, Ideosource kembali memperlebar cakupan bisnisnya. Kali ini dengan meresmikan entitas baru bernama “Gayo Capital”, menaungi Ideosource Green Initiative.

Kepada DailySocial, Co-Founder & Managing Director Gayo Capital Edward Ismawan Chamdani menyampaikan, perusahaan ventura baru ini telah memiliki dana kelolaan sendiri, terdiri dari “strategic investor” yang menjadi partner di Gayo Capital; dan ke depannya juga akan ada “fund” sesuai perkembangan tesis investasi yang dikembangkan.

“Gayo dibentuk secara formal awal tahun 2020 ini, namun cikal bakal ide dan riset sudah kita lakukan sejak 2,5 tahun yang lalu,” ujar Edward.

Selain Edward, Gayo Capital dipimpin oleh Ishara Yusdian, keduanya bertanggung jawab penuh pada operasional dan eksekusi roadmap yang sudah didefinisikan. Sedangkan Jefri Sirait dan Andi S. Boediman bertindak sebagai advisor.

Pendekatan investasi Gayo Capital

Pendekatan investasi yang dilakukan cukup unik, fokusnya ada pada dua hal. Pertama, Gayo menargetkan perusahaan yang menggarap pangsa pasar tradisional/konvensional yang sudah besar, misalnya di lanskap pertanian, logistik, ritel, supply chain, dan lainnya. Namun, mereka memastikan bahwa nuansa teknologi dapat menjadi komponen disrupsi. Pengalaman Ideosource diharapkan dapat meningkatkan proses transformasi digital tersebut dalam rangka meningkatkan bisnis.

Kedua, founder melihat pola struktur fund di modal ventura tidak cocok dengan tesis investasi di perusahaan konvensional. Perlu adanya terobosan untuk menjembatani. Maka dari itu dibentuk operating holding, mengombinasikan model “venture debt”. Memungkinkan perusahaan mendapatkan pendanaan yang bersifat modal kerja, namun tetap dengan intensif ekuitas; dalam terminologi finansial disebut “quasi-equity”.

“Namun pola ini setelah berkembang tetap akan kami kombinasikan dengan model venture capital umumnya dengan struktur fund yang close-ended juga, khususnya untuk investasi kami ke perusahaan yang pure-tech,” lanjut Edward. “Yang kami harapkan pada dasarnya membentuk ‘reversed conglomeration’, di mana perusahaan-perusahaan yang kami bantu dan investasikan mampu melakukan inovasi dan terobosan di sektor masing-masing dan membuat perubahan pola bisnis yang sifatnya bottom-up.”

Sehingga selain memberikan bantuan modal, diharapkan sebagai operating holding Ideosource dapat berperan memberikan arahan, membuka jaringan, memberikan akses ke kapital, dan membentuk sinergi antar-perusahaan.

“Gayo Capital sebagai operating holding company sudah memiliki investasi di beberapa perusahaan seperti Inacom, PT Petani Kakao Lampung, WLabku, Hydro Retailindo, Foom.id; dan ada beberapa portfolio lainnya yang sedang dalam proses mentorship dan investasi awal,” kata Edward.

Optimalkan potensi bisnis di Indonesia

Secara khusus Edward juga menceritakan mengapa Gayo Capital difokuskan untuk bisnis di Indonesia. Ada alasan yang cukup prinsipil; ia mencontohkan, sektor pertanian kelapa, kakao, lada, dan lainnya sebagian besar masih dikelola petani rakyat. Namun belum ada disrupsi di sisi supply chain yang memberikan efisiensi pada proses jual-beli, ekspor-impor, hingga inovasi produk.

“Sedangkan kita tahu demografi Indonesia terkuat di dunia untuk sektor ini dan lahan archipelago memang sudah menjadi incaran seluruh dunia sejak jaman penjajahan, sudah waktunya inovasi tumbuh bukan dari top-down saja, kita harapkan bottom-up bisa makin banyak dan berani melangkah,” terang Edward.

Gayo melalui yayasan sosialnya juga akan masuk ke sektor pendidikan khusus petani dengan kurikulum yang spesifik sesuai tanah kelolaan mereka; saat ini tengah dalam tahap diskusi dengan para stakeholder yang akan terlibat.

Investasi di tengah pandemi

Debut dibarengi dengan krisis yang disebabkan karena pandemi tidak membuat semangat pendiri Gayo Capital luntur. Bagi Edward dan tim, timing menjadi salah satu komponen kunci dibarengi dengan strategi, roadmap, tim, dan kapital untuk dieksekusi pada waktunya

“Di setiap krisis pasti ada peluang yang makin besar, sama seperti bola yang kita tekan ke dalam air akan melambung makin tinggi dan cepat pada saat di lepas,” ungkap Edward memberikan perumpamaan. “Dalam setiap minggunya kami di hubungi 1 sampai 3 perusahaan finansial Asia maupun Amerika yang tertarik mengenal Gayo Capital lebih dalam, jadi kami melihat sektor yang kami garap memang sudah tepat.”

Perubahan yang akan menjadi “new normal” juga sudah mulai diantisipasi. Edward turut melihat, sektor-sektor yang dinaungi juga makin memfokuskan pada transparansi. Hal itu dikarenakan setiap pihak makin melek teknologi, sehingga peluang teknologi untuk bisa dielaborasikan di dalamnya.