Tag Archives: ismail

5G di Indonesia

Studi ITB: 5G Diprediksi Meluncur Paling Cepat pada 2021

Studi terbaru dari Institut Teknologi Bandung (ITB) memperkirakan jaringan 5G di Indonesia baru dapat dirilis secara komersial paling cepat pada akhir 2021.

Konsultan PT LAPI ITB Ivan Samuels mengatakan, perkiraan ini berdasarkan dua skenario, yakni (1) skenario dasar dengan asumsi spektrum kunci 5G dapat dirilis dari 2021-2023; dan (2) skenario agresif dengan asumsi seluruh spektrum 5G dapat tersedia di akhir 2021.

Adapun sejumlah spektrum kunci yang ditargetkan untuk 5G antara lain 2,3GHz dapat tersedia pada 2021; spektrum 2,6GHz, 26GHz, dan 28GHz tersedia pada 2022; dan spektrum 3,5GHz dan 700MHz tersedia pada 2023.

Dalam paparannya, Ivan menyebutkan studi ini menawarkan delapan rekomendasi kebijakan utama dalam rangka mempercepat penerapan 5G di Indonesia. Beberapa di antaranya adalah memasukkan 5G sebagai Agenda Prioritas Nasional serta meluncurkan Rencana Pita Lebar dan Konektivitas Nasional (2021-2025).

Spektrum merupakan salah satu agenda utama yang kerap disoroti oleh pemerintah dan pemangku kepentingan (stakeholder). Pasalnya, beberapa spektrum emas untuk menggelar 5G masih jauh dari ketersediaan.

Misalnya, frekuensi 700MHz (low band) digadang menjadi spektrum ’emas’ untuk menggelar 5G. Saat ini, spektrum tersebut masih dipakai untuk siaran TV analog dan direncanakan migrasi ke TV digital di 2022. Global System for Mobile Communications (GSMA) memprediksi perekonomian Indonesia berpotensi rugi $10,5 miliar atau sekitar Rp142,9 triliun jika tidak menggelar 5G di 700MHz.

Sejumlah negara di kawasan Asia Tenggara, yakni Malaysia, Filipina, dan Singapura telah menyelesaikan proses untuk mematikan layanan televisi analog mereka. Sehingga frekuensi yang sebelumnya digunakan untuk siaran TV analog, dapat digunakan operator untuk memperkuat layanan 4G-nya dan menguji jaringan percontohan 5G.

Dinamika 5G di Asia Tenggara
Sumber: Axiata Group / Diolah kembali oleh DailySocial

Sementara itu, laporan ITB menyebutkan bahwa implementasi 5G secara agresif di Indonesia dapat menambah Rp2.874 triliun bagi perekonomian negara secara kumulatif dari 2021-2030 atau setara 9,5 persen dari PDB, dan Rp3.549 triliun di 2035 atau setara 9,8 persen dari PDB.

The first step is the hardest step. Ini menjadi tantangan kami untuk menyiapkan perencanaan strategis ke depan. Metode [penggelaran 5G] juga menjadi tantangan lain karena butuh biaya besar untuk deployment dibanding teknologi sebelumnya,” ungkap Ivan pada sesi webinar yang digelar Axiata Group, Qualcomm, dan Asosiasi Penyelanggara Telekomunikasi Seluruh Indonesia (ATSI).

Delapan rekomendasi di atas akan dibahas secara paralel oleh 5G Task Force Indonesia yang dibentuk Kominfo pada 2019. Pembentukan Task Force ini terdiri dari beberapa grup yang mana juga melibatkan para pakar untuk memberi masukan.

Kepala 5G Task Force Indonesia Denny Setiawan menargetkan dokumen resmi Task Force ini dapat masuk pada akhir 2021. Pihaknya menargetkan dapat menggelar co-existing trial di spektrum 3,5GHz pada Oktober mendatang.

“Kami sudah menerapkan kebijakan teknologi netral. Nah, jika ekosistem sudah siap ekosistemnya, operator bisa langsung gelar 5G di spektrum existing,” ujar Denny pada kesempatan sama.

Belajar dari kegagalan migrasi 2G, 3G, dan 4G

Lebih lanjut, Dirjen Sumber Daya Perangkat Pos dan Informatika (SDPPI) Kementerian Komunikasi dan Informatika Ismail juga mengungkap empat hal utama yang menjadi agenda prioritas pemerintah untuk mempercepat penggelaran 5G.

Keempat agenda ini antara lain adalah kebijakan strategis, diikuti infrastruktur 5G (jaringan, infrastruktur pasif, dan spektrum), ekosistem 5G, dan kebijakan implementasi 5G (uji coba, regulasi, model bisnis).

“Beberapa merupakan isu lama yang perlu segera diselaraskan mengingat infrastruktur 5G butuh kerapatan BTS yang tinggi. Untuk mendapatkan kualitas maksimal, semua juga bergantung pada ketersediaan spektrum. Baiknya operator punya spektrum [untuk gelar 5G] yang lengkap, dari lower, middle, dan high band,” katanya.

Berkaca dari kesalahan saat Indonesia migrasi teknologi (dari 2G ke 3G, 3G ke 4G), ungkapnya, pemerintah berupaya menghindari kegagalan pasar, baik dari supply maupun demand. “Kami tidak ingin pada akhirnya operator telekomunikasi menghabiskan biaya besar,” ungkap Ismail.

Menurutnya, saat migrasi teknologi tersebut, industri telekomunikasi hanya mempersiapkan infrastruktur di belakang infrastruktur penunjang. Alhasil, kualitas 4G menjadi tidak maksimal. Maka itu. pihaknya berharap infrastruktur 5G dapat dipersiapkan dengan matang, baik jaringan back hole, antar-middle mile, dan antar Base Transceiver Station (BTS) supaya tidak ada bottle necking.

Ekosistem dan perspektif konsumen terhadap 5G

Kemudian, Ismail juga menyoroti pentingnya ekosistem 5G. Dengan prioritas ini, pemerintah berupaya mendorong para maker di Indonesia agar dapat menyiapkan use case aplikasi lokal sebelum infrastruktur 5G dibangun. Berkaca pada migrasi 2G ke 3G dan 3G ke 4G, ekosistem aplikasi di Indonesia tidak kuat sehingga kurang dapat dimonetisasi.

Menurutnya, Indonesia masih kekurangan killer apps yang cocok dengan pasar. Pada akhirnya, jaringan ini justru diisi oleh pemain Over-The-Top (OTT) asing, seperti WhatsApp, Facebook, dan Google. “Jangan sampai nanti kita seolah-olah bangun infrastruktur untuk kasih ‘karpet merah’ ke OTT,” tambahnya.

Lebih lanjut, studi terbaru 5G turut mengungkap perspektif konsumen terhadap 5G. Laporan ini mencatat sebanyak 68,39 persen konsumen di Indonesia tertarik menggunakan 5G begitu dirilis, sedangkan 26,56 persen mengaku akan memakainya setelah melihat experience konsumen, dan 4,35 persen baru akan memakai layanan 5G jika tidak ada alternatif lain.

Layanan yang diprediksi meningkat penggunaannya oleh 5G
Sumber: Studi Institut Teknologi Bandung (ITB) / Diolah kembali oleh DailySocial

Menariknya, responden juga mengungkap dua pertimbangan utama lain terkait hal ini, yakni mahalnya harga perangkat yang sudah bisa menjalankan jaringan 5G dan konsumen masih ragu dengan kualitas 5G yang sebenarnya. Apalagi, jika melihat kualitas jaringan 4G hingga saat ini yang masih belum maksimal.

Adapun, segmen anak muda dan milenial di Indonesia diperkirakan menjadi kontributor konsumsi 5G terbesar sebanyak 80 persen terhadap pengguna potensial dengan rentang usia 19-44 tahun.

Kemkominfo segera menerbitkan aturan perangkat IoT yang di dalamnya mengatur harga sertifikasi perangkat. Aturan ini adalah kelanjutan RPM frekuensi IoT

Pemerintah Siapkan Regulasi Perangkat IoT, Penyamaan Harga Sertifikasi Jadi Isu

Kementerian Komunikasi dan Informatika segera menandatangani regulasi mengenai perangkat IoT, sebagai lanjutan dari Rancangan Peraturan Menteri (RPM) tentang penggunaan spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas untuk teknologi 4G LTE Advance Pro yang telah terbit pada awal April 2019.

Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Dirjen SDPPI) Kemkominfo Ismail menerangkan, dalam membuat aturan ini pemerintah berusaha untuk tetap generik, tidak menunjuk untuk salah satu teknologi saja, sehingga bisa diaplikasikan untuk teknologi apapun yang sudah mempersiapkan diri menuju IoT.

Dia merinci aturan ini akan mengatur soal sertifikasi perangkat, yang salah satunya memuat mengenai harga. Sensor dan gateway pun akan ikut masuk dalam komponen perangkat yang akan disertifikasi. Harga sertifikasi akan relatif tidak jauh berbeda dengan perangkat radio biasa.

“Aturan akan diteken dalam waktu dekat, mudah-mudahan enggak sampai tengah tahun karena sudah hampir final,” terangnya, Selasa (23/4).

Sebelumnya, RPM menetapkan alat-alat atau perangkat telekomunikasi yang beroperasi pada spektrum frekuensi radio berdasarkan izin kelas.

Mereka adalah Wireless Local Area Network (WLAN), peranti jarak dekat (Short Range Device), Low Power Wide Area Nonseluler (LPWA Nonseluler), Dedicated Short Range Communication (DSRC), LAA. Serta, alat-alat yang beroperasi pada pita frekuensi radio yang digunakan berdasarkan izin kelas yang sejenis sesuai tingkat teknologi dan karakteristiknya.

4G LTE Advance Pro, lebih dikenal 4.9G atau satu tingkat di bawah 5G, menggunakan jaringan License Assisted Access (LAA). Jaringan ini memanfaatkan frekuensi tak berizin di rentang 5.150-5.350 MHz dan 5.725-5.825 MHz. Sehingga berdampak pemain non operator seluler dapat segera mengimplementasikan IoT secara lebih masif.

Wacana penyamaan harga jadi isu

Menanggapi wacana harga sertifikasi, sebenarnya pemerintah ikut melibatkan Asosiasi IoT Indonesia untuk diskusi bersama sehingga belum ada putusan akhir. Wakil Ketua Asosiasi IoT Andri Yadi agak menyayangkan dan terbebani apabila pemerintah memutuskan untuk menyamakan harga sertifikasi perangkat dengan radio biasa.

Pihaknya pernah membuat simulasi singkat bahwa harga sertifikasi untuk satu startup bisa memakan biaya hingga Rp25 juta. Hitungan tersebut belum mengikuti harga pasar apabila dijual ke konsumen.

“Tidak bisa disamakan [harganya]. Ambil contoh untuk ponsel 4G itu jual batangannya bisa sampai Rp10 juta, tapi bicara perangkat IoT itu bisa sampai Rp400 juta. Sebab di dalamnya itu ada banyak teknologi, seperti short range pakai bluetooth dan WiFi,” katanya.

Country Manager Qualcomm Indonesia Shannedy Ong menambahkan, meski perusahaan secara tidak langsung berdampak mengingat Qualcomm adalah penyedia teknologi, namun pada akhirnya ada dampak tidak langsung yang terasa apabila wacana tersebut terealisasi karena perusahaan termasuk dalam ekosistem.

“Kita ini bagian dari ekosistem sehingga harus kerja sama dengan industri dan asosiasi untuk memikirkan win win solution. Jangan sampai ada regulasi yang menghambat karena kita mau IoT ini bisa diakselerasi. Indonesia harus maju ke step berikutnya, ada solusi baru, komersialkan, dan konsumen bisa mendapatkan manfaatnya,” ujar Shannedy.

Menunggu putusan frekuensi 5G

Teknologi IoT ini sebenarnya bisa dijalankan lewat jaringan 4G, namun alangkah lebih sempurna apabila didukung oleh teknologi 5G. Pemerintah belum menetapkan frekuensi apa yang akan dipakai, lantaran menunggu World Radio Conference 2019 di Mesir yang akan berlangsung pada Oktober 2019 mendatang. Ini adalah konferensi empat tahunan yang digelar ITU (International Telecommunications Union).

Ismail menjelaskan, pada konferensi ini akan diputuskan frekuensi resmi yang digunakan untuk jaringan 5G secara global. Pemerintah akan berkiblat ke sana agar bersifat world wide platform, tidak khusus untuk Indonesia saja. Diharapkan hal ini akan membuat harga perangkat lebih murah dan memudahkan para pemain operator yang ingin berinvestasi ke 5G.

“WRC itu konferensi empat tahunan untuk menentukan pita frekuensi suatu teknologi baru. Jadi kita tunggu acara itu, kira-kira akan menentukan frekuensi 5G setelah acara tersebut,” terangnya.

Secara garis besar pemerintah sudah membuat perkiraaan ada tiga blok spektrum jaringan, yakni lower, middle, dan upper. Untuk upper, dia menjamin tidak ada masalah, karena frekuensinya tersedia dan belum digunakan untuk 26 GHz dan 28 GHz.

Sementara untuk middle, berjalan di frekuensi 3,5 GHz yang sudah dipakai oleh satelit. Sehingga pilihannya mau co-existing dengan satelit agar bisa digunakan bersama 5G. Belum ada perbincangan lebih lanjut soal ini karena pemerintah harus bicara lebih dalam para pemilik satelit, di antaranya Telkom dan Indosat Ooredoo.

Penentuan frekuensi 5G ini cukup genting untuk mendukung ekosistem IoT di Indonesia. Andri menambahkan frekuensi adalah basis awal bagi para pemain sebelum uji perangkat. Seberapa canggih perangkat yang sudah dibuat tapi apabila belum bisa terhubung karena ketiadaan frekuensi akan percuma.

Hal ini diamini Shannedy. Dia menerangkan antara IoT dan 5G memiliki hubungan yang erat. Ada beberapa use case yang bisa ditangani oleh IoT dengan bantuan jaringan 5G yang sangat berdampak untuk industri.

Operator telekomunikasi dan OEM (Original Equipment Manufacturer) skala global telah bermitra dengan perusahaan-perusahaan teknologi untuk menciptakan banyak solusi baru, berbasiskan IoT dan 5G, di industri pertanian, kota pintar, dan transportasi.

Kominfo Cabut Izin Bolt, First Media, Jasnita

Kementerian Kominfo Resmi Cabut Izin Frekuensi Bolt, First Media dan Jasnita

Kementerian Kominfo resmi mencabut izin penggunaan pita frekuensi radio 2.3 GHz dari Bolt (PT Internux), PT First Media Tbk, dan PT Jasnita Telekomindo per hari ini (28/12), lantaran ketiganya tidak dapat memenuhi kewajibannya membayar Biaya Hak Penggunaan (BHP) spektrum frekuensi radio kepada negara.

“Pengakhiran penggunaan pita frekuensi radio 3.2 GHz tidak menghapuskan kewajiban Internux, First Media, dan Jasnita untuk melunasi BHP spektrum frekuensi radio terutang dan denda keterlambatan pembayarannya,” terang Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kominfo Ismail, Jumat (28/12).

“Proses penagihan tunggakan tersebut selanjutnya akan dilimpahkan dan diproses lebih lanjut oleh Kementerian Keuangan sesuai perundang-undangan yang berlaku,” tambahnya.

Ismail menerangkan, Kominfo menyerahkan sepenuhnya proses penagihan utang kepada Kemenkeu, sesuai dengan fungsi masing-masing kementerian. Kominfo bertugas untuk fungsi teknis, apabila Biaya Hak Penggunaan spektrum frekuensi tidak dibayarkan operator dalam 24 bulan maka hak untuk pencabutan harus dilakukan.

Sementara, Kemenkeu bertugas untuk penagihan karena penggunaan pita frekuensi termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) sehingga kewenangannya ada di sana.

“Isi proposal [skema pembayaran dari Internux dan First Media] sudah kami konsultasikan ke teman-teman di Kemenkeu. Mereka tidak mendapatkan landasan regulasi yang cukup untuk merespons keringanan tersebut. Akhirnya harus dicabut.”

Untuk melaksanakan keputusan tersebut, khusus kepada Internux dan First Media, harus melakukan shutdown terhadap core radio network operation center (NOC) agar tidak dapat lagi melayani pelanggan menggunakan pita frekeuensi radio 2.3 GHz. Khusus Jasnita, perusahaan telah mengembalikan alokasi frekuensi radio pada 19 November 2018.

Sehubungan dengan hal tersebut, pada tanggal yang sama, Kominfo telah melarang kedua operator tersebut untuk menambah pelanggan baru dan meminta menghentikan aktivitas top up paket atau kuota data. Penghentian ini dimaksudkan agar Kominfo dapat memantau perkembangan kondisi pelanggan Internux dan First Media serta meminimalisir dampak dari kerugian pelanggan.

Dari pantauan Kominfo pada 20 November 2018, terdapat 10.169 pelanggan aktif dengan nilai kuota data di atas Rp100 ribu dari kedua operator ini. Lalu pada 25 November 2018 hanya tertinggal 5.056 pelanggan aktif, turun drastis dalam kurun waktu sebulan saja.

Kondisi ini, sambungnya, dianggap sebagai saat yang tepat untuk mengakhiri penggunaan spektrum frekuensi 2.3 GHz untuk meminimalisir dampak kerugian bagi pelanggan kedua operator.

“Pengembalian pulsa dan hak pelanggan akan terus kami pantau sehingga tetap terpenuhi. Maksimal dalam satu bulan ke depan [akhir Januari 2019] semua hak pelanggan telah selesai.”

Janji penuhi hak pelanggan

Pada saat yang sama, pihak Bolt merilis pernyataan resmi terkait pemberitaan ini. Direktur Utama Bolt Dicky Mochtar memastikan meski layanan 4G LTE perusahaan telah berhenti, namun hak pelanggan akan tetap dipenuhi. Per 21 November 2018, Bolt tidak lagi menerima pembelian pulsa (top up).

“Bolt pastikan akan memenuhi kewajibannya kepada seluruh pelanggan aktif Bolt, baik prabayar maupun pascabayar,” ucap Dicky.

Pelanggan akan menerima pengembalian sisa pulsa dan/atau kuota yang belum terpakai dan pengembalian pembayaran dimuka. Untuk itu, perusahaan telah menyiapkan 28 gerai Bolt yang tersebar di wilayah Jabodetabek dan Medan untuk melayani proses pemenuhan hak pelanggan ini.

Sementara, khusus pelanggan aktif Bolt Home yang ada di cakupan jaringan homes passed Fixed Broadband Cable Internet Firs Media dari PT Link Net akan mendapatkan penawaran ke produk lain.

Dalam keterangan resmi ini, Dicky tidak menyinggung sama sekali bagaimana komitmen perusahaan dalam membayar utangnya kepada pemerintah dan kreditur lainnya.

Sebagaimana diketahui, ketiga perusahaan ini telah menunggak BHP dari tahun 2016 sampai 2018 kepada Kominfo. Untuk Bolt, BHP yang mestinya dibayar Rp343,5 miliar. Sementara First Media sebesar Rp364,8 miliar. Jasnita menunggak utang Rp2,1 miliar.

Nasib alokasi frekuensi 2.3 GHz

Terkait nasib berikutnya alokasi frekuensi yang sebelumnya dipakai tiga perusahaan, Ismail mengaku belum memikirkan lebih detail apakah akan di-tender-kan lagi ke perusahaan yang berminat. Namun idealnya, pita frekuensi ini adalah sumber daya alam terbatas milik negara yang harus dimanfaatkan untuk kepentingan industri telekomunikasi dan masyarakat luas.

“Belum ada skenario detailnya akan seperti apa. Nanti mau dibahas lagi karena ini kan kembali ke negara.”

Dia tidak menampik apabila di kemudian hari, ketiga perusahaan telah menyelesaikan kewajibannya, dapat mengajukan kembali pita frekuensi sesuai dengan aturan yang berlaku. Perlakuan yang sama tetap akan didapat seperti perusahaan lainnya.

“Enggak ada aturan [yang melarang] tentang masalah itu [pengajuan kembali pita frekuensi],” pungkas Ismail.