Tag Archives: ivan nikolas tambunan

Usai IPO, Akseleran berencana masuk ke bisnis sekuritas, bank, hingga asuransi, setelah tiga tahun fokus di multifinance dan lending

Setelah IPO, Akseleran Ingin Rambah Bisnis Sekuritas Hingga Bank

PT Akselerasi Usaha Indonesia Tbk (Grup Akseleran) segera melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) dengan kode saham AKSL. Usai IPO, perseroan bersiap untuk mengembangkan bisnis ke sektor keuangan lainnya, mulai dari sekuritas, bank, hingga asuransi.

Grup CEO dan Co-founder Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengungkapkan, rencana masuk ke bisnis di luar nonpinjaman merupakan aspirasi perseroan untuk jangka panjang. Setidaknya sampai tiga tahun mendatang, perseroan tetap memfokuskan diri di bisnis pinjaman, yakni p2p lending dan multifinance.

Multifinance mau kita buat fully-integrated sampai 2026, setelah itu seiring skala bisnis meningkat kami mau lihat bisnis lain seputar jasa keuangan. Beberapa bisnis yang mungkin bisa ditambahkan, sekuritas karena kita ada basis investor ritel, consider juga kemudian hari masuk ke banking karena bisa ambil deposit untuk himpun dana sehingga cost of fund turun. Tapi kita mau fokus tiga tahun dulu sampai 2026 bangun bisnis multifinance dan lending-nya,” ujarnya saat paparan publik, kemarin (3/7).

Pengembangan bisnis ke jasa keuangan lainnya, di luar lending, sudah banyak ditempuh oleh berbagai perusahaan fintech, dalam hal ini kompetitor Akseleran itu sendiri. Ambil contoh, Modalku yang masuk ke Bank Index dan akuisisi perusahaan multifinance PT Buana Sejahtera Multidana, Investree yang mencaplok Bank Amar, KoinWorks dengan BPR Asri Cikupa, Kredivo dengan Bank Bisnis, Amartha dengan Bank Victoria Syariah, Alami dengan BPRS Cempaka Al Amin, dan lainnya.

Menurut Ivan, pada hakikatnya semua bisnis itu harus berevolusi agar tetap relevan dengan tren di industri. Bagi perusahaan yang masuk ke perbankan, biasanya ingin menekan ongkos sumber dana karena bisa menampung deposit dari masyarakat. Namun, Akseleran lebih memilih untuk cari segmen pasar dengan ticket size yang lebih besar.

“Kalau masuk bank harus step by step karena butuh modal besar. Sementara kami tipikalnya mau kontrol untuk create sinergi yang real, kalau minoritas enggak bisa drive.”

Rencana berikutnya

Perseroan mulai melirik masuk ke bisnis multifinance sudah sejak tahun lalu. PT Pratama Interdana Finance jadi pilihan karena perusahaan tersebut dianggap memiliki fundamental bisnis yang bagus. Rencana akuisisi ini diharapkan rampung pada Oktober 2023, sembari di-rebrand dan diintegrasikan dengan grup.

“Kita bisa dapat [perusahaan] multifinance yang sudah dicari dari tahun lalu, perusahaannya relatif bersih [utang], pricing oke, dan perhitungannya the earlier kita bisa integrasi, kesempatan yang terbuka lebih bagus.”

Harapannya pada 2024 mendatang bisnis teranyar ini dapat beroperasi penuh dan memberikan transformasi kinerja grup yang lebih substansial, tercermin dalam laporan keuangan setahun penuh yang paling lambat dipublikasikan pada Maret 2025.

Ivan menuturkan, akuisisi ini bakal menjadi game changer bagi perseroan dalam mendongkrak pendapatan. Dalam regulasi, dengan bisnis lending, maksimal penyaluran yang dapat disalurkan untuk peminjam sebesar Rp2 miliar. Sementara, perseroan yang menyasar peminjam dari bisnis skala menengah ini biasanya mencari pinjaman mulai dari Rp10 miliar sampai Rp15 miliar.

“Produknya sama, proses sama, cost structure sama, tapi revenue bisa naik 7 sampai 10 kali lipat. Dengan multifinance, bisa support ticket size lebih besar dan segmen yang disasar juga lebih luas,” tambahnya.

Tidak hanya kelebihan itu saja, perseroan melihat peningkatan prospek bisnis ini berpengaruh pada semakin murahnya sumber dana yang bisa didapat untuk disalurkan kembali ke peminjam. Lantaran, perusahaan multifinance sangat dimungkinkan untuk mencari sumber dana dari penerbitan surat hutang, tak hanya pinjaman dari bank saja.

Sebagai diferensiasi dengan pemain sejenis, nantinya bisnis multifinance ini juga akan menjalankan produk yang sama dengan bisnis lending Akseleran. Yakni, menawarkan produk pinjaman berbasis cashflow dengan underlying tagihan milik peminjam, seperti pinjaman invoice, purchase order financing, dan inventory financing.

Multifinance lain belum ada yang menawarkan produk ini, kebanyakan main di pembiayaan motor dan sejenisnya. Selama kita bangun expertise bangun produk lending berbasis cashflow, jadi expertise kami untuk akuisisi peminjam, penilaian, eksekusi, hingga pelunasannya, akan jadi nilai tambah yang ditawarkan Akseleran.”

Sejak kemarin hingga 18 Juli 2023 mendatang, Akseleran membuka masa penjatahan. Sebanyak 2,98 miliar lembar saham atau sebanyak-banyaknya 29% dari modal ditempatkan ditawarkan ke publik dengan harga penawaran Rp100-Rp120 per lembar. Perseroan berpeluang meraup dana sebesar Rp358 miliar dari aksi korporasi ini.

Agar saham dapat terserap dengan baik, perseroan menyiapkan sejumlah jurus. Tidak hanya memperkuat fundamental laporan keuangan, pemegang saham juga berkomitmen untuk melakukan lock up saham hingga tiga tahun selepas IPO. Co-founder Mikael Ramses Tambunan menuturkan, langkah ini ditempuh karena perusahaan ingin memberikan keyakinan kepada investor baru bahwa rencana IPO ini adalah komitmen jangka panjang.

“Menegaskan bahwa IPO ini bukan suatu kesempatan buat para existing shareholder untuk segera keluar sehingga ada lock up,” kata dia.

Application Information Will Show Up Here
Startup pemula memiliki ruang gerak terbatas untuk membangun bisnis di situasi sekarang. Perlu beberapa cara untuk memastikan bisnis tetap berjalan

Mengatasi Tantangan Produktivitas Startup Pemula di Situasi “New Normal”

Sudah hampir dua bulan terakhir, ekosistem digital di Indonesia mulai beradaptasi terhadap kondisi “new normal” ini. Startup mulai melakukan manuver dengan mengembangkan fitur atau layanan baru demi menyesuaikan diri terhadap perubahan perilaku konsumen.

Dari sisi investasi, DailySocial melihat aktivitas pendanaan masih terlihat cukup normal. Bahkan ada beberapa startup yang mengumumkan pendanaan baru di sepanjang April ini. Namun, kita belum dapat memastikan apakah kondisi ini dapat tetap berlanjut dalam tiga bulan ke depan.

Kami tidak bilang bahwa startup di fase growth atau later stage terdampak minimal dari situasi ini. Namun, kita bisa sepakat bahwa 2020 menjadi tahun yang sulit bagi para pelaku startup tahap awal (early stage) yang baru memulai membangun bisnisnya.

Mengapa demikian? Menurut Founder dan CEO Startup Spider Beatrice Kessler, startup di fase ini umumnya masih mengandalkan pendanaan dari kantong sendiri, dana keluarga, atau dari crowdfunding. Bisnisnya belum stabil karena masih mencari traction dari produk/layanan yang dirilis.

Dengan likuiditas terbatas, sulit bagi pelaku bisnis untuk bertahan dalam beberapa minggu atau bulan ke depan. Malah, founder pemula bisa jadi tidak menggaji diri sendiri demi efisiensi. Ruang gerak startup untuk membangun bisnisnya juga semakin sempit karena minim SDM dan jaringan bisnis.

Paparan di atas juga diperkuat oleh survei yang dirilis 500 Startups bertajuk “The Impact of COVID-19 on the Early-Stage Investment”. Sebanyak 32,2 persen responden melihat dampak negatif akan sangat terasa bagi startup early stage.

Bahkan sebanyak 62,6 persen responden memprediksi pandemi COVID-19 bahkan berdampak pada iklim investasi dan bisnis startup early-stage selama 1-2 tahun, sedangkan 20,1 persen responden meyakini dampaknya bakal terasa hanya 0-1 tahun.

Untuk menghadapi situasi ini, responden merekomendasikan sejumlah strategi bernavigasi bagi startup pemula. Cara yang paling banyak diusulkan adalah (1) mengurangi biaya, diikuti (2) meningkatkan runway, (3) fokus pada customer rentention, (4) membatasi ekspansi pasar, (5) menutup deal pendanaan dalam 3 bulan atau sebelumnya, dan (6) membatasi penggunaan tim non-core.

Langkah mitigasi startup early-stage Indonesia

Cara-cara di atas, sebagian besar juga direkomendasikan oleh Founder dan CEO Qlue Rama Raditya untuk bisa bertahan di situasi saat ini. Meskipun Qlue sudah masuk dalam growth stage, upaya berikut sebetulnya juga berlaku bagi startup di fase apapun.

Paling utama adalah disiplin keuangan. Langkah ini sangat krusial mengingat startup pemula memiliki runway yang pendek. Maka itu, sebaiknya pelaku bisnis jangan terburu- buru menghabiskannya di awal. Sisihkan pendanaan dalam bentuk alokasi bulanan.

Rama juga merekomendasikan diversifikasi produk untuk memudahkan startup melakukan manuver lebih lincah. Pada kasus Gojek dan Grab, mereka tetap dapat mengoperasikan kategori layanan lain meski layanan utamanya, yakni ride-hailing, ditutup sementara.

Lalu, bagaimana soal tantangan produktivitas dengan keterbatasan SDM dan ruang gerak?

Startup early stage Legalku melakukan sejumlah langkah mitigasi untuk meningkatkan efisiensi pendanaan tanpa mengurangi target traction. Langkah mitigasi ini berfokus pada dua hal, yakni pengembangan produk dengan timeline cepat dan deliverable jasa tetap on-time.

Founder dan CEO Legalku Muhamad Philosophi mengungkap, pihaknya memprioritaskan pengembangan produk/layanan yang dapat segera dijual ke konsumen korporasi. Bagi layanan yang bersifat complementary, pihaknya akan menunda pengembangannya hingga beban kerja tim teknologinya berkurang.

“Untuk mengefisiensikan pengelolaan, kami menunda pengembangan beberapa fitur atau layanan yang tidak in line dengan pendapatan,” paparnya kepada DailySocial.

Kemudian, perusahaan juga meningkatkan deliverable jasa supaya tetap on-time karena situasi ini memaksa koordinasi dilakukan secara remote dan banyak institusi pemerintahaan tutup. Dengan pembatasan sosial ini, pihaknya berupaya mengurangi waktu perjalanan dokumen untuk mendapatkan persetujuan dari klien melalui pengembangan fitur e-signature.

“Tadinya kami memprioritas pengembangan aplikasi mobile, baru lanjut pada fitur e-signature yang ditargetkan meluncur bulan Mei ini. Namun, untuk menyesuaikan di situasi ini, akhirnya pengembangan e-signature kami dahulukan,” ujar pria yang karib disapa Philo ini.

Sementara itu, startup early-stage di bidang P2P Lending Akseleran mengungkap bahwa produktivitas pada pengembangan produk tetap berjalan sesuai rencana sehingga perusahaan dapat langsung berlari cepat ketika situasi sudah pulih.

Co-founder dan CEO Akseleran Ivan Tambunan menyebut ada beberapa strategi untuk mendisiplinkan pengeluaran, antara lain selektif dalam menambah SDM baru selama belum ada urgensi, menghentikan layanan yang tidak banyak digunakan untuk mengoptimalkan pengelolaan, dan selektif mengeluarkan budget marketing hanya yang dapat memberikan nilai Customer Lifetime Value to Customer Acquisition (LTV:CAC) yang baik.

“Kami berupaya megefisiensikan operasional dan tetap sustain aktivitas yang kami lakukan. Fokus kami saat ini bukan lagi pada ekspansi, tetapi mempertahankan bisnis,” ujar Ivan.

Five Pivot Strategies from Akseleran, Moselo, and Kata.ai

Building a startup is not just a matter of creating traction and gaining as many users as possible. A true startup is well-known with a culture that survives through the concept of “fail fast, learn fast”.

Therefore, what happens if the startup business that you develop does not get the expected traction? One of the answers is a pivot.

Changing business models, transitioning to different services, or being called pivots is no longer a new way in the startup industry. Some startups in Indonesia have done this, starting from 100 percent pivot by changing company brands and platforms to changing the type of service.

When you decide to pivot, many questions will arise. Starting from what kind of things to prepare, things to be avoided, and how to begin.

In order to answer the question above, DailySocial summarizes various tips and strategies for pivots based on the results of our interviews with Kata.ai (pivot 2016), Akseleran (pivot 2017), and Moselo (pivot 2018).

For the record, these tips are not sorted by the sequence of steps.

Communication with stakeholders

All agreed that startups must communicate with stakeholders if they want to do a pivot. Indeed, the most important ones are the investors and the company team.

Kata.ai’s Co-founder and CEO, Irzan Raditya said communication is important to provide understanding and awareness for investors and teams. There should even be a break between making plans and starting pivoting employees.

“Do the right communication, especially investors to make sure you get the support from the shareholders to support and give a clear understanding of why you pivot,” Irzan said.

As for Moselo’s CEO Richard Fang, startups should avoid one-way communication about the reasons and goals of the pivot. That is, every employee has the right to express their perspectives and concerns about this pivot.

A clear and sustainable business model

Making a business transition is a major step that requires full commitment from both the organization and other stakeholders.

Also, for Irzan, before meeting investors, startups should ideally have a clear and sustainable business plan to ensure this new business model can survive in the future.

“First, we have to research before meeting investors. [After that], we were assisted by one of our investors to work on the direction. We must emphasized that when meeting investors, the plan should be clear and have the option of going where to pivot,”  he added.

As an example, Kata.ai, which was previously named Yesboss in 2015, offers a personal virtual assistant service with the concept of conversational commerce. In its journey, this business model is considered less scalable and has a wide impact.

Thus, the company pivot and the following year by becoming an Artificial Intelligence (AI) enabler focused on Natural Language Processing (NLP) technology.

Product-market fit is fundamental

The most common reason we’ll ancounter while interviewing pivoted startups is: products and services are not developing, or the traction grow slowly.

Above are some valuable lessons for Akseleran that product-market-fit is a very fundamental point for the survival of startup businesses.

Akseleran started its business as a solution to channeling loans to SMEs in the form of equity participation. After six months of release, Akseleran decided to pivot into P2P lending because of the slow distribution. After the pivot, Akseleran focus on the same target market, SMEs.

Akseleran’s co-founder and CEO Ivan Nikolas Tambunan revealed that the Indonesian market is quite receptive to equity-based funding. With the slow distribution, it makes Akseleran products less scalable and considered not market-fit.

Ivan also added, when the developed product has not been validated in the market when running the pivot process, startups should refrain from adding new human resources.

“At first, we have to give full information about the product roadmap and the business model. Therefore, they understand the changes. Well, to facilitate motivation and stay in one direction, it’s good for [the team] to start small,” he said.

Focus on the target market, not feature

Another point that should be noted for anyone who is building a startup is how important it is to focus on what the market needs, not what the company wants.

No matter how cool or sophisticated a product or service is, it will be useless if consumers are reluctant to use it.

This was experienced by Moselo who was originally a startup commerce chat provider for creative products. Richard Fang believes that this is often the case with startups who are just starting out.

He admitted that initially, his team was too focused on developing features, then forget the target market. When making a pivot into a marketplace that offers creative products, the company finally begins to focus on recognizing the right target market.

In addition, he said, the pivot that took time from August-December 2018 will actually make the company more relevant to consumers and businesses can be profitable.

“So what we did [during the pivot] was to sharpen Moselo’s target audience. We look for solutions that are appropriate from our data collection. Also, recognize the pain-points of the target because this can be a source of income for the business,” Richard added.

Measuring the limit of pivot success

Don’t ask how many startups failed to pivot. Lots.

Now, as startups, it is very important to know the extent of our limits to ensure that the pivots are run successfully or vice versa.

As we interviewed the three startups, each has its own parameter to measure the pivot success. Generally, it is the number of users or Gross Merchandise Value / Volume (GMV).

In terms of Kata.ai, Irzan mentioned after the pivot in 2016, the company has experienced business growth of three to five times, even already obtained profits in 2019. In addition, Kata.ai also has corporate customers from large-scale companies.

“Speaking of startups, talk of surviving. We have data and see which parameters can be improved. As an AI conversational startup, we look up to user engagement. Previously, we only have tens of thousands, now millions of users. Revenues also increased,” he said.

While Moselo pivots to get significant traction. Therefore, the number of transactions, the number of customers, and GMV will be the main parameters.

“Since the pivot, we have raised 320 percent GMV growth with users reaching up to 50 thousand. We continue to track the parameters in order to know whether this initiative succeeded or failed,” Richard said.

Similar to Moselo, Akseleran validates the action of this pivot with traction. Based on the company data, Akseleran can only distribute Rp2 billion funding while it was still an equity-based loan platform.

“In order to have a product-market fit, we validate it with traction. After turning into P2P lending, we have distributed more than Rp1 billion in the first month. Then it increased to Rp30 billion in six months. This validates whether the pivot is working or not.” Ivan added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian 

Moselo, Akseleran, dan Kata.ai berbagi pengalaman dan hal-hal yang harus diperhatikan dan dilakukan saat melakukan pivot

5 Strategi Memulai Pivot Startup Ala Akseleran, Moselo, dan Kata.ai

Membangun startup bukan sekadar perkara menciptakan traction dan mendulang pengguna sebanyak-banyaknya. Startup sejatinya kental dengan kultur bertahan lewat konsep “fail fast, learn fast”.

Lalu, apa jadinya kalau bisnis startup yang Anda kembangkan tidak kunjung mendapatkan traction yang diharapkan? Salah satu jawabannya adalah pivot.

Mengubah model bisnis, bertransisi ke layanan berbeda, atau disebut pivot bukan lagi cara baru dalam industri startup. Beberapa startup di Indonesia sudah melakukan ini, mulai dari pivot 100 persen dengan mengganti brand perusahaan dan platform sampai mengubah jenis layanannya.

Saat Anda memutuskan untuk pivot, banyak pertanyaan yang akan muncul. Dimulai dari apa saja yang perlu dipersiapkan, hal-hal yang perlu dihindari, hingga bagaimana mengawalinya.

Untuk menjawab pertanyaan di atas, DailySocial merangkum berbagai tips dan strategi untuk pivot berdasarkan hasil wawancara kami dengan Kata.ai (pivot 2016), Akseleran (pivot 2017), dan Moselo (pivot 2018).

Sebagai catatan, tips ini tidak disusun berdasarkan urutan langkah yang harus dilakukan pertama kali.

Berkomunikasi dengan stakeholder

Semua sepakat bahwa startup wajib berkomunikasi dengan para pemangku kepentingan apabila ingin melakukan pivot. Tentu yang utama adalah para investor dan tim di perusahaan.

Menurut Co-founder dan CEO Kata.ai Irzan Raditya, komunikasi menjadi penting untuk memberikan pemahaman dan kesiapan terhadap investor dan tim. Bahkan sebaiknya ada waktu jeda antara membuat rencana dan memulai pivot kepada karyawan.

“Do the right communication, terutama investor to make sure you get the support from the shareholder to support and give clear understanding why you pivot,” papar Irzan.

Sementara bagi CEO Moselo Richard Fang, sebaiknya startup menghindari komunikasi satu arah tentang alasan dan tujuan pivot. Artinya, setiap karyawan berhak untuk menyampaikan perspektif dan concern mereka terhadap pivot ini.

Rencana bisnis yang jelas dan berkelanjutan

Melakukan transisi bisnis merupakan langkah besar yang sangat membutuhkan komitmen penuh, baik dari organisasi maupun pemangku kepentingan lainnya.

Kembali lagi, bagi Irzan, sebelum bertemu investor, startup idealnya merencanakan bisnis secara jelas dan berkelanjutan untuk memastikan model bisnis baru ini dapat bertahan di masa depan.

“Kami riset dulu sebelum bertemu investor. [Setelah itu], kami justru dibantu oleh salah satu investor kami untuk menggarap arah strateginya. Perlu ditekankan bahwa ketika bertemu investor, rencana yang kami miliki harus clear dan punya opsi mau pivot ke mana,” ungkap Irzan.

Sebagai gambaran, Kata.ai yang sebelumnya bernama Yesboss di 2015, menawarkan layanan asisten virtual pribadi dengan konsep conversational commerce. Dalam perjalanannya, model bisnis ini dinilai kurang scalable dan memberikan impact luas.

Maka itu, perusahaan kemudian memanuver bisnisnya di tahun berikutnya dengan menjadi enabler Artificial Intelligence (AI) yang fokus pada teknologi Natural Language Processing (NLP).

Product-market fit menjadi fundamental

Alasan yang paling sering kami temui kala mewawancarai startup yang pivot: produk dan layanan tidak berkembang, atau pertumbuhan traction-nya lambat.

Hal di atas menjadi pelajaran berharga bagi Akseleran bahwa product-market-fit merupakan poin yang sangat fundamental terhadap kelangsungan bisnis startup.

Akseleran memulai bisnisnya sebagai solusi penyalur pinjaman ke UKM dalam bentuk penyertaan ekuitas. Setelah enam bulan dirilis, Akseleran memutuskan pivot menjadi P2P lending karena lambatnya pertumbuhan penyaluran pinjaman. Setelah pivot, Akseleran tetap bertahan pada target pasar yang sama, yaitu UKM.

Co-founder dan CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan mengungkap bahwa ternyata pasar Indonesia reseptif terhadap pendanaan berbasis ekuitas. Dengan lambatnya penyaluran pinjaman di awal, ini membuat produk Akseleran menjadi kurang scalable dan tidak market-fit.

Ivan juga menambahkan, apabila produk yang dikembangkan belum tervalidasi di pasar saat menjalankan proses pivot, sebaiknya startup menahan diri untuk tidak menambah SDM baru.

“Sejak awal, kita harus kasih informasi penuh tentang roadmap produk dan model bisnisnya. Jadi mereka paham akan perubahan yang dilakukan. Nah, untuk memudahkan motivasi dan supaya tetap satu arah, baiknya [timnya] start small saja,” tuturnya.

Fokus pada target pasar, bukan fitur

Poin lain yang patut menjadi catatan bagi siapapun yang sedang membangun startup adalah betapa pentingnya fokus terhadap apa yang dibutuhkan pasar, bukan apa yang diinginkan perusahaan.

Tak peduli seberapa keren atau canggihnya sebuah produk atau layanan, hal tersebut akan percuma jika konsumen enggan menggunakannya.

Pengalaman ini dialami oleh Moselo yang awalnya merupakan startup penyedia chat commerce untuk produk kreatif. Richard Fang menilai hal ini umumnya acapkali terjadi pada startup-startup yang baru merintis.

Ia mengaku bahwa awalnya pihaknya terlalu fokus pada pengembangan fitur sehingga melupakan target yang ingin dituju. Ketika ingin pivot menjadi marketplace yang menawarkan produk kreatif, perusahaan akhirnya mulai fokus untuk mengenali target pasar lebih dalam.

Di samping itu, ujarnya, pivot yang dilakukan sejak Agustus-Desember 2018 ini justru akan membuat perusahaan menjadi lebih relevan terhadap konsumen dan bisnis dapat profitable.

“Maka yang kami lakukan [saat pivot] adalah mempertajam target audience Moselo. Dari data yang kami himpun, kami mencari solusi yang sesuai buat mereka. Kenali juga pain-point dari target karena ini dapat menjadi sumber pendapatan bagi bisnis,” ungkap Richard.

Mengukur batasan keberhasilan pivot

Jangan tanya berapa banyak startup yang gagal melakukan pivot. Banyak.

Nah, sebagai pelaku startup, penting sekali mengetahui sampai mana batasan kita untuk memastikan bahwa pivot yang dijalankan berhasil atau sebaliknya.

Dari wawancara kami dengan ketiga startup di atas, masing-masing mengandalkan parameter untuk mengukur keberhasilan pivot ini. Umumnya yang menjadi parameter adalah jumlah pengguna atau Gross Merchandise Value/Volume (GMV).

Untuk Kata.ai, Irzan mengungkap bahwa pasca pivot di 2016 lalu, perusahaan telah mengalami pertumbuhan bisnis tiga hingga lima kali lipat, bahkan sudah mengantongi untung di 2019. Selain itu, Kata.ai juga telah memiliki pelanggan korporasi dari perusahaan berskala besar.

”Bicara startup, bicara surviving. Kami punya data dan lihat parameter apa yang bisa ditingkatkan. Sebagai startup conversational AI, kami lihat engagement user-nya. Dulu cuma puluhan ribu pengguna, sekarang jutaan. Pendapatan juga naik,” ungkapnya.

Sementara Moselo sejak awal melakukan pivot untuk mendapatkan traction yang signifikan. Maka itu, jumlah transaksi, jumlah pelanggan, dan GMV akan menjadi paratemer utama.

“Sejak pivot, kami telah mengantongi pertumbuhan GMV sebesar 320 persen dengan jumlah pengguna mencapai 50 ribu. Kami terus track parameternya agar tahu apakah inisiatif ini berhasil atau gagal,” ujar Richard.

Senada dengan Moselo, Akseleran memvalidasi aksi pivot ini dengan traction. Berdasarkan data perusahaan, Akseleran hanya mampu menyalurkan Rp2 miliar pendanaan saat masih menjadi platform pinjaman berbasis ekuitas.

“Agar punya product-market fit, kami memvalidasinya dengan traction. Setelah berubah menjadi P2P lending, kami menyalurkan lebih dari Rp1 miliar di bulan pertama. Kemudian meningkat menjadi Rp30 miliar dalam enam bulan. Ini memvalidasi apakah pivot berjalan baik atau tidak.” Kata Ivan.

Pivot Model Bisnis Startup

Cerita dan Pelajaran dari Proses “Pivot” Model Bisnis Akseleran

pivot menjadi salah satu strategi bisnis yang bisa dilakukan founder saat menemui keadaan “buntu”. Khususnya ketika produk yang dijalankan tidak sesuai dengan apa yang diinginkan pasar. Atau model bisnis yang dikembangkan tidak berhasil mendatangkan keuntungan.

Setelah memutuskan untuk pivot pun, ada banyak hal yang harus disiapkan sampai akhirnya produk benar-benar siap untuk dipasarkan. Diskusi menarik ini diangkat oleh #SelasaStartup edisi pekan kedua Juli 2019, mengundang Co-Founder & CEO Akseleran Ivan Nikolas Tambunan.

Akseleran adalah platform p2p lending yang menghubungkan pemberi dana dengan peminjam dengan basis pinjaman.

Ivan banyak memberikan cerita di balik keputusannya memilih pivot bersama startupnya. Sekaligus memberikan tips apa saja yang harus diperhatikan founder sebelum dan sesudah “berpindah haluan” bisnis.

Awal mula pivot Akseleran

Ivan menjelaskan, awal pengembangan Akseleran didasari adanya funding gap penyaluran kredit dan susahnya pemilik modal mengakses pasar modal. Dari situ berangkatlah solusi pemberian pinjaman ke UKM dalam bentuk penyertaan ekuitas.

Sebelum akhirnya Akseleran diluncurkan, tentunya tim melakukan riset untuk validasi bisnis. Apakah konsep seperti ini bisa berjalan di Indonesia dengan mengacu di luar negeri? Waktu itu hipotesis mereka jawabannya “iya”, ada banyak startup di luar sana yang terbukti bisa berjalan dengan model bisnis serupa, bahkan sudah beroperasi sejak 2012, seperti Crowdcube dan Seedrs.

“Potensi dengan skema bisnis ini besar. Andaikan kita bisa hubungkan 15 juta orang dan mau kasi pendanaan rutin Rp100 ribu tiap bulan. Setahun ada Rp18 triliun. Gede potensinya, kita pikir ini bisa jalan,” kata Ivan.

Tim pun memikirkan cara termudah untuk bantu UKM mendapatkan pendanaan. Akhirnya memutuskan untuk bantu mereka dengan membuatkan deck, financial model bulanan selama tiga tahun, dan sebagainya. Dari sisi pemberi modal juga dipermudah, mereka bisa mulai berinvestasi mulai dari Rp100 ribu saja.

Ternyata dalam kurun waktu enam bulan pasca peluncuran di Maret 2017, Akseleran hanya mampu mengumpulkan penyaluran dana kurang dari Rp2 miliar. Ini memperlihatkan bahwa Akseleran tidak punya product market fit dan saatnya untuk pivot

“Bahkan dari dua bulan berjalan kami sudah berpikir untuk pivot karena ternyata produk kita ini tidak memberikan solusi atas masalah yang ada.”

Pelajari kesalahan

Menjelang keputusan untuk memilih pivot, sebenarnya Ivan menyadari bahwa saat resmi meluncur pertumbuhan Akseleran lambat. Pertama, pasar Indonesia cenderung tidak reseptif dengan model pendanaan berbasis ekuitas. Mereka lebih menyukai investasi jangka pendek dengan pendapatan tetap.

Sementara kalau ekuitas itu berdasarkan pembagian dengan hasil yang tidak tentu, bisa untung atau rugi. Tenornya pun panjang. Intinya, orang Indonesia itu tidak suka dengan sesuatu yang tidak pasti.

Kedua, masalah skalabilitas. Tim Akseleran membuatkan deck dan financial model untuk UKM. Yang mana, keputusan ini tidak scalable karena waktu yang dibutuhkan untuk membuat seluruhnya bisa sampai 1-2 minggu. Ini hanya buat satu UKM saja, tentu terlalu banyak waktu yang harus terbuang.

Terakhir, mengenai regulasi. Perlu diketahui, equity crowdfunding waktu itu belum memiliki regulasi di OJK. Padahal, menurut Ivan, dalam membuat bisnis startup itu harus dipikirkan tentang regulasinya, apakah sudah diatur dan banyak aturannya.

“Jadi awal kita masuk itu penuh dengan ketidakpastian karena belum ada aturannya. Tiga alasan ini akhirnya kita putuskan untuk berhenti.”

Dari tiga kesalahan ini, membuat Akseleran untuk kembali berkaca. Masalah yang terjadi di Indonesia itu nyata dan butuh solusi yang nyata pula, juga harus efektif.

Pivot tidak selalu berjalan cepat

Setelah memutuskan untuk pivot pun, tidak selalu mulus. Ivan dan tim harus mulai dari nol. Pivot resmi dilakukan akhir Mei 2017, produk baru dirilis pada awal Oktober 2017. Belajar dari kesalahan, akhirnya Akseleran terjun ke p2p lending.

Produk yang disediakan mulai dari invoice financing, inventory financing, capex loan, dan online merchant. Keempat produk ini bisa menjangkau seluruh UKM dari berbagai lini baik, online, offline, B2B atau B2C.

Dari sisi pemberi pinjaman, tenornya dibuat pendek mulai dari 3 bulan sampai 1 tahun saja. Kupon dibuat dengan kisaran 18%-21%.

“Hasilnya pasca pivot dalam enam bulan kita sudah menyalurkan Rp36 miliar, dari [produk sebelumnya] Rp2 miliar dalam enam bulan. Padahal, timnya sama, problem-nya sama, tapi solusi dan hasilnya beda.”

Pencapaian ini tentunya tidak didapat dengan cara instan. Timnya melakukan validasi pasar berkali kali untuk memastikan dapat feedback dari pasar, terutama saat enam bulan baru beroperasi. Iterasi berkali-kali sampai dapat product market fit.

“Ketika semua ini sudah dilakukan, maka scale up bisnis bisa lebih mudah. Kita bisa lebih mudah untuk reach out ke investor karena mereka itu selalu melihat traksi,” tutupnya.

Application Information Will Show Up Here