Pemanfaatan teknologi AI (Artificial Intelligence) atau kecerdasan buatan telah berhasil menyederhanakan pekerjaan manusia di berbagai bidang industri, salah satunya dalam dunia medis. Cara kerja mesin AI tidak jauh berbeda dengan manusia, karena pada dasarnya AI adalah sebuah simulasi otak manusia dalam bentuk digital yang sudah diprogram untuk belajar dan (akhirnya) berfikir layaknya manusia.
Ada beberapa fungsi teknologi AI yang populer di negara maju yang kini sudah bisa dinikmati juga di negara berkembang, yaitu untuk diagnosa patologi, operasi robotik, perawat virtual serta berbagai inovasi lainnya dalam dunia medis. Pemantauan kesehatan juga dapat dilakukan dengan teknologi AI yang terdapat pada smartwatch.
Belum lama ini Google AI dinyatakan sudah jauh lebih akurat dibandingkan dokter dalam mendeteksi kanker payudara. Sebuah studi tim internasional, termasuk peneliti dari Google Health dan Imperial College London, telah merancang dan melatih model komputer dengan hasil rontgen dari sekitar 29.000 wanita. Algoritma ini dinilai dapat mengungguli enam ahli radiologi dalam membaca mammogram.
Mekanisme AI pada tubuh manusia
Pada dasarnya, tubuh manusia itu adalah carbon-based computer, ia mengikuti input dan output yang standar dan tertentu. Prosesnya dimulai ketika dokter melakukan analisa sebagai input, lalu melakukan tindakan yang relevan, seperti memberi obat-obatan, dengan harapan output yang dihasilkan sesuai.
Namun, ada beberapa hal yang bisa menyebabkan input dari dokter tidak tersampaikan dengan sempurna, seperti pada saat pasien ditanya tentang gejala yang terjadi pada tubuhnya. Banyak yang masih belum bisa menyimpulkan secara detail, bahkan sulit menjelaskan apa yang terjadi dalam tubuh mereka.
Beruntung, saat ini telah tercipta teknologi rontgen, di mana mesin bisa menggunakan radiasi untuk mengambil gambar bagian dalam dari tubuh seseorang untuk mendiagnosa masalah kesehatan dan lain-lain. Saat sudah didapat input yang standar, saat itu lah mesin bisa mengambil alih. Dari setiap gambar yang dipindai, mesin AI akan menyimpan data, melakukan analisis, lalu menghasilkan diagnosis. Semakin banyak data yang dimasukkan, maka semakin akurat diagnosa yang dihasilkan. Hal ini sangat membantu dokter untuk bisa melakukan analisis tanpa harus mempertanyakan gejala pasien. Satu proses berhasil diminimalisasi.
Masa depan dunia medis di tangan teknologi
Saat ini, Google AI sudah bisa mendeteksi kanker payudara melalui hasil rontgen dari sekitar 29,000 wanita. Bukan tidak mungkin, di masa yang akan datang, mesin ini bisa mendeteksi berbagai penyakit lainnya, ketika diperbarui dengan teknologi yang lebih canggih serta dibekali dengan data yang lebih lengkap. Dan akhirnya pada satu titik, ilmu kedokteran radiologi ini niscaya akan dikuasai mesin.
Saya pernah berdiskusi dengan seorang radiolog mengenai topik ini, ia memiliki pandangan bahwa komputer akan sulit melakukan analisa rontgen dengan banyak sekali kemungkinan. Harusnya tidak. Mesin dan teknologi AI dengan sistem pembelajarannya bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan manusia – mereka cerdas memahami data dalam jumlah besar dan kompleks.
Jika ditarik lebih jauh, dengan dinamika pertumbuhan yang cepat, dibutuhkan sensor-sensor baru di bidang medis untuk membuat semua pengobatan menjadi otomatis. Bukan tidak mungkin, akan tercipta teknologi sensor tubuh selain rontgen. Sebuah mekanisme yang bisa membuat input menjadi tiga dimensi, dimana proses pemindaian seluruh tubuh dapat dilakukan secara akurat, mulai dari tulang, otot, serta organ tubuh lainnya.
Dari sini, AI akan butuh pembelajaran ke dimensi yang lebih tinggi dan jauh lebih kompleks untuk bisa mengenali semua penyakit dan anomali yang terpapar dari model 3D tersebut. Hal ini sangat mungkin terjadi dengan perkembangan teknologi yang exponensial. Pada saat itu, fungsi dokter umum akan semakin tergerus oleh automasi.
Hari ini, kita sudah bisa menerima argumen bahwa mesin bisa menyetir lebih baik daripada manusia. Suatu hari, saya yakin manusia juga percaya bahwa mesin akan lebih pintar mengobati kita daripada dokter. Saya percaya hal-hal tersebut akan terjadi, semua hanya menunggu waktu.
– Artikel tamu ini ditulis oleh Izak Jenie. Izak adalah CEO Jas Kapital, CTO KREN dan Co-Founder MCAS Group.
Ini bukan cerita soal investasi bitcoin, melainkan cerita dan argumen mengapa kita harus mengajarkan coding bagi tenaga kerja kita.
Seorang teman saya pernah berujar, bitcoin adalah satu-satunya aset di dunia yang bentuknya sama di seluruh dunia tapi harganya berbeda-beda tergantung market. Bentuk bitcoin di Jepang, di Amerika Serikat, atau di Indonesia adalah sama dan dengan mudah bisa disalurkan ke seluruh dunia.
Tidak ada benda di dunia yang bentuknya sama di semua negara sehingga bisa memiliki perbedaan signifikan yang harganya ditentukan harga pasar. Tidak beras, tidak apel, atau bahkan tidak durian. Apel di masing-masing negara memiliki keunikan sendiri sehingga kalau dibilang harga apel di seluruh dunia berbeda-beda, orang menjadi maklum karena kualitas apel di semua negara berbeda-beda.
Bagaimana dengan barang elektronik seperti Apple atau Samsung? Bentuknya sama di semua negara tentu saja, tapi harganya ditentukan produsen. Harga produk Apple atau Samsung di masing-masing negara hanya berbeda sedikit, sehingga untuk kita membeli di berbeda negara hanya selisih sedikit tergantung kurs mata uang.
Hal yang berbeda berlaku bagi bitcoin. Bitcoin memiliki harga yang berbeda-beda di masing-masing negara, tergantung permintaan dan penawarannya.
Harga bitcoin di satu negara bisa berbeda antara 3-10% yang menyebabkan jual beli selisih bitcoin bisa menjadi bisnis yang menguntungkan. Bitcoin adalah aset digital yang mudah diperjualbelikan dan secara likuid mudah ditransfer.
Pembeli dari Amerika Serikat dengan mudah bisa membeli bitcoin dari Indonesia dengan harga yang mungkin lebih murah dan menjualnya di Amerika Serikat dengan harga lebih mahal. Ini adalah kekuatan penting dari barang yang sama di seluruh negara dengan harga berbeda.
Kemampuan coding yang universal
Di jaman digital ini, kemampuan coding merupakan suatu ilmu yang sama dan standard di seluruh negara. Jika seseorang mengerti dalam pemrograman HTML, CSS, atau Javascript, maka skill yang sama dibutuhkan di semua negara.
Seperti bitcoin, standar skill tersebut sama namun harganya berbeda-beda di semua negara. Ilmu pembuatan program di negara-negara maju dihargai dengan harga mahal, sementara di negara Indonesia dihargai dengan harga yang lebih murah.
Sistem pemrograman adalah likuid. Para programmer Javascript di Indonesia bisa dengan mudah mengambil proyek-proyek yang ada di negara maju dengan harga yang cukup mahal. Yang dibutuhkan hanyalah kemauan dan keinginan untuk mencari proyek tersebut di Internet.
Sebetulnya, apa yang membuat harga pekerja di berbagai negara berbeda? Skill mereka? Bukan. Menurut suatu teori, harga tenaga kerja berbeda karena kebijakan imigrasi.
Dicontohkan perumpamaan mengenai harga pekerja yang berbeda di Swedia dan India. Gaji supir bis di Stockholm, Swedia (katakan namanya Sven) adalah 50 kali gaji supir bus di Mumbai (katakan namanya Ajit). Bagaimana Sven bisa mendapat gaji 50 kali lebih besar daripada Ajit. Apakah Sven memiliki skill mengemudi bus 50 kali lebih baik daripada Ajit? Dengan semrawutnya lalu lintas di Mumbai, kemungkinan besar Ajit jauh lebih pandai mengemudi bus daripada Sven di kota Stockholm yang lebih teratur. Jadi mengapa gaji Sven bisa 50 kali lebih tinggi daripada gaji Ajit?
Pemerintah Swedia memberlakukan kebijakan imigrasi, sehingga Ajit tidak bisa datang ke Stockholm dan mengambil pekerjaan Sven. Semua negara memberlakukan hal ini supaya tidak merusak tatanan budaya negara tersebut. Tentunya salah satu alasan ekonomi kebijakan imigrasi adalah untuk melakukan proteksi terhadap Sven supaya pekerjaannya tidak diambil Ajit.
Ada banyak Ajit-Ajit lain di berbagai bidang, seperti perbankan, kedokteran, atau buruh pabrik yang siap mengambil pekerjaan Sven-Sven lain di negara maju. Untuk itu dibutuhkan proteksi imigrasi.
Meskipun demikian, hal di atas tidak berpengaruh terhadap industri pemrograman. Perkembangan internet dan manajemen pembuatan software sudah berkembang dengan cukup maju sehingga software bisa dikerjakan di mana pun. Tidak perlu semua orang duduk di kantor yang sama, di kota yang sama, ataupun di negara yang sama. Saat ini dengan mudah fungsi-fungsi software dibelah-belah dan diberikan ke para programmer di seluruh dunia. Memang tidak semua software bisa di-outsource karena ada masalah IP rights, kerahasiaan, dan sensitivitasnya; tapi setidaknya 80% pekerjaan industri software bisa di-outsource ke seluruh dunia tanpa kesulitan.
Di industri ini kita tidak punya masalah imigrasi. Dengan mudah para programmer di Indonesia bisa mengambil alih pekerjaan programmer di Swedia hanya dengan menggunakan tools project management via Internet. Kita bisa duduk di Yogyakarta dan mendapat gaji yang secara teori kurang lebih sama dengan programmer di Swedia karena mengerjakan hal yang sama.
CodingMum
Konsep di atas adalah tesis CodingMum, sebuah produk Badan Ekonomi Kreatif kabinet terdahulu yang digagas Bapak Triawan Munaf bersama saya dengan tujuan mengajarkan coding kepada ibu-ibu Indonesia.
Para Ibu-ibu lulusan CodingMum, hampir 1000 orang jumlahnya sejak 2016, banyak mendapatkan proyek menarik hanya dengan bekerja dari rumah. Secara aktif mereka mencari proyek dari teman-teman dan juga dari Internet. Manfaat yang didapatkan mereka luar biasa.
Sangat inspiratif mendengar kesaksian mereka yang bisa mendapatkan penghasilan antara 3 juta sampai dengan 40 juta Rupiah per bulan hanya dengan bekerja di rumah.
Mereka bisa membantu suaminya untuk uang muka mobil dan bahkan beberapa mengatakan ikut menyumbang uang muka rumah. Mereka pun tidak menyangka bahwa ini bisa terjadi. Ada seorang lulusan dari Surabaya yang mendapatkan beasiswa Apple Academy dan 9 bulan kemudian lulus dan fasih memprogram untuk aplikasi iOS.
Benang merah
Melihat hasil di atas, kita sebetulnya bicara soal skill yang bisa mengubah nasib. Perubahan nasib yang sama dialami ratusan BMI (Buruh Migran Indonesia, pengganti kata TKW) di Singapura, Hongkong, dan Malaysia yang juga sempat mencicipi program CodingMum ini.
Para pembantu rumah tangga, yang sering dianggap masyarakat kelas bawah, berhasil mengubah nasibnya. Mereka membuat kaget majikannya, hingga sang majikan memberikan proyek pembuatan situs bisnis mereka ke para BMI. Ada lagi yang memutuskan tidak ingin meneruskan jadi BMI dan memilih pulang menjadi pembuat situs, walau pun majikannya membujuk-bujuk dengan janji menambahkan gaji.
Mengajarkan coding kepada tenaga kerja bisa menjadi batu loncatan yang cukup baik bagi kita di Indonesia. Kita bisa skip langsung ke industri 4.0 dengan mengajarkan kemampuan programming ke anak-anak kita pula. Kita bisa menjadi ratusan ribu atau jutaan pasukan digital baru yang siap masuk ke dunia kerja dengan kekuatan populasi Indonesia. Untuk membangun industri ini, kita tidak perlu modal besar karena yang kita jual adalah intangible asset yang nilainya bisa di-multiply dengan mudah.
Pemrograman adalah skill premium. Mengajarkannya pun tidak mudah. Dari ribuan peserta, CodingMum sudah membuktikan bahwa semua orang bisa diajak masuk ke industri digital. Apakah itu pembantu rumah tangga, anak-anak panti asuhan, anak autis, difabel tunanetra (yep, bisa), lansia–mereka semua bisa mengerti konsep industri ini.
Dari beberapa sesi awal, seperti ada kotak pandora yang terbuka. Sebuah pencerahan untuk mereka bisa mulai belajar. Sangat mungkin untuk mengajarkan coding secara masif kepada masyarakat.
Ada satu benang merah yang serupa dari kesaksian para lulusan CodingMum, apakah itu ibu rumah tangga di kota-kota besar, kota-kota kecil, atau buruh migran: suami mereka jadi lebih menghargai mereka. Suami mereka rata-rata kaget dengan kemampuan (dan penghasilan) baru mereka. Banyak kisah cerita yang mengharukan mengenai dampak sosial CodingMum dan memang harusnya ini adalah kunci semua kegiatan yang berfungsi memajukan ekonomi.
Pada akhirnya, para Ibu-ibu itu menjadi lebih bahagia dan lebih dipandang oleh suaminya. Mereka akan dipandang anak-anaknya dan pasti akan berusaha menularkan ilmu mereka kepada si anak. Pada akhirnya, unit terkecil dari masyarakat kita, keluarga, memiliki dinamika baru untuk maju karena martabat manusia telah ditinggikan.
– Artikel tamu ini ditulis oleh Izak Jenie. Izak adalah CEO Jas Kapital dan Co-Founder MCAS Group.
Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.
Sebelum mengenal industri teknologi, Izak Jenie menjalani hari-hari layaknya masyarakat biasa. Ketertarikannya akan teknologi serta apa yang dapat ia lakukan dengan semua itu membuatnya tak bisa berpaling. Ia lalu memulai bisnis di usia yang terbilang cukup dini serta menghadapi beberapa kegagalan dalam prosesnya.
Setelah berpuluh tahun menjalani bisnis, Ia tidak lelah menciptakan ide serta inovasi. Begitu banyak rintangan yang membuatnya jatuh bangun, namun teknologi dan internet bagaikan pecut yang memacu semangatnya. Saat ini ia menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta kontributor di berbagai aktivitas terkait teknologi.
Berikut adalah hasil rangkuman dari pergerakan karier yang dinamis seorang Izak Jenie di industri teknologi.
Anda telah mengenal industri teknologi sedari dini. Bisakah ceritakan sedikit tentang masa kecil anda?
Masa kecil saya biasa saja, seringkali menghabiskan waktu untuk bermain di sekitar rumah. Dulu, Saya bersekolah di salah satu sekolah swasta di Jakarta dengan banyak peraturan yang tidak saya sukai. Riwayat kesehatan saya pun tidaklah sempurna, saya kerap mengalami kejang juga menderita asma, sebuah keajaiban saya masih bertahan sampai sekarang.
Pelajaran tidak pernah menjadi isu saat itu, namun saya tidak suka tindakan yang sewenang-wenang. Suatu kali saya membuat petisi saat pihak sekolah mengganti mata pelajaran Olahraga menjadi Bahasa Indonesia tanpa pemberitahuan, dengan alasan guru yang tidak bisa hadir.
Siapa yang mengenalkan anda pada teknologi?
Ialah almarhum ayah saya, Aldi Jenie. Ia bekerja di salah satu perusahaan BUMN, Pertamina, dan juga seorang penggiat teknologi. Beliau sering mengajak Saya ke kantornya untuk mencoba teknologi terbaru dan mengenalkan saya pada programming di masa itu. Saya berumur 12 tahun ketika ia mengajarkan garis besar pemrograman.
Saya pertama kali mencoba membuat bahasa pemrograman bernama APL (A Programming Language). Saya takjub! Begitu banyaj hal yang saya pelajari dari membaca buku-buku komputer yang ia bawa sebagai buah tangan saat berlibur / dinas luat kota, bahkan ia membeli sebuah PC IBM pertama yang harganya sangat mahal untuk mendukung ketertarikan anak-anaknya dengan teknologi.
Begitu banyak yang beliau ajarkan tentang teknologi serta hidup. Menjabat sebagai seorang Group Head bukan berarti hidup kami bergelimang harta. Ia masih mencari penghasilan lebih dengan mengambil pekerjaan penerjemahan. Satu hal yang ia tanamkan adalah untuk selalu bersyukur dan tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.
Menghabiskan waktu sehari-hari dengan teknologi, apakah anda pernah mengalami isu sosial?
Sedari kecil, ayah saya selalu mengajarkan untuk berani berbicara. Saya sering melakukan presentasi di depan publik, juga belajar banyak tentang cara berinteraksi. Pengalaman menjadi mentor ilmu komputer telah saya geluti semasa SMA. Ketika masuk universitas, Saya memilih jurusan Teknik karena mengikuti saran beberapa teman. Tentu, saya memiliki teman.
Kegiatan saya tidak jauh dari bermain musik dan komputer setiap waktu, sampai saya menginjak perguruan tinggi. Saya memulai grup komputer di kampus dan terbuka untuk umum, ikut meramaikan paduan suara di kampus, sebelum akhirnya lulus walaupun seringkali mangkir karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Namun, pada masa ini saya bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi istri saya, ia salah satu yang memotivasi saya untuk menyelesaikan kuliah.
Apakah anda pernah bekerja di perusahaan sebelumnya?
Ya, setelah lulus dalam kurun waktu lima tahun, saya mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Ketika teman-teman sudah memulai karier di perusahaan besar, saya masih menganggur selama 6 bulan. Banyak perusahaan besar yang menolak, sampai ketika sebuah kesempatan muncul di BBS (Bulletin Board System), salah satu perusahaan swasta populer di Indonesia sedang mencari lulusan komputer grafis handal.
Proses wawancara berjalan mulus dan saya berbicara banyak tentang bidang yang diminati. Tidak lama setelah itu, saya diterima dengan gaji yang melampaui perkiraan. Belum genap satu minggu diterima, saya akhirnya menolak sebuah penawaran oleh perusahaan lain yang tidak kalah terkenal, dan saya belajar mengenai komitmen.
Pada tahun 1994, anda muncul di media sebagai salah satu penemu VoIP. Bagaimana awal mula terciptanya VoIP sampai akhirnya mendunia?
Hal ini terjadi setelah lulus kuliah, saya merasa memiliki spesialisasi untuk memecahkan teka-teki. Dulu, saat internet masih langka, sebuah modem bisa mengonversi suara menjadi data. Lalu saya memiliki ide untuk menyambungkan modem dan mengembangkan perangkat untuk mengirim sinyal. Sekarang mungkin sudah menjadi hal biasa, namun di tahun 90-an, ini adalah sebuah revolusi luar biasa. Dalam istilah awam – ini disebut Jaringan Telepon Komunitas P2P di tahun 1994.
Saya berpartner dengan dua orang penggiat internet lainnya, Jeff Pulver dari New York dan Brandon Lucas dari Tokyo, kami mulai mengembangkan ide kemudian diberitakan oleh London Financial Times, Wall Street Journal dan beberapa media besar lain.
Setelah kisah penemuan tersebut, apa yang anda lakukan? Kapan anda mulai membangun bisnis?
Hal yang pertama saya lakukan adalah berhenti dari pekerjaan saya saat itu. VoIP sangat menyita waktu. Sementara itu, ada sangat banyak kesempatan di luar daripada hanya duduk di belakang meja. Ini menjadi pekerjaan pertama dan terakhir saya.
Berbicara mengenai membangun sebuah perusahaan, sebenarnya saya sudah memulai sejak di semester kedua perguruan tinggi, dengan membuat logo bergerak, saya menghasilkan uang untu membayar biaya kuliah dan lain-lain. Hal ini terjadi jauh sebelum saya bertemu mitra yang luar biasa kemudian berbagi pengalaman mengenai seluk beluk industri.
Di masa penjajakan, saya bertemu dengan seorang pemain industri yang tertarik dengan ide-ide saya dan mau berinvestasi. Euforia tak terhindari lalu saya dimanjakan dengan uang. Percobaan pertama adalah sebuah toko buku online bernama Sanur.com yang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Saya beradu pendapat dengan investor dan memutuskan untuk keluar. Melalui proses yang panjanh serta dibantu oleh proyek seharga 200 juta Rupiah, akhirnya saya bisa berdamai dengan perusahaan lama. Dibantu oleh Jusuf Sjariffudin, bersama dengan Ishak Surjana, kami membangun perusahaan bernama Jatis.
Anda memulai Jatis dari awal hingga melahirkan kontribusi dalam industri. Mengapa anda memutuskan untuk keluar?
Kami memulai Jatis sebagai konsultan enterprise, saat perusaan asing sedang mendominasi. Strategi yang digunakan pada saat itu adalah menandatangani sebanyak mungkin kontrak serta melakukan pitching dengan berbagai macam klien. Bagaimanapun usaha yang dilakukan untuk membuat manajemen proyek yang solid dan sempurna, ternyata tidak didukung oleh kesepakatan harga yang sesuai. Konsultan menjadi bisnis yang sulit bagi pemain lokal ketika anda tidak bisa menetapkan harga kemudian menjadi isu ketika akan scale-up.
Mengembangkan bisnis dari skala kecil menuju skala menengah tidaklah sulit, namun setelah itu muncul perkara krusial dimana harus memilih untuk tinggal atau terus beranjak. Saya meninggalkan Jatis karna ketertarikan saya mulai bergeser ke ranah B2C dan lagi saya sudah lelah menjadi konsultan untuk B2B selama itu. Perputaran bisnis ini seperti gasing – hanya mengitari tempat yang sama bertahun-tahun tanpa inovasi lebih lanjut. Bukan perkara mudah meninggalkan perusahaan yang sudah dibesarkan selama 12 tahun.
Selama membangun bisnis, bagaimana anda menghadapi jatuh bangun dalam industri teknologi?
Saat itu mungkin adalah titik terendah saya, tidak ada lagi tempat di industri ini, bahkan dimusuhi banyak pihak. Akhirnya, Saya menemui seorang mentor, yang juga teman lama – Simon Halim – mantan CEO E&Y. Ia yang mengarahkan saya untuk menyusun rencana serta membuat laporan setiap minggu. Sedikit demi sedikit masalah terselesaikan, selangkah demi selangkah saya kembali bangkit dan akhirnya berhasil keluar dari lubang hitam. Menghadapi masalah dan hutang sama seperti mengikuti lomba renang, anda mulai meluncur lalu berhenti setiap 10 menit untuk mengambil nafas. Selama garis akhirnya tidak berubah – anda akan sampai pada waktunya.
Pada masa ini juga Nexian bermula. Ketika itu saya sedang dalam antrian untuk membeli sebuah perangkat lalu memutuskan untuk langsung menemui pendiri perusahaan dan mengemukakan ide untuk mengembangkan platform yang lebih baik. Proyek ini akhirnya berhasil dan Nexian berjaya pada saat itu. Saya memulai bisnis ini bersamaan dengan Nexian, fokus pada konten perangkat. Berbagai macam konsep disajikan dengan bantuan beberapa selebritis seperti Slank, Anang, Ashanti, Syahrini dan lainnya. Nexian JV adalah perusahaan pertama saya yang menuai profit.
Saat ini, anda menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta berkontribusi dalam banyak kegiatan dalam industri terkait. Bisa ceritakan bagaimana perjalanan anda sampai ke titik ini?
Semua menjadi lebih menarik ketika saya menemukan mitra saya sekarang – Jahja Suryandy, Martin Suharlie, dan Michael Stevens. Bersama-sama kami memulai MCAS Group pada tahun 2017 dengan visi untuk mendisrupsi ekosistem digital di Indonesia. Kami menjadikan perusahaan IPO dan sekarang berkembang pesat. Saat ini kami sedang melakukan penelitian mendalam tentang teknologi AI dan Fintech, yang berfokus pada pembentukan ulang berbagai industri dalam 20 tahun ke depan.
Tak ada satu industri pun yang dapat lolos dari penetrasi teknologi, dan dalam 20 tahun ke depan, sebagian besar pekerjaan akan bertransfomasi menjadi mesin. Bukan berarti semua orang menjadi pengangguran, hanya saja pada akhirnya akan berpindah haluan pada pekerjaan dengan lebih banyak waktu luang untuk hal yang paling signifikan dalam hidup: keluarga.
Saya mungkin telah membuat beberapa keputusan buruk di masa lalu, tetapi kerja keras, ide, kegigihan adalah yang membuat kita berkembang setiap hari. Saya menjunjung tinggi , “Nilai anda bukan ditentukan oleh seberapa banyak uang, tetapi seberapa banyak ide,” dan saya tidak pernah berhenti menghasilkan ide sampai sekarang.
Anda juga dikenal sebagai pembicara di banyak acara terkait teknologi, juga sebagai mentor bagi banyak inkubator startup. Menurut anda, apa hal yang paling fundamental dalam membangun bisnis?
Bagian tersulit dari membangun bisnis adalah bertransformasi dari bisnis pribadi menjadi sebuah institusi. Untuk bertahan, seseorang harus menciptakan sistem khusus serta mengatasi isu fundamental. Setelah itu, fokus pada apa yang anda lakukan sekarang, jangan terbawa euforia. Anda memulai begitu banyak bisnis sehingga tidak punya waktu untuk menggarap semua. Cobalah untuk tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.
Bagi mereka yang ingin memulai, mari kembali ke bagian paling mendasar dari bisnis ini – menghasilkan keuntungan yang sehat. Pada dasarnya, pembiayaan harus lebih kecil dari pendapatan, lalu perbedaannya disebut laba – dan jangan coba membuat definisi lain seperti kebanyakan startup.
Saat ini, startup sedang dalam masa sulit dan tidak terlalu bagus untuk industri. Pola pikir tidak sehat menjamur di mana para pendiri startup rela kehilangan uang demi mengejar nirwana. Nah, masalahnya tidak semua startup menjadi Unicorn, hanya yang gigih, memiliki jaringan dan bisa mengeksekusi dengan baik. Sisanya harus mempertahankan perusahaan dan akan sangat sulit jika anda tidak menghasilkan profit. Ada banyak kasus di mana para pendiri kelelahan dan bukan hanya bisnisnya yang gagal tetapi kehidupan pribadi mereka juga.
Jadi, sebisa mungkin – buatlah startup yang mendulang profit. Suntikan dari VC adalah permulaan yang baik, namun, jangan memanjakan diri dengan banyak seri dan cobalah menjalankan perusahaan secara mandiri. Setelah anda bisa menguasai hal itu, kebanyakan orang akan bisa mengikuti.
– Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian
This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.
Izak Jenie was having an ordinary life before he got introduced to the tech industry. He was amazed by the technology and what he can do with it. He started many companies at such a young age and experienced some failures during his business era.
In his 40s, he never stopped to create value and making innovation. Sticks and stones may break his bones but technology and internet always excite him. He is now the CEO of JAS Kapital, Founder of MCAS Group, and contributors to many other tech-related activities.
Below is the excerpt to sum up the dynamic chart of his career in the tech industry.
You’ve been having encounters with the tech industry at a very young age. What was your childhood like?
It was ordinary, spending most of my time playing around the neighbourhood. Back then, I was studying in one of the private schools in Jakarta with many regulations I’m not fond of. My health record was bad, I used to get convulsions and have asthma, thank God I’m still alive.
There is no academic issue back in the old days, but authority triggers me. I even made a petition when the school rescheduled PE to Bahasa Indonesia unnoticed, due to the absence of the teacher.
Who introduced you to technology?
My late father, Aldi Jenie. He was working at one of the state-owned enterprises, Pertamina, and also tech enthusiast. He often brought me to his office to see the latest technology and introduced me to the programming industry at the early days. When I was only 12 years old he introduced me to programming in the mainframe. I created my first programming language named APL (A Programming Language). I’m hooked! I learned so much from many computer books he brought while travelling/on duty, he even bought the first and very expensive IBM PC to support our interests in technology.
He taught me so much of technology and life itself. Having a position as a Group Head, we didn’t really dig a fancy life, he still made money out of freelance translation. The one thing he always says is to be grateful and don’t bite off more than you can chew.
Having a daily encounter with technology, are you having any issue with a social life?
Since I was a child, my father always told me to speak up. I do lots of public presentations, also learned so much about people interaction. I was a mentor in computer science since high school. I entered Trisakti university and took a major in Electrical Engineering because my friends doing so. Yes, I have friends.
My activity used to be doing music and computer all the time, I take it until my college life. I started computer clubs on campus also for the public and joined campus choir before I finally graduate after missing some classes because I’m too preoccupied with work. In fact, this is where I met my current wife, she motivated me to finish university.
Have you ever worked in a company?
Yes, graduated in five years, I have difficulty in finding jobs. While my friends were working at high-profile companies, I was unemployed for 6 months. Most of the top-five companies reject my application, it was until an opportunity appears from BBS (Bulletin Board System) that one of the popular private company in Indonesia is looking for a high-skilled computer graphic graduate.
The interview went well and I got to talk so much on my favourite subject. After the not-so-long process, I got accepted with a salary above my expectation. It’s not even a week after my successful interview, I just declined an opportunity by another well-known firm. This is where I learned about commitment.
In 1994, you came up with VoIP. How did you come up with such an idea and make it into global recognition?
It was after I graduate college, my specialty is actually to solve a puzzle. Back then, when the internet was still a rare thing, there’s a specific modem that can convert voice into data. I initiated the idea to connect modems and create software to send signals. It might sound simple nowadays, but in the 90’s it was such a revolution. In current layman terms – it was P2P Community Phone Network in 1994.
I made a pact with two other internet enthusiasts, Jeff Pulver in New York and Brandon Lucas in Tokyo, we started to develop the idea and make it into the news in London Financial Times, Wall Street Journal and other big media. It really helps with my career until now.
After the discovery, what did you do? When were you started to build your own company?
First thing first, I resigned from the job I had. VoIP has taken most of my time at the company. Meanwhile, this world is too full of opportunity to just stay back by the desk. This has become my first and last job.
When we’re talking about building a company, actually, I started my own company of computer graphics at the 2nd semester in my college year, earned money by making flying logos to pay my own bills and tuition. It was long before I met some great colleagues and shared insights from many parts of the industry.
In my exploration time, I met someone in a similar industry which was fond of my idea and willing to invest some cash. Euphoria struck hard and I was spoiled by easy cash. My first trial is an online bookshop named Sanur.com and it didn’t work as planned. I’m having an argument with the investor and decided to step out. After a long process and a project worth Rp200 million, I can finally make peace with my last company. Jusuf Sjariffudin also took part in the success, with Ishak Surjana, we created a company named Jatis.
You started Jatis, build the whole company from scratch until making impact. Why you decided to leave?
We started Jatis as an Enterprise Consultant when foreign business arrived and dominate the market. My strategy was to sign contracts as much as possible by pitching with many potential clients. However, our attempt to create a perfect and solid project management model does not supported by good pricing model. Consultancy is a tough business when you are a local player since mostly you don’t command the pricing structure and it becomes an issue when we’re trying to scale-up.
Accelerating from small to middle-size might be easy, from that point further is the crucial part, whether to stay or to climb higher. I left Jatis because of my interest shifted in B2C technology market and I’m pretty tired back then as a consultant to do the same B2B over and over again every year. My business life was like spinning toy – I circling around in the same place for years and cannot innovate further. It’s not easy to leave a company where you’ve been working for 12 years.
During your business experience, how did you manage to rise from the failure?
I think it was the lowest point, there is no place for me in the industry, I was so close to being a public enemy. Finally, I had a meeting with my mentor, also my old friend – Simon Halim – he was ex-CEO of E&Y. He taught me to make plans and report the progress every week to him. He helps me carefully list all my problems, categorized it one-by-one and create a solution for each. Step by step, I get back on track and managed to get out of all my problems in three years. Fighting your problems and debt is like taking the swimming practice, you just start your long swim and take a breath every 10m or so. As long as the finish line does not move – you will get there eventually.
During this moment is also the starting point of Nexian era. I was in the long queue to buy the handset when I decided to approach the founder and declared my mission to create a better app for the product. It turned out well and Nexian becomes the hype that day. I created a company together with Nexian, focus on mobile content for handsets. We created dozens of handset concept with the help from notable celebrities like Slank, Anang, Ashanti, Syahrini and other innovative concepts. Nexian JV is my first highly-profitable company.
Currently, you are the CEO of JAS Kapital, Founder of MCAS Group, and contributor to many other activities in the industry. Tell me more about the journey.
My life becomes more interesting when I met my current partners — Jahja Suryandy, Martin Suharlie, and Michael Stevens. Together we started MCAS Group in 2017 with the vision to disrupt the digital ecosystem in Indonesia. We took the company public and now the business grows very fast. We are now conducting in-depth research on AI technology and Fintech, focusing on reshaping various industries for the next 20 years.
There is no single industry able to escape technology penetration, and in the next 20 years, we are to shift most of the work into machines. It doesn’t mean to be unemployed, but most people will move to much better jobs with more free time in their hand for the most important thing in life: family.
I might have made some bad decisions in the past, but hard-working, ideas, persistence will always help us progressing every day. I always look up the quotes “Lack of money doesn’t make you lose your value, but lack of idea is,” and I never stopped producing ideas up until now.
You’ve known as a speaker at tech-business events and also a mentor to many startup incubators. What do you think is very fundamental in building a business?
The hardest part of developing a company is to transform a personal-based business into an institution. In order to survive, one must build a system and fix the fundamental issue first. Also, focus on what you’re doing now, do not get too excited you started so many businesses you have no time to handle. Try not to bite off more than you can chew.
For those who want to start, let’s go back to the most fundamental part of the business – create a healthy profit. Basically, your cost should be less than your revenue, and the difference of it is simply called profit – please don’t try to come up with other definition as most startups do.
Nowadays, startups are bleeding and it’s not really good for the industry. Toxic mindset is mushrooming where startup founders think that it is ok to lose money and chase the future nirvana. Well, not everyone will become Unicorn, only those who are persistence, have a good network and execute well are capable. The rest has to struggle for the company to stay afloat and it’ll be very difficult when you have no profit. I’ve seen too many cases where founders got exhausted and not only the business failed but their personal life as well.
Thus, as much as possible – make your startup profitable. VC money is a good way to jumpstart your business, however, don’t be spoiled with multiple series of VC money and try to run the company independently. Once you master it, most people can easily replicate.
Biznet Gio Nusantara meresmikan peluncuran NEO Cloud, platform komputasi awan berbasis open source di Indonesia. Platform ini menyasar pengembang aplikasi yang bekerja di segmen UKM, startup, hingga korporasi sebagai pengguna.
Sasaran pengguna ini cukup berbeda dengan pengguna Biznet Cloud selama ini yang berasal dari kalangan enterprise.
CEO Biznet Gio Dondy Bappedyanto menuturkan perusahaan meluncurkan platform komputasi awan baru karena banyak persepsi di pasar yang menganggap pemain cloud lokal masih tradisional dan layanannya hanya sekadar server saja. Lalu mereka dianggap tidak fleksibel dan hanya menyediakan metode penagihan per bulan.
Masyarakat juga menganggap pemain cloud lokal tidak bisa diandalkan, terlihat dari pemrosesannya yang lama dan rentan terkena gangguan. Isu terakhir adalah tidak terbuka karena hanya bisa diakses dan diatur dalam satu portal.
“Kita mau buat era baru, NEO Cloud itu kita buat secure by default. Kita tidak berikan akses password untuk masuk ke mesin, melainkan username dan sertifikat kunci. Jadi mesin tidak bisa diakses oleh siapapun yang tidak punya kunci,” terangnya, Rabu (1/11).
NEO Cloud dibangun dengan mengadopsi teknologi open source dari OpenStack dan diklaim sebagai layanan pertama yang menawarkan Multiple Availability Zone dan Multiple Region.
Multiple Regions NEO Cloud dibangun di dua pusat data yang dimiliki Biznet Data Center yang berlokasi di Technovillage (Cimanggis) dan Midplaza (Jakarta). Masing-masing region terdapat tiga Availabilty Zone. Jika terjadi kerusakan dalam salah satu Availability Zone, maka file akan langsung dialihkan ke Availability Zone lainnya.
Fitur dan layanan yang dihadirkan NEO Cloud di antaranya Virtual Compute, Flex Storage, Networks, dan Domain. Virtual Compute adalah layanan utama NEO Cloud, yang merupakan Infrastructure-as-a-Service (IaaS) memberikan kemudahan untuk mengatur kebutuhan skala komputasinya, mulai dari 1-32 core vCPU dengan RAM hingga 64 GB.
Sementara, Flex Storage diperuntukkan untuk penyimpanan dana, mencakup layanan Block Storage dan Object Storage. Block Storage terdiri dari Standard Performance yang memberikan performa kecepatan hingga 10 ribu IOPS dan High Performance dengan kecepatan dari 30 ribu IOPS sampai 10 ribu IOPS.
Untuk Object Storage, NEO Cloud menjamin kompatibilitas dengan standar industri S3 dari Amazon Web Service.
Adapun desain UI/UX dari layanan dibuat ringkas dan nyaman, memudahkan pengguna merancang, menjelajah, dan membangun berbagai topologi infrastruktur dalam waktu singkat.
“Kami ingin membawa nuansa baru bagi industri komputasi awan di Indonesia. Selama ini penyedia layanan komputasi awan lokal kerap dipandang sebelah mata karena fitur yang ditawarkan dianggap masih kalah dengan pemain dari luar negeri.”
Selain diklaim sebagai layanan yang ramah untuk para pengembang aplikasi, NEO Cloud juga dianggap ramah untuk industri fintech. Pasalnya, data center Biznet telah mengantongi sertifikasi standar keamanan informasi Payment Card Industry Data Security Standard (PCI DSS).
Industri keuangan di Indonesia cukup ketat. Untuk data center-nya tidak boleh sembarangan, karena harus berlokasi di dalam negeri dan mengantongi sertifikat tersebut.
“Dia [NEO Cloud] itu developer friendly dan fintech friendly. Sebagian besar pemain data center di Indonesia itu tidak developer friendly karena banyak aspek yang kosong. PCI DSS itu agak sulit untuk diperoleh pemain startup fintech, lantaran perlu waktu satu tahun untuk mengurus. Kalau sudah ada yang pegang PCI DSS akan sangat membantu developer fintech,” terang CEO JAS Kapital Indonesia Izak Jenie.
NEO Cloud telah meluncur dalam bentuk beta sejak 1 Oktober 2017 dan telah diuji coba ke lebih dari 1000 pengembang aplikasi. Rencananya, layanan ini akan resmi meluncur secara komersil pada 10 November 2017 mendatang.
Persoalan talenta hingga kini masih menjadi perbincangan di kalangan pelaku startup, investor hingga akademisi. Makin besarnya pertumbuhan startup saat ini ternyata belum bisa merekrut secara maksimal talenta muda yang berkualitas, khususnya di bidang pemrograman/developer.
Dalam kesempatan Global Mobile Internet Conference (GMIC) Jakarta 2017, para pakar yang terdiri dari investor, entrepreneur dan akademisi yang berkecimpung langsung di dunia teknologi, membicarakan persoalan tersebut. Dari hasil diskusi terungkap beberapa hal, mulai dari rendahnya kualitas pendidik dan masih minimnya jumlah anak muda yang ingin terjun ke dunia teknologi, menjadi beberapa faktor penyebab rendahnya jumlah hingga kualitas “supply” developer di Indonesia saat ini.
Meningkatkan kualitas pengajar
Sebagai salah satu sekolah IT-Preneur yang sudah hadir sejak tahun 1987 lalu, Purwadhika Startup dan Coding School, konsisten untuk selalu memberikan pelajaran hal-hal yang terkait dengan teknologi. Jika dulunya fokus pengajaran lebih kepada pembuatan komputer, tahun 2017 ini fokus pengajaran lebih kepada pemrograman. Menurut Founder dan President Purwadhika Startup & Coding School dan Neurosoft Indonesia Purwa Hartono, salah satu kendala yang menghambat pertumbuhan tenaga ahli di bidang tersebut adalah minimnya kualitas dan kemampuan pengajar hingga lemahnya kurikulum di Indonesia saat ini. Sehingga tidak bisa menarik perhatian anak muda untuk kemudian terjun ke dunia teknologi.
“Masih banyak anak muda saat ini yang lebih senang mengejar gelar dan bekerja di perusahaan pemerintah hingga swasta. Selain itu sebagian besar dari mereka masih melihat coding dan pemrograman adalah pelajaran yang sulit untuk dicerna,” kata Purwa.
Senada dengan Purwa, CEO Hacktiv8 yang selama ini telah melahirkan tenaga coder yang sukses bekerja di startup lokal ternama seperti GO-JEK hingga Tokopedia mengungkapkan, pengajar yang berkualitas dan memiliki kesabaran tinggi menjadi faktor penentu keberhasilan siswa. Dalam hal ini Hacktiv8 yang merupakan kelas Pemrograman Full Stack JavaScript di Jakarta, memiliki misi untuk melahirkan tenaga kerja baru yang bisa diandalkan dan memiliki akuntabilitas. Seperti yang diungkapkan oleh CEO, Hacktiv8 Ronald Ishak.
“Untuk memastikan siswa dari Hacktiv8 nantinya bakal langsung diterima di startup ternama di Indonesia saat ini, kami terus melakukan kolaborasi dengan startup seperti GO-JEK hingga Kudo.”
Dukungan investor dan pemerintah
Untuk bisa menciptakan sebuah peluang sekaligus mengumpulkan tenaga muda yang memiliki minat menjadi engineer, dukungan dari investor lokal hingga asing dan pemerintah juga memiliki peranan penting. Dalam hal ini menurut Founding Partner Kejora Ventures dan Direktur Founder Institute Andy Zain, melalui venture capital dan Founder Institute yang ia pimpin diharapkan bisa menghasilkan calon entrepreneur dan startup berkualitas, melalui program binaan yang dilakukan oleh Kejora sekaligus Founder Institute.
“Hingga kini kami cukup bangga telah memiliki startup binaan yang berhasil memenangkan kompetisi startup. Sesuai dengan tujuan dari kami yaitu mencetak startup juara yang berkualitas.”
Bukan hanya hadiah berupa uang Rp100 juta yang diberikan oleh Founder Institute, namun juga kesempatan untuk mengembangkan produk hingga proses validasi. Jika startup telah melewati proses tersebut, Founder Institute akan mendukung hingga peluncuran produk tiba.
Untuk itu pemerintah melalui Bekraf, idealnya juga bisa memikirkan cara-cara baru yang bisa memancing minat dari anak muda Indonesia untuk menjadi entrepreneur di bidang teknologi yang berkualitas.
“Selain dari roadmap yang dimiliki oleh Bekraf, tentunya dukungan dari investor, kelas pemrograman dan sekolah startup bisa turut membantu untuk menciptakan engineer hingga startup baru lebih banyak lagi,” kata Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari.
––
Disclosure: DailySocial adalah media partner Global Mobile Internet Conference Jakarta 2017.
Semalam, Senin (13/2) Jakarta Founder Institute (JFI) mengadakan pesta kelulusan untuk angkatan keenam, terdiri dari sembilan founder startup. Mereka adalah Ary Setiyono (Wsignal), Erik Hormein (Sevva), Errika Ferdinata (Bildeco), Rifki Bahri (Andalin), Antonius Stefanus (Neetip), Gimin (3i), Indra (IndoGold), Marvinus Arif (Fishare), dan Bong Defendy (ZendMoney).
Sembilan orang ini merupakan hasil penyaringan dari total pelamar hampir 500 orang, namun hanya 75 orang yang diterima untuk batch kali ini. Seluruh lulusan akan berangkat ke Silicon Valley pekan mendatang sebagai hadiahnya.
Tak hanya itu, JFI juga mengumumkan lima lulusan terbaik. Mereka berhak mendapatkan dana hibah masing-masing sebesar Rp100 juta, serta dukungan pemasaran saat launching bisnis.
Founder Institute adalah program pelatihan yang berjalan selama empat bulan per batch-nya. Program ini sudah beroperasi di 20 negara, melatih founder baru untuk membentuk generasi terbaik di perusahaan. Program ini memfasilitasi sesi mingguan yang diisi dengan mentor berpengalaman di bidangnya untuk membantu para founder mengembangkan dan meluncurkan bisnis mereka.
Di Indonesia, JFI didukung oleh berbagai mitra, mulai dari Indosat Ooredoo, Baidu, Kejora, Mountain Partners, Bakti Barito, dan lainnya.
Berbeda dengan batch sebelumnya, pihak Founder Institute menyeriusi program ini sampai-sampai membentuk Board of Director (BoD). Terpilihlah tiga orang dalam jajaran BoD, yakni Boye Hartman (Y Group Asia), Andy Zain (Kejora), dan Izak Jenie (Digital Artha Media).
“Sekarang ini para lulusan menjadi pribadi yang berbeda dibandingkan saat kita pertama kali bertemu di 14 minggu yang lalu. Saya berharap para lulusan bisa mempraktikkan di dunia nyata ilmu-ilmu yang sudah mereka dapatkan selama pelatihan,” kata Hartman.
Izak menambahkan, “Kami ingin para founder dari lulusan JFI harus kuat, tahu apa yang mereka lakukan. Kami juga turut senang dua dari ketiga pemenang Ideabox Batch 4 berasal dari lulusan JFI.”
Founder dan CEO Sevva Erik Hormein mengatakan dirinya sangat berterima kasih telah mengadakan program Founder Institute. Banyak tantangan yang berat saat menjalani tugas selama 14 minggu tersebut. Tak hanya dapat ilmu, dia juga dapat mempererat hubungan kekeluargaan dengan para lulusan lainnya.
“Perjalanannya sangat berat, di samping itu kita semua jadi lebih dengan satu sama lain. Bertemu dengan entrepreneur lainnya dengan visi yang sama bisa menciptakan energi positif yang sangat baik. Hal itulah yang tidak bisa ditukar dengan uang,” ujar Erik.
*DailySocial melakukan penambahan nama-nama lulusan dan penjelasan Founder Institute.
Layanan fintech Tiongkok WeCash, yang fokus mengembangkan produk evaluasi data kredit konsumen, pendeteksian fraud, dan pemberian pinjaman konsumsi, memasuki pasar Indonesia dengan menggandeng JAS Kapital dan Kresna Investments. Ini adalah langkah ekspansi WeCash kedua di Asia Tenggara setelah sebelumnya hadir di Singapura.
Perusahaan joint venture antara tiga pihak ini bernama PT Digital Tunai Kita (DTK) yang akan menggandeng bank dan perusahaan multifinance untuk memberikan pinjaman dengan jangkauan yang lebih luas. Secara model bisnis, DTK mirip dengan UangTeman karena sumber pendanaan pinjaman bukan berasal dari masyarakat umum.
“Kami senang dengan peluang berkontribusi di ekosistem fintech Indonesia dan bermitra dengan Kresna Investments dan JAS Kapital. Keduanya termasuk yang unggul di bidang perbankan, finansial, dan fintech,” ujar Chief Strategy Officer WeCash James Chan.
JAS Kapital adalah pengelola layanan e-money Mandiri E-Cash, sementara petualangan terbaru Kresna Investments adalah membantu grup pengelola Ranch Market (Supra Boga) mendirikan layanan online groceryKeSupermarket.
Dengan dukungan teknologi WeCash dan pengetahuan lokal JAS Kapital dan Kresna Investments diharapkan dapat mempercepat program inklusi keuangan yang digalakkan pemerintah dan menjangkau mereka yang selama ini sulit mendapatkan pinjaman langsung dari lembaga keuangan formal, seperti bank.
DTK akan dipimpin Direktur dan CEO James Chan dan COO Andry Huzain. Managing Director Kresna Investments Jahja Suryandy menjadi Presiden Komisaris DTK, sedangkan Co-Founder dan CEO WeCash George Zhi masuk di jajaran Komisaris.
Menurut Jahja, di tahun 2015 tingkat konsumsi finansial Indonesia mencapai $18.8 miliar (lebih dari 250 triliun Rupiah) dan menjadi $19.2 miliar di empat bulan pertama tahun 2016.
WeCash yang berdiri tahun 2014 telah memperoleh pendanaan total $26,51 juta (355 miliar Rupiah) dalam dua putaran.
“DTK akan membantu kita membawa berbagai jenis layanan finansial dari mitra perbankan dan multifinance ke tangan puluhan juta masyarakat Indonesia,” tutup Co-Founder JAS Kapital Izak Jenie.
Jakarta Founder Institute kembali membuka pendaftaran program mentoring untuk calon founder startup Indonesia di tahun 2016. Founder Institute sendiri adalah idea-stage inkubator global yang berbasis di Silicon Valley dan telah tersebar di 135 kota dan 40 negara di Eropa, Rusia dan Asia.
Untuk tahun ini Jakarta Founder Institute akan membuka kelas yang sarat dengan program mentoring hingga sesi pitching untuk calon founder startup di Indonesia yang saat ini masih berstatus mahasiswa hingga pekerja kantoran. Dengan biaya registrasi sebesar $ 50 (Pendaftaran sebelum tanggal 15 Agustus) nantinya calon pendaftar akan diberikan tes terlebih dahulu yang akan menentukan karakter dan sikap dari calon entrepreneur yang ideal bagi Founder Institute.
“Dalam tes tersebut nantinya calon peserta diminta untuk mengisi ragam pertanyaan yang menentukan seperti apa karakter dan pembawaan dari peserta, apakah cocok untuk menjadi seorang entrepreneur atau bukan, materi ini sudah diterapkan di seluruh Founder Institute dan terbukti berhasil merekrut entrepreneur yang berkualitas,” kata Direktur Jakarta Founder Institute Andy Zain.
Setelah registrasi dilakukan, peserta yang dinyatakan lulus akan mendapatkan informasi mengenai pembayaran kegiatan mentoring selama empat bulan. Biaya yang dikenakan kepada peserta adalah $ 599.
“Jika peserta dinyatakan tidak lulus dalam minggu pertama oleh mentor dari Jakarta Founder Institute, uang tersebut bisa dikembalikan. Uang tersebut kami minta untuk membayar license kepada Founder Institute HQ,” kata Andy.
Jakarta Founder Institute sengaja menargetkan kalangan pekerja kantoran yang dinilai sudah cukup memiliki kemampuan dan pengalaman. Jakarta Founder Institute mengklaim menjamin kesuksesan dari para Founder lulusan Jakarta Founder Institute sebanyak 80%. Hal ini dilihat dari kemajuan dan peningkatan kemampuan, hingga ide dan kreatifitas dari para founder yang mengikuti program ini.
“Pada dasarnya kami menerima kalangan pelajar dan mahasiswa yang ingin mengikuti program Jakarta Founder Institute. Namun, dari pengalaman yang ada kebanyakan founder startup yang sukses berasal dari kalangan pekerja kantoran usia sekitar 28 tahun ke atas yang sudah memiliki pengalaman dan wawasan yang luas,” kata Andy.
Gencar mencari sponsor
Dalam jangka waktu empat bulan penuh, semua peserta yang dibatasi hanya berjumlah 40 orang saja akan diberikan mentoring dari 60 mentor asing hingga lokal. Setelah melakukan penyaringan, para lulusan terbaik Jakarta Founder Institute akan mendapatkan uang sebesar Rp 100 juta tanpa ekuitas serta kesempatan untuk mengikuti program lanjutan langsung ke Silicon Valley.
“Program ke Silicon Valley merupakan satu-satunya yang disediakan oleh Jakarta Founder Institute. Di negara lainnya, Founder Institute tidak menyediakan program berkunjung ke Silicon Valley,” kata salah satu Direktur Jakarta Founder Institute Izak Jenie.
Selama ini baik Andy Zain, Izak jeni dan Boye Hartmann selaku Direktur dari Jakarta Founder Institute masih terus mencari sponsor, mentor, dan pihak-pihak terkait lainnya yang diharapkan bisa membantu memberikan tambahan dana dan kontribusi mentoring untuk membantu program Jakarta Founder Institute.
“Sejak awal kami memang berkomitmen untuk tidak mengambil keuntungan dari kegiatan ini. Niat kami adalah ingin menghasilkan Founder dan startup terbaik yang mampu bertahan lama,” kata Andy.
Nantinya para lulusan Jakarta Founder Institute yang telah meluncurkan startup masing-masing akan diminta untuk memberikan saham sebesar 3,5% kepada mentor dan pihak terkait lainnya yang terlibat di program Jakarta Founder Institute.
“Jumlah tersebut kami nilai cukup fair dilihat dari kontribusi mentor, materi yang didapatkan serta kesempatan untuk bertemu jaringan angel investor dan VC kami di Jakarta Founder Institute,” kata Izak.
Memberikan beasiswa kepada Female dan Technical Founder
Untuk memberikan apresiasi kepada para founder wanita yang mengikuti program, Jakarta Founder Institute akan memberikan beasiswa Female Founder Fellowship. Begitu juga para founder yang memiliki latar belakang teknis dan kemampuan lebih dalam hal coding lewat beasiswa Technical Founder Fellowship. Ini berlaku untuk yang melakukan pendaftaran sebelum tanggal 14 Agustus 2016 dan dinyatakan sesuai dengan ketentuan.
“Rewards tersebut kami berikan untuk memancing lebih banyak lagi calon entrepreneur muda yang saat ini memiliki ide cemerlang namun belum mendapatkan kesempatan untuk meluncurkan produknya secara maksimal,” kata Andy.
Saat ini pendaftaran untuk program 4 bulan dari Jakarta Founder Institute sudah resmi dibuka dan sejauh ini telah terkumpul sebanyak 30 orang pendaftar. Bagi Anda yang tertarik bergabung dengan komunitas Jakarta Founder Institute bisa mendaftarkan diri dalam tautan ini.
Since it was established in 2006, Nexian has proven as the local mobile phone vendor in low-end market, even claimed that it has 25% mobile phone market in Indonesia. Last week, the company that recently acquired by Spice announced they has reached 10 million users and made it the biggest local mobile phone vendor in Indonesia.
If we look at the brand activation and Nexian products campaign, it is clear that Nexian is the one that push the mobile Android platform to enter Indonesia through its low-end price products. Android products from Nexian are available from bellow 1 million to 3 million rupiah. With the varied range of prices, it gives significant influence to Android in Indonesia.
According to Izak Jenie, Metrotech CEO (content provider for Nexian), Android is a part of Nexian whole strategy but it still meets some obstacles dealing with content.
We are pushing Android, if any “Android hackers” come into kernel level—we really need them. For now, we still use resource from China and India. We hope that there is a team from Indonesia can do it, because we need to enhance Android in significant ways.
We may learn from Nexian, that low-end handphone and the low-end class is a promising market. In fact, many people still work on middle-up class and only few play in this market, off course there is still many chances.