Bisa jadi kamu sudah tidak asing lagi dengan sosok yang satu ini, yaitu Jack Ma. Jack Ma adalah seorang pengusaha asal Tiongkok terkemuka yang mendirikan Alibaba Group. Jack Ma lahir di Hangzhou, Zhejiang, China pada 10 September 1964, nama aslinya adalah Ma Yun. Jack Ma memiliki seorang kakak laki-laki dan seorang adik perempuan. Jack Ma memiliki seorang istri bernama Cathy Zhang dan seorang anak bernama Ma Yuankun.
Pada tahun 2015, Jack Ma masuk dalam daftar Forbes Business Media dengan predikat Influential Global Billionaire. Tentu saja, dia adalah salah satu orang terkaya di Tiongkok. Jack Ma telah mendirikan Alibaba, raksasa e-commerce di Hong Kong, tetapi sejak itu mengakuisisi banyak perusahaan terkait lainnya di seluruh dunia.
Sosok Inspiratif Jack Ma
Jack dan saudara-saudaranya tumbuh besar di masa komunis Tiongkok yang sangat terisolasi dari dunia Barat. Bahkan, keluarganya tidak punya banyak uang pada saat itu. Sejak saat itu, kampung halaman Jack Ma menjadi kiblat para turis. Seorang remaja kreatif dengan naluri bisnis, Jack Ma menghabiskan hari-harinya dengan bangun pagi untuk mengunjungi hotel-hotel besar di kota.
Jack Ma kemudian menyediakan pemandu wisata untuk turis dan mengambil pelajaran bahasa Inggris sebagai upah. Julukan “Jack” akhirnya melekat padanya karena hadiah dari turis yang akhirnya berteman dengannya. Pendidikan adalah satu-satunya jalan Jack Ma untuk maju. Setelah sekolah menengah, Ma mendaftar ke perguruan tinggi tetapi gagal dalam ujian masuk dua kali.
Pantang Menyerah dan Pekerja Keras
Tak pantang menyerah meski gagal dua kali, usaha Jack Ma terbayar pada percobaan ketiganya. Jack Ma berhasil melanjutkan studinya di Hangzhou Teachers College, dan dinyatakan lulus pada tahun 1988 dan mulai melamar pekerjaan sebanyak yang disanggupinya.
Sayangnya, Jack Ma harus menerima selusin penolakan, termasuk di restoran KFC setempat. Akhirnya, Jack Ma dipekerjakan sebagai guru bahasa Inggris. Memang Jack Ma terlahir sebagai guru, disukai murid-muridnya dan mencintai pekerjaannya meski bayarannya kecil. Jack Ma mengajar di universitas lokal dan hanya berpenghasilan $12 per bulan.
Jack Ma tidak memiliki pengalaman komputer atau pemrograman sama sekali, tetapi menjadi sangat tertarik dengan dunia Internet pada tahun 1995 ketika Jack Ma dapat menggunakannya untuk pertama kalinya saat bepergian di Amerika Serikat.
Titik Awal Kesuksesan Alibaba
Setelah memulai usaha penerjemahan, Jack Ma melakukan bepergian buat membantu suatu perusahaan Tiongkok pulih. Jack Ma melakukan pencarian online pertamanya, yaitu “minuman memabukan,” namun Jack Ma sangat terkejut menemukan bahwa tidak terdapat minuman memabukkan Tiongkok yang ada pada output pencarian pada internet. Sejak saat itu, Jack Ma memantapkan diri untuk mendirikan perusahaan internet untuk negaranya, Tiongkok.
Selang beberapa lama, layanan internet ini mulai menarik perhatian banyak pengguna di seluruh dunia. Hingga, pada bulan Oktober pada tahun 1999, perusahaan Jack Ma berhasil mengumpulkan $5 juta dari Goldman Sachs, dan $20 juta dari SoftBank. SoftBank ini adalah perusahaan telekomunikasi Jepang yangg senang berinvestasi bagi perusahaan teknologi.
Hingga pada tahun 2005, Yahoo pun ikut menanamkan modal sejumlah $1 miliar untuk Alibaba lalu ditukarkan menggunakan kurang lebih 40% saham perusahaan. Jumlah ini sangat besat bagi Alibaba yang pada waktu itu sedang mencoba mengalahkan usaha eBay pada Tiongkok. Akhirnya keputusan Yahoo ini sebagai kemenangan telak bagi Yahoo lantaran berhasil hasilkan 10 $ miliar buat IPO Alibaba.
Kemudian, pada 19 September Alibaba mengenalkan dirinya pada dunia. “Hari ini yg kami dapatkan bukan uang. Yang kami dapatkan merupakan agama berdasarkan orang-orang,” ujar Jack Ma kala itu pada jurnalis CNBC.
IPO senilai $150 miliar ini merupakan penawaran terbesar untuk perusahaan terdaftar pada Amerika sepanjang sejarah Bursa Efek pada New York. Itulah yang menjadikan Jack Ma orang terkaya pada negara asalnya Tiongkok, dengan perkiraan sejumlah $25 miliar.
Kamu bisa mengikuti jejaknya dengan menjadi sosok pekerja keras dan pantang menyerah!
Perusahaan penyedia layanan komputasi awan terkemuka besutan Jack Ma, Alibaba Cloud, berkomitmen untuk lebih banyak berinvestasi dalam hal sumber daya manusia di Indonesia pada tahun 2022 ini. Rencananya, Alibaba Cloud menargetkan untuk memberikan pelatihan digital kepada lebih dari 50.000 talenta Indonesia melalui program “Pelatihan Talenta Digital.”
Berkolaborasi dengan 11 universitas di Indonesia, Alibaba Cloud berjanji untuk melatih talenta Indonesia dengan set keahlian digital di beberapa bidang seperti komputasi awan, analisis data, dan machine learning.
Tak hanya itu, nantinya, program ini juga memberikan lebih banyak dukungan kepada startup lokal dan developer, memperluas kerja sama dengan ekosistem lokal, serta menawarkan lebih banyak solusi industri yang lebih canggih guna mendukung percepatan transformasi digital di negara ini.
Hal ini sejalan dengan komitmen Alibaba Cloud untuk selalu memberikan dukungan kepada komunitas startup yang berkembang cepat. Faktor ini ditunjukkan juga oleh Alibaba Cloud dengan menyelenggarakan serangkaian acara, seperti StartupFest, sebuah ajang berskala besar di mana para Startup melakukan pitch untuk memperoleh cloud resource gratis senilai hingga USD 60.000, dan berkesempatan mendapatkan akses untuk mengikuti investasi global.
Tahun ini juga Alibaba Cloud akan melanjutkan acara host Re-cloud Challenges di komunitas developer, menawarkan alat pengembangan low-code beserta kupon dan dana tunai guna membantu para developer menciptakan solusi bersama di platform Alibaba Cloud.
Sebagai tulang punggung teknologi digital dan inteligensi Alibaba Group, Alibaba Cloud terus melakukan perluasan kerja sama ekosistemnya melalui berbagai perusahaan teknologi dan jaringan (channel).
Alibaba Cloud beragenda meningkatkan program kerja sama ini dengan memasukan 200 mitra dari berbagai sektor, mulai dari ritel, keuangan, logistik, hingga gaming pada akhir tahun 2022, menyediakan solusi industrial yang dapat disesuaikan serta konsultasi mengenai transformasi digital untuk para pelaku bisnis guna melayani berbagai permintaan perpindahan ke digital.
Senada dengan ini, General Manager Alibaba Cloud Indonesia, Leon Chen mengatakan, ”Dengan adanya tiga data center dan satu pusat scrubbing di Indonesia, kami telah tumbuh dengan kuat dan telah memperluas basis pelanggan kami di 10 sektor pada tahun lalu. Kedepannya, kami bertekad untuk menyediakan lebih banyak sumber daya manusia lokal melalui inisiatif yang kami jalankan, seperti memberikan pelatihan talenta digital, memberikan dukungan kepada komunitas startup dan developer, memberikan solusi bersama dengan para mitra, dan memperkenalkan teknologi terdepan kepada pasar Indonesia,” terangnya dalam siaran pers yang DailySocial.id terima.
Perusahaan yang didirikan sejak tahun 2009 ini telah menjelma menjadi mitra terpercaya startup lokal untuk menjalankan bisnis digital dan menangkap berbagai kesempatan untuk pertumbuhan bisnis. Seperti dua anggota Unicorn baru yang muncul tahun lalu, Xendit dan Kopi Kenangan, yang mempercayakan Alibaba Cloud untuk membangun infrastruktur operasional digitalnya.
Sebagai perusahaan teknologi keuangan, Xendit mengandalkan jasa Alibaba Cloud untuk sistem komputasi, kontainer, database, serta Key Management Service (KMS) guna mengenkripsi dan melindungi aset data yang sensitif.
Theo Mitsutama, Senior Engineering Manager Xendit mengatakan, “Seiring dengan pesatnya peningkatan pengguna yang dialami Xendit setiap tahunnya, kami mencari mitra cloud yang dapat dipercaya untuk memberikan solusi komprehensif yang berisi inovasi berkelanjutan, kelincahan, dan keandalan. Kami merasa sangat terhormat dapat bermitra dengan Alibaba Cloud.”
Tak mau ketinggalan juga, startup lain seperti Speedwork dan Teman Bumil turut serta bekerja sama dengan Alibaba Cloud untuk membantu mempermudah menghidupkan inovasi dan kreasi digital.
Speedwork selaku penyedia solusi perawatan mobil, dapat mengembangkan bisnisnya dengan cepat di seluruh negeri dengan pengalaman omnichannel O2O yang mulus. Speedwork memanfaatkan infrastruktur Alibaba Cloud seperti jaringan dan database untuk membangun fondasi teknologi yang kuat untuk bisnis perdagangan digitalnya yang berkembang pesat.
“Dengan memanfaatkan infrastruktur teknologi Alibaba Cloud yang tangguh dan aman, kami dapat memanfaatkan kekuatan komputasi awan untuk mendorong pertumbuhan bisnis kami yang kuat dan memberikan layanan tanpa batas kepada pelanggan kami. Kami berharap dapat bekerja sama dengan Alibaba Cloud di masa depan untuk lebih banyak inovasi dan kreasi digital, ” kata Foeryanto Jawoto, CEO Speedwork.
Sama dengan para perusahaan di atas, Teman Bumil sebagai aplikasi parenting yang menyediakan informasi dan layanan edukatif untuk membantu jutaan ibu milenial juga bekerja sama dengan Alibaba Cloud untuk penyediaan layanan cloud yang meliputi containerization, security, dan storage.
“Aplikasi Teman Bumil berusaha untuk mendukung para ibu, selama masa kehamilan dan masa mengasuh anak, melalui kerjasama dengan para mitra yang memiliki pikiran yang sama. Kami senang telah mencapai kesuksesan bersama dengan Alibaba Cloud, dan kami berharap bisa memberikan manfaat yang lebih besar kepada para ibu dengan menggunakan infrastruktur cloud yang revolusioner dari Alibaba Cloud,” kata Evi Kristianti – Head of Patient Pillar PT GUE (Global Urban Esensial)
Setelah tahun 2018 diwakilkan oleh 4 startup terpilih asal Indonesia, eFounder Fellowship kembali mengundang startup asal Indonesia. Acara ini merupakan program kerja sama The United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD) dan Alibaba Business School
Program yang dibentuk dalam kerangka “Agenda 2030 untuk Pembangunan yang Berkelanjutan” ini bertujuan untuk memastikan tidak ada negara yang tertinggal di era ekonomi digital dengan cara menjembatani kesenjangan digital yang dihadapi berbagai perusahaan di negara berkembang.
Program ini juga menjadi salah satu bentuk komitmen Jack Ma, Executive Chairman dan pendiri Alibaba Group serta penasihat khusus untuk UNCTAD, untuk membina 1000 pengusaha dari berbagai negara berkembang selama lima tahun mendatang. Program eFounders Fellowship merefleksikan misi Alibaba untuk mengembangkan pengusaha kecil dan menengah agar dapat bersaing di kancah internasional.
Dari proses kurasi yang dilakukan, 16 startup asal Indonesia berhasil masuk menjadi peserta, mewakili berbagai industri termasuk e-commerce, logistik, teknologi finansial, pariwisata, dan big data. Setelah lulus, mereka akan menjadi anggota eFounders Fellows, sebuah komunitas pengusaha muda eksklusif yang bertujuan untuk mendorong transformasi digital di negara mereka.
Ke-16 pengusaha asal Indonesia yang terpilih di antaranya Aditya Minarto dari Ralali.com, Casper Sermsuksan dari Kulina.id, Chrisanti Indiana dari Sociolla.com, Frans Yuwono dari Asiacommerce.id, Satria Chandra dari PlazaKamera.com, Jeff Budiman dari The FIT Company, Johannes Ardianto dari Lemonilo, Ananto Wibisono dari Alterra, Suwandi Soh dari Mejari, Vikra Iljas dari Kitabisa, Andree Susanto dari Waresix, Archie Carlson dari Stickearn, Benz Budiman dari Pomona, Irzan Raditya dari Kata.ai, Winzendy Tedja dari Yuna & Co dan Ali Sadikin dari Marlin Booking.
Mereka telah mengikuti program intensif tanggal 2 – 12 Juni 2019 untuk mendapatkan wawasan dan pengalaman langsung seputar e-commerce serta inovasi lain dari Tiongkok dan berbagai negara dunia.
Secara keseluruhan sejak program ini dihadirkan, terdapat 28 pengusaha asal Indonesia yang telah mengikuti program eFounders ini, di antaranya Agung Bezharie dari Warung Pintar, Amanda Cole dari Sayur Box, Aswin Andrison dari STOQO, Budi Handoko dari Shipper, Fandy Santoso dari Hadiah, Gitta Amelia dari Everhaus Capital, Jowan Kosasih dari Simply Dots, Mario Ronaldo Andrew Mawikere dari Bizzy Indonesia, Rade Tampubolon dari Sociobuzz.com, Wenyu Tan dari Taralite, Windy Natriavi dari Awan Tunai, dan Yoshua Norza dari Pickpack.
Pasca kehadiran Co-Founder Alibaba Jack Ma ke ajang IMF-WB Annual Meeting beberapa waktu lalu di Bali, rencana pendirian Jack Ma Institute kembali mengemuka. Namun jika ditelusuri lebih lanjut, sebenarnya inisiatif tersebut sudah menjadi wacana sejak September tahun lalu.
Ide awal pendirian institusi tersebut justru dari pemerintah dan Ma sendiri menyambut baik. Pihak Alibaba yang kami hubungi mengatakan, sejauh ini belum ada upaya konkret untuk merealisasikan Jack Ma Institute tersebut, sehingga belum bisa dipastikan seperti apa bentuk dan kapan realisasinya.
Ma sendiri dalam kesempatan tersebut menyatakan bahwa dirinya sangat bersemangat untuk menjadi bagian dalam meningkatkan kompetensi melalui pendidikan, khususnya untuk kewirausahaan. Ia menekankan, upayanya untuk pendidikan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kegiatan kehumasan atau pemasaran, murni untuk pengembangan.
10×1000 Tech for Inclusion
Di kesempatan yang sama, International Financial Corporation (IFC), anggota Grup Bank Dunia, dan Ant Financial Services Group (operator Alipay) meresmikan sinergi program “10×1000 Tech for Inclusion”. Ma mengatakan program ini bertujuan membangun platform interaktif dan terbuka dalam meningkatkan dukungan bagi para pemimpin di bidang teknologi.
Program tersebut ditujukan bagi mereka yang bergerak pada upaya mengurangi angka kemiskinan dan membuat layanan dasar keuangan untuk masyarakat di negara-negara berkembang. Indonesia adalah negara pertama yang dilibatkan di program ini.
“Saya percaya berinvestasi pada masyarakat berarti berinvestasi untuk masa depan. Membangun talenta merupakan salah satu tindakan penting yang dapat dilakukan oleh ekosistem Alibaba,” ujar Ma.
Program 10×1.000 Tech for Inclusion ini akan bekerja sama dengan mitra lokal dari sektor publik dan swasta di negara-negara berkembang. Serangkaian lokakarya yang berhubungan teknologi finansial akan dilaksanakan di Tiongkok dan berbagai negara. Lokakarya ini bertujuan untuk menginspirasi para pemimpin dan orang-orang berbakat di bidang teknologi untuk menjadi “Agen Perubahan” di era digital.
Mari kita sedikit lakukan kilas balik di tiga atau empat tahun lalu untuk menjawab pertanyaan berikut: “Apa layanan komputasi awan (cloud computing) global yang Anda ketahui?”, secara umum jawaban akan mengacu pada opsi Amazon Web Services (AWS), Windows Azure, atau Google Cloud. Beberapa mungkin juga akrab dengan merek IBM Softlayer, VMware, dan Oracle.
Masih banyak penyedia lain yang tidak cukup akrab didengar pelanggan atau pengembang aplikasi di Indonesia. Salah satunya Alibaba Cloud (sempat memiliki julukan “Aliyun”). Mereka mulai beroperasi sejak September 2009. Tidak tanggung-tanggung, kala itu perusahaan di bawah kepemimpinan Jack Ma dan Simon Hu ini sudah membuka pusat riset pengembangan dan operasional di Hangzhou, Beijing, dan Silicon Valley.
September 2014 adalah momentum bersejarah bagi Alibaba Group, pasca bersandar di New York Stock Exchange (NYSE). Semua orang mulai mengetahui dan mengakui kapabilitas Alibaba sebagai perusahaan e-commerce. Keberhasilan IPO (Initial Public Offering) saham Alibaba (BABA) membawa perusahaan meraih investasi mencapai US$21.8 miliar pada pembukaan awal. Seluruh unit bisnis Alibaba Group satu per satu meroket ke pasar global, tak terkecuali Alibaba Cloud.
Tahun 2015 akselerasi bisnis Alibaba Cloud ditingkatkan. Dimulai dari kucuran investasi $1 miliar dari perusahaan induk. Pusat data (data center) mulai diperluas, diawali dari Hong Kong, Singapura, dan Amerika Serikat. Peningkatan tersebut bukan tanpa prestasi, kemampuan yang makin mumpuni dibuktikan dengan dukungan layanan terhadap festival belanja online 11.11 tahun 2015. Kala itu berhasil melayani transaksi hingga $14,2 miliar dalam 24 jam.
Saat ini, Alibaba Cloud sudah memiliki pusat data yang tersebar di 18 wilayah. Terbaru pada Februari 2018, mereka membangun pusat data di Indonesia. Namun, sebaran pusat data tidak lantas otomatis membuat penyedia layanan menjadi pemimpin pasar, banyak upaya yang harus dilakukan untuk mencuri perhatian pasar global. Alibaba Cloud mengklaim memiliki cara tersendiri untuk terus bersaing di pangsa pasar.
Seperti layanan awan pada umumnya, layanan Alibaba Cloud saat ini sudah mencakup tiga varian fundamental, yakni Software as a Services (SaaS), Platform as a Serivices (PaaS), dan Infrastructure as a Services (IaaS). Terkait persaingan, Alibaba Cloud juga terus mengejar kepemimpinan pasar. Salah satu indikasinya ditunjukkan pada riset pasar Magic Quadrant di kuartal kedua tahun 2017 lalu.
Di acara tahunan Alibaba Cloud bertajuk “The Computing Conference 2018” di Hangzhou, mereka mencoba menegaskan apa yang kini dilakukan untuk merebut kepemimpinan pasar. Rangkaian strategi yang disampaikan cukup menarik, yakni mendampingi sektor publik dengan transformasi digital berkelanjutan. Alibaba menjadikan Hangzhou (kota basis perusahaan) sebagai pusat percontohan implementasi teknologi digital terbarukan.
“It’s not technology that changed the world, but the dreams behind it,” Jack Ma.
Dampak langsung teknologi komputasi awan
Infrastruktur komputasi yang semakin canggih memungkinkan banyak hal dilakukan. Sebut saja pemrosesan seperti big data, machine learning, artificial intelligence hingga internet of things, semua dapat dilakukan dengan sangat efisien. Poin-poin tersebut kini juga telah menjadi salah satu yang coba ditonjolkan dalam ragam produk PaaS di Alibaba Cloud. Tidak hanya sekadar menjual “merek”, melalui Simon Hu, President Alibaba Cloud, mereka mencoba menampilkan sebuah visi dan studi kasus nyata.
Memasuki panggung konferensi, Simon mendemokan aplikasi Tmall bersama sajian teh di hadapannya. Melalui aplikasi Tmall, Simon memindai teh yang ada di meja dengan ponsel yang ia bawa untuk mengetahui detail informasi produk tersebut. Di ponselnya ditampilkan tentang jenis teh, asal teh, hingga informasi proses pengiriman. Setelah itu dia mengawali presentasi dengan memaparkan bagaimana kota Hangzhou berkembang selama 20 tahun dan terobosan baru yang Alibaba Cloud bawakan dengan teknologi.
ET Brain adalah nama produk AI Alibaba Cloud yang didesain untuk membantu mengatasi permasalahan urban dengan teknologi. Program tersebut dilandasi kapabilitas komputasi super tinggi “Aspara” dengan pemrosesan machine learning terintegrasi lengkap dengan analisis data dan visualisasinya. Implementasinya dapat di berbagai sub sektor, mulai dari ET City Brain, ET Indurstrial Brain, ET Medical Brain, hingga ET Aviation Brain.
Salah satu program yang didemokan adalah ET City Brain yang memberikan penjelasan bagaimana kota Hangzhou kini dapat dikontrol melalui sebuah dasbor terpusat di pemerintahan. Awal penerapannya tahun 2016 di distrik Xiaosan, permasalahan pertama yang diselesaikan adalah pengaturan trafik lalu-lintas untuk meminimalkan kemacetan. Teknologi AI dan machine learning mempelajari arus lalu-lintas melalui sensor IoT yang ditempatkan pada titik-titik tertentu. Hasil akhirnya, mereka melakukan pengaturan lampu lalu-lintas secara real-time berdasarkan kondisi dan proyeksi kepadatan jalan raya.
Penerapannya terus berkembang hingga tahun ini. Salah satu yang paling menarik adalah bagaimana sistem City Brain dapat memberikan akses jalan khusus untuk situasi kritis, misalnya untuk perjalanan ambulans atau mobil pemadam kebakaran. Sistem akan melakukan kalkulasi tercepat pada GPS yang ditempatkan pada mobil ambulans/pemadam kebakaran. Dari jalur yang sudah ditetapkan GPS, lampu lalu-lintas yang dilewati akan dikondisikan berwarna hijau saat mobil tersebut melintas, sehingga akhirnya mobil dapat mencapai tujuan secara lebih cepat dan efisien.
Implementasi di sektor publik yang lebih luas
“Ni hao banma…” ucap seorang sopir untuk mengoperasikan sistem komputer yang terdapat dalam sebuah mobil. Selanjutnya orang tersebut, menggunakan bahasa Tiongkok, meminta sistem memutarkan sebuah musik untuk kami, para penumpangnya. Tidak hanya itu, ia dapat memerintahkan sistem dengan ucapan untuk melakukan serangkaian hal, termasuk membuka jendela pintu untuk penumpang.
Mobil tersebut sudah terpasang AliOS, sebuah sistem operasi yang diluncurkan Alibaba pada Juli 2017 lalu untuk mobil. AliOS mengkombinasikan sistem pengenal berbasis suara, wajah, dan gestur untuk memanjakan pengendara mobil dengan apa yang mereka sebut dengan “mobil internet”.
Di sudut lain gedung konferensi, kami juga disajikan dengan demo robot pintar yang digunakan divisi logistik Alibaba untuk mengatur logistik. Lengan robot yang sering disaksikan dalam film layar lebar tersebut kini terlihat begitu nyata, melakukan pengaturan untuk pengiriman logistik. Rangkaian sistem tersebut mencoba menghubungkan seluruh elemen logistik secara digital dan real-time.
Selain mengurus pergudangan secara otomatis, dalam pengembangannya Alibaba juga tengah mengaplikasikan sistem distribusi modern melalui kotak pintar dan mobil pintar yang terhubung dengan layanan e-commerce dan e-logistic Alibaba. Kapabilitas IoT menjadi kunci dalam penerapan rangkaian teknologi Cainiao, layanan smart logistics miliknya.
Seusai konferensi, dalam perjalanan pulang, kami sempat mampir ke sebuah swalayan dan pusat perbelanjaan yang telah mengaplikasikan sistem modern. Tidak hanya sekadar menerima pembayaran dengan Alipay, ritel modern tersebut disebut memberikan pengalaman baru kepada setiap pengunjungnya. Kini pengunjung tidak hanya bisa melakukan pembayaran secara daring, karena setelah memilih barang belanjaan, mereka bisa meminta sistem untuk mengantarkan belanjaannya ke rumah. Hema adalah program inkubasi konsep ritel modern yang diusung Alibaba.
Di sisi konsumen, pengalaman belanja juga didukung dengan aplikasi Tmall. Untuk bahan segar seperti sayuran, mereka dapat mengidentifikasi secara langsung kapan sayuran ini dipetik dan sampai. Dalam mengatur sirkulasi produk, pihak pemilik perbelanjaan juga sudah dibekali sistem terintegrasi –dengan logistik—untuk memastikan barang sayuran atau buah-buahan sampai dalam kondisi segar optimal. Biasanya barang seperti itu dijual dalam periode satu hari saja. Jumlahnya sudah diproyeksikan –baik dalam stok gudang ataupun bungkusannya—sehingga kecil kemungkinan akan tersisa.
Teknologi kasir pintar ReX juga terapkan untuk membantu pemilik swalayan dalam mengidentifikasi kebutuhan pembeli dan memberikan layanan yang ditargetkan. Sehingga toko dapat memaksimalkan stok persediaan barang sesuai dengan proyeksi kebutuhan pelanggan. Saat ini sudah ada 65 toko Hema di berbagai wilayah. Dari pengakuan pemilik toko yang kami temui, peningkatan penjualan dapat mencapai 50% pasca implementasi teknologi tersebut. Penerapannya juga dinilai cukup mudah, karena toko tidak perlu menyediakan komputasi berspesifikasi besar, semua sudah diakomodasi dalam komputasi awan.
Kecerdasan buatan adalah masa depan
CTO Alibaba Group Jeff Zhang menyampaikan peta jalan untuk pengembangan teknologi komputasi awan modern. Salah satu yang ditekankan ialah melalui riset pengembangan komputasi kuantum dan AI Chips. Program tersebut akan dikelola melalui Alibaba DAMO Academy, yakni inisiatif di bidang riset global dalam pengembangan teknologi disruptif untuk jangka waktu lima tahun ke depan. Teknologi tersebut dikembangkan untuk memperkuat komputasi awan dan IoT Alibaba Group, dan tidak menutup kemungkinan mendukung aplikasi komersial di berbagai industri.
Sejak berdiri pada Oktober 2017, DAMO Academy telah melahirkan beberapa inovasi publik. Beberapa produk yang sempat kami coba di antaranya intelligent justice, yakni sebuah rangkaian solusi kecerdasan di bidang hukum untuk membantu proses pembuatan transkrip pengadilan persidangan, termasuk pemetaan untuk sengketa dan titik risiko. Ada juga robot pramuniaga untuk mendampingi penjual dalam berkomunikasi interaktif dengan calon pembeli. Robot tersebut dapat memformulasikan berbagai strategi tawar menawar yang alami. Yang ketiga adalah teknologi penerjemah ucapan secara langsung saat berkomunikasi secara tatap muka.
Alibaba juga memiliki A.I. Labs, yakni sebuah unit riset yang berfokus pada produk kecerdasan buatan untuk konsumen. Saat ini pusat riset tengah merampungkan pengembangan teknologi pintar untuk kendaraan logistik masa depan dan robot pelayan publik. Rangkaian riset ini tidak lain untuk mendukung misi Executive Chairman Alibaba Group, Jack Ma, dalam merealisasikan konsep “New Manufacturing”.
Menurut Jack, konsep konsep tersebut akan menjadi masa depan yang menjanjikan. New Manufacturing dinilai akan membawa perubahan besar untuk pabrik konvensional pada 10-15 tahun mendatang. Konsep ini berkaitan erat dengan strategi New Retail Alibaba, sebuah pendekatan ritel yang mengutamakan konsumen, serta mengintegrasikan offline dan online untuk menghadirkan pengalaman belanja yang prima.
“Kekuatan kompetitif perusahaan tidak akan bergantung pada kemampuan produksi pabriknya, tapi diukur dengan kemampuannya berpikir secara inovatif, caranya mengutamakan pengalaman pelanggan, serta tingkat pelayanannya,” ungkap Jack Ma.
Tak hanya di Hangzhou
Alibaba Cloud bersama Kementerian Pariwisata dan Margasatwa Republik Kenya telah menandatangani sebuah kerja sama strategis dalam mendukung proyek perlindungan satwa. Pada proyek ini, Alibaba Cloud akan menggunakan teknologi seperti sensor untuk melacak satwa, kamera dengan sensor inframerah, pos-pos perkiraan cuaca pintar, peralatan untuk para ranger, dan drone pemantau area luas rencananya akan diterapkan untuk mengumpulkan data real-time pergerakan dan kesehatan satwa secara umum.
Platform ini selanjutnya akan menganalisis data dan memprediksi perilaku serta rute jelajah, serta membantu pusat komando untuk berjaga-jaga akan potensi bahaya seperti penangkapan ilegal, konflik antara manusia dan satwa. Teknologi ini akan membantu pengaturan tim lapangan taman nasional menjadi lebih sigap dan lebih baik dalam mengelola taman nasional.
Sinergi kedua diresmikan bersama Olympic Broadcasting Services (OBS) untuk produk OBS Cloud, sebuah solusi penyiaran inovatif yang beroperasi sepenuhnya menggunakan teknologi komputasi awan untuk ajang Olimpiade Tokyo 2020. Teknologi ini akan menunjukkan cara baru dalam industri penyiaran, khususnya dalam pembuatan konten dan distribusi penyiaran. Komputasi awan dinilai dapat memenuhi persyaratan yang tinggi untuk akurasi volume, kecepatan, dan jarak waktu yang sangat krusial dalam penyiaran pertandingan olahraga untuk perhelatan besar.
Secara tradisional, penyiar olimpiade hanya dapat mengimplementasikan dan menguji alat mereka setelah tiba di International Broadcast Centre (IBC) di kota yang menjadi tuan rumah dan area yang disediakan untuk penyiar di lokasi sangat diminati dan terbatas.
OBS kini dapat menyediakan seluruh aset visual dan audio kepada Rights Holding Broadcasters (RHBs) secara efisien, efektif, dan aman. Penyiar juga dapat membuat, mengatur, dan mendistribusikan konten mereka menggunakan OBS Cloud, sebuah solusi yang telah dioptimalkan untuk menjawab kebutuhan distribusi cabang olahraga yang paling diminati.
Terobosan nyata yang paling menarik
Di antara banyak teknologi yang dipamerkan, ada satu ide yang sangat menarik bagi saya. Dengan komputasi awan, Alibaba berhasil menyatukan berbagai surat/sertifikat kependudukan dalam satu genggaman. Memudahkan proses kepengurusan di satu pintu melalui teknologi yang saling terintegrasi. Karena saya sendiri merasakan, betapa rumitnya ketika harus berurusan dengan keperluan surat-menyurat dengan instansi pemerintahan. Semoga solusi ini dapat direplikasi di Indonesia.
Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya yang fokus di pemecahan rekor Gross Merchandise Value (GMV), raksasa e-commerce Alibaba tahun 2017 ini memiliki pendekatan berbeda untuk mengukur keberhasilan pagelaran pesta belanja 24 jam terbesar di dunia 11.11. Hal ini bisa menjadi panduan penggiat e-commerce lokal yang sudah membudayakan tema pesta belanja di tanah air untuk 11.11 dan 12.12.
DailySocial dan sejumlah rekan media mendapatkan kesempatan langsung ikut merasakan euforia 11.11 Alibaba yang tahun ini dipusatkan di Shanghai, Tiongkok. Tmall, platform marketplace B2C, menjadi platform unggulan Alibaba menggelar pesta belanja dengan harapan mendorong tingkat konsumsi masyarakat sekaligus memperkenalkan sejumlah brand yang menjadi mitranya. Disebutkan tahun ini ada 140 ribu brand yang turut berpartisipasi. Tahun lalu total GMV yang dibukukan Alibaba dalam sehari mencapai $17,8 miliar (lebih dari 240 triliun Rupiah).
Kepada media, Co-Founder dan Vice Chairman Alibaba Joe Tsai mengungkapkan, diskon adalah sebuah cara [untuk meningkatkan penjualan]. Meskipun demikian, ia mengungkapkan tahun ini fokus Alibaba untuk 11.11 juga soal ide inovatif dan unsur hiburan. Ide inovatif di sini termasuk pemanfaatan skema “New Retail” yang menjadi unggulan perusahaannya.
Joe melanjutkan, GMV tidak lagi menjadi satu-satunya metrik yang menjadi acuan di pesta 11.11 kali ini. Menurutnya, angka penting lain yang menjadi perhatian adalah berapa jumlah orang yang mengikuti acara 24 jam ini, berapa jumlah pesanan yang bisa dikirim, dan berapa jumlah transaksi yang bisa di-handle setiap detiknya. Faktor terakhir untuk menunjukkan robustness sistem yang dimiliki Alibaba.
Mendefinisikan “New Retail”
Di Tiongkok disebutkan saat ini perbandingan antara skema ritel offline dan online adalah 82% dan 18%. Angka 18% tentu saja besar jika dibandingkan dibanding penetrasi sektor e-commerce di negara-negara lain, tetapi Alibaba melihat potensi yang jauh besar dengan mengombinasikan ritel offline, teknologi, dan infrastruktur.
Hema, yang dalam bahasa Mandarin artinya kuda nil, adalah prototipe ritel offline masa depan yang menjadi pengejawantahan visi Alibaba dalam 2 tahun terakhir.
Dari luar Hema tampak seperti pasar swalayan biasa. Pengalaman berbeda baru terasa ketika kita berada di dalamnya. Menggunakan aplikasi Hema, kita bisa merasakan bagaimana kebiasaan offline dan online digabungkan.
Konsumen bisa membeli barang secara langsung, kemudian dibayar secara mandiri menggunakan Alipay, atau memilih barang-barang tersebut dikirimkan menggunakan kurir ke rumah. Yang terakhir ini mirip dengan apa yang sudah diterapkan di Indonesia oleh HappyFresh dan Honestbee.
Disebutkan tidak biaya pengantaran, tidak ada nilai minimum untuk setiap transaksi, dan maksimal radius yang dijangkau adalah 3 km. Diklaim barang bisa dikirim dalam waktu 30 menit.
Perwakilan Alibaba mengemukakan, Hema dikembangkan tidak untuk menyaingi bisnis brick and mortar yang sudah ada. Hema disebutkan menjadi prototipe bagaimana industri ritel offline dikombinasikan dengan infrastruktur dan teknologi. Harapannya konsep ini akan diadopsi para mitra demi menciptakan pengalaman omnichannel yang lebih baik.
Dalam menciptakan Hema, Alibaba “memotong” middle man sehingga nilai barang-barang yang ditawarkan diklaim 10% lebih murah ketimbang pasar tradisional.
Cara pembayarannya pun menarik. Menggunakan kasir mandiri, setelah memindai barcode barang-barang yang diinginkan, ada 2 jenis metode pembayaran. Yang pertama adalah menggunakan QR code yang kemudian dibayar menggunakan platform mobile payment Alipay. Ini cara pembayaran paling umum.
Yang kedua adalah menggunakan teknologi /face recognition/. Metode ini hanya bisa dipakai warga negara Tiongkok. Dengan memasukkan nomor telepon, basisdata Alibaba yang menyimpan data penduduk akan mengecek validitas pembeli menggunakan teknologi pengenalan wajah . Dari situ data dihubungkan dengan akun Alipay.
Selain Hema, di sejumlah pop up store Alibaba memberikan showcase bagaimana teknologi bisa meningkatkan pengalaman orang berbelanja secara online.
Konsep magic mirror,yang mengimplementasikan konsep augmented reality, membantu konsumen mematut diri dengan lipstik tanpa harus menggunakannya secara langsung. Ada pula vending machine yang memiliki menu layar sentuh untuk berbelanja online.
Yang terakhir adalah pemanfaatan teknologi RFID yang jika diaplikasikan ke barcode sebuah baju akan menampilkan katalog online produk tersebut. Teknologi yang sama juga dikembangkan sehingga barang yang ditaruh di sebuah permukaan yang bisa membaca RFID akan terbaca secara otomatis di POS kasir tanpa perlu secara manual mengecek barcode barang.
Menurut Joe, saat ini bisa dibilang sudah tidak ada perbedaan antara pembelian secara online maupun offline. Kadang orang melakukan browsing barang secara online, kemudian membeli secara offline, atau sebaliknya. Konsep pengalaman omnichannel seperti ini seharusnya menjadi masa depan industri ritel.
Pendiri dan Executive Chairman Alibaba Group Jack Ma resmi menerima peran yang ditawarkan pemerintah Indonesia sebagai penasihat steering committee e-commerce. Hal tersebut disampaikan saat kunjungan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution dan Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara di kantor pusat Alibaba Group di Hangzhou, Tiongkok.
Sebelumnya di bulan September 2016 Presiden Joko Widodo sudah menawarkan peran tersebut ketika ia mengunjungi kantor pusat Alibaba Group tersebut. Meskipun demikian, sempat ada kabar bahwa “kesepakatan” ini gagal, setelah Jack Ma juga menerima peran yang serupa untuk pemerintah Malaysia.
Hari ini, pemerintah Indonesia mengukuhkan bahwa Jack Ma benar-benar menerima peran tersebut. Kepada pemerintah, Ma mengungkapkan sebagai negara kepulauan ia melihat urusan infrastruktur logistik dan informasi menjadi hal mendasar yang harus diselesaikan. Alibaba Group mengundang pemerintah mengunjungi kantor pusatnya untuk berbagi pengalaman dan pengetahuan.
Lima hari yang lalu, layanan C2C Tokopedia baru saja mengumumkan perolehan pendanaan senilai total 14 triliun Rupiah yang dipimpin Alibaba Group, meskipun demikian raksasa Tiongkok ini disebutkan hanya mendapatkan kepemilikan minoritas. Sebelumnya, di level Asia Tenggara, Alibaba Group juga telah mengakuisisi layanan B2C Lazada.
Awalnya menyetujui, namun kini beredar kabar bahwa Pendiri Alibaba Group Jack Ma sudah digarap lebih dulu oleh Pemerintah Malaysia untuk mendampingi perkembangan e-commerce di negeri tersebut. Berita ini juga telah dikonfirmasikan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara seperti yang dilansir dari Kompas.
“Kita sudah ribut-ribut sih, akhirnya kalah kan sama Malaysia. Mereka duluan. Sudah ada foto Jack Ma salaman dengan PM Malaysia,” ujar Rudiantara.
Hal ini sedikit mengejutkan ketika pemerintah Indonesia akhirnya mengeluarkan paket kebijakan ekonomi ke-14 Kamis (10/11). Dalam Perpres tentang Peta Jalan layanan e-commerce yang segera terbit ini, terdapat 8 aspek regulasi yang di antaranya adalah meliputi, pendanaan, perpajakan, perlindungan konsumen, pendidikan dan sumber daya manusia, logistik, infrastruktur, keamanan siber dan yang terakhir Pembentukan Manajemen Pelaksana yang secara sistematis dan terkoordinasi akan melakukan monitoring dan evaluasi implementasi peta jalan layanan e-commerce.
Rudiantara enggan menyebutkan mengapa pada akhirnya Jack Ma gagal menjadi penasihat ekonomi pemerintah, khususnya untuk urusan e-commerce. Namun bisa dipastikan terlambatnya ketegasan dari pemerintah Indonesia berasal dari pro dan kontra yang ada di tanah air usai kunjungan Presiden Joko Widodo pada bulan September 2016 lalu ke kantor pusat Alibaba Group di Hangzhou, Provinsi Zhejiang, Tiongkok.
Penggiat startup mendukung kehadiran Jack Ma
Sebelumnya DailySocial sempat mengadakan survei kecil-kecilan dan menanyakan kepada penggiat startup dan asosiasi tentang rencana pemerintah Indonesia menjadikan Jack Ma penasihat untuk urusan e-commerce di Indonesia. Kebanyakan dari mereka menyambut baik bahkan mengharapkan bakal mendapatkan insight menarik terkait dengan pengalaman dan strategi yang dimiliki oleh Jack Ma.
Namun demikian banyak juga praktisi dan kalangan lainnya yang ternyata kurang menyambut baik kehadiran Jack Ma di Indonesia, dengan berbagai alasan tentunya. Mulai dari bakal mengganggu layanan e-commerce lokal hingga kekhawatiran isu keamanan negara.
Namun demikian pemerintah diwakilkan oleh Kemenkoinfo tetap mendukung 100% kehadiran Jack Ma di Indonesia. Dengan gagalnya Jack Ma meramaikan industri e-commerce di Indonesia hal tersebut cukup menghambat rencana pemerintah untuk mengembangkan layanan e-commerce di tanah air. Untuk itu Rudiantara menegaskan masih berusaha untuk minta bantuan dalam hal insight atau nasehat langsung dari tokoh yang dikenal secara global ini. Rudiantara akan berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution terlebih dahulu terkait hal itu.
“Nanti ada steering committee, anggotanya menteri. Mereka akan mendapatkan masukan, baik dalam maupun luar negeri, internasional. Masukan bisa dari siapa saja, salah satunya Jack Ma,” ujar Rudiantara.
Sudah enam bulan berlalu sejak Alibaba mengakuisisi Lazada, platform ecommerce paling populer di Asia Tenggara. Sejak terbitnya berita ini, para pengamat dan kritikus mendebatkan baik tidaknya kerja sama ini bagi kedua belah pihak, bagaimana hal ini akan mempengaruhi para rival seperti MatahariMall, Tokopedia dan Orami, dan bagaimana wilayah ini nantinya akan dibanjiri oleh produk murah asal Tiongkok.
Sementara itu, para pendiri startup dan VC saling menepuk pundak masing-masing karena hal ini telah menaruh wilayah Asia Tenggara di peta persaingan global dan diharapkan bisa merangsang lebih banyak pendanaan dan exit perusahaan di masa di depan.
Namun demikian, semua orang sepertinya lupa untuk berpikir lebih jauh dari hanya observasi superfisial semata. Akuisisi Lazada oleh Alibaba lebih dari sekadar menumbuhkan GMV (gross merchandise value) ritel mereka, membuktikan bahwa Jack Ma adalah Jack Ma dan mengapa ia selalu beberapa langkah di depan dalam permainan ini. Mereka yang merayakan berita ini, khususnya yang berada di sektor ritel, mungkin akan berakhir mengigit lidah mereka sendiri.
Peter Thiel, PayPal, dan Pentingnya Distribusi
Peter Thiel mendirikan PayPal pada tahun 1998 dan membangunnya menjadi salah satu platform pembayaran terbesar di dunia dengan 145 juta pengguna aktif bulanan yang memproses hingga 9 juta transaksi per hari. PayPal menjadi perusahaan publik pada tahun 2002 dan kemudian diakuisisi oleh eBay dengan harga $1.4 milyar. Setelah tumbuh lebih besar dari eBay, PayPal kemudian memisahkan diri dari eBay pada tahun 2015 dan melakukan IPO keduanya, menjadikan perusahaan ini bernilai $46.6 milyar dan membuatnya melampaui nilai pasar eBay yang ‘hanya’ $34 milyar.
Namun demikian, tanpa eBay, PayPal mungkin tidak akan eksis hari ini. Dalam bukunya ‘Zero to One’, Peter Thiel bercerita bagaimana PayPal hampir gagal jika bukan karena keberuntungan mereka bertemu dengan apa yang kemudian akan menjadi channel distribusi terbesar mereka, mesin pertumbuhan, dan kemudian pengakuisisi: eBay.
PayPal fokus untuk menargetkan Power Seller yang dimiliki eBay — yang bertanggung jawab akan banyaknya pesanan melalui eBay — dan kemudian menambahkannya dengan membayar mereka untuk setiap pendaftaran pengguna dan undangan ke teman, secara efektif menjadikan PayPal sebagai sebuah platform pembayaran mainstream.
Tidak heran jika Peter Thiel merupakan seorang advokat yang mengutamakan distribusi, di samping membangun produk yang hebat.
“Distribusi yang buruk – bukan produk — adalah penyebab kegagalan nomor satu. Jika Anda bisa membuat satu saja channel distribusi bekerja dengan baik, Anda bisa memiliki bisnis yang hebat. Jika Anda mencoba beberapa namun tidak menguasai satu pun, Anda akan gagal.” tulis Thiel.
eBay mengakselerasi pertumbuhan PayPal karena jangkauan dan kecepatan transaksinya — pemakaian yang tinggi menjadikan perusahaan pembayaran terus berkembang. Distribusi adalah apa yang dibutuhkan Alibaba dari Lazada. Namun untuk apa? Tentu saja bukan untuk produk murah asal Tiongkok.
Di Dalam Perut Sang Raksasa
Dalam waktu yang kurang lebih bersamaan dengan akuisisi PayPal, eBay juga berusaha mendapatkan market share lebih di Tiongkok melalui investasi yang berkembang menjadi akuisisi dari perusahaan EachNet di 2002, yang pada saat itu adalah marketplace C2C terbesar di Tiongkok.
Merespon hal ini, Alibaba meluncurkan Taobao pada May 2003 yang kemudian mengalahkan EachNet dalam menjadi marketplace ecommerce C2C terbesar di Tiongkok. Dalam waktu 3-4 tahun, market share eBay di pasar C2C jatuh dari 72% ke 8% dan menyebabkan mereka kemudian mundur dari kompetisi ini sementara dominasi Taobao terus menanjak hingga mencapai lebih dari 80% pada tahun 2007.
Setelah peluncuran Taobao, Alibaba mengenalkan Alipay pada tahun 2004, sebuah platform pembayaran pihak ketiga untuk membantu memfasilitasi transaksi yang terjadi di Taobao. Saat ini, Alipay adalah platform pembayaran pihak-ketiga terbesar di Tiongkok dengan dominasi pasar sebesar 70%, memiliki lebih dari 400 juta pengguna dan memproses lebih dari 80 juta transaksi per harinya (dibandingkan PayPal yang berjumlah 9 juta).
Jika PayPal fokus kepada platform pembayaran online peer-to-peer (P2P) yang berdasarkan email dan terhubung dengan kartu kredit, Alipay terhubung dengan rekening bank dan memiliki layanan yang disesuaikan dengan pasar di Tiongkok, seperti layanan escrow.
Menurut Jack Ma, budaya Tiongkok, meskipun menghargai nilai kepercayaan dan integritas, tidak memiliki sistem yang menjaga nilai ini. Sebagai hasilnya, fitur escrow dari Alipay merupakan solusi yang tepat untuk menjembatani kurangnya kepercayaan dan menggeser perilaku konsumen ecommerce Cina dari cash-on-delivery (COD) ke mobile payment yang mendominasi 68% dari transaksi saat ini.
Memanfaatkan 400 juta penggunanya dan menjangkau platform-platform ecommerce milik Alibaba, Alipay telah tumbuh lebih dari sekadar platform pembayaran berbasis internet menjadi sebuah raksasa finansial dan banking yang juga mengancam para pemain finansial lama.
Pada tahun 2011, Alipay berpisah dari Alibaba untuk menjadi Ant Financial Services Group, yang melayani mulai dari pembayaran online, peminjaman mikro, hingga perbankan dan skor kredit. Menilai dari putaran pendanaan terakhirnya yang bernilai $4,5 miliar di awal tahun ini, perusahaan ini sekarang dihargai sebesar $60 miliar, menjadikannya perusahaan teknologi non-publik paling berharga setelah Uber.
Dengan perlengkapan perang ini, Ant Financial mencari peluang untuk berekspansi ke pasar baru dan selama beberapa waktu telah mencoba menjejakkan kakinya ke Asia Tenggara. Perusahaan ini sebenernya telah mendirikan entitas di Singapura cukup awal pada tahun 2010 namun tidak memiliki channel distribusi yang layak. Keberuntungan Ant Financial nampaknya muncul pada awal tahun ini.
Mengincar Kesempatan Pembayaran di Asia Tenggara
Dari berbagai sisi, ecommerce di Asia Tenggara sama dengan ecommerce di Tiongkok 8 tahun yang lalu. Pada tahun 2008, cash-on-delivery (COD) masih menjadi metode pembayaran yang dominan di Cina, menguasai hingga lebih dari 70% total pembayaran.
Untuk menghilangkan ketergantungan konsumen yang tinggi terhadap COD, banyak startup yang memiliki modal besar atau berasal dari konglomerat yang telah berusaha untuk menyelesaikan masalah pembayaran ini, termasuk Omise (Thailand), Doku (Indonesia), LINE Pay (Thailand), dan True Money (Thailand).
Namun demikian, meski dengan PR dan hype media yang besar, solusi asal dalam negeri ini belum bisa menggeser konsumen dari COD karena banyak dari usaha yang dilakukan ini hanyalah “teknologi demi kepentingan teknologi” semata — membangun mobil yang lebih cepat saat yang dibutuhkan adalah jalanan yang lebih banyak.
Tantangan Produk
Platform seperti Omise dan 2C2P hanyalah gerbang pembayaran dan tidak menawarkan solusi yang lebih baik bagi ruang C2C dan P2P yang besar yang diprediksi oleh Google dan Temasek mencapai ‘beberapa milyar dollar’. Para payment gateway ini terutama masih memproses kartu kredit dan, dengan penetrasi kartu kredit di pasar berkembang Asia Tenggara masih bernilai hanya satu digit, tidak terlalu mengatasi masalah utama yang ada. Selain itu, solusi ini juga tidak menawarkan obat dari masalah kepercayaan yang sering menghalangi transaksi C2C dan P2P — terutama escrow.
2C2P dan Omise juga berisiko ditinggalkan pengguna karena tidak adanya ikatan apapun dengan pengguna akhir, yang berarti jika ada alternatif yang lebih murah dan lebih baik muncul tidak ada yang bisa menghentikan para merchant untuk beralih ke produk tersebut. Taobao mengharuskan pengguna untuk mendaftar ke Alipay, sehingga membuatnya lebih mudah untuk meyakinkan platform ecommerce non-Taobao untuk turut mengadopsi Alipay.
Rabbit LINE Pay, sebelumnya LINE Pay, tidak pernah menangkap jumlah market share yang dominan meski dengan asosiasinya dengan LINE, platform berkirim pesan populer yang memiliki 33 juta pengguna di Thailand. Layanan ini juga terbatas karena hanya melayani kartu kredit, lagi-lagi tidak memecahkan masalah fundamental kurangnya penetrasi kartu kredit di wilayah ini.
Tantangan Distribusi
Meski dengan usaha yang baik untuk memberikan konsumen dengan pilihan metode pembayaran kedua, startup fintech seperti Digio dan Deep Pocket hanya membangun dompet mobile sebelum memecahkan masalah utamanya.
Sangat sulit bagi dompet mobile untuk digunakan secara luas saat awareness masih sangat rendah dan pengguna tidak memiliki insentif yang kuat (biasanya finansial) untuk untuk mengadopsinya. Akuisisi pengguna kemudian menjadi mahal tanpa adanya channel distribusi yang terpaut.
Tantangan (Kurangnya) Praktik Penggunaan
Salah satu dompet mobile terdepan di Thailand yang dimiliki oleh Ascend, True Money, tersambung dengan bank besar di Thailand dan memiliki akses distribusi ke perusahaan-perusahaan di portfolio konglomerat CP, termasuk lebih dari 19 juta pelanggan mobile.
Namun demikian, True Money dilaporkan hanya memiliki 100,000 pengguna aktif bulanan dari 6 juta pengguna yang terdaftar sejak 2014. Praktik penggunaan True Money saat ini hanya terbatas pada top-up telepon seluler, top-up online game, dan pembayaran tagihan dan pembayaran di konter, biasanya di toko 7-11 yang dimiliki oleh CP.
Ecommerce merupakan penggunaan yang lebih jelas dan natural bagi dompet mobile dan karena itu True Money juga digunakan sebagai metode pembayaran di perusahaan ecommerce milik Ascend seperti WeMall dan WeLoveShopping. Namun demikian, dengan total gabungan trafik mereka yang hanya mencapai 26% dari total trafik Lazada, Ascend masih memiliki jalan yang panjang untuk mengikuti jejak Peter Thiel dan mengubah properti ecommerce mereka menjadi tempat bertumbuh bagi solusi pembayaran mereka.
Akuisisi Lazada: Strategi Kuda Trojan?
Langkah Alibaba ke Asia Tenggara tidak pernah hanya tentang menumbuhkan GMV ritel mereka. Dalam jangka panjang, bukan masalah mengalahkan rival Lazada atau mencari pasar baru di luar Tiongkok; semua ini tentang mendapatkan akses ke basis pelanggan besar di pasar yang kekurangan infrastruktur ecommerce-nya sangat mirip dengan Tiongkok pada masa permulaannya. Permainan akhir Jack Ma adalah untuk mengenalkan dan memonetisasi produk dan layanannya yang lain, dimulai dengan Alipay.
Mengadopsi Alipay akan berperan besar dalam pertumbuhan ecommerce di skala regional dan Lazada pada khususnya. Adopsi secara luas dari sebuah platform pembayaran nyaman yang menjembatani krisis kepercayaan antara pembeli dan penjual akan berujung kepada kenaikan transaksi secara keseluruhan seperti yang telah terlihat di Tiongkok, pasar ecommerce terbesar si dunia dalam hal penetrasi dan GMV-nya.
Berita tentang pembelian 20% saham Ascend Money, induk perusahaan True Money, oleh Alibaba yang datang hanya beberapa bulan setelah pembelian Lazada, menunjukan master plan Jack Ma bagi Asia Tenggara mulai membuahkan hasil.
Semua ini lebih dari hanya sekadar Alipay dan memfasilitasi pembayaran di marketplace. Seperti yang telah disebutkan di atas, Ant Financial, induk perusahaan Alipay, mengoperasikan seluruh ekosistem finansial digital di Tiongkok yang terdiri, namun tidak terbatas, dari: Yu’e Bao, dana bersama terbesar di Tiongkok dalam rangka investor dengan aset sebesar $108 miliar; Zhaocai Bao, sebuah platform peminjaman P2P dengan transaksi sebesar $32 miliar di tahun pertamanya; dan Sesame Credit, sebuah sistem credit-scoring yang didasarkan dari — bisa Anda tebak — data ecommerce.
Dan sektor finansial hanyalah permulaan. Jack Ma, di dalam surat bagi pemegang sahamnya di tahun 2015, mengisyaratkan banyaknya hal yang masih akan datang:
“Strategi grup Alibaba adalah untuk membangun infrastruktur ecommerce untuk masa depan. Ecommerce hanyalah langkah pertama. […] Sekitar setengah dari tenaga kerja Alibaba Grup dan perusahaan terafiliasinya, termasuk Ant Financial dan Cainiao, bekerja di area-area penting bagi ekosistem kita, termasuk logistik, finansial internet, big data, cloud computing, mobile internet, periklanan dan juga yang disebut Industri double H – Health and Happiness (bisnis kesehatan dan hiburan digital berbasis big data yang akan memerlukan 10 tahun untuk menjadi data-driven)”
Karena itu, seharusnya bukan para peritel seperti MatahariMall atau Central yang khawatir akan meningkatnya kompetisi; namun para bank, penyedia asuransi, rumah sakit dan yang lainnya yang harus bersiap menerima pecutan keras.
Sebagai kilasan apa yang mungkin akan terjadi di Asia Tenggara, kita hanya perlu melihat apa yang terjadi pada Uber baru-baru ini di Tiongkok.
Belajar dari Tiongkok atau Bagaimana Strategi Kuda Trojan Alibaba Membunuh Uber Tiongkok
“Uber tidak kalah dari Tiongkok pada tahun 2016. Mereka kalah di 2014 saat baru masuk, dan menyadarinya 2 tahun kemudian.” — Wang Di, Pengguna Quora
Alibaba, bekerja sama dengan rival lama mereka Tencent, mengadopsi strategi yang mirip di Tiongkok untuk menyingkirkan Uber. Orang luar sudah sering mendengar alasan strategi buku teks klasik “bagaimana-perusahaan-internet-asing-gagal-di-Tiongkok” seperti kurangnya pelokalan (halangan bahasa/budaya), kurangnya koneksi/guanxi, perlindungan pemerintah dan kurangnya pelaksanaan hukum IP.
Meskipun semua hal ini memiliki perannya sendiri, tidak satupun menjelaskan alasan utama mengapa Uber mengalami kegagalan di Cina.
Uber gagal karena mereka mengira bahwa persaingan mereka hanya di ruang transportasi dengan Didi. Yang tidak mereka ketahui, pemegang saham mayoritas Didi, Alibaba dan Tencent, bermain dengan peraturan yang sama sekali berbeda. Bagi Alibaba (dan Tencent), Didi bukanlah hanya aplikasi penyedia jasa transportasi; strategi Didi dan tujuan tersembunyinya adalah untuk berperan sebagai channel akuisisi scalable Alipay Wallet, versi mobile dari Alipay, serta WeChat Wallet milik Tencent, menurut jawaban brilian di situs Quora ini:
Sekitar tahun 2012, kesuksesan besar WeChat membantu banyak perusahaan IT di Tiongkok untuk menggeser fokus mereka ke pasar aplikasi mobile. Sementara itu, meski dengan beberapa suspensi, pemerintah mulai mendukung pembangunan pembayaran mobile. Semuanya telah siap bagi Tencent dan Alibaba untuk meluncurkan aplikasi pembayaran mobile mereka untuk menjadi hal yang besar. Semua, kecuali kebiasaan pengguna di Tiongkok.
Masyarakat di Tiongkok belum terlalu familiar dengan pembayaran mobile pada saat itu. Bahkan, belum ada sama sekali sebuah grup masyarakat di dunia yang secara signifikan lebih baik pada saat itu. Lebih lagi, masyarakat Tiongkok sangat berhati-hati saat melakukan proses pembayaran, dan banyak dari mereka bukanlah penggemar gadget terbaru.
Namun mereka semua menyukai diskon atau pembayaran kembali! Satu dollar yang dihemat adalah satu dollar yang dihasilkan.
Aplikasi pemanggil taksi Didi dan Kuaidi menjadi pengenalan trafik pengguna yang sempurna.
Anda bisa menggunakan Didi untuk memanggil taksi dan membayar 30 yuan secara tunai, namun jika Anda membayar taksi dengan menggunakan Tencent Wallet (diarahkan dari Didi), Anda hanya harus membayar 10 yuan. Apakah Anda bersedia untuk menghemat 20 yuan—$3 atau 4—dengan menggunakan fitur yang sudah tersedia di aplikasi tersebut? Hanya dengan memencet di sini dan di sana? Tentu saja.
Dan sekarang Anda telah tersambung dengan WeChat Wallet. Seperti yang diinginkan oleh Tencent.
Dengan Didi sebagai channel distribusi penting bagi Alipay Wallet, Alibaba berhasil mengakuisisi lebih banyak pengguna ke dalam ekosistem layanannya termasuk Taobao, Tmall, Ant Finance dan lebih banyak lagi, yang memimpin monetisasi ke seluruh produk lainnya. Uber hanya memiliki transportasi.
Tencent dan Alibaba telah menaruh jumlah uang yang sangat banyak untuk membayar subsidi pembayaran kembali ini. Terlalu banyak untuk sebuah aplikasi pemanggil taksi, namun sangat wajar jika Anda ingin menandai wilayah Anda di pasar terbesar dengan sistem pembayaran mobile yang paling terdepan di dunia.
Masa Depan Bagi Asia Tenggara
Dengan didaulatnya Asia Tenggara sebagai pasar ecommerce yang besar dan belum terjamah selanjutnya di dunia, kita akan melihat banyak pemain yang mensubsidi jalan mereka demi mencapai pertumbuhan melalui diskon dan kupon. Tidak mengherankan, kritikus sering melihat cara ini sebagai perlombaan ke bawah bagi semua pihak.
Tidak selamanya benar. Sebagaimana contoh yang telah ditunjukan Uber Cina kepada kita, hal ini hanya akan gagal bagi para perusahaan yang tidak melihat gambar yang lebih besar dan tidak mampu memonetisasi melalui set produk atau layanan yang berbeda, baik saat ini maupun di masa depan.
Dengan mempertimbangkan hal ini, seseorang bisa berargumen bahwa Alibaba mendapatkan penawaran yang baik dengan Lazada, terutama mengingat kesempatan jangka panjang yang ada di Asia Tenggara melebihi ecommerce ritel. Saham Alibaba pun mengkonfirmasi hal ini—Harga saham Alibaba melonjak naik setelah berita akuisisinya diumumkan pada 12 April dan meningkat 35% sejak saat itu (per 3 Oktober 2016).
Akuisisi Alibaba secara luas dianggap kemenangan bagi pertumbuhan ecommerce di Asia Tenggara namun berapa banyak di antara kita yang siap menghadapi fakta bahwa piala apapun yang kita dapatkan tidaklah berbentuk kuda unicorn namun mungkin kuda yang lain?
– Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Sheji Ho dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.
Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.
Bagi para pembelanja online, 11.11 telah menjadi fenomena belanja tersendiri. Acara diskon online terbesar di Tiongkok ini diprakarsai oleh raksasa ecommerce Alibaba, di mana besaran diskon dari para penjual yang berpartisipasi berkisar dari 25%-70% dan mencatat rekor $5 miliar produk terjual dalam 90 menit pertama pada tahun lalu.
Alibaba, yang memiliki marketplace online Tmall dan Taobao, berhasil menjual produk seharga $14.3 miliar selama periode diskon tahun lalu, yang ditargetkan kepada 386 juta pengguna aktif tahunan – angka yang lebih besar dari populasi di AS.
Fortune menyebut kampanye ini, cukup akurat, sebagai “Black Friday on steroids”.
Penghasilan gabungan dari Black Friday dan Cyber Monday, periode sale terbesar di Amerika Utara, berjumlah $7.54 miliar pada tahun lalu, yang walaupun mengesankan namun hanya merupakan setengah dari pemasukan Alibaba di periode penjualan yang sama.
Latar Belakang Budaya 11.11
‘Single’s Day’ awalnya berasal dari Universitas Nanjing pada tahun 1993 di mana sekumpulan grup para orang lajang berkumpul untuk merayakan status ketidak-terikatan mereka dengan cara berbelanja. Pada tahun 2009, Jack Ma, Chairman dari Grup Alibaba, melihat potensi hal ini kemudian menciptakan acara belanja online bagi para kaum muda ini, memposisikan hari ini untuk memanjakan diri sendiri.
‘Single’s Day’ kemudian meraih pamornya dan dimonetisasi oleh Alibaba, menjadikan hari ini sebagai pertunjukan perbelanjaan online di platform marketplace mereka dan mendorong transaksi bisnis selama periode sepi di Tiongkok, antara Golden Week pada bulan Oktober dan Tahun Baru Tiongkok di bulan Januari hingga Februari. Hal ini juga pertama kali diperkenalkan saat ecommerce sedang meledak di Tiongkok, menghasilkan pertumbuhan sebesar 5,470% bagi program diskon “Double 11” selama 2009 dan 2013.
Perusahaan ini sejak saat itu telah menjadikan istilah tersebut sebagai merk dagang mereka pada Desember 2012, yang memungkinkan mereka mengambil aksi hukum terhadap outlet media yang menerima iklan dari kompetitor yang secara spesifik menggunakan istilah ini.
Diskon 11.11 juga telah mencapai ratusan juta pembelanja Tiongkok di luar kota besar seperti Beijing dan Shanghai, yang mengandalkan Taobao dan Tmall karena mereka tidak memiliki mall besar di kota mereka.
Program marketing offline yang mereka lakukan juga berkontribusi kepada kesuksesan 11.11. Dengan menghadirkan selebritas global seperti Daniel Craig dan Kevin Spacey ke acara launching-nya, Alibaba menjadikan fenomena belanja ini sebagai acara yang patut untuk dirayakan.
Untuk pertama kalinya sejak promosi 11.11 diluncurkan, Grup Alibaba telah mengumumkan bahwa acara tahun ini akan berlangsung selama 24 hari dan bukannya 24 jam. Mereka juga akan menandai acara ini dengan memperkenalkan teknologi virtual reality milik Alibaba, Buy+, yang menjanjikan pembelanja sensasi berbelanja langsung ke toko ritel melalui headset VR. Tahun ini juga akan melihat ekspansi 11.11 ke Hong Kong dan Taiwan.
Dengan kesuksesan kampanye 11.11 dari Alibaba, tidak mengherankan jika Asia Tenggara kemudian mengikuti jejak Tiongkok. Meskipun bukan untuk merayakan status-kesendirian, marketplace online besar seperti Lazada dan Moxy (sekarang dikenal sebagai Orami) telah mengadopsi kampanye 11.11 Alibaba dengan versi mereka sendiri.
Pemain online berada di bawah tekanan untuk melakukan dan berpartisipasi selama periode ini karena banyak brand besar dan peritel yang mulai menawarkan diskon yang lebih besar dan lebih baik berkat modal yang lebih besar dan jumlah merchant yang lebih banyak.
Di Asia Tenggara, para marketplace menggunakan periode 11.11 sebagai tes lakmus untuk melihat seberapa baik performa mereka dibanding para kompetitor di pasar lokal.
11.11 Versi Asia Tenggara
Mulai dari merekrut tenaga kerja tambahan hingga memastikan para pembelanja mengetahui program diskon ini, marketplace menggunakan strategi media sosial hingga berbulan-bulan sebelum acara tersebut berlangsung dan mengkalkulasi prediksi stok yang ada untuk memastikan acara diskon ini sukses.
Inilah bagaimana pemain-pemain terbesar di Asia Tenggara memanfaatkan momentum 11.11:
Marketing blitz: Personalisasi sosial adalah kunci
Sebagai marketplace ecommerce terbesar di wilayah ini, Lazada telah mengadaptasi 11.11 dan mengekstensikannya dengan acara 12.12 milik mereka pada 12 Desember dan menyebutnya sebagai ‘The Online Revolution’, yang dimulai pada tahun 2012.
Lazada Thailand mencatat pertumbuhan di GMV mereka hingga $40 juta selama 10-12 Desember 2015 dan melihat kenaikan pertumbuhan partisipasi dari konsumen mereka. Lazada Thailand mencatat 300% kenaikan pesanan dibandingkan periode yang sama pada 2014.
“Di Thailand, kami melihat channel marketing yang paling sukses biasanya sangat sosial,” ujar Baptiste Le Gal, CMO Lazada Thailand. “Manajemen hubungan konsumen adalah channel utama untuk memberikan penawaran yang cocok dengan ketertarikan mereka.”
Tren konsumen pun mengalami sedikit berubahan di Thailand. Baptiste melihat bahwa barang elektronik yang biasanya menjadi kategori paling populer, telah digantikan oleh kategori yang lebih mengarah ke segmen gaya hidup seperti kesehatan & kecantikan dan peralatan rumah tangga di platform mereka.
Adopsi mobile yang tinggi di Thailand juga berkontribusi kepada prilaku konsumen saat berbelanja di Lazada.
Dengan pasar yang mengutamakan mobile berarti Lazada harus berfokus dengan aspek mobile di channel mereka dan memastikan bahwa aplikasi mobile Lazada telah optimal untuk memastikan pengalaman pengguna yang baik selama periode kampanya tersebut. Marketplace ini juga telah meluncurkan iklan ‘make your dreams come true’ di Singapura, untuk menyambut acara besar ini.
Zalora, portal fashion milik Rocket Internet, juga mengikuti formula Rocket dengan menawarkan diskon hingga 80% baik untuk 11.11 dan 12.12. Strategi marketing Zalora Indonesia untuk mempromosikan kampanye ini dilakukan dari bulan Oktober hingga ke grand finale di 12.12, dimulai dengan Zalora Great Sale yang tengah berlangsung, yang bisa digunakan para pembelanja untuk mempersiapkan mereka di acara utamanya.
“Pada tahun 2015, keseluruhan penjualan untuk 12.12 naik hingga 30 kali dibanding penjualan rata-rata di hari biasa, dengan brand yang berpartisipasi juga melihat kenaikan penjualan meski masa kampanye telah berakhir,” ujar Priyanto Lim, Head of Marketplace di Zalora Indonesia.
Namun memberikan diskon besar saja tidaklah cukup. Zalora Indonesia mengadakan kompetisi online, menyediakan hadiah ekstra dan menggunakan endorsement selebritas di media sosial sebagai bagian dari promosi untuk menciptakan hype acara diskon besar ini. Intinya, para konsumen akan dibanjiri dengan insentif dan pemicu untuk melakukan pembelian.
Nampaknya, spekulasi bahwa brand merasa tertekan untuk berpartisipasi dan melakukan potongan biaya untuk bisa berkompetisi dengan merchant yang lain tidak mengurangi pengaruh dari kampanye ini.
“Kontra dari apa yang disebutkan di artikel tersebut, brand sangat bersedia untuk bekerja sama dengan kami karena mereka juga diuntungkan dengan ekstra trafik [yang dihasilkan],” ujar Priyanto.
Marketplace bagi perempuan, Orami fokus dengan menghasilkan konten original bertema ‘Single’s Day’ dan memanfaatkan komunitas mereka untuk menghasilkan trafik ke website dan berinteraksi dengan pembelanja dibanding melakukan kampanye promosi besar-besaran.
“Untuk mendorong interaksi media sosial, Orami juga menggunakan Facebook sebagai cara untuk menciptakan interaksi dengan pengguna melalui permainan online yang bertemakan Single’s Day,” ujar Shannon Kalayanamitr, co-founder dan CMO Orami.
Menargetkan wilayah mobile-centric
Shopee, platform belanja mobile milik Garena, merilis mega sale versi mereka untuk pertama kalinya tahun ini, menyebutnya 9.9 pada 9 September. Diuntungkan dengan pertumbuhan pesat pasar mobile yang berada di wilayah ini, platform ini menyasar para konsumen mobile-first di Thailand dengan cara merilis produk yang sudah didiskon besar-besaran secara berkala sepanjang hari untuk menjaga antisipasi konsumen mereka.
Situs website Shopee bahkan menerbitkan jadwal diskon sebelumnya sehingga pembeli dapat mengatur alarm bagi produk yang mereka incar, menciptakan mentalitas ‘ready-set-go’ bagi pembeli untuk mendorong daya saing dan membuat mereka berbelanja lebih.
Penyedia layanan niche turut berpartisipasi
11.11 juga telah menginspirasi penyedia layanan online di Asia Tenggara untuk mengikuti tren prilaku online ini.
Penyedia bahan makanan on-demand, HappyFresh Indonesia, menawarkan hingga 30% diskon untuk produk yang paling populer dalam kampanye marketing mereka tahun lalu.
Dan pemain baru di sektor yang sama di Thailand, honestbee, saat ini bekerja dengan jaringan supermarket populer di Thailand, Villa Market untuk memasuki sektor ‘barang kebutuhan sehari-hari’ yang termasuk air, makanan segar dan daging. Barang-barang ini semua akan menjadi bagian dari kampanye promosi besar layanan pengiriman ini.
Ketika bahan makanan didiskon, pembeli cenderung menyimpan ‘persediaan’, terutama ketika membeli secara online dengan pilihan yang lebih luas.
“Kami melihat pola pembelian pelanggan kami untuk melihat jenis barang apa yang populer di kalangan pembeli. Sebagai contoh, pelanggan di wilayah pemukiman sering memesan air mineral dan buah segar dengan volume besar, sehingga kami harus mengantisipasi bahwa sektor ini mungkin akan mengalami lonjakan pada kampanye 11.11 kami,” ujar Piyawat Laiphithak, Marketing Manager di honestbee Thailand.
honestbee juga berencana melakukan gimmick bertema ‘Singles Day’ dengan memberikan makanan ringan seperti gummy bears dan popcorn untuk pembeli.
11.11 Logistik: Apa yang terjadi di balik layar?
Ungkapan “dibutuhkan seluruh desa untuk membesarkan seorang anak” cocok untuk diterapkan di sini, jika kita menukar anak dengan kampanye secara online skala besar. Bagaimana perusahaan ecommerce memastikan fungsi optimal selama waktu yang sibuk ini?
Bagi penyedia solusi ecommerce, aCommerce, mereka telah merencanakan sekitar dua bulan sebelumnya untuk mengakomodasi lonjakan pesanan untuk klien yang berpartisipasi dalam acara diskon ini.
“Kami meningkatkan tenaga kerja kami sebesar tiga kali melalui kontrak sementara dan menjalankan operasi 24 jam selama masa lonjakan seperti 11.11 untuk memastikan permintaan pelanggan dapat terpenuhi,” Phensiri Sathianvongnusar, COO di aCommerce Thailand menyampaikan.
Staf sementara dipekerjakan melalui agen dan mendapatkan pelatihan khusus selama 2-3 hari untuk tugas mereka sebelum acara penjualan akbar ini.
Selama periode lonjakan, aCommerce juga menggunakan platform multi-shipping untuk memanfaatkan lebih dari 20 jaringan kurir untuk memastikan bahwa pengiriman dilakukan tepat waktu, demi performa terbaik dan memastikan tidak ada penjualan yang dibatalkan, karena waktu dan kecepatan adalah hal yang paling penting selama masa kampanye.
“Inventory planning sangatlah penting untuk kampanye seperti 11.11 dan 12.12, jadi kami menggunakan data historis dari peristiwa di tahun-tahun sebelumnya untuk menentukan jenis produk apa yang cenderung populer selama periode diskon ini dan menghindari kekurangan stok,” tambah Phensiri.
Untuk para brand yang tidak berpartisipasi dalam kampanye 11.11, mereka adalah bagian dari jalur ekspress yang menjamin bahwa produk mereka masih tetap menjadi prioritas selama masa kampanye.
Sebuah liga tersendiri
Menggunakan kampanye 11.11 Tiongkok sebagai latar belakang, pasar online Asia Tenggara mengukir mega sale versi mereka sendiri yang tidak bisa dengan hanya meniru Alibaba untuk meraih kesuksesan.
Asia Tenggara berpotensi dapat melompati Tiongkok dengan ledakan pertumbuhan mobile di kawasan ini dan meningkatnya kelas menengah. Kampanye besar seperti 11.11 akan terus bertumbuh setiap tahunnya seiring dengan semakin banyaknya konsumen yang masuk ke online. Platform mobile-first seperti Shopee sudah bergerak cepat dan menangkap pasar mobile yang tengah berkembang di Asia Tenggara, mencerminkan kenaikan dari belanja mobile di Tiongkok, di mana 72% dari pembelian selama tahun lalu saat 11.11 berasal dari mobile.
Respon positif dan durasi kampanye merupakan bukti tumbuhnya antusiasme kawasan ini dengan ecommerce, mungkin merupakan indikasi positif bahwa kita beringsut menjauh dari bayang-bayang Tiongkok.
– Disclosure: Tulisan ini ditulis oleh Anutra Chatikavanij dan diterjemahkan oleh Rara Kinasih. Artikel aslinya bisa diakses di sini.
Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan eCommerceIQ.