Belakangan semakin beragam vertikal bisnis startup di Indonesia yang didanai oleh modal ventura, salah satunya di bidang makanan hewan. Industri mulai dilirik karena dipengaruhi tren global, yakni humanisasi hewan peliharaan, seperti dikutip dari laporan NielsenIQ bertajuk “2023 Pet Trends for Pet Food and Pet Supply Brands”.
Humanisasi hewan peliharaan tidak hanya mendorong industri perawatan hewan secara keseluruhan, namun juga mendorong tren terbesar: personalisasi makanan hewan.
Menurut laporan tersebut, nutrisi yang dipersonalisasi mewakili salah satu tren terbesar dalam ritel online. Ketika pemilik hewan peliharaan menyadari bahwa hewan peliharaannya adalah individu setara seperti manusia, maka mereka akan mencari makanan hewan yang mencerminkan seleranya.
Hasilnya terjadi peningkatan produk premium – dengan meningkatnya jumlah makanan/camilan/suplemen ‘alami’, ‘mentah’, dan ‘organik’ – yang memberikan banyak pilihan bagi pemilik.
Startup |
Produk | Pendanaan |
Jajaran Investor |
Compawnion | Makanan sehat untuk anjing dari bahan alami | Tahap awal, nominal tidak diungkap | East Ventures |
Pawprints | Makanan penuh protein dari larva BSF untuk anjing dan kucing | Tahap awal, senilai $1,7 juta | Creative Gorilla Capital (lead), Altrui, Tujuh Bersaudara Investindo, dan investor individu |
Magalarva | Produsen budidaya larva BSF untuk campuran pakan ternak, unggas, dan peliharaan | Tahap awal, nominal tidak diungkap | Innovation Factory, Strive (sebelumnya bernama Gree Venture), dan Bali Investment Club |
Pengalaman ini turut menginspirasi Jacqueline Sulistyo (Founder dan CEO Pawprints) sebelum mantap menyeriusi Pawprints. Jackie, panggilan akrab Jacqueline, terinspirasi untuk membuat makanan hewan karena kucingnya, Leo, yang pemilih dengan menu makannya. Agar Leo lahap makan, ia melewati berbagai uji coba dengan merek dan jenis pet food yang berbeda, sampai akhirnya ia mulai belajar tentang nutrisi hewan peliharaan.
“Di situ saya menemukan manfaat luar biasa dari larva black soldier fly (BSF) dan protein serangga. Ketika saya berikan BSF kering ke Leo, saya kaget ternyata ia benar-benar menyukainya. Itu momen saya menciptakan Pawprints, yang menggunakan sumber protein alternatif yang bernutrisi, tetapi juga ramah lingkungan untuk hewan kesayangan dan bumi,” terang Jackie saat dihubungi DailySocial.id.
Dari konsep sampai jadi produk yang sekarang sudah beredar, Jackie melakukan penelitian ekstensif bersama para ahli nutrisi makanan hewan dan dokter hewan di Australia demi memastikan makanan yang dibuat itu bergizi dan lezat untuk kucing. Proses ini penuh tantangan karena Jackie merupakan sole founder Pawprints.
Berkat dukungan para profesional di Jepang dan Indonesia, Pawprints berhasil meluncurkan produk pertamanya untuk kucing (Insect-Based Cat Food) pada Juni 2023.
“Lebih dari sekadar merek pet food, saya ingin membawa inovasi dan meningkatkan kualitas nutrisi hewan peliharaan di Indonesia,” tambahnya.
BSF atau larva lalat tentara hitam ini memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, terutama protein yang sangat dibutuhkan dalam industri pakan ternak. Berbeda dengan belatung pada umumnya, BSF memiliki ukuran yang lebih besar dan berwarna hitam menyerupai tawon. BSF punya keunikan, yakni sifatnya yang tidak menularkan bakteri, penyakit, ataupun kuman pada manusia sehingga sangat cocok untuk dijadikan pakan ternak.
Misi Pawprints tidak sekadar menjual makanan hewan yang sehat saja, tapi menekankan pentingnya nutrisi optimal untuk kesejahteraan hewan kesayangan. Agar selaras, timnya gencar mengedukasi para pemilik hewan −dengan menggaet komunitas pecinta hewan− untuk mengetahui informasi penting mengenai kebutuhan diet hewan dan keunggulan gizi protein serangga.
Secara industri, terdapat peraturan yang ketat untuk memastikan keamanan dan kualitas makanan hewan di Indonesia. Kondisi ini memperlihatkan bahwa di pasar saat ini menunjukkan konsentrasi merek di kedua ujung spektrum −merek internasional dan lokal− yang tidak selalu mematuhi standar internasional dalam formulasi dan label pet food.
Maka dari itu, kualitas makanan Pawprints sudah diformulasi sesuai standar ketat yang ditetapkan oleh AAFCO (Association of American Feed Control Officials) demi memastikan keamanan, kualitas, dan kelengkapan gizi. “Standar seperti ini tidak selalu diperhatikan secara seksama.”
Pawprints menggabungkan strategi omnichannel dalam distribusi produknya. Perusahaan telah bermitra dengan lebih dari 500 toko offline yang tersebar di 11 kota di seluruh Indonesia. Di samping itu, juga memasarkan langsung di platform marketplace di Shopee dan Tokopedia.
Pada tahun ini, Pawprints akan melanjutkan penelitian untuk pengembangan produk, seperti merilis produk makanan untuk anjing (Insect-Based Dog Food) dan wet food demi mengatasi masalah kesehatan umum pada kucing dan anjing. “Kami sangat antusias tentang perjalanan ke depan dan tetap berkomitmen untuk membuat Pawprints menjadi pet food yang identik dengan nutrisi hewan peliharaan berkualitas di Indonesia.”
Selain Pawprints, terdapat juga Compawnion yang sudah beroperasi dan juga mengantongi pendanaan dari investor. Compawnion memiliki dua merek makanan untuk anjing yakni, Pawmeals dan UGO, masing-masing mengkhususkan diri dalam menyusun makanan segar yang sehat, alami, dan siap saji untuk hewan peliharaan.
Pendekatan berbeda
Sedikit berbeda dengan Pawprints, Magalarva juga memanfaatkan larva BSF untuk makan hewan ternak. Bedanya, mereka adalah pembudidaya belatung yang mengonsumsi limbah organik. Makanya Magalarva memperkenalkan dirinya sebagai startup berdampak yang berfokus pada isu lingkungan.
Melalui Magalarva, Co-founder dan CEO Magalarva Rendria Arsyan Labde mampu menyulap tumpukan sampah menjadi ladang penghidupan. Dari hasil risetnya, ditemukan bahwa penyelesaian solusi sampah yang ada sekarang justru lebih menaruh perhatian pada sampah plastik. Padahal, jumlah sampah organik ternyata lebih banyak dibanding sampah non-organik.
Sebelum Magalarva hadir, ia sudah terekspos dengan hal-hal berbau sustainable farming. Pandangannya soal hidup pun mulai berubah. Ia pun coba terjun ke bisnis properti sebagai pengembang untuk perumahan yang keberlanjutan. Ternyata ini tidak bisa tumbuh cepat dalam mempengaruhi orang banyak.
“Saya mulai ulik masalah di kota, ternyata sampah jadi masalah yang parah. Saya ikuti alur sampah dari rumah saya ke mana, diurut sampai di ujungnya di Bantar Gebang. Di situ tahu faktanya mengenaskan. 100% sampah dari Jakarta itu 70%-nya organik, tapi banyak orang yang fokus ke sampah plastiknya. Kenapa tidak ada yang urus 70%-nya. Sampah organik ini di ujungnya tidak ada supply chain,” terang Rendria.
Ia dan co-founder lainnya bukan ahli biologi dan agrikultur. Untuk itu, mereka melakukan banyak riset di negara maju sembari mematangkan model bisnis yang scalable dan berkelanjutan. Perjalanan riset ini tidak semulus yang dibayangkan, tak terhitung berapa kali uji coba hingga menemukan formula tepat dan efisien.
“Pemanfaatannya ada tapi rantai tertutup. Saya validasi lagi ini bener scalable dan visible gak sih. Di negara maju sudah ada perusahaannya dan memang bisa. Saya percaya kalau ini ditekuni bisa jadi solusi.”
Sejak uji coba dimulai di 2017, Magalarva mengelola sampah organik sebanyak 50 kilogram dalam sehari. Kini angkanya sudah berlipat-lipat ganda jadi 40 ton dalam sebulan, semuanya diproses langsung di pabrik berlokasi di Gunung Sindur, Kabupaten Bogor.
Sumber sampah diambil dari mitra perusahaan, seperti produsen susu, Dinas Lingkungan Hidup, startup waste management, seperti Rekosistem dan Waste4Change, hingga pengelola pasar tradisional. “Beauty-nya di sini. Instead bersaing, kita jadi solusi untuk mereka karena food waste yang dikumpulkan, kita olah. Kita menawarkan service dan value kita ke mereka.”
Larva BSF diketahui memiliki nafsu makan tinggi, bisa makan dua kali lebih banyak dari berat badannya per hari. Belatung ini mampu mengurai sampah organik dalam waktu dua minggu hingga 20 hari. Jarak panennya juga terhitung cepat dari usia 10 hingga 24 hari, yakni di saat telur BSF sudah menetas dan masuk fase larva hingga masuk fase pupa.
Setiap panen, Magalarva akan memrosesnya langsung untuk dicuci sampai dikeringkan untuk diolah jadi berbagai produk siap jual atau dicampur dengan bahan makanan lainnya, seperti varian larva segar, larva kering, larva bubuk, dan sebagainya. Hasil panen ini mengandung sumber protein tinggi yang dibutuhkan untuk pakan hewan ternak ikan, udang, unggas, hingga hewan peliharaan seperti kucing dan anjing.
Penjualan panen ini dilakukan oleh tim Magalarva dalam berbagai bentuk, baik itu B2B maupun B2C, malah sudah diekspor ke Korea Selatan, Jepang, dan Singapura untuk BSF yang sudah berbentuk bubuk. Rendria membidik ke depannya Magalarva dapat rutin ekspor sebanyak 2 kontainer, masing-masing berkapasitas 15 ton per kontainernya.
Saat ini kapasitas produksi Magalarva sudah naik lima kali lipat. Sampah yang bisa dikelola mencapai 200 ton untuk satu bulan. Akumulasi sampah yang telah diolah sejak 2018 hingga sekarang mencapai 5 ribu ton. Yang terpenting meningkatnya kapasitas ini mampu membuat ongkos produksi Magalarva jauh lebih efisien turun jadi 70%.
“Ini sesuai dengan misi kita reduksi sampah sebesar-besarnya, walau angka ini masih belum bisa berikan impact yang besar. Tapi kita sudah melakukan sesuatu yang nyata.”
Rendria mengaku pihaknya sedang menggalang pendanaan putaran baru untuk beli alat baru dan menambah luas pabrik. “Sekarang kita kebanjiran order tapi kita butuh capital untuk tambah kapasitas karena yang sekarang sudah mentok.”
Bila sudah rampung, perusahaan akan menggalakkan strategi ekspor. Sudah ada calon pembeli dari Amerika Serikat, Amerika Latin, dan sejumlah negara di ASEAN, seperti Vietnam. Lalu masuk ke industri lainnya, seperti tambak udang dan unggas agar penyerapan hasil panen dapat lebih masif. Kedua industri ini juga tak kalah besar potensi pasarnya.
Sebagai catatan, Magalarva telah didukung dengan sejumlah pendanaan dari investor. Pertama kali diperoleh pada Juni 2019 dari Innovation Factory milik Salim Group dan Gree Venture (kini bernama Strive), nominal yang diterima sebesar $500 ribu. Kemudian pada akhir 2022, mendapat tambahan suntikan dari Bali Investment Club.