Tag Archives: JAKPAT

Masyarakat cenderung memanfaatkan situasi pandemi untuk meningkatkan kompetensi melalui webinar, kursus, dan workshop secara online

Pengembangan Diri Jadi Pilihan Aktivitas di Tengah Pandemi

Data Google Trend Indonesia menunjukkan, pencarian kursus online, pelatihan online, dan workshop online tiba-tiba melonjak tajam sejak Maret 2020 hingga sekarang. Hal ini merupakan dampak dari pandemi. Masyarakat memilih di rumah saja dan memutuskan mengikuti kelas-kelas online untuk mengisi waktunya di rumah untuk meningkatkan kompetensi.

DailySocial bersama platform mobile survey JakPat melakukan survei ke 1447 responden untuk mengetahui aktivitas atau kegiatan yang paling banyak dilakukan masyarakat. Hasilnya kebanyakan melakukan pengembangan diri dengan mengikuti kursus atau pelatihan online.

Ada 59,7% dari total responden kami setidaknya pernah mengikuti kegiatan atau cara online untuk pengembangan diri di bidang hard skill, seperti belajar coding, belajar desain, dan hal lainnya. 51% di antaranya juga setidaknya mengikuti acara atau kegiatan yang berkaitan dengan hobi atau kesukaan mereka.

Tak hanya itu, pengembangan kepribadian juga menjadi salah satu kegiatan yang dilakukan. Ada 43% dari total responden yang setidaknya pernah melakukannya satu kali, misalnya mengikuti kursus untuk perihal kepemimpinan, public speaking, dan semacamnya. Ada juga yang meluangkan waktu untuk belajar bahasa asing (35%).

Kebiasaan bertransaksi secara online memudahkan monetisasi di sektor ini. 42,5% responden rela merogoh kocek untuk mengikuti kegiatan online tersebut. Sisanya mengikuti acara yang diselenggarakan secara gratis. Mayoritas (44%) di antaranya mengalokasikan Rp50.000 hingga Rp100.000, per bulan untuk budget “belajar online”, sementara ada 11,3% yang bersedia mengalokasikan Rp250.000 hingga Rp500.000.

grafik jumlah per bulan

Peningkatan aktivitas pembelajaran online juga dilaporkan Udemy. Melalui sebuah laporan Udemy membagikan data mengenai peningkatan akses online learning mereka untuk berbagai macam jenis keterampilan, mulai dari copywriting, digital marketing, hingga bermain ukulele.

Udemy_Country_Topics

Ada banyak motivasi yang menjadi pendorong masyarakat untuk mengakses pembelajaran, seperti: kejenuhan akan rutinitas monoton di rumah, mencari keterampilan baru untuk mendapatkan peluang baru, mengeksplorasi hobi baru untuk mengisi aktivitas selama di rumah, dan (khusus untuk masyarakat Indonesia tertentu) kewajiban program kartu prakerja.

Dukungan teknologi dan akses yang mumpuni

Pada dasarnya kegiatan online tidak hanya terbatas pada pelatihan. Hiburan, diskusi, dan seminar pun banyak dilakukan oleh masyarakat Indonesia selama masa pandemi ini. Untungnya platform-platform pendukung yang mumpuni sudah hadir.

Loket, misalnya, pada periode April-Mei mengklaim berhasil mendapati 2000 event yang terdaftar di platform mereka. Capaian lainnya yang cukup masif adalah mereka berhasil menjual 5000 tiket untuk sebuah acara konser online. Peluang untuk event online dari sisi binis nyata adanya. Goers juga melakukan sejumlah penyesuaian dan terus meningkatkan layanan agar tetap menjadi tempat membeli tiket kegiatan online yang nyaman.

Dari seluruh responden kami yang bersedia membayar, Loket menjadi layanan penjualan tiket online yang paling sering digunakan. Ada 81% persen responden yang pernah membeli tiket di sana. Pilihan berikutnya adalah Eventbrite (25,8%), Goers (23,3%), dan Maimilu (22,8%).

graphic platform

Selain pembelian tiket, akses pembayaran pun sekarang serba gampang. Tak hanya melalui akun bank, tetapi juga melalui platform uang elektronik.

Tak harus langsung

Aktivitas yang dilakukan online masih belum bisa menggantikan pengalaman ketika diselenggarakan langsung. Kegiatan seperti konser musik, pertunjukan standup comedy, atau pertunjukkan seni lainnya tentu akan berbeda jika diselenggarakan langsung. Namun, untuk beberapa kegiatan, keberadaan teknologi bisa membuat semakin banyak pilihan. Contohnya belajar.

Dengan bantuan teknologi kini belajar tak perlu dilakukan langsung secara tatap muka. Fasilitas rekaman atau pendekatan video on demand membuat peserta yang ingin belajar bisa menyesuaikan waktunya masing-masing. Semua ini kembali ke pendekatan seperti apa yang diambil penyelenggara dan preferensi pengguna itu sendiri.

Beberapa platform populer, seperti YouTube, Zoom, dan Google Meet, banyak digunakan untuk aktivitas online semasa pandemi. Ada juga platform edtech, seperti Ruangguru, Udemy, Cakap, dan IndonesiaX yang digunakan untuk sarana belajar di rumah.

grafik layanan

Momentum berbagai industri

Dari sisi konsumen/masyarakat, sesungguhnya dorongan untuk belajar online atau menikmati hari secara online semakin meningkat. Menurut hasil survei, 40% responden sangat ingin melakukan kegiatan atau aktivitas online dan 39% cukup ingin.

Tren aktivitas online di masyarakat membuka peluang baru di berbagai lini industri. Beberapa hal yang bisa dieksplorasi lebih jauh antara lain pengelolaan tiket online, platform video conference yang sederhana namun memiliki kualitas baik, platform workshop yang interaktif, dan platform pembelajaran dengan sejumlah fitur integerasi dan kolaborasi.

Fintech Report 2018 DailySocial

Laporan DailySocial: Fintech Report 2018

Di antara beberapa kategori industri digital lainnya, fintech banyak dikatakan yang paling pesat pertumbuhannya dalam beberapa tahun terakhir. Dengan pangsa pasar dan model bisnis yang beragam, perkembangan fintech menjadi menarik untuk diikuti.

Tahun ini DailySocial kembali merilis signature report bertajuk “Fintech Report 2018“. Melanjutkan publikasi tahun lalu, laporan ini mencoba menyajikan tren perkembangan industri fintech di Indonesia selama tahun 2018.

Terdapat empat pembahasan utama di laporan ini, yakni mengenai dinamika industri, pemain fintech terkini, perspektif konsumen terhadap layanan fintech, dan perspektif industri terhadap ekosistem fintech.


Banyak temuan menarik yang coba dirangkum dalam laporan ini, beberapa di antaranya sebagai berikut:

  1. Fintech lending menjadi yang paling dominan mewarnai industri tahun ini. Dari $182,3 juta total pendanaan yang diumumkan untuk startup fintech tahun ini, 57% terkait dengan sub-sektor lending –mencakup p2p lending dan payday loan.
  2. Masyarakat semakin aware dengan pentingnya regulasi fintech. Hal ini dibuktikan dalam survei konsumen yang dilakukan bersama Jakpat Mobile Survey Platform. Dari 1419 responden, 98.03% menyatakan sepakat bahwa fintech harus terdaftar dan diawasi Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.
  3. Industri menilai saat ini pangsa pasar Indonesia cukup memadai untuk fintech. Separuh dari responden mengatakan literasi digital konsumen Indonesia sudah baik, namun sisanya menyatakan masih perlu edukasi lebih banyak.
  4. Dalam laporan juga disajikan layanan fintech populer berdasarkan kategorinya. Untuk e-money, Go-Pay (79,38%) masih berada di peringkat pertama, disusul OVO (58,42%) di posisi kedua.

Selain e-money, masih ada kategori lain yang dibahas dalam laporan, termasuk payday loan, p2p lending, insurtech, hingga credit loan. Dirangkum juga daftar pemain fintech yang ada saat ini, beserta regulasi baru yang diterbitkan oleh Bank Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan. Selengkapnya unduh gratis Fintech Report 2018.

Coworking space di Indonesia

Laporan DailySocial: Tren Pengguna Layanan Coworking Space di Indonesia 2018

Tren startup digital turut menghadirkan berbagai peluang bisnis baru. Salah satunya kehadiran coworking space, menjadi ruang kerja kekinian yang mengakomodasi kebutuhan pekerja yang fleksibel. Schraubenfabrik digadang-gadang sebagai pionir coworking space di dunia, ruang kerja wirausahawan di Austria tersebut menjadi yang pertama mengusung konsep coworking space.

Di Indonesia, coworking space pertama lahir di Bandung. Bernama Hackerspace diinisiasi oleh Forum web Anak Bandung (FOWAB) pada tahun 2010. Penerimaan baik terhadap layanan coworking space membuat perkembangannya begitu pesat, baik di dunia maupun di Indonesia. Hampir di setiap kota besar di Indonesia kini memiliki coworking space, mulai dari Jakarta, Bandung, Bali, Makassar, Yogyakarta, hingga Padang.


Untuk mengetahui lebih dalam kesan pengguna layanan coworking space, DailySocial bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey Platform untuk menggali fenomena ini. Dari survei yang dilakukan terhadap 1617 responden, ditemukan beberapa fakta menarik, di antaranya:

  • Sebanyak 67% responden cukup akrab dengan coworking space, mayoritas mendefinisikan sebagai sebuah tempat khusus untuk bekerja.
  • Mayoritas responden, atau tepatnya 90%, mengonfirmasi bahwa pekerjaannya bisa diselesaikan di coworking space (tidak harus di kantor).
  • Selain lokasi yang strategis (79%), fasilitas (67%) dan lingkungan (42%) menjadi faktor di balik pemilihan coworking space sebagai tempat untuk bekerja.

Masih banyak temuan lainnya dalam riset ini, termasuk soal preferensi biaya dan jenis pekerjaan pengguna coworking space. Laporan detailnya bisa diunduh secara gratis di “Coworking Space Awarenes in Indonesia 2018“.

Survei pembelian tiket online transportasi pesawat terbang

Laporan DailySocial: Survei Perbandingan OTA dan Aplikasi Maskapai

Hadirnya Low-Cost Carrier (LCC) alias layanan penerbangan bertarif ekonomis cukup banyak mempengaruhi pertumbuhan konsumen transportasi pesawat terbang di Indonesia. Jika sebelumnya mode transportasi udara dianggap mahal, kini harganya cukup kompetitif untuk lebih banyak kalangan dengan efisiensi waktu yang ditawarkan.

Untuk memvalidasi tren tersebut, DailySocial bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey Platform mengadakan survei ke 2030 pengguna smartphone dari berbagai wilayah di Indonesia. Sebanyak 69,31 persen responden mengaku pernah menggunakan jasa transportasi udara dalam satu tahun terakhir. 91,76 persen di antaranya melakukan pemesanan secara online.

Hasil survei secara keseluruhan kami laporkan dalam hasil riset bertajuk “Airlines Ticketing Survey 2018: Direct Booking vs OTA”. Laporan tersebut mencoba mendalami kebiasaan mayoritas pengguna jasa pesawat terbang yang melakukan pemesanan secara online berkaitan dengan platform yang digunakan. Seperti diketahui, saat ini dua opsi yang bisa dipilih untuk melakukan pemesanan online, yakni melalui: Online Travel Agency (OTA) atau aplikasi yang disediakan maskapai.

Terdapat beberapa temuan menarik dalam hasil survei tersebut, di antaranya:

  • Layanan OTA jauh lebih populer ketimbang yang disediakan maskapai. Sebanyak 86,61 persen dari total responden mengaku lebih sering menggunakan OTA.
  • Kendati tidak banyak digunakan, layanan pemesanan yang disediakan maskapai sebenarnya cukup populer. Dari data yang didapat, 88,54 persen responden mengetahui aplikasi atau situs pemesanan yang dimiliki maskapai.
  • Pengguna lebih nyaman dengan akses pemesanan melalui aplikasi smartphone (69,09 persen) ketimbang website (12,70 persen).

Selain tiga di atas, laporan hasil survei juga menemukan banyak informasi menarik lainnya termasuk situs dan aplikasi maskapai paling populer, alasan mengapa memilih OTA, hingga alasan mengapa tidak memilih layanan pemesanan dari maskapai.

Laporan selengkapnya dapat diunduh melalui tautan berikut: Airlines Ticketing Survey 2018: Direct Booking vs OTA.

Survei kondisi industri kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Kondisi Terkini Industri Kreatif di Yogyakarta

Sebuah survei dilakukan terhadap pelaku industri kreatif di Yogyakarta oleh Dinas Komunikasi dan Informatika DIY, bekerja sama dengan Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) Yogyakarta dan JakPat yang melibatkan 84 responden pelaku usaha kreatif di berbagai bidang, termasuk startup digital. Dari data yang didapat, kategori usaha kreatif yang paling banyak di Yogyakarta ialah bidang agensi kreatif, pemasaran digital, dan media. Disusul kategori lain yakni e-commerce, pengembang aplikasi permainan dan animasi, jasa teknologi, dan pendidikan.

Ketegori pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Ketegori pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Menurut Ketua Umum ADITIF Saga Iqranegara, pertumbuhan industri kreatif di Yogyakarta sudah terlihat dalam satu dekade terakhir. Banyak faktor yang mendukung Yogyakarta dinilai nyaman bagi industri kreatif. Pertama ialah ketersediaan sumber daya manusia, ditopang banyaknya perguruan tinggi dengan berbagai jurusan. Di luar kampus, berbagai komunitas kreatif bisa ditemukan di kota ini sebagai sarana untuk berbagi informasi dan pengetahuan antar anggotanya.

Faktor kedua, menurut Saga, Yogyakarta terkenal dengan biaya hidup yang relatif murah. Dari segi infrastruktur yang dibutuhkan seperti internet dan sewa bangunan bisa dikatakan cukup terjangkau. Hal ini menjadikan Yogyakarta sebagai kota yang ramah untuk tumbuhnya perusahaan rintisan (startup) digital. Karena faktor-faktor itu, potensi industri kreatif digital di Yogyakarta sangat luar biasa besar.

Temuan menarik berikutnya soal pendanaan dari pelaku usaha kreatif di Yogyakarta. Data hasil survei menyebutkan, bahwa sebagian besar pendanaan untuk usaha didapat dari modal pribadi sang pemilik usaha (68%), sisanya dari pemodal ventura (7%), investor perorangan (7%), dan sumber lainnya. Kendati dari statistik tersebut bisa dikatakan bahwa pelaku usaha kreatif di Yogyakarta tidak banyak tersentuh investor, mereka bisa membuktikan proses bisnis yang relevan atas usahanya. Terbukti dari hasil survei yang menanyakan omset bisnis, jawaban terbanyak antara Rp300 juta – Rp2,4 miliar.

Kisaran omset usaha para pelaku kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Kisaran omset usaha para pelaku kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Sebelumnya banyak juga yang beranggapan, banyaknya usaha kreatif yang berdomisili Yogyakarta merupakan ekstensi atau cabang pembantu dari perusahaan yang berpusat di Jakarta. Beberapa startup seperti GO-JEK, Kitabisa, hingga Tiket.com memang memiliki kantor cabang di sini. Namun survei menemukan fakta bahwa 72% dari pelaku industri kreatif berdomisili asli (atau berkantor pusat) di Yogyakarta, sisanya memanfaatkan kantor di Yogyakarta sebagai cabang pembantu.

Didominasi startup tahap awal

Fokus lain yang coba dirangkum survei tersebut adalah seputar tahapan bisnis usaha kreatif di Yogyakarta. Dari pengakuan para responden, sebanyak 49% mengatakan bisnisnya tengah dalam tahap pertumbuhan (growth), 29% perluasan bisnis (expansion), 15% dalam tahap pengembangan (product development), 6% dalam tahap pematang (maturity), dan sisanya 1% dalam tahap bertahan (survival). Indikasinya karena sebagian bisnis kreatif di Yogyakarta masih dalam tahap usaha kecil menengah dengan anggota tim yang tidak banyak.

Rata-rata jumlah karyawan pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Rata-rata jumlah karyawan pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Lantas menjalankan bisnis di tempat yang relatif “ramah” ternyata tidak serta-merta membuat para pelakunya bebas dari masalah. Ada beberapa tantangan yang dikeluhkan oleh para pelaku bisnis di Yogyakarta. Dan menariknya tantangan yang dinilai paling memberatkan justru hal yang selama ini orang gadang-gadangkan banyak tersedia di Yogyakarta, yakni masalah SDM. Asumsi tersebut ternyata tidak sepenuhnya benar, banyaknya kampus yang melahirkan lulusan ternyata tidak membuat para pelaku usaha mendapatkan kemudahan dalam mendapatkan talenta yang membantu bisnisnya berkembang,

Tantangan utama bisnis yang dirasakan pelaku bisnis di Yogyakarta / ADITIF
Tantangan utama bisnis yang dirasakan pelaku bisnis di Yogyakarta / ADITIF

Sama seperti di kota-kota lain, talenta yang sulit dicari umumnya berkaitan dengan teknis pengembangan produk. Karena rata-rata perusahaan digital yang menjadi responden memang mencoba melakukan pengembangan produk dan layanan memanfaatkan medium teknologi. Sejauh ini hal yang dilakukan untuk mencari talenta terkait dilakukan dengan membuka lowongan pekerjaan di situs atau media sosial, dilanjutkan internship, talent development, job fair dan pemanfaatan layanan head hunter.

Talenta yang sulit didapatkan oleh pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF
Talenta yang sulit didapatkan oleh pelaku usaha kreatif di Yogyakarta / ADITIF

Terkait tantangan yang banyak dikeluhkan pelaku usaha Saga menuturkan, “Yang paling penting adalah menambah jumlah institusi pendidikan yang mampu menelurkan talenta yang dibutuhkan industri ini. Dari sisi infrastruktur, jangkauan koneksi internet broadband juga perlu diperluas. Angel investor sebagai pihak yang membantu mendanai tahap awal pendirian startup juga sangat dibutuhkan di Yogyakarta. Dan tidak kalah pentingnya adalah adanya dukungan dari pemerintah daerah, terutama dari sisi regulasi.”

Temuan lain terkait dengan legalitas bisnis, 55% pelaku usaha yang menjadi responden sudah berbadan hukum berbentuk PT, sebanyak 12% berbentuk CV dan sisanya yakni sebanyak 20% belum memiliki badan hukum untuk usahanya. Beberapa yang dikeluhkan dari yang belum berbadan hukum karena proses yang tidak mudah, aturan yang rumit, dan biaya yang mahal. Sementara itu bagi yang sudah berbadan hukum melakukannya karena kebanyakan klien atau investor membutuhkan legalitas, seperti untuk urusan perpajakan atau kepemilikan.

Pemerintah setempat akan terus bekerja sama dengan asosiasi untuk membentuk komunitas yang dapat mendampingi para pelaku usaha secara langsung. Pendekatan berbasis komunitas ini dirasa efektif dengan iklim bisnis di Yogyakarta.

Untuk informasi selengkapnya mengenai survei tersebut di atas, unduh melalui tautan berikut: klik di sini.

“ADITIF menampung aspirasi dari para anggotanya. Beberapa hal yang terkait dengan pemerintah daerah, kami bantu untuk menyuarakannya. ADITIF juga berperan aktif menyelenggarakan kegiatan bursa kerja khusus untuk industri kreatif digital di Jogja. Untuk tahun 2018 ini, ADITIF memiliki program untuk menumbuhkan investor baru di bidang kreatif digital. Kami berharap akan muncul angel investor baru dari kalangan pengusaha di daerah yang mulai melirik untuk berinvestasi di dunia startup digital,” pungkas Saga.

Komunitas bisnis kreatif yang ada di Yogyakarta / ADITIF
Komunitas bisnis kreatif yang ada di Yogyakarta / ADITIF

Pentingnya Mengoptimalkan Aplikasi di Google Play

Aplikasi mobile yang didesain secara native untuk berjalan di sistem operasi ponsel pintar memang menjadi representasi yang paling menarik untuk menyuguhkan layanan digital, kendati bukan satu-satunya opsi, karena model berbasis situs juga masih sangat relevan sampai saat ini, terlebih dengan perkembangan yang ada, termasuk Progresive Web Apps. Para pemilik layanan banyak yang memutuskan untuk mengembangkan aplikasi berdasarkan beberapa alasan mendasar, salah satunya memungkinkan traksi yang lebih tinggi untuk pengguna dan kontrol lebih luas yang dapat diberikan terhadap layanan yang disajikan.

Survei menyebutkan, dengan studi kasus yang melibatkan sebanyak 516 pengguna ponsel pintar di Indonesia, banyak yang memilih aplikasi mobile untuk mengakses berbagai tipikal layanan digital ketimbang menggunakan website, kendati untuk beberapa layanan seperti berita masih banyak yang memilih mengakses situsnya secara langsung.

Survei JakPat tentang perbandingan penggunaan mobile apps dan mobile web / JakPat
Survei JakPat tentang perbandingan penggunaan mobile apps dan mobile web / JakPat

Lalu temuan selanjutnya juga menarik untuk ditelisik lebih dalam, tentang mengapa mereka lebih menyukai mengakses layanan digital menggunakan aplikasi. Ada beberapa faktor, kemudahan, kenyamanan, kecepatan, akses offline, keamanan, dan desain menjadi beberapa pertimbangan utama pengguna.

Faktor-faktor yang membuat pengguna memilih menggunakan mobile apps / JakPat
Faktor-faktor yang membuat pengguna memilih menggunakan mobile apps / JakPat

Beberapa faktor di atas tentu penting untuk menjadi perhatian pengembang aplikasi, sehingga mampu disesuaikan saat proses pengembangan produk. Memang ada strategi khusus untuk meningkatkan eksposur aplikasi di marketstore, dan ini sangat perlu dilakukan. Layaknya website yang perlu SEO (Search Engine Optimization) karena sudah banyaknya jumlah situs yang ada, aplikasi di marketstore pun sama jumlahnya sudah sangat banyak, sehingga harus ada sesuatu yang membuat aplikasi tersebut memiliki daya tarik.

Di artikel ini akan dibahas beberapa hal teknis mendasar yang perlu diperhatikan oleh pengembang sehingga membuat aplikasinya lebih maksimal ketika bertanggar di marketstore, khususnya Google Play. Poin-poin yang dijabarkan merupakan hasil diskusi dalam pagelaran Google Playtime SEA 2017 yang digelar pada Kamis (02/11) lalu di Singapura.

Unsur visual

Ini menjadi salah satu bagian yang paling penting diperhatikan, karena akan sangat mempengaruhi impresi pengguna dan pengalaman pengguna. Beberapa hal yang harus disesuaikan termasuk:

  1. Desain aplikasi dan navigasi yang intuitif, memungkinkan pengguna secara alami memahami cara kerja dengan alur yang didesain.
  2. Memberikan dukungan untuk perangkat dengan berbagai standar ukuran layar.
  3. Tidak menggunakan aset yang melanggar hak cipta.
  4. Tidak menggunakan konten yang mengandung unsur sensitif.

Aksesibilitas

Poin ini berkaitan dengan bagaimana pengguna dapat menyatu dengan aplikasi, memastikan pengguna memiliki profil yang dipersonalisasi sehingga memungkinkan mereka untuk merasa memiliki. Ada beberapa hal yang dapat dioptimalkan di sini, di antaranya:

  1. Pemanfaatan layanan SSO (Single Sign-on) seperti Facebook Login, Google+ atau Azure Active Directory dapat menyederhanakan pengalaman pengguna, agar tidak dipusingkan dengan jumlah akun yang banyak. Selain itu standardisasi di dalamnya membantu aplikasi melengkapi unsur keamanan yang harus dicapai.
  2. Jika harus menghimpun data pengguna, pastikan terlebih dulu meminta izin.

Kehandalan

Performa aplikasi secara langsung berpengaruh kepada kenyamanan pengguna. Pendekatannya ada dua hal yang paling krusial, yakni:

  1. Buatlah aplikasi dengan ukuran seminimal mungkin, pun jika pangsa pasarnya adalah pengguna dengan ponsel berspesifikasi tinggi.
  2. Pilih layanan server dengan skalabilitas mumpuni.

Pengujian

Traksi pengguna lebih sering tidak bisa diprediksikan, oleh karenanya penting bagi pengembang untuk melakukan pengujian. Salah satu pendekatan populer ialah dengan A/B Testing, yakni meluncurkan versi Alpha atau Beta sebelum peluncuran versi penuh dari aplikasi.

Dalam teknik pengembangan produk, cara ini disebut dengan Minimum Viable Product, meluncurkan aplikasi dengan fitur utama seminimal mungkin untuk mengetahui respon pengguna.

Publikasi

Ketika mempublikasikan aplikasi di Play Store juga ada beberapa hal yang dapat dilakukan pengembang untuk memaksimalkan potensi unduhan oleh pengguna, di antaranya:

  1. Melakukan pengujian desain ikon. Jika unduhan aplikasi kecil, bisa jadi ikon aplikasi yang tampil di Google Play kurang menarik, atau kurang representatif dengan layanan yang ingin disuguhkan.
  2. Hindari penggunaan kata kunci yang tidak relevan pada deskripsi dan metadata.
  3. Hindari penggunaan istilah atau kata yang mengandung unsur merek lain, karena justru akan semakin menenggelamkan hasil pencarian untuk aplikasi yang dipublikasikan.
Tatanan ikon dan deskripsi aplikasi di Google Play / Pixabay
Tatanan ikon dan deskripsi aplikasi di Google Play / Pixabay

Umpan Balik

Menurut banyak survei, rating dan umpan balik pada aplikasi memang menjadi faktor utama yang menjadi pertimbangan pengguna dalam memilih dan mengunduh aplikasi. Dari latar belakang itu sering kali pengembang nakal mengakalinya dengan membuat testimoni dan penilaian dengan akun palsu. Cara tersebut bisa jadi efektif untuk “menjebak” pengguna, akan tetapi jika kualitas aplikasi tidak berbanding justru akan menjadi senjata makan tuan, pengguna tidak akan mempercayai lagi dengan produk dari pengembang terkait.

Penerimaan Masyarakat Terhadap Layanan Virtual Berbayar dan Pembayaran Digital

Seiring dengan peningkatan pengguna internet untuk mengakses berbagai layanan virtual membuat banyak bisnis digital mulai mengadopsi cara virtual dalam proses pembayaran. Pertanyaan besarnya tentu apakah masyarakat Indonesia sebagai konsumen sudah terbiasa atau setidaknya mau untuk menggunakan model pembayaran virtual. Isu klasik masih seputar kepercayaan pengguna pada mata uang digital. Namun untuk membuktikan anggapan tersebut, DailySocial mencoba melakukan survei bekerja sama dengan JakPat untuk mengetahui pemahaman pengguna smartphone di Indonesia terhadap barang dan cara pembayaran virtual.

Survei ini melibatkan 1051 responden dari seluruh wilayah Indonesia yang menggunakan smartphone untuk aktivitas sehari-hari. Dari jawaban responden didapatkan beberapa temuan, pertama seputar layanan virtual yang paling umum digunakan. Sebanyak 45,39% dari responden mengaku pernah melakukan pembelian atau pembayaran untuk Google Play Store, kendati persentasenya juga nyaris berimbang dengan yang tidak pernah melakukan pembelian sama sekali, yakni 42,15%. Menarik, pasalnya untuk pembayaran sendiri sebenarnya sudah banyak opsi yang bisa dipilih, mulai dari potong pulsa, voucher, ataupun transfer bank manual.

Gambar 1

Lalu survei juga mencoba mendalami tentang pemahaman masyarakat tentang barang virtual. Dalam survei tersebut diberikan beberapa opsi pilihan, rata-rata mendefinisikan sebagai sebuah layanan yang diakses melalui internet atau berbentuk digital. Persentase lain juga menunjukkan, bahwa apa yang disebut dengan barang virtual rata-rata diketahui mulai dari layanan games dan apps yang biasa digunakan.

Gambar 2

Penetrasi internet dan penggunaan smartphone sendiri selalu digadang-gadang menjadi landasan mendasar untuk improvisasi layanan digital. Salah satunya peluncuran model transaksi virtual yang diusung oleh berbagai jenis layanan online, yang paling banyak oleh layanan on-demand dan e-commerce. Fungsionalitasnya secara sederhana ialah menampung jumlah kredit uang tertentu ke layanan dompet digital yang dimiliki pengusung layanan. Banyak keuntungannya bagi bisnis, salah satunya loyalitas pengguna.

Saat ini sudah ada beberapa layanan dengan tipikalnya masing-masing. Dari yang ada, GO-PAY menjadi yang paling banyak digunakan, disusul oleh voucher Google Play dan TokoCash. Sayangnya karena ada isu seputar lisensi e-money, beberapa layanan dihentikan sementara, termasuk TokoCash, GrabPay, dan BukaDompet. Karena jika layanan tersebut sudah memutar transaksi di atas 1 miliar rupiah, maka harus memiliki perizinan dari BI.

GAMBAR 3

Lalu bagaimana dengan kecenderungan masyarakat saat ini berkaitan dengan layanan pembayaran. Masih dari responden yang sama, sebagian besar masih menempatkan metode tunai atau cash pada peringkat pertama, disusul menggunakan ATM atau kartu debit. E-money, kartu kredit dan virtual currency masih ada di prioritas yang terakhir.

Gambar 4

Angka ini tentu masih akan fluktuatif, mengingat ada banyak inovasi yang terus digencarkan oleh pengusung layanan –termasuk menawarkan kelebihan lebih dan keuntungan lainnya, seperti program reward.

Selain empat temuan di atas, masih ada banyak lagi hasil survei mengenai penerimaan masyarakat terhadap barang dan pembayaran virtual. Laporan selengkapnya dapat diunduh secara gratis di Virtual Goods and Digital Goods Survei 2017.

Video on Demand dan Penerimaannya oleh Masyarakat Indonesia

Ponsel pintar berhasil mengubah banyak hal, tidak hanya terkait aktivitas keseharian, juga pada preferensi seseorang dalam menikmati konten. Semuanya kini menjadi serba on demand, yang mengisyaratkan sebuah fleksibilitas dan penyesuaian kebutuhan berdasarkan kriteria tertentu, pun demikian dengan layanan konten. Salah satu yang mulai populer saat ini adalah video on demand (VoD).

Layanan VoD sederhananya sebuah sistem penyampaian konten video online, versi premium dengan mekanisme pembayaran berlangganan atau berdasarkan apa yang ingin dilihat. Trennya saat ini hampir semua layanan VoD di Indonesia menjalin kerja sama khusus dengan perusahaan telekomunikasi, dijajakan sebagai keuntungan/bonus atas paket berlangganan internet yang telah dibayar setiap bulannya. Lantas, apakah VoD ini diminati oleh masyarakat Indonesia secara umum?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan sebuah survei terhadap 1037 pengguna ponsel pintar di berbagai wilayah di Indonesia. Sebagian besar responden sudah memahami apa itu layanan VoD, paling banyak (51,21%) mendefinisikan sebagai konten video yang ditonton melalui medium internet, sebagiannya lagi (49,66%) mendefinisikan sebagai konten video yang dibayar berdasarkan judul apa yang dipilih.

Layanan VoD populer di Indonesia

Di Indonesia saat ini sudah ada beberapa layanan VoD, rata-rata yang memiliki persentase besar sebarannya dibarengkan dengan paket data sebuah provider, misal HOOQ dan Viu bersama Telkomsel, iflix bersama Indosat Ooredoo. Berikut untuk persentase daftar layanan VoD berbayar yang paling populer berdasarkan masukan dari responden survei:

Hasil Survei VoD 1

Dan berikut ini adalah persentase hasil survei untuk penggunaan layanan VoD yang dapat dinikmati secara gratis di internet:

Hasil Survei VoD 2

Dari survei juga mengungkapkan sebuah data, bahwa sebagian besar responden (sekitar 70%) menyadari benefit layanan VoD yang mereka dapatkan dari hasil berlangganan paket data seluler ataupun pemasangan layanan tv kabel atau sejenisnya. Dari situ mereka memutuskan untuk memanfaatkan layanan tersebut. Dan keberadaan model VoD ternyata cukup mempengaruhi kebiasaan responden dalam menyaksikan konten video. Sebagian besar kini lebih suka melalui perangkat ponsel dan komputer.

Hasil Survei VoD 3

Apakah pengguna VoD di Indonesia bersedia untuk membayar?

Kendati layanan seperti YouTube sudah menjadi bagian dari konsumsi harian pengguna ponsel pintar, lantas apakah mereka bersedia untuk membayar layanan VoD untuk konten-konten premium? Berbicara rentang harga, sebanyak 54,32% responden mengharapkan harga jual konten tidak melebihi dari Rp25.000, lalu di rentang Rp25.000 – Rp50.000 ada sekitar 28,90% responden yang merasa masih mau untuk membayar. Sedangkan untuk harga di atas itu hanya persentase minoritas responden yang bersedia membayar.

Hal tersebut dikarenakan memang lebih banyak pengguna yang lebih suka menonton layanan VoD gratis, pun demikian saat dibandingkan dengan alternatif kanal video lainnya.

Hasil Survei VoD 4

Dari sini dapat disimpulkan, bahwa pendekatan yang dilakukan oleh pemilik layanan VoD dengan menggandeng dan membundel paket video dengan paket internet operator seluler menjadi langkah yang tepat. Pendekatan ke pengguna memang harus dilakukan secara bertahap, dengan mengenalkan seberapa eksklusif konten yang ada di VoD misalnya, sembari membuat ketertarikan semakin meningkat.

Di atas adalah beberapa cuplikan dari Video on Demand Survey 2017 yang telah dilakukan oleh DailySocial. Untuk mengunduh survei lengkap, dapat mengunjungi tautan berikut ini: klik di sini. Simak juga pembaruan berita tentang penyedia layanan VoD Indonesia di sini.

Aplikasi “Budget Hotel” dan Penerimaan Konsumen di Indonesia

Budget hotel tergolong tren baru dalam industri travel, menawarkan layanan penginapan sesuai kebutuhan konsumen. Karakteristiknya pengguna dapat memilih jenis layanan yang dibutuhkan saat menginap –jika layanan hotel umum secara otomatis menyajikan full-services—sehingga cenderung memberikan lebih banyak penghematan di sisi konsumen.

Mengikuti tren digital, budget hotel juga ditawarkan oleh OTA (Online Travel Agency), bahkan sudah ada beberapa pemain spesifik yang hadir di Indonesia, sebut saja Airy Rooms, NIDA Rooms, RedDoorz, hingga ZEN Rooms.

Untuk mengetahui popularitas dan pandangan konsumen di Indonesia terhadap budget hotel, DailySocial bekerja sama dengan JakPat melakukan survei kepada pengguna smartphone di Indonesia untuk mengetahui ketertarikannya terhadap layanan tersebut. Sekurangnya ada 1005 responden yang mengikuti survei tersebut.

Tesis kami diawali dengan mengetahui kecenderungan pengguna ketika hendak menyewa sebuah tempat penginapan, sebanyak 65.77% telah memanfaatkan aplikasi atau layanan web agregasi, 41% mendatangi langsung hotel untuk menyewa, 18,81% melalui telepon, dan 17,31% melalui agen travel (offline).

Kecenderungan orang menggunakan layanan budget hotel

Porsinya sudah jelas, ada separuh lebih dari responden yang telah memanfaatkan layanan digital untuk memesan tempat penginapan. Lalu tentang penggunaan aplikasi budget hotel responden mengaku telah mengenal beberapa nama pemain, di antaranya ZEN Rooms, RedDoorz, NIDA Rooms, dan Tinggal.

Budget Hotel Survey 1

Habit pemesanan langsung tetap dilakukan konsumen tatkala memesan budget hotel. Cukup masuk akal, karena pada umumnya orang memilih jenis penginapan tersebut lantaran membutuhkan efisiensi biaya atau hanya butuh sekedar menginap –umumnya dilakukan oleh pelancong, atau istilah kekiniannya backpackers. Selain penghematan dari sisi biaya, ternyata alasan lain orang-orang menggunakan budget hotel adalah efisiensi waktu.

Budget Hotel Survey 2

Dasar pemilihan budget hotel untuk menginap

Bagi pengguna budget hotel sendiri, ada beberapa kriteria yang ditentukan dalam memilih sebuah tempat. Faktor harga menjadi dominan, disusul jarak dengan destinasi terdekat. Berkaitan dengan faktor lain seperti tingkatan bintang suatu hotel dan fasilitas justru tidak terlalu menjadi perhatian. Konsiderasi ini bisa ditarik menjadi sebuah pola tentang konsumen budget hotel, yaitu hemat dan mudah dijangkau.

Budget Hotel Survey 3

Terkait dengan temuan lain seputar karakteristik konsumen budget hotel di Indonesia, bisa diunduh selengkapnya dalam laporan bertajuk “Budget Hotels Apps in Indonesia Survey 2017”. Temukan juga kabar terbaru tentang ekspansi, pendanaan, dan pergerakan baru pemain OTA di sektor budget hotel di Indonesia.

Layanan Belajar Online Masih Belum Signifikan Diminati Masyarakat Indonesia

Massively Online Open Courses (MOOC) merupakan salah satu dari transformasi teknologi dalam pendidikan. Namun tampaknya model belajar melalui medium internet tersebut belum banyak diminati oleh masyarakat di Indonesia. Untuk memahaminya lebih dalam, secara khusus DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan survei kepada 1023 pengguna smartphone mengenai pendapatnya tentang penggunaan layanan MOOC.

Dari total responden, 51,11 persen di antaranya sudah mengetahui tentang MOOC, sisanya tidak mengetahui sama sekali. Dari total yang mengetahui pun, mayoritas (79,77 persen) belum pernah mencoba menggunakan layanan tersebut untuk alternatif belajar. Dari seluruh layanan MOOC yang ada, yang paling populer menurut responden Duolingo, OpenCourseware, Coursera, dan Khan Academy.

Untuk pengguna MOOC, responden di Indonesia paling banyak menggunakan untuk belajar materi bahasa asing dan teknologi informasi. Kendati beberapa bahasan lain seperti bisnis, sains hingga pelajaran sekolah juga ada yang menggunakan. Di Indonesia sendiri, beberapa penyedia MOOC yang banyak digunakan di antaranya BangsaCerdas, IndonesiaX dan portal belajar Kelase.

Gambar 1 Survei MOOC DailySocial

Alasan yang cukup signifikan mengapa masyarakat Indonesia tidak hobi menggunakan internet untuk mengakses MOOC pertama ialah karena tidak ada waktu (45,94 persen), kemudian kendala koneksi internet (32,94 persen) dan harga layanan yang dinilai mahal (27,66 persen). Kendati demikian sebenarnya layanan MOOC disediakan untuk mengakomodasi pengguna dengan mobilitas tinggi, sehingga lebih fleksibel untuk mengakses bahan belajar yang interaktif dengan berbagai perangkat yang dimiliki. Tak sedikit juga yang menawarkan materi belajar gratis di portalnya.

Disajikan dalam mode digital, MOOC memang menawarkan ragam varian bentuk materi belajar yang disampaikan. Mulai dari berbentuk modul, kuis, materi interaktif hingga video. Namun responden menilai bahwa video lebih mudah dimengerti. Mayoritas (53,37 persen) responden setuju bahwa salah satu keuntungan dari MOOC karena konten video tersebut, sehingga dinilai penting oleh responden bagi penyedia MOOC menghadirkan konten berjenis multimedia tersebut.

MOOC juga kerap dikaitkan dengan salah satu evolusi dari e-learning sehingga tak sedikit yang menggunakan sebagai alternatif belajar untuk materi sekolah. Terkait dengan implementasinya untuk mendukung pembelajaran formal, bisa dikatakan bahwa pemanfaatannya belum optimal. Karena ada yang menganggap bahwa hasilnya sangat efisien, namun ada pula yang menganggap tidak efisien.

Gambar 2 Survei MOOC DailySocial

Beberapa sekolah dan universitas di luar negeri secara serius memanfaatkan model MOOC untuk pembelajaran, beberapa di antaranya bahkan secara penuh menggunakan layanan terkait untuk pembelajaran. Tren e-learning di Indonesia sendiri sebenarnya bisa dikatakan masih berada dalam masa transisi, saat ini justru kalangan bisnis yang terpantau tertarik untuk mengeksplorasi manfaatnya untuk pengembangan SDM di lingkungannya. Sedangkan untuk kalangan konsumer memang belum terlihat signifikan. Mungkin masih banyak faktor yang perlu dibenahi dan disesuaikan, terutama terkait infrastruktur dan kultur.

Lebih lengkap tentang temuan survei seputar MOOC, termasuk daftar penyedia MOOC lokal dan internasional mana yang lebih disukai, dapat diunduh gratis melalui laporan survei berjudul: “MOOC in Indonesia Survey 2017”. Simak juga pemberitaan tentang perkembangan startup di bidang pendidikan yang dirangkum dalam kolom edtech DailySocial.