Tag Archives: JAKPAT

Perangkat VR dan AR Belum Populer di Indonesia, Namun Masyarakat Antusias Menyambutnya

Produk berbasis Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR) saat ini sudah sangat mudah ditemui. Mulai yang dibungkus dalam sebuah permainan digital, hingga digunakan oleh brand untuk menghasilkan konten yang menarik.

OmniVR, Octagon, Digital Happiness, AR&Co. dan sebagainya menjadi pemain lokal yang turut meramaikan pasar tersebut. Untuk mengetahui lebih dalam mengenai popularitas VR dan AR di kalangan masyarakat Indonesia, DailySocial bekerja sama dengan JakPat melakukan sebuah survei melibatkan 1013 responden pengguna ponsel pintar di Indonesia.

Pemahaman tentang VR dan AR sudah cukup beragam, khususnya saat diminta untuk membedakan di antara keduanya. Sebanyak 9,08% dari responden masih menganggap VR dan AR adalah dua hal yang sama, sedangkan 44,32% masih kurang yakin terhadap konsep keduanya. Terkait perbandingan di antara VR dan AR, responden lebih memahami lebih dalam tentang VR (61,20%) dibanding dengan AR (42,65%).

Terkait dengan perangkat, beberapa tipe perangkat VR dan AR sudah pernah digunakan oleh responden. Yang paling banyak digunakan adalah Samsung Gear VR. Persentasenya pun masih separo responden yang pernah menggunakan. Pun demikian hanya 40,67% dari responden yang pernah memasang aplikasi berbasis VR atau AR di ponsel pintarnya.

Riset tentang popularitas VR dan AR di Indonesia

Salah satu isu dari penggunaan perangkat berbasis VR adalah motion sickness atau rasa pusing yang diakibatkan dari gerakan objek virtual dalam aplikasi. Dari responden yang pernah mencoba perangkat VR, persentasenya hampir sama antara yang merasa pusing dan tidak merasa pusing saat menggunakan perangkat tersebut.

Tidak hanya para pengembang yang percaya bahwa VR dan AR akan memiliki masa depan cerah untuk diimplementasikan dalam banyak hal. Responden survei pun lebih banyak yang menganggap bahwa ke depan perangkat tersebut akan bermanfaat untuk menunjang kebutuhan profesional, hiburan hingga pendidikan. Salah satu yang sudah bisa dicicipi saat ini (walau baru 15,60% responden yang mencoba) adalah untuk virtual shopping.

Riset tentang popularitas VR dan AR di Indonesia

Secara umum survei ini menyimpulkan bahwa cakupan penggunaan VR dan AR belum begitu luas di Indonesia, banyak alasan yang menjadikan pengguna belum sempat mencobanya. Namun demikian, responden terlihat antusias menyambut inovasi berbasis VR dan AR untuk berbagai kepentingan. Hal ini menyiratkan, bahwa pangsa pasar untuk inovasi VR masih sangat memungkinkan untuk berkembang dan inovator di bidang ini dapat terus memacu pengembangan produknya.

Dalam survei tersebut, juga diperlihatkan berbagai data tentang pengalaman pengguna menggunakan perangkat VR/AR, sektor yang paling ditunggu untuk kehadiran VR/AR, dan lain sebagainya. Versi lengkap dari survei tersebut dapat diunduh secara gratis di sini.

Penerimaan Masyarakat Indonesia terhadap Layanan On-Demand

Ragam jenis layanan on-demand saat ini menjadi sangat akrab bagi masyarakat Indonesia, khususnya di kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Makassar dan sebagainya. Debutnya diawali dengan jasa transportasi, namun kini telah merambah ke jenis yang lain seperti kirim paket, pesan makanan, jasa belanja, jasa kebersihan, hingga layanan perawatan diri.

Kendati masyarakat mulai nyaman dengan layanan yang bisa dikondisikan dengan sentuhan di ponselnya, namun berbagai masalah masih dihadapi oleh penyedia layanan on-demand, mulai dari penyesuaian regulasi hingga penerimaan layanan konvensional terhadap kehadirannya. Namun justru yang menarik adalah bagaimana konsumen di Indonesia beradaptasi sangat cepat dengan berbagai jenis layanan on-demand.

Belum ada satu dekade layanan on-demand menjadi populer. Meratanya layanan tersebut salah satunya didukung ekspansi besar-besaran yang dilakukan oleh sang unicorn GO-JEK. Melihat makin meratanya akses layanan on-demand di Indonesia, secara khusus DailySocial bekerja sama dengan JakPat melakukan survei tentang tanggapan masyarakat tentang layanan on-demand.

Dari 1024 responden pengguna ponsel pintar di Indonesia, 71,08 persen mengaku pernah menggunakan layanan ojek berbasis aplikasi, sedangkan 63,10 persen pernah menggunakan taksi online. Aplikasi on-demand yang digunakan didominasi GO-JEK (85,22%), Grab (66,24%), Uber (50,06%), dan sisanya dengan persentase yang sangat minim adalah layanan sejenis yang diinisiasi oleh pemain lokal.

Survei layanan on-demand, tren penggunaan transportasi online / DailySocial
Survei layanan on-demand, tren penggunaan transportasi online / DailySocial

Selain itu ada salah satu temuan menarik lainnya, yakni bagaimana aplikasi on-demand populer mampu menggeser popularitas layanan pesan antar makanan yang sebelumnya ada. Sebut saja layanan GO-FOOD yang memiliki persentase penggunaan lebih banyak dari pada KFC Delivery dan McDelivery. Beberapa layanan lain seperti GrabFood, FoodPanda, Klik-Eat juga mulai mendapatkan perhatian masyarakat ketika ia membutuhkan jasa pemesanan makanan.

Fleksibilitas dan kenyamanan menjadi kunci pertumbuhan

Dalam survei juga ditanyakan tentang apa yang membuat mereka nyaman dengan layanan on-demand, mayoritas menjawab karena fleksibilitas yang ditawarkan. Mereka bisa melakukan pemesanan layanan kapan saja di mana saja. Selain itu alasan yang mendominasi lainnya ialah membantu mereka memenuhi berbagai kebutuhan tanpa harus pergi ke luar, baik dari rumah ataupun kantor. Dan tentu biaya yang lebih efisien turut menjadi daya tarik masyarakat sehingga menggandrungi Grab dan kawan-kawannya.

Faktor yang melandasi popularitas layanan on-demand di Indonesia / DailySocial
Faktor yang melandasi popularitas layanan on-demand di Indonesia / DailySocial

Tanggapan masyarakat tentang dampak sosial yang ditimbulkan layanan on-demand

Pro-kontra tentang penerimaan layanan on-demand masih terus bergulir hingga saat ini. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta berbagai penolakan masih santer diserukan para pemain konvensional. Namun menariknya masyarakat justru menilai hadirnya layanan seperti GO-JEK akan membawa dampak sosial yang positif.

Penilaian masyarakat tentang kehadiran layanan on-demand dan dampak sosial yang ditimbulkan / DailySocial
Penilaian masyarakat tentang kehadiran layanan on-demand dan dampak sosial yang ditimbulkan / DailySocial

Sebagian besar responden survei tidak khawatir tentang hadirnya layanan berbasis aplikasi yang akan “mengganggu” model konvensional yang telah ada sebelumnya. Justru mayoritas meyakini bahwa hadirnya layanan tersebut akan memberikan ragam kesempatan baru (khususnya kesempatan kerja) bagi banyak masyarakat. Dari sini dapat disimpulkan, secara umum masyarakat menanggapi baik merebaknya berbagai jenis layanan yang dapat diakses melalui aplikasi mobile.

Selain beberapa fakta data di atas, masih banyak lagi temuan yang ada dalam survei, seperti: (1) persentase penggunaan layanan on-demand lain selain transportasi, (2) metode pembayaran yang digemari, hingga (3) improvisasi yang diharapkan masyarakat untuk penyedia layanan. Untuk selengkapnya, unduh laporan “On-Demand Services Survey in Indonesia 2017”.

Sebagai media yang memberikan wawasan tentang perkembangan bisnis digital di tanah air, DailySocial juga mengabarkan berita, analisis hingga opini tentang layanan on-demand di Indonesia.

Ramadan Survey 2017

Laporan DailySocial.id: Survei Ramadan 2017

Dalam nuansa bulan suci Ramadan, DailySocial bekerja sama dengan Jakpat Mobile Survey, mengadakan survei bertema bulan puasa untuk mendapat gambaran berbagai tren konsumen dan persepsi, khususnya ketika di masa Ramadan. Survei dilakukan terhadap 1020 responden yang disampel dari seluruh pengguna smartphone di Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • 62.75% responden merasa berbelanja lebih banyak selama bulan puasa
  • Barang yang paling banyak dibeli yaitu baju Ramadan, sejumlah 50.10%
  • 57.35% responden merasa menghabiskan lebih banyak waktu mengakses internet selama bulan Ramadan.

Untuk laporan yang lebih lengkap, unduh Ramadan Survey 2017 secara gratis.

budget hotels survey 2017

Laporan DailySocial: “Budget Hotel Apps” di Indonesia 2017

Sudah beberapa tahun belakangan ini beberapa aplikasi & web aggregator hotel budget beroperasi di pasar Indonesia. Masyarakat pun semakin akrab menggunakan berbagai apps ini karena telah nyata terbukti menghemat pengeluaran dan waktu konsumen dalam menyiapkan penginapan dan perjalanan mereka.

DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat mobile survey platform telah mengadakan survei mengenai aplikasi Budget Hotel, direspon oleh 1005 responden yang adalah sampel diambil dari seluruh pengguna smartphone dari seantero Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • Lebih banyak responden (65,87%) melaporkan mereka lebih sering bepergian ke luar kota untuk berlibur daripada untuk kepentingan pekerjaan
  • Sebagian besar responden (65,77%) lebih memilih melakukan reservasi hotel, khususnya budget hotel, menggunakan apps ataupun situs web aggregator budget hotel daripada metode lainnya
  • Ternyata aplikasi khusus budget hotel di Indonesia belum populer. Rata-rata hanya digunakan kurang dari 10% responden. Zen Rooms (11,64%) adalah yang paling populer, diikuti RedDoorz (9,65%).

Untuk laporan lebih lengkapnya, unduh laporan “Budget Hotels Survey 2017” secara gratis.

Survei JakPat: Tingkat “Unfriend/Unfollow” di Media Sosial Masih Rendah Meski Dinamika Politik yang Memanas

JakPat kembali meluncurkan laporan Social Media Trend 2017 untuk Indonesia yang berdasarkan data kuartal pertama 2017. Selain popularitas Facebook dan Instagram yang makin sulit disaingi media sosial lain, hal menarik lain dalam laporan ini adalah bagaimana responden menyikapi soal “Unfriend” dan “Unfollow”, terutama berkaitan dengan dinamika politik tahun ini.

Mengambil data dari hampir 2000 responden, Secara umum laporan ini menunjukkan digdayanya Facebook dan Instagram dibandingkan platform media sosial lain. Disebutkan lebih dari 80% responden menggunakan Facebook dan Instagram dalam seminggu terakhir, sementara platform lain berkisar di bawah 50%. Selain dua platform tersebut, berturut-turut media sosial populer lainnya di Indonesia adalah Path, Twitter, dan LinkedIn.

Untuk sisi penggunaan aplikasi, pengguna Instagram, Path, dan Facebook disebut paling getol menggunakan aplikasi. Pengguna Twitter dan LinkedIn, di sisi lain, mulai banyak yang mengakses melalui browser, baik desktop maupun mobile.

Terkait soal keputusan unfriend atau unfollow, kebanyakan responden di beberapa media sosial menyebutkan tidak melakukan unfollow atau unfriend, meskipun dinamika politik akhir-akhir ini membuat media sosial memanas. Angka unfollow atau unfriend masih di bawah 15%

Secara umum, tiga alasan tertinggi responden memutuskan pertemanan di media sosial karena terlalu banyak postingan atau spam, tidak setuju dengan pandangan yang diberikan teman tersebut, dan informasi yang dibagikan tidak terlalu dibutuhkan.

Statistik penggunaan media sosial

Data menarik lainnya yang bisa didapat dari laporan JakPat adalah rataan jumlah teman di Facebook. Responden rata-rata memiliki sekitar 1000 teman di Facebook. Untuk umur, rata-rata umur teman yang dimiliki di Facebook paling banyak berusia 20-25 tahun kemudian diikuti usia 26-29 tahun.

Bergeser ke Instagram, JakPat dalam laporannya menyebutkan rata-rata responden mereka memiliki 370 pengikut dan rata-rata mengikuti 254 akun. Untuk media sosial yang dirancang untuk teman dekat, Path, rataan teman responden berada di kisaran 150 orang, dengan rentang usia paling banyak berada di 20-25.

Jakpat-Kebiasaan Penggunaan Media Sosial 2

Untuk mendapatkan versi penuh (berbayar) laporan JakPat ini, silakan akses tautan ini.

Indonesia Internet Consumption Habits 2017

Laporan DailySocial: Konsumsi Internet Indonesia 2017

Penggunaan Internet telah menjadi kebutuhan vital dalam pekerjaan sehari-hari di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Salah satu keluhan yang sering terdengar adalah bahwa biaya akses Internet terasa mahal bagi konsumen Indonesia, paling tidak demikian persepsi banyak konsumen.

DailySocial.id bekerja sama dengan JakPat Mobile Survey melaksanakan “Indonesian Internet Consumption Habits Survey 2017”. Survei ini bertujuan memetakan persepsi & preferensi konsumen Indonesia perihal konsumsi akses Internet. Survei diadakan terhadap sampel 1066 responden yang berasal dari populasi pengguna smartphone di seluruh wilayah Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • Konsumsi volume data di Indonesia dapat dikatakan cukup besar. Konsumen melaporkan konsumsi data per bulan antara 1 hingga 20 Gigabyte per bulan, gabungan antara konsumsi Internet Desktop dan Internet Mobile.
  • Pengguna Internet Indonesia dapat dikatakan berjenis “Mobile First”. Dilaporkan 78.91% responden lebih banyak mengakses Internet menggunakan perangkat mobile daripada perangkat desktop/laptop PC.
  • Lebih dari setengah responden (53.44%) mengeluarkan kurang dari Rp100.000 per bulan untuk biaya Internet mobile.

Untuk laporan selengkapnya, unduh “Indonesia Internet Consumption Habits Survey 2017”.

MOOC in Indonesia survey 2017

Survei MOOC di Indonesia

MOOC (Massively Online Open Courses), juga dikenal sebagai Kelas Belajar Online, memanfaatkan jaringan Internet untuk memberikan kepada masyarakat sebuah cara untuk belajar jarak jauh (distance learning). Selain yang diadakan Universitas MIT dan Stanford di Amerika Serikat, dan juga oleh beberapa pihak swasta, beberapa startup lokal Indonesia pun melakukan pengadaan MOOC. Baik yang gratis pun berbayar.

DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan sebuah survey untuk mendapat gambaran tanggapan masyarakat Indonesia sejauh ini terhadap MOOC. Survei diadakan terhadap sejumlah 1023 responden yang disampel dari seluruh populasi Indonesia.

Beberapa temuan survei antara lain:

  • Sejumlah besar responden (56,11%) pernah mendengar istilah MOOC atau Kelas Belajar Online, namun sebagian besar juga (78.30%) belum pernah mencobanya
  • Di antara mereka yang pernah berpartisipasi dalam MOOC, bagian paling besar (57,5%) mempelajari sebuah bahasa asing.
  • Sejumlah besar responden juga menyambut baik ide bahan pelajaran alternatif yang belum disediakan di berbagai MOOC, seperti perpajakan untuk wiraswasta dan pekerja freelance (51.90%) dan kajian kesenian tradisional Indonesia (48.39%)

Untuk laporan hasil lengkap survei kami mengenai MOOC di Indonesia, unduh laporan “MOOC in Indonesia Report 2017” dari DailySocial.

Ponsel pintar menjadi kebutuhan sekunder di kalangan masyarakat Indonesia / Pixabay

Bagaimana Ponsel Pintar Mengubah Paradigma Kehidupan Masyarakat Indonesia

Memiliki angka penetrasi yang sangat besar dan terus bertumbuh, pemanfaatan ponsel di Indonesia berhasil mengubah paradigma dalam kehidupan sehari-hari. Dalam laporan kuartal pertama bertajuk “Indonesia Mobile Habit 2017” oleh JakPat, ditemukan sebuah kesimpulan menarik.

Survei yang dilakukan kepada lebih dari 3500 pengguna ponsel di Indonesia ini mengemukakan sebuah fakta bahwa kebutuhan kepemilikan ponsel pintar sudah meningkat urgensinya. Sebanyak 81,19 persen responden menyatakan bahwa kepemilikan ponsel masuk dalam kategori “penting di bawah kebutuhan makan (91,68%), air (90,10%), tempat tinggal (85,19%) dan di atas kebutuhan pakaian (78,47%), kartu identitas (62,5%), kendaraan hingga dompet (57,21%). Bisa dikatakan, ponsel sudah berubah dari penempatan sebelumnya sebagai kebutuhan tersier menuju kebutuhan sekunder.

Peningkatan kebutuhan tersebut makin diperkuat dengan persentase aktivitas berikut ini. Banyak orang (45,84%) ketika bangun tidur hal pertama dicari adalah ponselnya.

Dalam keseharian, kapan seseorang pertama memeriksa ponselnya / Laporan Jakpat
Dalam keseharian, kapan seseorang pertama memeriksa ponselnya / Laporan Jakpat

Menjadi sebuah kewajaran ketika ponsel pintar berhasil memfasilitasi banyak aktivitas dalam keseharian. Tidak hanya untuk berkomunikasi, melainkan termasuk banyak hal lainnya. Mulai dari mencari informasi terkini, mendapatkan hiburan (musik, video, game dll), hingga menyelesaikan pekerjaannya.

Data berikutnya menunjukkan ragam aktivitas yang mendominasi kegiatan berponsel masyarakat di Indonesia. Kendati masih didominasi oleh aktivitas personal dan sifatnya hiburan, angka-angka yang menunjukkan persentase kegiatan “serius” mulai terlihat. Seperti untuk menjadi media belajar, menunjang pekerjaan, melakukan transaksi finansial, pemesanan hotel dan belanja. Mengapa dikatakan sebagai sebuah kegiatan serius, karena membutuhkan effort lebih –bahkan mengeluarkan biaya—untuk mengakses layanan-layanan tersebut. Simpulannya, kepercayaan pengguna meningkat dengan sebuah layanan berbasis aplikasi ponsel.

Aktivitas yang dilakukan masyarakat dengan ponsel pintarnya / Laporan Jakpat
Aktivitas yang dilakukan masyarakat dengan ponsel pintarnya / Laporan Jakpat

Aktivitas di atas umumnya dilakukan dengan rerata waktu antara 1,3 – 2,7 jam. Persentase terbesar penggunaan ponsel justru digunakan untuk bekerja (rata-rata 2,7 jam per hari), kemudian untuk berkomunikasi atau chatting (2,6 jam per hari), disusul aktivitas di media sosial, bermain game dan menonton film.

Peningkatan kebutuhan yang berimbas pada pengeluaran rutin

Bergesernya kebutuhan penggunaan ponsel di kalangan masyarakat salah satunya berimbas pada pengeluaran mereka untuk memenuhi aktivitas tersebut, yakni pembelian pulsa yang harus dilakukan untuk mengaktifkan paket data dan kebutuhan penunjang lainnya. Dari data yang didapatkan JakPat, sebagian besar masyarakat mengucurkan uang 50 – 100 ribu Rupiah untuk membeli pulsa tiap bulan.

Rata-rata pengeluaran bulanan pengguna ponsel di Indonesia / Laporan Jakpat
Rata-rata pengeluaran bulanan pengguna ponsel di Indonesia / Laporan Jakpat

Sedangkan untuk perangkat penunjang, merek populer di kalangan pengguna Indonesia masih didominasi Samsung (29,33%), Xiaomi (13,17%), Asus (11,11%), Lenovo (7,83%), Apple (6,09%), Oppo (5,18%) dan merek lainnya. Dipastikan kebutuhan untuk mengakses aplikasi modern dan layanan internet, menggeser penggunaan featured phone menjadi smartphone secara signifikan.

Selain data di atas, dalam laporan premium yang dirilis oleh Jakpat juga memberikan berbagai insights lain secara mendetil, termasuk tren pengguna membeli/berganti ponsel, pembagian berdasarkan kategori usia, hingga persentase layanan-layanan populer di kategori media sosial, musik, e-commerce hingga finansial.

Laporan premium ini bisa diperoleh secara lengkap dengan mengunjungi tautan berikut http://jakpat.net/report1.

Bagaimana Perempuan Menjadi Bagian Sebuah Startup (Bagian 2)

Tulisan ini menjadi lanjutan dari artikel di tahun 2015 berjudul “Bagaimana Perempuan Menjadi Bagian Sebuah Startup”. Kala itu kami mewawancara tiga orang yang terlibat langsung dalam sebuah bisnis startup, dari sisi investor, pengembang bisnis dan juga developer. Dalam artikel tersebut dijabarkan beberapa hal teknis terkait keterlibatan perempuan dalam sebuah bisnis teknologi.

Dalam sebuah kesempatan, pada pagelaran Women in Tech yang diinisiasi oleh ADITIF (Asosiasi Digital Kreatif), sebuah diskusi terkait peran perempuan dalam industri teknologi dibahas. Kali ini fokus pada kultur kerja dan juga lingkungan yang berkorelasi dengan kenyamanan pekerja perempuan dalam bisnis teknologi, khususnya dalam ukuran startup.

Dalam kesempatan tersebut hadir GKR Hayu sebagai penanggung jawab TIK di Keraton Yogyakarta, Founder & CEO Fitinline Istofani Api Diany, Co-Founder & CEO JakPat Anggit Tut Pinilih dan CEO WeMarry Mugi Rahayu Wilujeng.

Salah satu yang melatarbelakangi diskusi ini adalah hasil survei Harvard Business Review (HBR) yang mengemukakan fakta untuk dalam industri teknologi. Dalam penelitian yang dilakukan pada tahun 2016 tersebut, dituliskan perbandingan keterlibatan perempuan dan laki-laki dalam industri teknologi adalah dua banding delapan. Hanya 9 persen dari total entrepreneur adalah perempuan.

Di sisi investasi pun juga angkanya sangat signifikan jaraknya. Data dari Entrepreneur.com mengemukakan 89 persen investor adalah laki-laki dan mereka berinvestasi pada (kebanyakan) perusahaan yang dikelola oleh laki-laki. Hanya 7 persen founder perempuan yang mendapatkan suntikan investasi dari venture capital.

Kultur yang menahun dianggap sebagai sebuah kepastian

Mengawali pemaparannya Hayu menceritakan pengalamannya masuk menjadi tim IT sebuah perusahaan perbankan diteruskan menjadi manajer produk di sebuah perusahaan pengembang game. Berbicara dari sisi kemampuan teknis, anggapan miring seputar kompetensi pekerja perempuan sudah sangat akrab ia terima. Hayu mengatakan masih sering menemui kebiasaan yang memposisikan perempuan selalu harus berada di role pekerjaan yang non-teknis. Itu jika berbicara dari sisi kapabilitas dan di lingkungan kerja menurutnya ada hal lebih mendasar yang justru mengganggu kemajuan karier perempuan di industri teknologi, yaitu lingkungan pekerjaan.

“Kantor di perusahaan IT sering kali kurang memberikan kenyamanan kepada perempuan. Hal ini terbangun secara alamiah karena umumnya perusahaan IT didominasi laki-laki. Sementara itu perempuan memiliki sifat kurang merasa aman ketika harus di lingkungan seperti itu,” ujar Hayu membuka diskusi.

Sebagai CEO, Anggit mengonfirmasi keadaan yang disebutkan dalam riset HBR di atas. Beberapa kali ia ketemu investor, tidak jarang yang menyampaikan sikap acuh dan underestimate. Namun jika dalam perspektif lingkungan kerja, karena di startup yang ia pimpin porsi jumlah perempuan dan laki-laki hampir seimbang, proses bisnis justru bisa saling melengkapi.

“Sering kali terjadi perbedaan pendapat terutama ketika mengembangkan produk. Karena tim pengembang laki-laki sering kali memfokuskan pada fitur, sedangkan perempuan lebih banyak mengulas tentang detail dan sudut pandang dari calon pengguna. Namun dari situ malah saling melengkapi,” ungkap Anggit menceritakan kultur kerja di kantornya.

Diskusi tentang Women in Tech dari Aditif

Edukasi perlu dilakukan dari sudut pandang laki-laki

CEO portal pernikahan WeMarry Mugi Rahayu Wilujeng atau akrab disapa Ajeng memberikan pendapat bahwa untuk meningkatkan awareness tentang kesetaraan ini, perlu dilakukan banyak kegiatan edukasi di sisi laki-laki. Kepekaan mereka dan mindset untuk bisa terbuka dinilai akan memberikan dampak signifikan pada meningkatnya persentase perempuan yang terjun dalam bisnis digital.

Istofani mengomentari hal yang sama. Kaitannya dengan kultur yang sudah terlanjur dianggap menjadi sebuah kebenaran, bahwa perempuan kurang pas jika harus berjibaku dengan urusan yang sangat teknis. Sulit untuk diubah, namun dengan memberikan role model yang banyak sedikit demi sedikit pandangan ini akan terkikis.

“Menariknya 90 persen customer Fitinline, yang banyak dinilai sebagai startup yang cewek banget, justru laki-laki. Ketika berhadapan dengan customer laki-laki so far tidak ada masalah. Justru ketika mereka mengetahui bahwa kita adalah perempuan, mereka dapat bersikap lebih lembut,” papar Istofani.

Pada akhirnya diskusi tersebut menyimpulkan bahwa dengan penempatan pada lingkungan yang baik (dalam startup teknologi) perempuan akan dapat berpartisipasi besar dalam proses pengembangan produk, khususnya pada bagian teknis. Kendati jumlahnya masih sangat sedikit, mengingat demand mahasiswi di bidang TIK juga tidak banyak, tantangan saat ini adalah menunjukkan panutan sebanyak- banyaknya tentang kisah sukses perempuan yang berkiprah di industri atau startup teknologi.

Laporan DailySocial: Pengenalan dan Ketertarikan Pasar terhadap “Gaming Laptop”

DailySocial bekerja sama dengan JakPat mengadakan riset mengenai Gaming Laptop di Indonesia, dengan judul “Gaming Laptop Interest & Awareness 2017”. Survei ini bertujuan mengukur pengetahuan & antusiasme konsumen Indonesia terhadap kategori produk Gaming Laptop. Sampel diambil dari konsumen Indonesia secara proporsional di seluruh daerah untuk menggambarkan sentimen pasar secara nasional.

Sejak tahun 2012 berbagai merek laptop masuk ke pasar Indonesia dengan branding gaming laptop. Pembedaan terutama pada spesifikasi komponen yang menekankan kemampuan grafis dan berbagai fitur hardware yang “ramah gaming“. Perlahan-lahan pasar pun teredukasi akan kategori gaming laptop, namun konsumen masih segan melakukan pembelanjaan bernominal besar untuk gaming laptop.


Beberapa temuan laporan kami antara lain:

  • 70% konsumen Indonesia sudah mengetahui kategori gaming laptop dan merasakan adanya perbedaan signifikan antara gaming laptop dengan laptop biasa
  • 72.6% responden tertarik untuk membeli gaming laptop
  • 62.95% responden menginginkan harga gaming laptop di bawah Rp10 juta
  • 48.75% Konsumen menyukai ukuran layar sekitar 15 inci sebagai ukuran ideal untuk Gaming Laptop.

Bila ingin mengetahui lebih jauh hasil riset “Gaming Laptop Interest & Awareness 2017”, Anda dapat mengaksesnya secara gratis setelah menjadi member DailySocial melalui tautan berikut ini.