Jauh sebelum melambungnya kepopuleran Android Wear dan Apple Watch, upaya menciptakan jam berkemampuan pintar sudah dilakukan sejak era 80-an. Dirilis di tahun 1982, Pulsar NL C01 diklaim sebagai arloji digital ‘memorybank‘ pertama di dunia. Lalu dua tahun setelahnya, Seiko menyingkap RC-1000 sebagai jam pertama yang dapat berinteraksi dengan komputer.
Saat ini, istilah smartwatch membuat kita segera membayangkan perangkat wearable canggih serbaguna yang juga bisa jadi ekstensi smartphone Anda. Mereka tersedia dalam beragam model, dan masing-masing menawarkan fungsi serta fitur unggulan berbeda. Suka tidak suka, smartwatch telah menjadi bagian dari sejarah horologi – yaitu ilmu yang mempelajari instrumen penunjuk waktu.
Setelah perusahaan seperti Apple, Samsung, Asus, Huawei dan kawan-kawan merilis smartwatch, merek-merek fashion dan sejumlah nama di dunia watchmaking tradisional sadar mereka harus berhadaptasi dengan perubahan ini. Sebagai respons, brand seperti Fossil, Louis Vuitton sampai Tag Heuer memperkenalkan perangkat wearable pintar bertema ‘mewah’.
Namun langkah berbeda yang diambil oleh sejumlah produsen smartwatch belakangan mengindikasikan adanya suatu perubahan yang tengah terjadi. Di Beselworld 2018, beberapa perusahaan seperti Skagen, Mondaine, Kronaby hingga a.b.art tiba-tiba secara berbarengan mengungkap smartwatch hybrid. Hampir semua produk-produk ini tidak memanfaatkan layar LED seperti di smartwatch populer, padahal panel sentuh merupakan medium terbaik dalam menyajikan informasi dan berinteraksi dengan konten.
Kejadian tersebut memunculkan sejumlah pertanyaan: Apakah konsumen mulai bosan dengan desain smartwatch yang begitu-begitu saja? Atau apakah pendekatan ini sengaja diambil agar smartwatch jadi lebih atraktif di mata pemerhati horologi serta pengguna arloji tradisional? Berdasarkan hasil survei DailySocial, pengguna smartwatch hybrid di Indonesia sendiri lebih sedikit dibandingkan pemilik fitness band ataupun smartwatch ‘standar’.
Bagi saya pribadi, smartwatch lebih terlihat menarik jika ia mempunyai kegunaan yang jelas. Itu alasannya saya lebih menyukai merek-merek spesialis olahraga ketimbang Android Wear atau produk Apple. Berenang adalah satu dari sedikit aktivitas favorit saya, dan saya jelas lebih memilih Garmin (misalnya Vivoactive 3) buat menemani saya melakukan kegiatan itu karena tidak perlu cemas air akan merusaknya.
Namun dari aspek penampilan, Garmin bukanlah perangkat yang cantik. Untuk sehari-hari, saya lebih sering mengenakan Timex, Casio atau Seiko. Mereka bukanlah merek mahal, tapi lebih mudah disesuaikan dengan aktivitas: Timex Weekender siap menemani di kala santai, Seiko dengan dial sederhana dapat dikenakan di acara-acara formal, lalu ketika ingin tampil sporty, G-Shock sudah menanti.
Melalui artikel ini, saya ingin mencoba mengungkapkan sejumlah hal yang membuat saya masih enggan untuk membeli smartwatch, terlepas dari harga yang kian terjangkau dan fitur yang semakin canggih. Siapa tahu, Anda juga punya pendapat serupa…
Desain
Meneruskan argumen soal desain, saya ingin bercerita sedikit soal satu lineup jam buatan Junghans: Max Bill. Nama arloji ini diambil dari seorang arsitek, seniman dan desainer grafis legendaris asal Swiss yang melakukan studi di sekolah seni Staatliches Bauhaus, Jerman. Ia punya andil besar di ranah desain, berkontribusi langsung dalam penciptaan jam dan arloji Junghans, serta membuat konsep minimalis khas Bauhaus begitu terkenal dan menjadi kiblat perancangan brand lain.
Elemen orisinalitas inilah yang absen di smartwatch. Dalam proses desain, mayoritas produsen sejauh ini hanya memastikan produknya punya penampilan klasik khas arloji. Langkah ini bisa dimaklumi, tapi sebenarnya, rancangan-rancangan radikal malah membuat sejumlah model jam tangan jadi begitu ikonis. Ambil contohnya Seiko Giugiaro 7A28-7000 milik Ellen Ripley di film Aliens atau Hamilton Pulsar LED digital yang dikenakan James Bond di Live and Let Die.
Di perspektif yang lebih ‘praktis’, smartwatch jauh lebih ringkih dibanding aloji biasa. Sejumlah brand jam sudah dibekali kemampuan anti-air, anti-benturan, hingga bisa tetap bekerja di suhu ekstrem. Dan saya tidak hanya mengacu pada G-Shock: Victorinox bisa jadi alternatif jika Anda menginginkan jam analog. Sedangkan ketika memakai smartwatch, kita harus memperlakukannya bak telur kaca.
Brand dan heritage
Bagi pemerhati horologi, mengenakan arloji merupakan sebuah pernyataan dan hal ini sangat berkaitan dengan brand yang diusungnya. Menariknya, aspek terbaik di bidang ini adalah, selalu ada merek (dan model) yang merepresentasikan potongan penting sejarah horologi di tiap jenjang harga. Sebagai contoh: Casio F91W yang legendaris bisa Anda miliki cukup dengan mengeluarkan uang kurang dari Rp 200 ribu. Atau jika Anda ingin mencicipi apiknya jam otomatis, sejumlah anggota keluarga Seiko 5 dijual di bawah Rp 1 juta.
Dan sebagai pecinta arloji, saya masih lebih memilih merek yang betul-betul mewakilkan horologi ketimbang nama-nama perusahaan perangkat elektronik yang hingga sekarang tetap memproduksi alat komunikasi dan perabotan rumah tangga. Kiprah produsen smartwatch Android Wear populer dan Apple di ranah ini belum bisa menandingi pengalaman puluhan – bahkan ratusan tahun – para watchmaker ternama.
Lalu bagaimana dengan smartwatch dari brand-brand fashion? Saya sendiri selalu berusaha menghindari jam bertema fashion karena pada umumnya mereka dirancang berdasarkan tren saat ini, dan keadaan tersebut berlaku pula pada smartwatch. Cepat atau lambat, fashion akan berubah. Hal ini akan mengembalikan argumentasi ke aspek desain: lebih baik memilih produk berpenampilan orisinal karena mereka tak lekang oleh waktu.
Beberapa model jam bahkan mempunyai karakter sangat kuat, dan ia bisa segera cocok dengan pakaian apapun yang Anda kenakan. Saya akan menggunakan contoh yang ‘cukup mahal’: Rolex Submariner. Meskipun ia merupakan archetype dari jam tangan penyelam, Anda dapat memakainya di event formal bersama jas atau melengkapi pakaian santai berupa kaos dan celana pendek.
Umur dan siklus hidup
Mungkin Anda pernah mendengar kisah tentang bagaimana arloji yang diberikan dari generasi ke generasi, atau mungkin saat ini Anda malah sedang mengenakan jam warisan orang tua yang dahulu menjadi kesayangan mereka. Produk baru memang banyak bermunculan, tapi kadang nilai sentimental sebuah benda membuatnya sangat berharga di mata si pemilik.
Hal ini merupakan efek positif dari karakteristik jam tangan. Ada dua tipe mekanisme dasar pada alat penunjuk waktu: quartz dan sistem mekanis. Quartz memanfaatkan osilator elektronik yang diatur kristal kuarsa, sedangkan jam mekanis sepenuhnya menggunakan per dan komponen-komponen kompleks buat mengukur waktu. Jam mekanis terbagi dua lagi: ada tipe otomatis (self-winding, akan tetap bekerja selama Anda mengenakannya sehari-hari) atau manual (jam putar).
Anda mungkin sudah tak asing dengan jam kinetik dan arloji tenaga surya. Namun istilah-istilah tersebut hanyalah pengembangan teknologi lebih jauh terkait cara jam mengumpulkan dan menyimpan tenaga.
Berbeda dari jam tangan, smartwatch bergantung sepenuhnya pada komponen elektronik. Kemampuan pintarnya sendiri bersender pada kehadiran berbagai macam sensor, misalnya gyroscope, acceleromater, temperatur, magnetometer, GPS, sensor optik, modul Bluetooth dan lain-lain. Bagian-bagian ini akan menua seiring pemakaian, dan umur dapat mengurangi kemampuan serta keakuratan fiturnya.
Dan jangan lupakan baterainya. Sejumlah produk populer mengusung desain unibody dengan baterai terintegrasi, sehingga mustahil bagi orang biasa untuk mengakses atau mengganti bagian tersebut. Padahal kita tahu, baterai rechargeable punya siklus hidup. Setelah beberapa ratus kali proses isi ulang, kemampuannya menyimpan tenaga tak lagi maksimal.
Keadaan ini menunjukkan bagaimana smartwatch – seperti smartphone – memiliki umur yang tidak panjang, mungkin hanya beberapa tahun hingga Anda harus menggantinya. Jam quartz sendiri masih memanfaatkan baterai, namun ‘button cell‘ tersedia secara luas dan universal. Saya cukup yakin dalam 10 tahun ke depan, baterai koin tetap lebih mudah ditemukan ketimbang baterai cadangan Apple Watch generasi ketiga.
Dan kekurang di smartwatch ini menyambung ke argumen saya berikutnya.
Dukungan servis di masa depan
Salah satu timepiece favorit yang saya miliki adalah Seiko 5 tahun 1986. Saya bisa mengetahui info hingga ke bulan produksinya karena Seiko selalu membubuhkan serial di produk mereka. Jam ini merupakan jenis analog otomatis, dengan kaliber pergerakan yang tidak terlalu kompleks, dan harganya pun tidak mahal. Namun hingga kini, ia mampu menunjukkan waktu secara akurat, lalu sistem penyimpanan tenaganya masih sangat baik.
Jika merasa ada masalah, saya hanya tinggal membawanya ke service center (berlokasi di tengah kota Jakarta), dan mengeluarkan biaya yang tak terlampau besar agar ia dapat kembali normal. Layanan ini sangat mengesankan, apalagi buat barang berusia lebih dari 32 tahun. Dan saya yakin, ada banyak brand jam yang lebih premium punya layanan lebih baik lagi.
Kini pertanyaan yang sama saya ajukan pada smartwatch: adakah produsen yang bisa menjamin ketersediaan spare part dan layanan purna jual lima tahun, sepuluh tahun hingga dua puluh tahun setelah produk mereka dibeli?
Buat saya, rasa aman dalam memiliki sebuah benda tak hanya didapatkan dengan menyadari bahwa barang tersebut awet dan dapat bekerja dalam waktu lama, namun juga mengetahui akan ada dukungan perbaikan di waktu yang akan datang kapan pun dibutuhkan.
Masih terasa kurang esensial
Alasan terakhir mengapa hingga kini saya masih enggan membeli smartwatch adalah belum adanya urgensi untuk memilikinya. Mendapatkan notifikasi ketika ada update di sosial media atau pesan masuk, serta menggunakan layar perangkat wearable buat menampilkan preview foto di smartphone memang menarik, tapi semuanya belum terasa esensial. Bahkan seandainya smartwatch tersebut telah dilengkapi konektivitas selular pun, saya tidak akan menggunakannya untuk melakukan panggilan kecuali jika betul-betul darurat.
“Bukankah smartwatch bisa membantu kita memonitor kondisi tubuh?” mungkin ini argumen dari beberapa orang. Khusus untuk kebutuhan itu, saya tidak akan membeli smartwatch. Saya jelas akan memilih activity tracker dari produsen yang telah lama menyelami ranah tersebut, misalnya Garmin atau Fitbit.
Tapi saya bukanlah atlet profesional ataupun individu yang super-antusias terhadap olahraga, dan belum merasa membutuhkannya. Bahkan saat melakukan olahraga favorit saya – yaitu berenang – saya merasa lebih nyaman jika tidak mengenakan apapun (tentu saja kecuali celana dan kacamata renang).
Seandainya saya benar-benar menginginkan kapabilitas tracking, saat ini mulai tersedia produk strap pintar, satu contohnya adalah Sgnl. Bahkan pendekatan serupa turut diusung oleh Montblanc melalui smart strap Twin – disingkap di bulan Mei kemarin. Melalui metode ini, saya tetap bisa membawa kemampuan wearable pintar sembari mengenakan arloji kesayangan.
Penutup
Itu dia, lima penjabaran panjang mengapa saya masih merasa berat hati untuk membeli saudara jam tangan yang diklaim lebih pintar itu. Seandainya saya betul-betul dipaksa, mungkin pilihan saya akan sama seperti Glenn (kami sempat berdiskusi soal ini), yaitu smartwatch hybrid. Dan di antara banyaknya pilihan, saya pribadi lebih memfavoritkan brand-brand dengan warisan horologi yang kaya, misalnya Skagen atau Mondaine.
Lalu bagaimana jika saya punya modal mencukupi untuk membeli smartwatch dan arloji? Brand serta model apa yang akan saya pilih? Sejujurnya, saya bukanlah individu yang ambisius. Jam tangan impian saya (beberapa pakar horologi memberinya istilah ‘the Grail Watch’) bukanlah model-model high-end seharga ratusan juta dengan sistem tourbillon super-kompleks; melainkan varian ‘terjangkau’ yang saat ini masih sulit saya jangkau, yaitu arloji Bauhaus sesungguhnya, Junghans Max Bill.
Mengapa Max Bill? Sejujurnya, sebagai alumnus sekolah desain, konsep Bauhaus yang mengedepankan prinsip ‘form follows function‘ selalu menginspirasi saya. Inilah basis dari prosedur pembuatan desain dan arsitektur modern.
Catatan: Semua gambar di artikel ini diambil dari situs resmi masing-masing produk. Untuk item-item yang tidak mempunyai laman khusus, gambar diambil dari situs Amazon. Header: Apple.com.