Tag Archives: JAS Kapital

Izak Jenie adalah CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas terkait teknologi

Izak Jenie Belajar Mengambil Bagian Tanpa Melampaui Batas Kemampuan

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Sebelum mengenal industri teknologi, Izak Jenie menjalani hari-hari layaknya masyarakat biasa. Ketertarikannya akan teknologi serta apa yang dapat ia lakukan dengan semua itu membuatnya tak bisa berpaling. Ia lalu memulai bisnis di usia yang terbilang cukup dini serta menghadapi beberapa kegagalan dalam prosesnya.

Setelah berpuluh tahun menjalani bisnis, Ia tidak lelah menciptakan ide serta inovasi. Begitu banyak rintangan yang membuatnya jatuh bangun, namun teknologi dan internet bagaikan pecut yang memacu semangatnya. Saat ini ia menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta kontributor di berbagai aktivitas terkait teknologi.

Berikut adalah hasil rangkuman dari pergerakan karier yang dinamis seorang Izak Jenie di industri teknologi.

Izak Jenie sebagai direktur Jakarta Founder Institute
Izak Jenie sebagai direktur Jakarta Founder Institute

Anda telah mengenal industri teknologi sedari dini. Bisakah ceritakan sedikit tentang masa kecil anda?

Masa kecil saya biasa saja, seringkali menghabiskan waktu untuk bermain di sekitar rumah. Dulu, Saya bersekolah di salah satu sekolah swasta di Jakarta dengan banyak peraturan yang tidak saya sukai. Riwayat kesehatan saya pun tidaklah sempurna, saya kerap mengalami kejang juga menderita asma, sebuah keajaiban saya masih bertahan sampai sekarang.

Pelajaran tidak pernah menjadi isu saat itu, namun saya tidak suka tindakan yang sewenang-wenang. Suatu kali saya membuat petisi saat pihak sekolah mengganti mata pelajaran Olahraga menjadi Bahasa Indonesia tanpa pemberitahuan, dengan alasan guru yang tidak bisa hadir.

Siapa yang mengenalkan anda pada teknologi?

Ialah almarhum ayah saya, Aldi Jenie. Ia bekerja di salah satu perusahaan BUMN, Pertamina, dan juga seorang penggiat teknologi. Beliau sering mengajak Saya ke kantornya untuk mencoba teknologi terbaru dan mengenalkan saya pada programming di masa itu. Saya berumur 12 tahun ketika ia mengajarkan garis besar pemrograman.

Saya pertama kali mencoba membuat bahasa pemrograman bernama APL (A Programming Language). Saya takjub! Begitu banyaj hal yang saya pelajari dari membaca buku-buku komputer yang ia bawa sebagai buah tangan saat berlibur / dinas luat kota, bahkan ia membeli sebuah PC IBM pertama yang harganya sangat mahal untuk mendukung ketertarikan anak-anaknya dengan teknologi.

Begitu banyak yang beliau ajarkan tentang teknologi serta hidup. Menjabat sebagai seorang Group Head bukan berarti hidup kami bergelimang harta. Ia masih mencari penghasilan lebih dengan mengambil pekerjaan penerjemahan. Satu hal yang ia tanamkan adalah untuk selalu bersyukur dan tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.

Menghabiskan waktu sehari-hari dengan teknologi, apakah anda pernah mengalami isu sosial?

Sedari kecil, ayah saya selalu mengajarkan untuk berani berbicara. Saya sering melakukan presentasi di depan publik, juga belajar banyak tentang cara berinteraksi. Pengalaman menjadi mentor ilmu komputer telah saya geluti semasa SMA. Ketika masuk universitas, Saya memilih jurusan Teknik karena mengikuti saran beberapa teman. Tentu, saya memiliki teman.

Kegiatan saya tidak jauh dari bermain musik dan komputer setiap waktu, sampai saya menginjak perguruan tinggi. Saya memulai grup komputer di kampus dan terbuka untuk umum, ikut meramaikan paduan suara di kampus, sebelum akhirnya lulus walaupun seringkali mangkir karena terlalu sibuk dengan pekerjaan. Namun, pada masa ini saya bertemu dengan wanita yang sekarang menjadi istri saya, ia salah satu yang memotivasi saya untuk menyelesaikan kuliah.

Izak Jenie bersama anggota paduan suara kampus
Izak Jenie bersama anggota paduan suara kampus

Apakah anda pernah bekerja di perusahaan sebelumnya?

Ya, setelah lulus dalam kurun waktu lima tahun, saya mengalami kesulitan mencari pekerjaan. Ketika teman-teman sudah memulai karier di perusahaan besar, saya masih menganggur selama 6 bulan. Banyak perusahaan besar yang menolak, sampai ketika sebuah kesempatan muncul di BBS (Bulletin Board System), salah satu perusahaan swasta populer di Indonesia sedang mencari lulusan komputer grafis handal.

Proses wawancara berjalan mulus dan saya berbicara banyak tentang bidang yang diminati. Tidak lama setelah itu, saya diterima dengan gaji yang melampaui perkiraan. Belum genap satu minggu diterima, saya akhirnya menolak sebuah penawaran oleh perusahaan lain yang tidak kalah terkenal, dan saya belajar mengenai komitmen.

Pada tahun 1994, anda muncul di media sebagai salah satu penemu VoIP. Bagaimana awal mula terciptanya VoIP sampai akhirnya mendunia?

Hal ini terjadi setelah lulus kuliah, saya merasa memiliki spesialisasi untuk memecahkan teka-teki. Dulu, saat internet masih langka, sebuah modem bisa mengonversi suara menjadi data. Lalu saya memiliki ide untuk menyambungkan modem dan mengembangkan perangkat untuk mengirim sinyal. Sekarang mungkin sudah menjadi hal biasa, namun di tahun 90-an, ini adalah sebuah revolusi luar biasa. Dalam istilah awam – ini disebut Jaringan Telepon Komunitas P2P di tahun 1994.

Saya berpartner dengan dua orang penggiat internet lainnya, Jeff Pulver dari New York dan Brandon Lucas dari Tokyo, kami mulai mengembangkan ide kemudian diberitakan oleh London Financial Times, Wall Street Journal dan beberapa media besar lain.

Setelah kisah penemuan tersebut, apa yang anda lakukan? Kapan anda mulai membangun bisnis?

Hal yang pertama saya lakukan adalah berhenti dari pekerjaan saya saat itu. VoIP sangat menyita waktu. Sementara itu, ada sangat banyak kesempatan di luar daripada hanya duduk di belakang meja. Ini menjadi pekerjaan pertama dan terakhir saya.

Berbicara mengenai membangun sebuah perusahaan, sebenarnya saya sudah memulai sejak di semester kedua perguruan tinggi, dengan membuat logo bergerak, saya menghasilkan uang untu membayar biaya kuliah dan lain-lain. Hal ini terjadi jauh sebelum saya bertemu mitra yang luar biasa kemudian berbagi pengalaman mengenai seluk beluk industri.

Di masa penjajakan, saya bertemu dengan seorang pemain industri yang tertarik dengan ide-ide saya dan mau berinvestasi. Euforia tak terhindari lalu saya dimanjakan dengan uang. Percobaan pertama adalah sebuah toko buku online bernama Sanur.com yang tidak berjalan sesuai dengan rencana. Saya beradu pendapat dengan investor dan memutuskan untuk keluar. Melalui proses yang panjanh serta dibantu oleh proyek seharga 200 juta Rupiah, akhirnya saya bisa berdamai dengan perusahaan lama. Dibantu oleh Jusuf Sjariffudin, bersama dengan Ishak Surjana, kami membangun perusahaan bernama Jatis.

Anda memulai Jatis dari awal hingga melahirkan kontribusi dalam industri. Mengapa anda memutuskan untuk keluar?

Kami memulai Jatis sebagai konsultan enterprise, saat perusaan asing sedang mendominasi. Strategi yang digunakan pada saat itu adalah menandatangani sebanyak mungkin kontrak serta melakukan pitching dengan berbagai macam klien. Bagaimanapun usaha yang dilakukan untuk membuat manajemen proyek yang solid dan sempurna, ternyata tidak didukung oleh kesepakatan harga yang sesuai. Konsultan menjadi bisnis yang sulit bagi pemain lokal ketika anda tidak bisa menetapkan harga kemudian menjadi isu ketika akan scale-up.

Mengembangkan bisnis dari skala kecil menuju skala menengah tidaklah sulit, namun setelah itu muncul perkara krusial dimana harus memilih untuk tinggal atau terus beranjak. Saya meninggalkan Jatis karna ketertarikan saya mulai bergeser ke ranah B2C dan lagi saya sudah lelah menjadi konsultan untuk B2B selama itu. Perputaran bisnis ini seperti gasing – hanya mengitari tempat yang sama bertahun-tahun tanpa inovasi lebih lanjut. Bukan perkara mudah meninggalkan perusahaan yang sudah dibesarkan selama 12 tahun.

Izak Jenie bersama tim Jatis
Izak Jenie bersama tim Jatis

Selama membangun bisnis, bagaimana anda menghadapi jatuh bangun dalam industri teknologi?

Saat itu mungkin adalah titik terendah saya, tidak ada lagi tempat di industri ini, bahkan dimusuhi banyak pihak. Akhirnya, Saya menemui seorang mentor, yang juga teman lama – Simon Halim – mantan CEO E&Y. Ia yang mengarahkan saya untuk menyusun rencana serta membuat laporan setiap minggu. Sedikit demi sedikit masalah terselesaikan, selangkah demi selangkah saya kembali bangkit dan akhirnya berhasil keluar dari lubang hitam. Menghadapi masalah dan hutang sama seperti mengikuti lomba renang, anda mulai meluncur lalu berhenti setiap 10 menit untuk mengambil nafas. Selama garis akhirnya tidak berubah – anda akan sampai pada waktunya.

Pada masa ini juga Nexian bermula. Ketika itu saya sedang dalam antrian untuk membeli sebuah perangkat lalu memutuskan untuk langsung menemui pendiri perusahaan dan mengemukakan ide untuk mengembangkan platform yang lebih baik. Proyek ini akhirnya berhasil dan Nexian berjaya pada saat itu. Saya memulai bisnis ini bersamaan dengan Nexian, fokus pada konten perangkat. Berbagai macam konsep disajikan dengan bantuan beberapa selebritis seperti Slank, Anang, Ashanti, Syahrini dan lainnya. Nexian JV adalah perusahaan pertama saya yang menuai profit.

Saat ini, anda menjabat sebagai CEO JAS Kapital, Pendiri MCAS Group, serta berkontribusi dalam banyak kegiatan dalam industri terkait. Bisa ceritakan bagaimana perjalanan anda sampai ke titik ini?

Semua menjadi lebih menarik ketika saya menemukan mitra saya sekarang – Jahja Suryandy, Martin Suharlie, dan Michael Stevens. Bersama-sama kami memulai MCAS Group pada tahun 2017 dengan visi untuk mendisrupsi ekosistem digital di Indonesia. Kami menjadikan perusahaan IPO dan sekarang berkembang pesat. Saat ini kami sedang melakukan penelitian mendalam tentang teknologi AI dan Fintech, yang berfokus pada pembentukan ulang berbagai industri dalam 20 tahun ke depan.

Tak ada satu industri pun yang dapat lolos dari penetrasi teknologi, dan dalam 20 tahun ke depan, sebagian besar pekerjaan akan bertransfomasi menjadi mesin. Bukan berarti semua orang menjadi pengangguran, hanya saja pada akhirnya akan berpindah haluan pada pekerjaan dengan lebih banyak waktu luang untuk hal yang paling signifikan dalam hidup: keluarga.

Saya mungkin telah membuat beberapa keputusan buruk di masa lalu, tetapi kerja keras, ide, kegigihan adalah yang membuat kita berkembang setiap hari. Saya menjunjung tinggi , “Nilai anda bukan ditentukan oleh seberapa banyak uang, tetapi seberapa banyak ide,” dan saya tidak pernah berhenti menghasilkan ide sampai sekarang.

MCAS IPO di 2017
MCAS IPO di 2017

Anda juga dikenal sebagai pembicara di banyak acara terkait teknologi, juga sebagai mentor bagi banyak inkubator startup. Menurut anda, apa hal yang paling fundamental dalam membangun bisnis?

Bagian tersulit dari membangun bisnis adalah bertransformasi dari bisnis pribadi menjadi sebuah institusi. Untuk bertahan, seseorang harus menciptakan sistem khusus serta mengatasi isu fundamental. Setelah itu, fokus pada apa yang anda lakukan sekarang, jangan terbawa euforia. Anda memulai begitu banyak bisnis sehingga tidak punya waktu untuk menggarap semua. Cobalah untuk tidak mengambil bagian melampaui batas kemampuan.

Bagi mereka yang ingin memulai, mari kembali ke bagian paling mendasar dari bisnis ini – menghasilkan keuntungan yang sehat. Pada dasarnya, pembiayaan harus lebih kecil dari pendapatan, lalu perbedaannya disebut laba – dan jangan coba membuat definisi lain seperti kebanyakan startup.

Izak Jenie sebagai pembicara di #SelasaStartup / DailySocial
Izak Jenie sebagai pembicara di #SelasaStartup / DailySocial

Saat ini, startup sedang dalam masa sulit dan tidak terlalu bagus untuk industri. Pola pikir tidak sehat menjamur di mana para pendiri startup rela kehilangan uang demi mengejar nirwana. Nah, masalahnya tidak semua startup menjadi Unicorn, hanya yang gigih, memiliki jaringan dan bisa mengeksekusi dengan baik. Sisanya harus mempertahankan perusahaan dan akan sangat sulit jika anda tidak menghasilkan profit. Ada banyak kasus di mana para pendiri kelelahan dan bukan hanya bisnisnya yang gagal tetapi kehidupan pribadi mereka juga.

Jadi, sebisa mungkin – buatlah startup yang mendulang profit. Suntikan dari VC adalah permulaan yang baik, namun, jangan memanjakan diri dengan banyak seri dan cobalah menjalankan perusahaan secara mandiri. Setelah anda bisa menguasai hal itu, kebanyakan orang akan bisa mengikuti.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Izak Jenie, CEO of JAS Kapital, Founder of MCAS Group, and contributor to many other tech-related activities, shares his story on making digital companies

Izak Jenie Learned Not to Bite Off More Than What He Can Chew

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Izak Jenie was having an ordinary life before he got introduced to the tech industry. He was amazed by the technology and what he can do with it. He started many companies at such a young age and experienced some failures during his business era.

In his 40s, he never stopped to create value and making innovation. Sticks and stones may break his bones but technology and internet always excite him. He is now the CEO of JAS Kapital, Founder of MCAS Group, and contributors to many other tech-related activities.

Below is the excerpt to sum up the dynamic chart of his career in the tech industry.

Izak Jenie serves as a director of Jakarta Founder Institute
Izak Jenie serves as a director of Jakarta Founder Institute

You’ve been having encounters with the tech industry at a very young age. What was your childhood like?

It was ordinary, spending most of my time playing around the neighbourhood. Back then, I was studying in one of the private schools in Jakarta with many regulations I’m not fond of. My health record was bad, I used to get convulsions and have asthma, thank God I’m still alive.

There is no academic issue back in the old days, but authority triggers me. I even made a petition when the school rescheduled PE to Bahasa Indonesia unnoticed, due to the absence of the teacher.

Who introduced you to technology?

My late father, Aldi Jenie. He was working at one of the state-owned enterprises, Pertamina, and also tech enthusiast. He often brought me to his office to see the latest technology and introduced me to the programming industry at the early days. When I was only 12 years old he introduced me to programming in the mainframe. I created my first programming language named APL (A Programming Language). I’m hooked! I learned so much from many computer books he brought while travelling/on duty, he even bought the first and very expensive IBM PC to support our interests in technology.

He taught me so much of technology and life itself. Having a position as a Group Head, we didn’t really dig a fancy life, he still made money out of freelance translation. The one thing he always says is to be grateful and don’t bite off more than you can chew.

Having a daily encounter with technology, are you having any issue with a social life?

Since I was a child, my father always told me to speak up. I do lots of public presentations, also learned so much about people interaction. I was a mentor in computer science since high school. I entered Trisakti university and took a major in Electrical Engineering because my friends doing so. Yes, I have friends.

My activity used to be doing music and computer all the time, I take it until my college life. I started computer clubs on campus also for the public and joined campus choir before I finally graduate after missing some classes because I’m too preoccupied with work. In fact, this is where I met my current wife, she motivated me to finish university.

Izak Jenie with the campus choir
Izak Jenie with the campus choir members

Have you ever worked in a company?

Yes, graduated in five years, I have difficulty in finding jobs. While my friends were working at high-profile companies, I was unemployed for 6 months. Most of the top-five companies reject my application, it was until an opportunity appears from BBS (Bulletin Board System) that one of the popular private company in Indonesia is looking for a high-skilled computer graphic graduate.

The interview went well and I got to talk so much on my favourite subject. After the not-so-long process, I got accepted with a salary above my expectation. It’s not even a week after my successful interview, I just declined an opportunity by another well-known firm. This is where I learned about commitment.

In 1994, you came up with VoIP. How did you come up with such an idea and make it into global recognition?

It was after I graduate college, my specialty is actually to solve a puzzle. Back then, when the internet was still a rare thing, there’s a specific modem that can convert voice into data. I initiated the idea to connect modems and create software to send signals. It might sound simple nowadays, but in the 90’s it was such a revolution. In current layman terms – it was P2P Community Phone Network in 1994.

I made a pact with two other internet enthusiasts, Jeff Pulver in New York and Brandon Lucas in Tokyo, we started to develop the idea and make it into the news in London Financial Times, Wall Street Journal and other big media. It really helps with my career until now.

After the discovery, what did you do? When were you started to build your own company?

First thing first, I resigned from the job I had. VoIP has taken most of my time at the company. Meanwhile, this world is too full of opportunity to just stay back by the desk. This has become my first and last job.

When we’re talking about building a company, actually, I started my own company of computer graphics at the 2nd semester in my college year, earned money by making flying logos to pay my own bills and tuition. It was long before I met some great colleagues and shared insights from many parts of the industry.

In my exploration time, I met someone in a similar industry which was fond of my idea and willing to invest some cash. Euphoria struck hard and I was spoiled by easy cash. My first trial is an online bookshop named Sanur.com and it didn’t work as planned. I’m having an argument with the investor and decided to step out. After a long process and a project worth Rp200 million, I can finally make peace with my last company. Jusuf Sjariffudin also took part in the success, with Ishak Surjana, we created a company named Jatis.

You started Jatis, build the whole company from scratch until making impact. Why you decided to leave?

We started Jatis as an Enterprise Consultant when foreign business arrived and dominate the market. My strategy was to sign contracts as much as possible by pitching with many potential clients. However, our attempt to create a perfect and solid project management model does not supported by good pricing model. Consultancy is a tough business when you are a local player since mostly you don’t command the pricing structure and it becomes an issue when we’re trying to scale-up.

Accelerating from small to middle-size might be easy, from that point further is the crucial part, whether to stay or to climb higher. I left Jatis because of my interest shifted in B2C technology market and I’m pretty tired back then as a consultant to do the same B2B over and over again every year. My business life was like spinning toy – I circling around in the same place for years and cannot innovate further. It’s not easy to leave a company where you’ve been working for 12 years.

Izak Jenie with Jatis team
Izak Jenie with Jatis team

During your business experience, how did you manage to rise from the failure?

I think it was the lowest point, there is no place for me in the industry, I was so close to being a public enemy. Finally, I had a meeting with my mentor, also my old friend – Simon Halim – he was ex-CEO of E&Y. He taught me to make plans and report the progress every week to him. He helps me carefully list all my problems, categorized it one-by-one and create a solution for each. Step by step, I get back on track and managed to get out of all my problems in three years. Fighting your problems and debt is like taking the swimming practice, you just start your long swim and take a breath every 10m or so. As long as the finish line does not move – you will get there eventually.

During this moment is also the starting point of Nexian era. I was in the long queue to buy the handset when I decided to approach the founder and declared my mission to create a better app for the product. It turned out well and Nexian becomes the hype that day. I created a company together with Nexian, focus on mobile content for handsets. We created dozens of handset concept with the help from notable celebrities like Slank, Anang, Ashanti, Syahrini and other innovative concepts. Nexian JV is my first highly-profitable company.

Currently, you are the CEO of JAS Kapital, Founder of MCAS Group, and contributor to many other activities in the industry. Tell me more about the journey.

My life becomes more interesting when I met my current partners — Jahja Suryandy, Martin Suharlie, and Michael Stevens. Together we started MCAS Group in 2017 with the vision to disrupt the digital ecosystem in Indonesia. We took the company public and now the business grows very fast. We are now conducting in-depth research on AI technology and Fintech, focusing on reshaping various industries for the next 20 years.

There is no single industry able to escape technology penetration, and in the next 20 years, we are to shift most of the work into machines. It doesn’t mean to be unemployed, but most people will move to much better jobs with more free time in their hand for the most important thing in life: family.

I might have made some bad decisions in the past, but hard-working, ideas, persistence will always help us progressing every day. I always look up the quotes “Lack of money doesn’t make you lose your value, but lack of idea is,” and I never stopped producing ideas up until now.

MCASH IPO in 2017
MCASH IPO in 2017

You’ve known as a speaker at tech-business events and also a mentor to many startup incubators. What do you think is very fundamental in building a business?

The hardest part of developing a company is to transform a personal-based business into an institution. In order to survive, one must build a system and fix the fundamental issue first. Also, focus on what you’re doing now, do not get too excited you started so many businesses you have no time to handle. Try not to bite off more than you can chew.

For those who want to start, let’s go back to the most fundamental part of the business – create a healthy profit. Basically, your cost should be less than your revenue, and the difference of it is simply called profit – please don’t try to come up with other definition as most startups do.

Izak Jenie as a speaker at SelasaStartup / DailySocial
Izak Jenie as a speaker at #SelasaStartup / DailySocial

Nowadays, startups are bleeding and it’s not really good for the industry. Toxic mindset is mushrooming where startup founders think that it is ok to lose money and chase the future nirvana. Well, not everyone will become Unicorn, only those who are persistence, have a good network and execute well are capable. The rest has to struggle for the company to stay afloat and it’ll be very difficult when you have no profit. I’ve seen too many cases where founders got exhausted and not only the business failed but their personal life as well.

Thus, as much as possible – make your startup profitable. VC money is a good way to jumpstart your business, however, don’t be spoiled with multiple series of VC money and try to run the company independently. Once you master it, most people can easily replicate.

Layanan Fintech Tiongkok WeCash Masuki Pasar Indonesia

Layanan fintech Tiongkok WeCash, yang fokus mengembangkan produk evaluasi data kredit konsumen, pendeteksian fraud, dan pemberian pinjaman konsumsi, memasuki pasar Indonesia dengan menggandeng JAS Kapital dan Kresna Investments. Ini adalah langkah ekspansi WeCash kedua di Asia Tenggara setelah sebelumnya hadir di Singapura.

Perusahaan joint venture antara tiga pihak ini bernama PT Digital Tunai Kita (DTK) yang akan menggandeng bank dan perusahaan multifinance untuk memberikan pinjaman dengan jangkauan yang lebih luas. Secara model bisnis, DTK mirip dengan UangTeman karena sumber pendanaan pinjaman bukan berasal dari masyarakat umum.

“Kami senang dengan peluang berkontribusi di ekosistem fintech Indonesia dan bermitra dengan Kresna Investments dan JAS Kapital. Keduanya termasuk yang unggul di bidang perbankan, finansial, dan fintech,” ujar Chief Strategy Officer WeCash James Chan.

JAS Kapital adalah pengelola layanan e-money Mandiri E-Cash, sementara petualangan terbaru Kresna Investments adalah membantu grup pengelola Ranch Market (Supra Boga) mendirikan layanan online grocery KeSupermarket.

Dengan dukungan teknologi WeCash dan pengetahuan lokal JAS Kapital dan Kresna Investments diharapkan dapat mempercepat program inklusi keuangan yang digalakkan pemerintah dan menjangkau mereka yang selama ini sulit mendapatkan pinjaman langsung dari lembaga keuangan formal, seperti bank.

DTK akan dipimpin Direktur dan CEO James Chan dan COO Andry Huzain. Managing Director Kresna Investments Jahja Suryandy menjadi Presiden Komisaris DTK, sedangkan Co-Founder dan CEO WeCash George Zhi masuk di jajaran Komisaris.

Menurut Jahja, di tahun 2015 tingkat konsumsi finansial Indonesia mencapai $18.8 miliar (lebih dari 250 triliun Rupiah) dan menjadi $19.2 miliar di empat bulan pertama tahun 2016.

WeCash yang berdiri tahun 2014 telah memperoleh pendanaan total $26,51 juta (355 miliar Rupiah) dalam dua putaran.

“DTK akan membantu  kita membawa berbagai jenis layanan finansial dari mitra perbankan dan multifinance ke tangan puluhan juta masyarakat Indonesia,” tutup Co-Founder JAS Kapital Izak Jenie.