Tag Archives: Jeffrey Yuwono

Startup brand aggregator Open Labs didirikan oleh Jeffrey Yuwono yang sebelumnya adalah Co-founder dan CEO Sorabel

Open Labs Bantu UMKM Tingkatkan Bisnis dengan Pendekatan “Brand Aggregator”

Bisnis UMKM seringkali terhalang modal saat ingin mengembangkan bisnisnya lebih jauh, apalagi saat terjun ke ranah online yang sarat dengan inovasi. Di Indonesia, menurut Kementerian Perdagangan, ada lebih dari 64 juta UMKM yang secara kolektif menyumbang sekitar 61% PDB Indonesia.

Dari jumlah UMKM tersebut, 14 juta telah bermigrasi ke platform e-commerce, dan sebanyak 330 juta UMKM diharapkan dapat melakukan transformasi digital di masa depan. Kesempatan yang menarik ini membuat Jeffrey Yuwono yang sebelumnya adalah Co-founder & CEO Sorabel, memutuskan untuk merintis startup brand aggregator Open Labs.

Berbeda dengan brand aggregator lainnya, Open Labs menyiapkan program ketersediaan dana sebesar Rp1,4 triliun ($100 juta) untuk diinvestasikan ke bidang usaha yang berpotensi besar menjadi merek konsumen terkemuka. Diklaim nominal ini terbesar di antara brand aggregator lainnya di Asia Tenggara.

Jeffrey enggan membeberkan lebih detail sumber dana tersebut, hanya mengatakan berasal dari salah satu perusahaan e-commerce unicorn. Tidak disebutkan juga ticket size investasi yang diberikan Open Labs per mitranya. “Kita terima banyak interest dari para investor dan kami sangat berterima kasih atas kepercayaan tersebut,” terangnya dalam konferensi pers virtual, Kamis (28/10).

Di balik kesempatan yang besar ini, sambung Jeffrey, ketika bisnis online dimulai, biasanya pengelolaan operasionalnya cukup sederhana. Namun, seiring dengan pertumbuhan mereka yang semakin besar dalam hal volume dan ruang lingkup, kompleksitas operasional bisnis pun semakin besar.

Selain kebutuhan terhadap modal kerja yang lebih tinggi, para pebisnis online juga menghadapi berbagai tantangan lainnya, seperti bagaimana mendapatkan sumber pasokan produk yang terukur, rentang produk yang tepat, rentang harga yang tepat, strategi merek, bagaimana melakukan pemasaran yang baik secara terprogram, bagaimana melakukan layanan pelanggan secara efisien, serta bagaimana mengelola rantai pasokan yang rumit dengan persyaratan pergudangan, logistik, dan distribusi yang sangat spesifik.

“Banyak pebisnis online –terutama yang merupakan pendiri tunggal– tidak memiliki sumber daya yang cukup dan kewalahan mengatasi tantangan ini.”

Di sini, Jeffrey melihat Open Labs dapat memainkan peran ganda sebagai brand aggregator. Pertama, dengan ketersediaan dana investasi, dapat memenuhi kebutuhan pembiayaan. Kedua, memiliki keahlian yang tepat untuk mengisi kesenjangan atau masalah-masalah operasional, sekaligus melengkapi keahlian yang dibutuhkan oleh portofolio mitra.

Biasanya pebisnis online yang membutuhkan dana memiliki beberapa pilihan, termasuk meminjam dari bank. Ada kalanya, model bisnis mereka tidak sesuai dengan kriteria yang dicari VC atau PC karena biasanya VC mencari perusahaan startup teknologi dengan model disrupsi untuk mengejar pertumbuhan eksponensial. Sedangkan PE menargetkan perusahaan yang sudah mapan dan matang. Modal pendanaan Open Labs mengatasi batasan-batasan tersebut untuk permodalan dengan menyasar bisnis online.

Kriteria UMKM yang ditetapkan

Open Labs menetapkan sejumlah persyaratan bagi perusahaan yang akan mendapatkan dana, di antaranya: omzet per tahun di atas Rp3 miliar, kinerja bisnis yang terus tumbuh, profit positif, dan menguasai pasar yang digeluti. Adapun model bisnisnya adalah bermitra untuk akuisisi 51%, yang mana Open Labs dan founder menjadi partner; atau mengakuisisi 100%, yang mana founder menjual usahanya untuk dapat fokus pada hal lain.

Sebagai gambaran untuk opsi 51%, untuk posisi dewan komisaris akan diisi oleh founder dan Open Labs, dewan direksi hanya diisi founder, dan tim operasional diisi oleh founder dan Open Labs (jika founder setuju).

“Investasinya bisa berupa primary, secondary atau keduanya. Kalau investasi primary, perusahaan akan menerima uang dan menerbitkan saham baru, sementara kalau secondary, founder akan menerima uang atas saham yang dijual.”

Adapun untuk tahapan proses menjadi mitra, diklaim lebih cepat. Dalam kurun waktu satu minggu, mitra akan mendapat jawaban ya atau tidak dari Open Labs. Sebelumnya, mitra harus menyerahkan data finansial, lalu tim Open Labs akan menghitung valuasi yang membutuhkan waktu satu minggu untuk menjawab ya atau tidak. Berikutnya, proses audit yang memakan waktu selama enam minggu, dan terakhir pada dua minggu kemudian tanda tangan perjanjian dan transfer pembayaran.

Tim operasional Open Labs diisi oleh 60 orang ahli di berbagai aspek operasional dan regulasi bisnis penjualan online, seperti branding dan pemasaran, layanan pelanggan, rantai pasokan, logistik, pengelolaan keuangan hingga kepatuhan terhadap peraturan di bidang pajak dan hukum. Tim ini akan bertambah hingga 150 orang ke depannya.

Rencana berikutnya

Jeffrey menuturkan, dengan ketersediaan dana sebesar $100 juta ini, bukan berarti perusahaan mengejar secara kuantitas untuk jumlah mitra yang ingin digaet. Perusahaan tetap mengutamakan kualitas terhadap dukungan yang diberikan, mengingat tiap usaha memiliki masalah krusial yang perlu dicarikan solusinya. “Kualitas lebih penting karena kami tak hanya fokus ke investasi, tapi juga menumbuhkan bisnis tersebut agar lebih besar.”

Tidak disebutkan ada berapa mitra yang sudah bergabung di Open Labs. Satu di antaranya adalah Emaku, usaha bumbu dapur lokal. Jeffrey mengaku pihaknya lebih ingin mendiversifikasi mitra, ketimbang fokus di satu vertikal saja. Sebab melihat dari sisi yang lebih luas, ia ingin ada value yang bisa diberikan perusahaan. “Kami juga incar usaha yang bergerak di produk kesehatan, home appliance, fesyen, F&B, hingga men skincare,” tutup dia.

Dalam kancah regional, model bisnis seperti Open Labs sudah ada beberapa. Beberapa di antaranya ada Hypefast dan Una Brands. Namun, keduanya mengadopsi model rollup, seperti yang dilakukan oleh Thrasio yang berbasis di Amerika Serikat.

Strategi rollup adalah pendekatan di mana beberapa bisnis di sektor yang sama diakuisisi dan digabungkan menjadi satu entitas. Ada beberapa variasi dalam model ini, misalnya beberapa pengakuisisi mengoperasikan perusahaan target secara relatif terpisah dan yang lain menggabungkan perusahaan yang diakuisisi untuk lebih mewujudkan sinergi biaya dan skala ekonomi.

Pendiri Sorabel dikabarkan miliki rencana cadangan dengan fokus ke perusahaan e-logistik Swift. Sebagian mantan pegawai Sorabel ikut "bedol desa"

Tidak Benar-Benar “Habis”, Perusahaan E-Logistik Swift Dikabarkan Jadi Fokus Baru Pengelola Sorabel

Meskipun Sorabel resmi dinyatakan tutup akhir Juli lalu, grup startup ini tidak benar-benar “habis”. DailySocial memantau tim eks-Sorabel kini mulai beralih ke startup e-logistics Swift Logistics (Swift) yang kabarnya didirikan oleh para pendiri Sorabel. Perusahaan ini sudah beroperasi kurang lebih sejak tahun lalu dan memiliki sejumlah mitra platform e-commerce.

Belum ada konfirmasi resmi dari co-founder Sorabel yang kami hubungi hingga artikel ini dipublikasikan.

Lokasi gudang Swift memanfaatkan gudang Sorabel yang berlokasi di Cawang, Jakarta. Didukung laporan mata Tempo, gudang tersebut sudah ditempati perusahaan sejak awal Juli.

Swift menawarkan jasa logistik, mulai dari fulfillment barang, integrasi pesanan platform marketplace, dan pengiriman hasil kemitraan dengan jasa logistik last-mile. Konsep bisnis ini beririsan dengan sejumlah startup sejenis, seperti Lodi, Waresix, atau Pakde.

Jasa Swift sendiri telah dimanfaatkan Tokopedia, Lemonilo, Lodi, Base, Easy Shopping, dan Biopedia. Sementara mitra last mile-nya hampir mencakup seluruh pemain di industri, seperti JNE, Lion Parcel, Ninja Xpress, Wahana Express, J&T, SAP, dan Tiki.

Bisnis logistik pendukung layanan online tahun ini mendapatkan pertumbuhan bisnis yang sehat seiring dengan pembatasan-pembatasan sosial yang diterapkan selama pandemi.

Aset Sorabel mulai ditawarkan

Menurut salinan surat yang dikirimkan manajemen ke karyawan, sempat disinggung perusahaan (akan) menjual seluruh asetnya untuk membayar utang-utang yang ada, termasuk membayar gaji karyawan.

DealStreetAsia mewartakan Berrybenka termasuk startup yang berada di tahap awal untuk membeli aset Sorabel dan melakukan acquihire terhadap talentanya.

Kami berusaha menghubungi (eks CEO Sorabel) Jeffrey Yuwono dan CEO Berrybenka Jason Lamuda terkait hal ini, namun belum memperoleh tanggapan.

Sorabel Closes Down Business Operation by the End of July 2020

Sorabel’s fashion e-commerce startup will permanently shut down effective as of July 30, 2020. This one adds up to the list of startups out of business due to the impact of the co-19 pandemic.

In a copy of the letter received by DailySocial, sent by Sorabel’s lead to employees, it is said that the company has done its best to save the business. However, with a heavy heart must take the liquidation route.

Liquidation is the a company dismissal by a liquidator, as well as the settlement by selling company assets, collecting receivables, paying off debts, and settling the remaining assets or debts to the involved parties .

“Through the liquidation process, the employment relationship should end as of now for everyone without exception, effective on July 30, 2020. I am sure that no one expects this to happen,” the letter said.

Management ensures that employee rights in connection with this liquidation, including holiday allowances, will be complied as part of the company’s debt. It is also certain, the company will be subject to the liquidation process and the liquidator’s decision in accordance with the provisions of law and legislation.

Therefore, employees are expected to return all company assets (for resale) and process them by the liquidator. The management also guarantees with a network of more than 10 investors and over 100 companies, they will be fully supported to get a replacement job.

“Maybe this is the end of our journey with Sorabel. I hope our friends can keep in mind the good memory we have shared together here. […] The company would like to thank as much as possible for fighting together up to this point,” he concluded.

Before its official shutdown, Sorabel’s business unit in the Philippines under the Yabel brand announced its closure on their social media accounts as of February.

Sorabel’s journey

The company was founded in 2014 with the brand Sale Stock, before rebranding into Sorabel. The journey is quite long with a variety of succeeding innovations in introducing themselves to consumers who have never shopped online, one is through the feature “Try It First and Pay.”

The company also took efficiency steps by reducing around 200 employees in 2016. Despite the decision, it was not long for them to raise Series B + funding led by Meranti ASEAN Growth Fund. Based on iPrice’s data, the company has around 375 employees per second quarter of 2020.

Sorabel’s Co-Founder, Lingga Madu once said that their company’s business model is the healthiest compared to other e-commerce players in Indonesia, even claimed to have reached break-even point (BEP) in 2018 and is ready to make a profit. He aligned Sorabel’s economics unit with overseas e-commerce fashion players such as Asos and Revolve.

Sorabel’s journey became more aggressive after rebranding in early last year. The company started expanding to realize its ambition to provide access to quality fashion and affordable prices for “next billion users.” Yabel was a proof of the company’s ambitions, they even planning to enter the Middle East and the United Arab Emirates area.

As per the last interview with DailySocial, the company was processing series C funding, which was followed by Kejora Ventures and Ncore Ventures. Some other previous investors also participated, such as OpenSpace, Shift, Gobi Partners, MNC Media Investment, SMDV, Golden Equator Capital, and Convergence Ventures.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Sorabel Sale Stock Tutup

Sorabel Tutup Operasional Akhir Juli 2020

Startup e-commerce fesyen Sorabel dipastikan akan hentikan operasional efektif per 30 Juli 2020. Kabar ini menambah jajaran startup yang gulung tikar akibat hantaman pandemi covid-19 yang belum kunjung mereda.

Dalam salinan surat yang DailySocial terima, yang dikirimkan pimpinan Sorabel kepada karyawan, dijelaskan bahwa perusahaan telah melakukan usaha terbaik untuk menyelamatkan perusahaan. Namun dengan berat hati harus menempuh jalur likuidasi.

Likuidasi adalah pembubaran perusahaan oleh likuidator, sekaligus pemberesan dengan cara penjualan harta perusahaan, penagihan piutang, pelunasan utang, dan penyelesaian sisa harta atau utang terhadap para pihak yang terlibat.

“Oleh karena proses likuidasi yang ditempuh, maka hubungan kerja harus berakhir di tahap ini untuk semua orang tanpa terkecuali, tepatnya efektif di tanggal 30 Juli 2020. Saya yakin tidak ada 1 pun orang yang berharap hal ini untuk terjadi,” tulis surat tersebut.

Manajemen memastikan hak-hak karyawan yang timbul sehubungan dengan likuidasi ini, termasuk tunjangan hari raya akan tetap diakui sebagai bagian dari hutang perusahaan. Dipastikan pula, perusahaan akan tunduk terhadap proses likuidasi dan keputusan likuidator yang sesuai dengan ketentuan hukum dan perundang-undangan.

Oleh karenanya, karyawan diharapkan untuk mengembalikan seluruh aset perusahaan (untuk dijual kembali) dan diproses oleh likuidator. Manajemen juga menjamin dengan jaringan lebih dari 10 investor yang memiliki lebih dari 100 perusahaan, akan dibantu untuk mendapatkan pekerjaan pengganti.

“Mungkin ini adalah akhir dari perjalanan kita bersama dengan Sorabel. Saya harap teman-teman bisa tetap mengingat memori baik yang sudah kita lewati bersama di sini. [..] Perusahaan mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya sudah berjuang bersama-sama hingga titik ini,” tutupnya.

Sebelum resmi tutup, unit bisnis Sorabel yang ada di Filipina dengan brand Yabel sudah mengumumkan penutupannya di akun media sosial mereka per Februari kemarin.

Perjalanan Sorabel

Perusahaan mengawali diri tepatnya pada 2014 dengan brand Sale Stock, sebelum rebrand menjadi Sorabel. Perjalanannya cukup panjang dengan beragam inovasi yang diklaim berhasil memperkenalkan diri kepada konsumen yang belum pernah berbelanja online, misalnya melalui fitur “Coba Dulu Baru Bayar.”

Sempat juga perusahaan mengambil langkah efisiensi dengan mengurangi jumlah karyawan sekitar 200 orang pada 2016. Meski keputusan tersebut, tak lama dibarengi dengan penggalangan pendanaan Seri B+ yang dipimpin Meranti ASEAN Growth Fund. Menurut versi iPrice per kuartal II 2020 mengungkapkan jumlah karyawan perusahaan sebanyak 375 orang.

Co-Founder Sorabel Lingga Madu sempat mengatakan model bisnis perusahaan tergolong tersehat dibandingkan pemain e-commerce di Indonesia, bahkan pada 2018 diklaim hampir mencapai titik impas (break even point/BEP) dan siap mencetak laba. Ia menyejajarkan unit economics Sorabel dengan pemain e-commerce fesyen di luar negeri seperti Asos dan Revolve.

Perjalanan Sorabel kian agresif pasca rebranding pada awal tahun lalu. Perusahaan mulai melancarkan ekspansi untuk mewujudkan ambisinya untuk memberi akses fesyen berkualitas dan harga terjangkau untuk “next billion user.” Yabel adalah salah satu ambisi perusahaan pada saat itu, bahkan sempat sesumbar juga untuk masuk ke Timur Tengah dan Uni Emirat Arab.

Dalam wawancara terakhir bersama DailySocial, disebutkan perusahaan tengah memproses pendanaan seri C yang di dalamnya diikuti oleh Kejora Ventures dan Ncore Ventures. Beberapa nama investor lainnya yang berpartisipasi dalam putaran sebelumnya, ada OpenSpace, Shift, Gobi Partners, MNC Media Investment, SMDV, Golden Equator Capital, dan Convergence Ventures.

Application Information Will Show Up Here
Kiat Ekspansi Regional Startup

Kunci Kesuksesan Ekspansi Regional adalah Penguatan Fondasi Bisnis Dalam Negeri

Ekspansi regional adalah suatu ambisi yang selalu ingin dicapai para founder startup. Namun, negara ini begitu luas dan menjadi incaran para pemain luar yang ingin masuk. Maka, kunci utama yang harus dilakukan sebelum mewujudkannya yakni memperkuat fondasi bisnis dalam negeri sebagai pemain dominan.

Topik ini dibahas dalam salah satu sesi Indonesia PE-VC Summit 2020 di Jakarta pekan lalu (15/1). Menghadirkan para panelis Hendrik Susanto (Traveloka), Winston Utomo (IDN Media), Ashish Saboo (General Atlantic), Jeffrey Yuwono (Sorabel) dan dimoderatori oleh Melisa Irene (East Ventures).

“Kita harus mendapatkan keuntungan di Indonesia sebelum mencari tempat lain atau mencari mesin (pertumbuhan bisnis) lalu mengakselerasinya? Menurut saya, pertumbuhan dari dalam negeri (lebih kami utamakan),” kata Co-Founder & CEO Sorabel Jeffrey Yuwono.

Menurutnya, Sorabel sudah mendekati posisi profitabilitas dan sedang dalam proses eksperimen ke sejumlah negara sebelum merealisasikan ambisinya tersebut pada tahun depan. Diklaim pertumbuhan bisnis Sorabel sepanjang tahun 2019 tumbuh hingga 3,5 kali lipat dibanding tahun sebelumnya.

“Indonesia adalah pasar besar dengan banyak peluang, pertanyaannya hanyalah apakah kamu bersedia menempatkan ekspansi regional di sisi teratas (dibandingkan Indonesia)?,” tambah dia.

Chief Investment Officer of Traveloka Hendrik Susanto menambahkan, perluasan bisnis ke pasar yang berbeda di Asia Tenggara menjadi target yang menarik buat startup Indonesia. Akan tetapi, yang perlu ditekankan adalah membangun posisi yang kuat di dalam negeri.

Menjadi pemain yang dominan di Indonesia memudahkan Traveloka terutama saat membangun kebiasaan traveling para penggunanya. Seluruh insight tersebut menjadi kekuatan perusahaan untuk berkembang di regional.

“Menurut kami ini, (ekspansi) adalah sifat dari bisnis kami. Traveloka ekspansi pertama kali ke Malaysia, lalu Thailand, Vietnam, kami hanya ekspansi ketika kami menemukan formula bagaimana bisa (sukses),” ucap Hendrik.

Traveloka bisa menjadi salah satu contoh paling relevan buat startup lokal. Mereka tergolong startup lokal paling awal yang ekspansi ke Asia Tenggara pada 2015, sementara di saat yang bersamaan startup luar berbondong-bondong masuk ke Indonesia.

Akan tetapi, bukan menjadi jaminan meski sukses di Indonesia dapat menuai hal yang sama di negara lain. Managing Director General Atlantic Ashish Saboo menyebutkan kunci utama yang harus dipegang adalah menyesuaikan produk sesuai kebutuhan masyarakat di negara tersebut.

“Produk kamu dan layanan kamu perlu disesuaikan dengan berbagai kebutuhan pasar yang berbeda. Anda harus mulai dari awal (untuk itu),” terang Saboo.

General Atlantic adalah investor terbaru untuk Ruangguru. Mereka adalah perusahaan investasi yang tergolong memiliki minat tinggi terhadap startup edtech, portofolio-nya datang dari berbagai negara.

Sementara itu, IDN Media melakukan pendekatan yang berbeda. Mereka memilih untuk hyperlocal daripada memilih ekspansi regional. Founder & CEO IDN Winston Utomo menjelaskan pada tahun lalu perusahaan mengembangkan kantor hyperlokal di 10 lokasi untuk membuat konten yang hyperlocal sesuai kebutuhan pembaca di daerah masing-masing.

Strategi ini dilatarbelakangi oleh pangkal masalah, ternyata konten informasi yang disediakan oleh media mainstream terpusat mengenai Jakarta saja. Padahal, informasi tersebut tidak dibutuhkan oleh pembaca di Medan, misalnya.

“Bagaimana kita bisa menyediakan konten yang serelevan mungkin untuk tiap pembaca kita, caranya dengan hyperlocal dan UGC adalah kekuatan kami. Ini bukan soal personalisasi konten, tapi menyediakan suplai konten yang berkualitas tinggi dan relevan sesuai kebutuhan pembaca,” kata Winston.

Eksperimen Sorabel

Tampilan situs Yabel
Tampilan situs Yabel

Di saat yang sama, Jeffrey juga menjelaskan saat ini perusahaan sedang dalam proses eksperimen di Filipina (dengan merek Yabel), Malaysia dan Vietnam untuk melihat respons pasar sebelum mereka benar-benar terjun langsung. Dalam pipeline, Sorabel juga incar eksperimen di Taiwan, Australia dan Timur Tengah.

“Kami ingin mencari tahu negara mana yang akan kita pilih dan fokuskan, cara apa yang benar, bagaimana kami bisa belajar cukup ketika scale up bisnis, kami cukup yakin itu bisa bekerja.”

Oleh karena itu, pendekatan yang dipakai adalah melakukan rangkaian eksperimen dengan modal minim. Berbeda jauh dengan yang biasa dipakai perusahaan kebanyakan, menaruh banyak investasi di tahap awal.

“Pada dasarnya kami membangun kecerdasan tanpa menghabiskan uang karena saya pikir pembelajaran ini jauh lebih berharga pada tahap (pendanaan) ini daripada menghabiskan semua. [..] Kapital itu berharga untuk masa-masa seperti ini,” pungkasnya.

Ekspansi dan Pendanaan Sorabel

Sorabel Mulai Eksperimen Ekspansi ke Sejumlah Negara di Asia Tenggara

Perusahaan e-commerce fesyen Sorabel mengungkapkan sedang eksperimen ke sejumlah negara di Asia Tenggara dalam rangka ekspansi bisnis. Strategi ini merupakan bagian dari ambisi perusahaan memberi akses untuk “next billion user” dengan rangkaian fesyen berkualitas dan harga terjangkau.

Sebelumnya, terungkap Sorabel sudah hadir di Filipina dengan brand Yabel dan sudah bisa untuk bertransaksi.

Dalam wawancara bersama DailySocial, CEO Sorabel Jeffrey Yuwono dan Co-Founder Sorabel Lingga Madu sudah menyampaikan rencana masuk ke Timur Tengah dan Uni Emirat Arab, mungkin pada tahun depan karena ada potensi modest fashion yang besar di sana.

Terkait negara mana saja di Asia Tenggara yang sudah masuk eksperimen, di luar Filipina, sayangnya Jeffrey dan Lingga masih menutup rapat-rapat. Jeffrey hanya menyebut negara-negara yang secara profil punya kemiripan dengan Indonesia, bisa dipastikan Sorabel sudah eksperimen ke sana.

“Ini masih sekadar eksperimen, jadi belum ada proper launch. Kita enggak hanya hadir di Filipina, tapi di ASEAN countries juga,” terangnya.

Perusahaan memproses seluruh pengiriman dari Indonesia, alias mengekspor produknya yang diproduksi UKM binaannya. Baru ada satu orang admin lokal yang sengaja ditempatkan untuk melayani customer service Yabel.

Menurut Jeffrey, dalam tahap eksperimen ini seluruh pelayanan masih sangat terbatas karena masih mencari kecocokan dengan target pasar (product market fit), harus ada tes dan validasi terus menerus. Sehingga layanannya belum semulus dengan apa yang Sorabel tawarkan di Indonesia.

Pihaknya masih fokus mencari tahu lebih dalam bagaimana tanggapan konsumen terhadap produk dan harganya. Lalu tren apa yang mereka sukai. Seluruh insight berguna sebagai bahan pertimbangan sebelum memutuskan apakah negara tersebut tepat untuk diluncurkan secara resmi atau belum.

“Kita memecahkan masalah step-by-step, makanya kita enggak mau announce [ekspansi di Filipina] karena sebenarnya belum siap. Inginnya pas kita launch akan pilih negara mana yang paling proper [untuk diluncurkan] setelah banyak eksperimen. Soal kapan waktunya, masih open karena di pipeline ada banyak plan.”

Lingga mencontohkan, cara ini sebenarnya juga dilakukan perusahaan dalam setiap inovasi produknya. Salah satunya adalah inovasi “Coba Dulu Baru Bayar.” Pertama kali diujicobakan secara terbatas untuk 50 konsumen sekitar gudang Sorabel di 2017. Setelah mendapat respons yang bagus, dilanjutkan ke radius 20 km.

Respons konsumen positif dari hasil uji coba ini, kemudian memantapkannya untuk diperluas ke seluruh Jakarta Timur. Kemudian, diperluas ke Jabodetabek dan pada Maret 2018 baru diputuskan untuk diresmikan.

“Tapi itu belum selesai, setelah itirate, test, itirate, test, akhirnya kita bisa bawa inovasi ini ke seluruh Indonesia. Kan awal programnya hanya bisa retur satu kali saja, tapi sekarang sudah berkali-kali karena ini produknya kita itirate dan test berkali-kali. Hal yang sama akan kita lakukan untuk semua aspek ekspansi kita,” terang Lingga.

Penamaan brand Yabel untuk ekspansi Sorabel ini, menurut Jeffrey juga punya alasan khusus. Salah satunya, dikarenakan masih terbatasnya layanan dan produk dari Yabel, dikhawatirkan apabila ada layanan yang kurang memuaskan konsumen dari Yabel, efek samping dari brand Sorabel tidak akan begitu terasa dalam.

Akan tetapi, pihaknya memikirkan apabila sudah memutuskan untuk meresmikan lokasi negara yang dipilih, akan memilih untuk menggunakan brand Sorabel saja sebagai aplikasi utama.

Dari segi kesiapan produk yang siap diekspor, perusahaan sudah berkomitmen penuh untuk menggaet para penjahit lokal. Mereka dilatih dan diberi pengetahuan dalam menghasilkan standar pakaian yang baik dan punya kualitas ekspor. Tidak disebutkan berapa banyak penjahit yang sudah bergabung.

“Kita merasa harus cepat tanggap, enggak hanya untuk lihat fesyen dari Indonesia apa saja yang laku di sana. Tapi lebih ke model fesyen seperti apa yang sedang tren di sana. Kita sudah investasi banyak ke teknologi dan data untuk mengumpulkan pola dan tren agar bisa memberikan rekomendasi yang cocok untuk negara di luar Indonesia,” tambah Lingga.

Klaim jadi bisnis e-commerce tersehat

Tampilan situs Yabel
Tampilan situs Yabel

Sorabel menggunakan private label untuk penjualan produk fesyennya. Secara total ada lima label yang diproduksi secara sendiri oleh perusahaan, masing-masing merepresentasikan kebutuhan konsumen orang Indonesia dalam berbusana. Tidak hanya merilis produk pakaian, Sorabel juga merilis produk kecantikan bernama BeautyCrime.

Lingga menjelaskan, karena model bisnis seperti ini, perusahaan memiliki neraca keuangan yang sehat. Bahkan diklaim paling sehat di antara pemain e-commerce di Indonesia. Sorabel menyejajarkan unit economics-nya dengan pemain e-commerce fesyen di luar negeri seperti Asos dan Revolve. Keduanya tercatat sebagai platform e-commerce yang sudah tercatat di bursa saham.

Unit economics itu pendapatan langsung dan biaya yang terkait dengan model bisnis tertentu yang dinyatakan berdasarkan basis per unit. Ada spesifikasi khusus untuk tiap segmen bisnis, artinya yang dipakai untuk startup SaaS pasti beda dengan model e-commerce.

E-commerce seperti Asos dan Revolve itu sudah profitable dan punya positif cashflow. Unit economics kita mirip seperti mereka, meski GMV tidak besar tapi penjualan besar. Kita bukan marketplace, tapi lebih seperti Asos dan Revolve. Makanya kita bisa jamin gross profit dan contribution profit kita yang paling sehat [di antara pemain e-commerce lain di Indonesia].”

Lingga melanjutkan, untuk bersaing dengan platform e-commerce di luar sana, dengan barang yang sama, suatu platform harus memiliki value yang bisa diberikan kepada konsumennya. Misi yang ingin dicapai Sorabel adalah menjual produk dengan harga yang terjangkau buat semua orang. Solusinya adalah dengan buat sendiri.

“Makanya dengan model private label seperti ini, ada efek samping kita punya margin yang sehat. Tapi kita bukan buat cari profit fokus utamanya, tapi lebih untuk sista-sista kita (panggilan konsumen Sorabel), apa yang mereka butuhkan,” tambahnya.

Komitmen untuk terus menambah private label juga akan terus dilakukan. Dalam beberapa bulan ke depan, perusahaan akan menambah enam sampai tujuh private label baru. Di antaranya untuk pakaian olahraga, acara malam, basics seperti Uniqlo.

Masih dalam putaran pendanaan Seri C

Jeffrey juga mengonfirmasi bahwa informasi pendanaan Seri C yang sedang digalang perusahaan masih berlangsung. Investor baru yang berpartisipasi dan masuk pemberitaan, seperti Kejora Ventures dan Ncore Ventures, termasuk ke dalam putaran terbaru ini.

Ncore itu adalah investor kita, tidak bisa komen lebih dari itu. Tapi kita belum tutup fundraising, jika komitmen yang sudah kita dapat cukup besar akan kita tutup dan annouce.”

Pihaknya bersyukur dengan dukungan yang diberikan para investor dari berbagai keahlian telah membantu Sorabel tumbuh dan terus berinovasi. Beberapa nama VC lainnya yang sebelumnya berpartisipasi di antaranya OpenSpace, Shift, Gobi Partners, MNC Media Investment, SMDV, Golden Equator Capital, dan Convergence Ventures.

Ketika penggalangan tutup, perusahaan akan melancarkan ekspansi bisnisnya ke berbagai negara dan membuka toko offline pertama di Jakarta. Jeffrey mengungkapkan saat ini perusahaan masih mendesain konsep dan menentukan lokasi mal.

Dia memastikan, pada toko pertamanya ini pihaknya akan buka di lokasi mal premium, dengan desain toko yang premium pula, tapi dengan harga yang terjangkau. Mirip seperti yang dilakukan oleh brand kenamaan asal Jepang, Miniso. Mereka punya branding premium tapi harganya terjangkau.

“Tiap bulan kami jual 10 ribu desain dan tiap minggu ada ratusan desain baru. Rencananya pas kita buka toko, tiap minggu barang-barangnya akan selalu di-refresh tiap minggu. Konsep lama yang dipakai kebanyakan toko sudah monoton.”

Bila tidak ada aral melintang, rencananya toko ini akan dirilis pada akhir tahun ini.

Jeffrey menjadi CEO Sorabel sejak akhir 2018

Lingga menerangkan, sejak awal dia merintis Sorabel, tidak pernah menuliskan titel CEO melainkan hanya Co-Founder. Dia punya filosofi, untuk capai misi perusahaan, dia perlu menyiapkan tim yang hebat.

Sebagai co-founder, dia merasa itu adalah tanggung jawabnya. Salah satunya adalah mencari sosok pemimpin yang tepat untuk mendekatkan perusahaan ke misi yang ingin ia capai sejak awal.

“Saya enggak pernah mencantumkan titel CEO baik di kartu nama ataupun LinkedIn. Jadi Sorabel itu belum punya CEO sejak awal sebab suatu saat saya yakin ada CEO yang tepat untuk pimpin Sorabel. Saya merasa Jeff lebih pintar dari saya dan melihat bagaimana dia bisa bawa Sorabel ke misi perusahaan.”

Pertemuannya dengan Jeffrey, dimulai pada akhir 2015. Jeffrey memutuskan untuk bergabung pada tahun berikutnya dengan title sebagai President of Sorabel. Pada akhir tahun lalu, akhirnya diputuskan menjabat sebagai CEO.

“Sekarang saya masih di Sorabel, sebagai Chairman yang turut terlibat dalam keputusan penting. Masih banyak pekerjaan rumah yang masih perlu saya lakukan,” kata Lingga.

Jeff mengatakan, dirinya merasa terhormat dipercaya menjadi CEO. Ketertarikannya bergabung karena ada kesamaan budaya perusahaan yang ingin dia bangun. Sorabel sangat menganut data driven dan membuka kesempatan untuk karyawan menyalurkan ide.

“Di sini juga fleksibel, punya kepercayaan yang tinggi untuk pekerja yang mau kerja remote, dipersilahkan tidak perlu izin. Untuk menyalurkan ide mereka bisa langsung mengerjakannya, tidak perlu izin berlapis-lapis seperti korporat lainnya,” pungkasnya.

Saat ini total karyawan inti di Sorabel sekitar 270 orang, dengan kantor tersebar di Jakarta dan Yogyakarta.

Application Information Will Show Up Here