Sleekr, HR and Accounting SaaS services announces an acquisition of similar service, Talenta. All of Talenta’s employees will be joined Sleekr, while Joshua Kevin, as its Founder and CEO, will lead Sleekr’s Marketing and New Business team. The detail is undisclosed, with Talenta is now fully under PT. Mid Solusi Nusantara.
Kevin said to DailySocial, even though Talenta and Sleekr are competitors, they have the same vision and more similarities than differences. Therefore, Kevin and Sleekr‘s CEO Suwandi Soh have decided to pursue the dream together.
Talenta and Sleekr’s HR product is focused on companies with 20-5000 employees. Their combined customers in total are 100 thousand active users. This strategic step won’t make any difference in term of services.
Kevin said, “I, personally, believe that SaaS [Segment] is a long game [takes time], not just a second, and [to depend on] VC’s might not be the best route [to chase the vision] when the B2C is still on top. I believe Sleekr and its investors have 10-20 year vision and Talenta can be part of it.
In Kevin’s opinion, Talenta needs an experienced CEO or C-level. “Soh and his team have years of experience, which I am lack of.”
Kevin and Soh have made clear that all Talenta’s employees will be Sleekr’s. Suwandi Soh said, “HR software, of Indonesia’s payroll in particular, is very hard to get through, in terms of product or implementation. We are glad to welcome the 90 members of Talenta as part of our team. Their experience, skills, and the know-how will make a big boost [in business development].”
Sleekr has 80 team members for Product and Engineering distributed around Jakarta, Bandung, and Bangalore. According to Odin, Indonesia’s cloud market for SME this year will reach Rp33 trillion (or $2,7 billion).
Kevin ensures the merger will accelerate the development focus of HR platform and workplace in the future. Soh added, “The innovation we’ve explored includes predictive analytics for HR, compliance assurance, HR bot, and AI, also to increase HR admin’s mobility.”
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Layanan SaaS HR dan Akuntansi Sleekr mengumumkan telah mengakuisisi layanan SaaS HR Talenta. Seluruh pegawai Talenta akan bergabung menjadi pegawai Sleekr, sementara Founder dan CEO Joshua Kevin akan memimpin divisi Marketing dan New Business Sleekr. Meskipun detail akuisisinya belum bisa disebutkan, secara entitas Talenta kini berada di bawah PT Mid Solusi Nusantara.
Kepada DailySocial Joshua mengatakan, meskipun Talenta dan Sleekr berkompetisi di irisan yang sama, mereka memiliki visi yang sama dan sadar bahwa mereka memiliki lebih banyak kesamaan ketimbang perbedaan. Untuk itu Joshua dan CEO Sleekr Suwandi Soh memutuskan untuk mengejar mimpi secara bersama.
Fokus produk HR Talenta dan Sleekr adalah perusahaan dengan karyawan antara 20-5000 orang. Kombinasi konsumen Sleekr dan Talenta secara total kini mencapai 100 ribu pengguna aktif. Langkah strategis ini disebut tidak akan memberi perbedaan bagi layanan yang diberikan untuk konsumennya.
Joshua mengatakan, “Saya pribadi percaya [segmen] SaaS adalah long game [membutuhkan waktu lama], bukan sebentar, dan [bergantung pada] VC mungkin saja bukan rute terbaik [untuk mencapai visi] di regional ketika pasar B2C masih menjadi yang utama. Saya percaya Sleekr dan investor pendukungnya memiliki visi 10-20 tahun ke depan dan Talenta bisa menjadi bagian di dalamnya.”
Menurut Joshua, Talenta membutuhkan seorang CEO, atau C-level yang berpengalaman. “Suwandi dan timnya memiliki pengalaman puluhan tahun, sesuai yang saya belum miliki.”
Suwandi dan Joshua memastikan seluruh anggota tim Talenta diserap Sleekr. Suwandi mengatakan, “Software HR, khususnya payroll di Indonesia, sangat sulit untuk ditembus, baik dari sisi produk maupun implementasi. Kami sangat bersemangat menyambut 90 anggota tim Talenta sebagai bagian tim kami. Pengalaman, skill, dan know-how yang dimiliki bakal memberikan dorongan yang besar [untuk perkembangan bisnis].”
Disebutkan mereka kini memiliki 80 anggota tim Product dan Engineering yang tersebar di Jakarta, Bandung, dan Bangalore. Menurut riset Odin, pasar layanan cloud untuk UKM di Indonesia tahun ini bakal mencapai Rp33 triliun (atau $2,7 miliar).
Ke depannya Joshua memastikan penggabungan perusahaan ini bakal mengakselerasi fokus pengembangan platform HR dan workplace. Suwandi menambahkan, “Inovasi yang kami eksplorasi termasuk analitik prediktif untuk HR, compliance assurance, HR bot dan AI, dan meningkatkan mobilitas admin HR.”
As it became official today — Kudo has just been acquired by Grab. This just confirmed my theory that I fought for in a WhatsApp conversation with a startup friend: This SE Asia region war isn’t in the ridesharing space, but actually in the payment space — and Uber might be losing out.
Let’s look back and track how the two companies are doing it:
Go-Jek — yes they started with a ridesharing, and then expanded even more successfully in the food delivery space: GoFood. After that it keeps adding more use-cases (Go Massage, Go Glam, and more) and became an on-demand platform (for platform play, see WeChat in China).
At first, I was thinking that Go-Jek was aiming to become WeChat indeed — adding all things into one app and become the go to platform in our daily life. I heard they are even on the verge of closing a $1B round from Tencent (HA!).
But after launching their payment platform, GoPay, and basically just subsidize the whole lot of use-cases for the sake of people pumping money inside its wallet. Now, I’m confirmed that in fact this is a payment war.
It is the war to actually banking the unbanked.
If you think about it Go-Jek (and possibly Grab) are creating its own ecosystem with its drivers — they are essentially the drivers’ bank by holding their income and in fact even enabling them to buy things through its payment system. Imagine this: whatever things that Go-Jek sell to its drivers — most likely they might buy it e.g. micro insurance or even a loan.
With Go-Jek present in technically all big cities in Indonesia and potentially all cities soon, it has the (huge) potential to become THE bank for people who are usually out of reach from the traditional banks.
Now on top of that growing ecosystem is also all the middle class who are becoming more and more used to using Go-Jek, that having millions on its GoPay system are a norm rather than the exception today.
Back to the big news of the day (congratulations for Albert and Agung — you two never cease to amaze me, and can’t thank you guys enough to be our early paying customers), at the other side of the arena, Grab is a bit too late in expanding its use-cases, such as its GrabFood (May 2016) and even its payment system.
While its ride-sharing market share isn’t that far from Go-Jek, it has to add more users and more use-cases to its platform to make the payment (or digital bank) works. Kudo, who’s basically went from 0 to $100m (the unconfirmed value of the acquisition) in just 2 years, has tens of thousands agents on the field who are giving access to:
a) e-commerce for those who aren’t familiar with it and doesn’t even trust it and,
b) banking the unbanked, again, by its payment platform
By buying Kudo, Grab gained access to its ever expanding ground workers who are acquiring more and more users. While this might not beat GoPay, yet, it is a step in the right direction and in my opinion — they might be buying Kudo while it still can (in terms of valuation) 🙂
I’m going to close this post with two predictions:
1) Similar players to Kudo such as Ruma (one of the most awesome — yet under the radar startup by the way!) and or players like Kioson might be on the radar of Go-Jek to expand its payment user base
2) In the (near) future, Go-Jek might not be acquired by a “similar” player such as Uber and or Didi but in fact payment players such as Ant Financial.
What do you think? 🙂
– Disclosure: This post is originally written by Joshua Kevin and has been republished with permission. He’s Founder of Talenta.co. Read the original post in here.
Data terakhir APJII menyebut penetrasi pengguna internet di Indonesia pada 2016 mencapai 132,7 juta dari total populasi 256,2 juta orang. Sementara perangkat yang dipakai untuk mengakses internet dari smartphone sebanyak 63,1 juta.
Kegiatan belanja sampai cara mendapatkan layanan transportasi kini bisa dilakukan secara online. Salah satu startup on-demand terpopuler Go-Jek bahkan secara publik telah mencapai tahap unicorn atau bervaluasi lebih dari $1 miliar (lebih dari 13 triliun Rupiah).
Dalam laporan Startup Teknologi Indonesia 2016, DailySocial melakukan survei ke sejumlah investor tentang sektor apa yang menjadi primadona dan fokus mereka tahun ini. Berdasarkan kompilasi tersebut, 4 sektor yang diperkirakan menjadi bakal menjadi pusat perhatian adalah fintech (teknologi finansial), e-commerce, Software-as-a-Service (SaaS), dan on-demand atau service marketplace.
Fintech
Fintech merupakan pengembangan industri jasa keuangan yang sangat bergantung dengan internet dan inovasi digital. Fintech hadir karena ada segmen layanan keuangan konvensional yang belum bisa menjangkau berbagai kalangan masyarakat.
Group CEO C88 John Patrick Ellis, yang memiliki layanan e-commerce finansial CekAja di Indonesia, mengatakan tahun lalu Indonesia mengalami kebangkitan besar di bidang fintech. Banyak usaha yang bergerak di fintech mengalami perkembangan yang signifikan, bahkan dominan dan menjadi pemain besar yang banyak membantu perkembangan industri jasa keuangan.
Menurut Ellis, optimisme yang membuat CekAja yakin dengan perkembangan fintech terletak di penetrasi pasar keuangan yang terbilang rendah. Masih banyak yang belum menjamah seluruh wilayah Indonesia. Kondisi ini disebut Ellis sebagai “double growth factor“, yakni layanan keuangan terus bertumbuh yang diiringi dengan pertumbuhan teknologi.
“Kedua hal ini saling mendukung. Karena itulah, sektor fintech [di Indonesia] diprediksi akan memiliki tiga sampai lima perusahaan unicorn di [tahun] 2020.”
Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya juga angkat suara mengenai potensi fintech, terutama peer-to-peer lending (P2P lending). Reynold mengatakan kehadiran Peraturan OJK nomor 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi pada penghujung tahun lalu menjadi trigger yang kuat untuk pengembangan bisnis P2P lending ke depannya.
Kehadiran regulasi, sambungnya, membuat masyarakat Indonesia jadi semakin percaya dengan bisnis P2P lending sudah diakui dan diawasi oleh OJK. Modalku mengklaim pada tahun lalu telah menyalurkan sekitar Rp 60 miliar dengan kredit macet masih 0%.
“Kami tidak terlalu peduli dengan volume bisnis tapi bagaimana bisa scaling bisnis dengan benar. Sekarang kami mau mengarah ke smartphone agar proses jadi lebih cepat, konsentrasinya adalah convert orang-orang dari konvensional untuk beralih ke smartphone.”
Pernyataan Reynold didukung Direktur Utama Mandiri Capital Indonesia (MCI) Eddi Danusaputro. Eddi mengatakan kehadiran berbagai regulasi yang mengatur tentang fintech pada dasarnya bertujuan untuk melindungi nasabah. Hal ini juga membuat fintech jadi lebih makin matang dan memancing kehadiran para pemain baru. Eddi menilai dari segi nilai, investasi ke sektor fintech diperkirakan akan tumbuh setidaknya 50% dan mungkin bisa tumbuh 100% atau lebih.
Mengingat fintech sangat bergantung pada perkembangan teknologi digital, baik CekAja maupun Modalku menekankan pada pentingnya implementasi penerapan tanda tangan digital. Reynold menjelaskan tanda tangan digital merupakan bagian utama proses know your customer (KYC) bagi pemain fintech untuk menjangkau nasabah ke seluruh pelosok Indonesia.
Meski pemerintah sudah mengeluarkan tanda tangan digital, namun OJK sebagai pihak otoritas sertifikat (CA) belum menunjuk suatu lembaga untuk menjalankan mandatnya menjalankan kegiatan tersebut. Hal ini, menurut Reynold, perlu didorong.
“Infrastruktur di fintech harus kuat, bagaimana fintech bisa menyentuh segala pelosok Indonesia. Satu-satunya cara adalah dilakukan secara digital, maka dari itu tanda tangan digital harus diperjelaskan. Ini kan bagian dari proses KYC,” kata Reynold.
Ellis menambahkan, “Penerapan tanda tangan digital yang akan dilaksanakan oleh pemerintah di 2017 ini dapat memajukan fintech dengan dasar inklusi keuangan yang ditujukan untuk membantu masyarakat dan bisnis di Indonesia jadi lebih baik. Kami berharap regulasi mengiringi lainnya juga dapat mendukung dan memudahkan layanan perusahaan fintech.”
Di sisi lain, menurut Ellis, kehadiran asosiasi fintech dapat menjadi lahan untuk belajar dengan para pemain fintech lokal lainnya. Asosiasi menjadi jembatan para pemain untuk berkomunikasi dengan OJK dan BI. Ia menyatakan anggota asosiasi fintech selalu terbuka untuk berdialog tentang segala regulasi yang sudah ada dan akan bergulir.
“Tantangan di setiap sektor dan yang terjadi di fintech sebenarnya tidak jauh berbeda. Inilah dasar utama kenapa kami mendirikan Asosiasi Fintech Indonesia. Jadi nantinya ada lembaga dalam industri fintech yang dapat mewakili serta dapat menggambarkan tantangan yang harus dihadapi. Dengan solusi yang dibuat secara bersama akan lebih baik dibandingkan harus dihadapi secara sendiri-sendiri.”
E-commerce
Berdasarkan data berbagai sumber, pada tahun 2017 industri e-commerce di Indonesia diprediksi akan bernilai $9,3 miliar. Besarnya potensi tersebut saat ini sesuai dengan perkembangan layanan e-commerce di tanah air, baik yang umum maupun niche.
CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan, “Dari tahun ke tahun, layanan e-commerce dan transaksi online akan semakin menjadi bagian hidup dalam keseharian masyarakat Indonesia. Masyarakat akan semakin cerdas, tidak lagi sekadar berburu diskon atau harga murah, namun menggunakan platform e-commerce untuk kemudahan hidup mereka.”
CEO Tokopedia William Tanuwijaya menyebutkan layanan marketplace akan merambah sektor fintech tahun ini.
“Selain untuk keperluan barang sehari-hari, marketplace juga akan berevolusi menjadi kebutuhan pembayaran sehari-hari, memberikan layanan finansial inklusi. Di tahun 2017 ini, open marketplace juga akan menjadi rumah baru bagi merek-merek baik lokal maupun internasional untuk memasarkan produk mereka ke masyarakat Indonesia,” kata William.
Kemudahan pembayaran untuk pembelian apapun menjadi krusial. Menurut William, tahun ini layanan e-commerce akan semakin inklusif. Selama ada konektivitas internet, pembayaran bisa dilakukan meski tidak memiliki rekening bank atau kartu kredit.
“Produk-produk e-wallet akan tumbuh di tahun 2017 untuk mendorong pemerataan ekonomi secara digital. Demikian juga dengan tumbuhnya bisnis kurir untuk mengirimkan produk-produk yang dipasarkan di marketplace,” ujar William.
Selain itu, tren akan bergeser ke hyperlocal purchase. Pembeli di daerah Sumatera Utara akan cenderung membeli dari penjual di kota Medan dibanding dari Jakarta. Walau harga barang sedikit lebih tinggi, adanya ongkos kirim akan membuatnya tetap bersaing. Apalagi barang seharusnya bisa diterima lebih cepat.
Berbeda dengan optimisme William, Managing Partner Convergence Ventures Adrian Li mengungkapkan kekhawatiran rencana masuknya Alibaba dan Amazon di Indonesia. Konsolidasi diprediksikan bakal terjadi untuk membuat perusahaan tetap bertahan.
“Semua layanan e-commerce di Indonesia saya lihat akan semakin berat di tahun 2017 ini, terutama dengan rencana hadirnya Amazon dan Alibaba di Indonesia. Kehadiran perusahaan raksasa global tersebut akan semakin menyulitkan eksistensi layanan e-commerce lokal yang saat ini sudah berhasil menjadi market leader. Saya melihat konsolidasi mungkin akan tercipta, seperti yang telah terjadi di India,” kata Adrian.
Selain konsolidasi, nantinya masing-masing brand akan memilih untuk melakukan penjualan secara langsung kepada pelanggan atau dengan cara multichannel. Strategi ini dinilai akan menjadi kegiatan jangka panjang.
Untuk layanan e-commerce yang bakal mendominasi tahun 2017 ini, Adrian mengungkapkan fashion commerce akan semakin masif bermunculan di tanah air.
“Dengan mengintegrasikan desain, manufaktur dan pasokan proses rantai penyediaan, mereka [layanan fashion commerce] mampu menyediakan pakaian yang sedang tren yang bersaing dengan biaya ritel umum,” kata Adrian.
Untuk faktor penghambat, ternyata faktor kepercayaan atau trust masih bisa menjadi momok tahun ini.
“Seperti yang disampaikan dalam laporan Google dan Temasek, pemesanan dari Indonesia 12 kali berisiko fraud berdasarkan rata-rata secara global,” kata Adrian.
SaaS
Founder and CEO Talenta, sebuah platform SaaS untuk manajemen sumberdaya manusia, Joshua Kevin, mengatakan saat ini kondisi pemain startup SaaS di Indonesia sama seperti pemain e-commerce pada 2010-2011. Tahun tersebut adalah masa ketika masyarakat Indonesia masih memiliki krisis kepercayaan dan belum percaya dengan manfaat beralih membeli barang secara online.
“Kami percaya bahwa industri SaaS akan makin cepat pertumbuhannya dan kemampuan dalam pengambilan keputusan akan jatuh ke generasi yang percaya bahwa internet dan smartphone adalah the default,” kata Joshua.
Mengenai isu keamanan komputasi awan sebagai hal yang krusial bagi pemain SaaS, Joshua mengungkapkan tidak semua pemain SaaS di Indonesia menggunakan solusi atau server dari luar Indonesia. Pihaknya mendorong insentif yang lebih dari pemerintah dan perusahaan cloud untuk membuat mereka beralih ke server lokal.
Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, menambahkan pergerakan bisnis SaaS di Indonesia mulai bergerak dengan sangat baik. VC ini telah berinvestasi di sejumlah startup SaaS dan melihat indikasi puluhan ribu UKM sudah menggunakan berbagai solusi yang disediakan beberapa pemain SaaS yang masuk dalam portofolionya.
Menurut Willson, tantangan pemain SaaS Indonesia di kacamata investor adalah adopsi pengguna dan bagaimana UKM melihat nilai dari SaaS. Startup SaaS harus bisa mengedukasi pasar tentang manfaat produk SaaS dibandingkan perangkat lunak tradisional dan meyakinkan mereka untuk beralih ke sana.
Moka, startup penyedia layanan mobile point of sales (mPOS) dengan fokus pasar UKM, menjadi salah satu pemain SaaS yang menanjak. Co-Founder dan CEO Moka Haryanto Tanjo, senada dengan Joshua, mengutarakan saat ini Moka belum menggunakan server lokal. Pihaknya menggunakan layanan cloud yang berbasis di Singapura. Untuk perlindungan data, Moka mengenkripsi lalu lintas yang keluar dan masuk menggunakan SSL. Pihaknya juga memasang beberapa firewall untuk seluruh server.
Haryanto menambahkan tingkat persaingan bisnis SaaS di Indonesia masih sangat luas dan pasarnya sangat besar. Menurutnya, persaingan antar pemain SaaS bukanlah perhatian untuk saat ini.
On-demand
Layanan transportasi on-demand dari Go-Jek, Grab, dan Uber saat ini masih mendominasi. Kehadiran mereka mampu mengubah kebiasaan masyarakat dan kini menjadi bagian rutinitas sehari-hari.
CEO MDI Ventures Nicko Widjaja mengungkapkan, “Akan menjadi sulit untuk startup baru mencoba bersaing dengan Go-Jek, Uber, dan Grab, karena posisi mereka yang sudah berhasil menjadi market leader dan mendominasi di Indonesia. Untuk bisa bersaing dengan ‘the big three‘, perusahaan yang sebelumnya menjalankan bisnis dengan cara konvensional juga sudah harus mulai mengadopsi teknologi untuk bisa bersaing dengan perusahaan berbasis teknologi tersebut.”
Nicko melihat kolaborasi antara Blue Bird dengan Go-Jek membuktikan perusahaan yang selama ini menjalankan bisnisnya secara konvensional akan memilih untuk melakukan kerja sama dengan startup yang telah memiliki produk, talenta, dan kemampuan membuat produk berbasis teknologi. Hal tersebut bisa memangkas pengeluaran untuk mempekerjakan third party atau outsource untuk membangun teknologi dari awal.
“Peluang dari startup yang nantinya berfungsi sebagai ‘corporate enabler‘ untuk menawarkan sistem, produk, hingga teknologi kepada korporasi hingga perusahaan besar nampaknya akan semakin banyak di tahun ini dan seterusnya,” kata Nicko.
Menurut Co-Founder dan CEO Go-Jek Nadiem Makarim, tahun 2015 dan 2016 lalu merupakan tahun ketika layanan seperti Go-Jek dan layanan e-commerce masih berupaya untuk menemukan pasar dan strategi pemasaran. Tahun 2017 ini bakal menjadi tahap yang menentukan kebanyakan layanan on-demand.
“Saya melihat tahun 2017 ini bakal menjadi momentum. Bkan hanya untuk Go-Jek namun juga semua layanan on-demand lainnya di Indonesia. Tahun 2017 juga menjadi tahun semua going to mobile,” kata Nadiem.
Kendala infrastruktur yang ada di Indonesia, menurut Nadiem, justru menjadi peluang bagi layanan on-demand seperti Go-Jek untuk berkembang.
“Berbagai kendala dalam hal infrastruktur yang ada saat ini justru menjadi kesempatan bagi Go-Jek untuk memberikan solusi kepada semua masyarakat di Indonesia. Dalam hal ini Go-Jek melihat infrastruktur yang masih kurang saat ini sebagai opportunity dengan memberikan solusi kepada semua pengguna,” ujarnya.
Dalam dua tahun terakhir, layanan on-demand juga makin beragam. Tidak hanya menawarkan layanan transportasi, tetapi yang berhubungan dengan layanan domestik. Misalnya jasa asisten rumah tangga, pembersihan rumah, dan perbaikan AC. Salah satu layanan on-demand di segmen ini adalah Seekmi.
“Kami sangat beruntung di Seekmi bahwa tingkat penetrasi smartphone di kalangan vendor dan teknisi telah tumbuh secara signifikan dalam setahun tahun sejak Seekmi diluncurkan. Memungkinkan Seekmi untuk mengelola sekitar 10 ribu tenaga kerja dengan cepat dan efisien,” kata CEO Seekmi Clarissa Leung.
Clarissa melanjutkan, “Saya prediksi tahun 2017 ini akan semakin banyak masyarakat Indonesia yang memanfaatkan teknologi, dalam hal ini aplikasi, untuk membantu mereka melakukan pekerjaan rumah rutin dari yang paling mudah hingga yang berat dengan bantuan layanan on-demand. Akan lebih banyak orang percaya dengan layanan on-demand karena terbukti mampu menghemat biaya pengeluaran.”
Di balik kemudahan berbasis teknologi, banyak generasi senior yang belum terbiasa dan kurang percaya dengan layanan on-demand.
“Seekmi pada akhirnya tetap menghadirkan layanan pelanggan melalui SMS hingga telepon langsung. Pendekatan dengan cara-cara tradisional masih perlu disematkan untuk perusahaan teknologi,” kata Clarissa.
Meskipun terlihat menjanjikan, layanan on-demand ternyata cukup sulit untuk melakukan scale up. Hal ini terjadi karena layanan on-demand sifatnya adalah hyperlocal. Masing-masing kota di Indonesia memiliki tradisi dan kebiasaan yang berbeda.
“Untuk mengatasi semua kendala tersebut masing-masing layanan on-demand tidak bisa bekerja sendiri. Dibutuhkan kemitraan atau partnership dengan perusahaan teknologi lainnya hingga perusahaan besar dan pemerintah untuk bisa mengatasi semua kendala,” kata Nicko.
– Artikel ini adalah kolaborasi DailySocial dan The Jakarta Post. Juga dipublikasi dalam bahasa Inggris di halaman ini.
Bersamaan dengan digelarnya Google for Indonesia kemarin, Google juga membawa kembali enam startup Indonesia yang mengikuti bootcamp Google Launchpad Acceleratorbatch kedua. Selain mendapat dana “gratis” $ 50 ribu, enam startup Indonesia ini juga berkesempatan menimba ilmu dari sejumlah orang-orang brilian pilihan Google, baik dari luar maupun dalam negeri. Di sisi lain, hari ini (10/8) angkatan pertama Google Launchpad Accelerator juga melakukan Graduation Ceremony.
Google Launchpad Accelerator batch kedua kali ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan batch pertama. Perbedaan yang ada hanya terdapat dari sisi jumlah peserta dan negara yang mengikuti batch kedua. Di batch kedua ini ada enam negara yang berpartisipasi dan masing-masing diwakili oleh enam startup.
Indonesia sendiri di batch kedua diwakili oleh Jarvis Store, Talenta, Ruangguru, IDNtimes, Codapay, dan Hijup yang menjadi satu-satunya startup di bidang e-commerce dan juga pendiri wanita. Masing-masing pendiri memiliki pengalaman pelatihan yang tidak jauh berbeda, mulai dari UI/UX, cara akuisisi pengguna dan juga talenta, hingga penempatan investasi di channel yang tepat.
President CodaPay Paul Leisshman mengatakan, “Hal yang paling menantang adalah menyeimbangkan semua informasi yang kami terima dan teknologi baru yang kami pelajari, memilih mana yang relevan, dan apa yang akan kami lakukan dengan bisnis kami berikutnya. […] Ini sedikit banyak mengubah rencana kami ke depannya. Paling dekat, kami ingin segera mengimplementasikan teknologi progressive web app dalam platform kami.”
Lain Paul, lain lagi pengalaman yang diperoleh CEO Talenta Joshua Kevin. Bagi Joshua pelajaran yang paling berharga adalah materi UI/UX. Joshua sendiri berencana untuk segera mengoptimasi UI/UX mereka lebih baik lagi, apalagi Talenta sendiri baru-baru ini telah mendapatkan pendanaan.
Sementara itu CEO Hijup Diajeng Lestari menjelaskan, “Kami mendapatkan ilmu mengenai bagaimana mengoptimalisasi funnel. Mulai acquisition cost-nya sampai si customer itu sudah masuk dalam customer base kami. […] Istilahnya performance analysis, jadi [kami bisa] invest di kanal-kanal yang terbaik saja untuk akusisi pengguna.”
Developer Relationship Program Manager Google Erica Hanson menyampaikan bahwa di batch kedua ini Hijup dan Ruangguru sendiri cukup menarik perhatian. Hijup sebagai startup e-commerce dinilai mampu menciptakan emotional connection dengan penggunanya. Sedangkan Ruangguru dari model bisnisnya yang baru pertama kali ini ada di program Launchpad Accelerator.
Di sisi lain, pada batch pertama, eFishery dinilai memiliki model bisnis paling unik bersama dengan Kerjabilitas. Erica juga berjanji bahwa ke depannya Google akan terus mencari startup yang mampu memecahkan masalah dengan cara yang unik lewat teknologi di Indonesia.
Sebagi informasi, di batch kedua ini ada beberapa peserta dari batch pertama yang menjadi mentor untuk peserta batch kedua. Contohnya Razi Thalib dari Setipe yang menjadi mentor untuk Hijup.
Graduation Ceremony Google Launchpad Accelerator angkatan pertama
Dengan kembalinya enam startup batch kedua, program Google Launchpad Accelerator batch pertama pun berakhir. Hari ini, delapan startup yang menjadi angkatan pertama pun mengadakan Graduation Ceremony mereka di Hotel Mulia, Jakarta dan menyampaikan pelajaran apa saja yang telah mereka ambil selama mengikuti program bimbingan dari Google tersebut. Mereka adalah Kerjabilitas, Setipe, Jojonomic, eFishery, Seekmi, HarukaEdu, dan Kakatu.
CEO HarukaEdu Novistar Rustandi menyampaikan bahwa pelajaran paling berharga yang didapatnya adalah mengenai pemahaman user experience. Berangkat dari sana, kini pihaknya telah membangun versi baru dari sistem yang sudah ada dan disebut sudah melalui uji coba hingga dua kali saat ini. Versi baru ini pun disebut Novistar memiliki UI/UX yang benar-benar berbeda dari yang sebelumnya.
CEO Kibar Yansen Kamto yang turut hadir dan juga menjadi salah satu mentor dalam program Launchpad Accelerator mengatakan, “Tidak mudah menjadi entrepreneur di Indonesia, tetapi sekarang kita bisa melihat para pendiri startup hebat […] yang mampu memecahkan masalah. […] Ini [lewat Launchpad Accelerator] sebenarnya bisa menjadi peluang bagi Indonesia untuk belajar dari mentor dan startup lain di dunia. […] Kita harus bisa menjaga momentum ini agar ekosistem startup di Indonesia terus tumbuh.”
Selain pendanaan bebas ekuitas sebesar $ 50 ribu dan pelatihan gratis selama dua minggu langsung di kantor pusat Google, perusahaan-perusahaan startup yang ikut di batch kedua tersebut akan mendapat mentoring selama enam bulan sekembalinya ke Indonesia sekaligus akses ke alat dan sumber daya Google. Google juga berencana akan membuka pendaftaran untuk kelas Launchpad Accelerator ke-3 pada 2017. Namun, detail berapa jumlah peserta yang bisa berangkat dan detail-detail lainnya masih belum bisa diungkap saat ini.
Platform SaaS untuk manajemen sumber daya manusia Talenta mengumumkan perolehan dana pra-seri A, yang dipimpin East Ventures dan Skystar Capital dengan jumlah yang tak disebutkan, untuk membantu Talenta menjadi solusi semua kebutuhan platform manajemen sumber daya manusia. Investor Talenta yang lain, Fenox VC, juga terlibat dalam pendanaan ini. Dana disebutkan akan digunakan untuk mengembangkan jumlah anggota tim dan kebutuhan pemasaran. Selain pengumuman pendanaan, Talenta juga memanfaatkan momentum ini dengan merilis produk baru Talenta Lite.
Talenta sebelumnya mendapatkan bantuan pendanaan non-ekuitas dari program Google Accelerator dan telah menjalin kemitraan dan pembukaan API dengan layanan pelaporan pajak OnlinePajak. Secara total, Talenta menyebutkan saat ini melayani proses HR untuk lebih dari 15 ribu karyawan setiap bulannya.
Talenta Lite, sebagai produk baru Talenta, sendiri difokuskan untuk karyawan startup dan UKM dengan total karyawan kurang dari 50 orang.
Terhadap perolehan pendanaan ini, Founder dan CEO Talenta Joshua Kevin mengatakan, “Kami sangat senang dengan masa depan kami dan dengan Skystar Capital hadir di pendanaan kali ini kami [berharap] bisa lebih cepat mencapai tujuan kami. Saya percaya kami telah melewati fase product market fit dan kami saat ini telah berada di fase untuk berkembang (scaling) dengan cepat. Investasi strategis oleh Skystar juga sangat penting untuk model bisnis kami dengan kami berekspansi dari sekedar layanan payroll ke platform B2B2C.”
Direktur Skystar Capital Abraham Hidayat menambahkan, “Kami bertemu Joshua ketika dia hendak meluncurkan Talenta 1,5 tahun yang lalu. Sejak itu ia telah mengembangkan Talenta menjadi platform manajemen HR berbasis awan yang paling dominan di Indonesia. Hal ini menjadi keputusan investasi yang mudah bagi kami dan perusahaan afiliasi kami, yang pada akhirnya menggunakan Talenta [sebagai solusi]. Kami percaya Joshua dan Talenta akan terus ‘mengganggu’ (disrupt) segmen ini dengan produk yang inovatif dan terjangkau dan Skystar akan terus mendukung mereka dengan keahlian dan jaringan kami.”
Menjelang bulan-bulan pelaporan pajak yang biasanya ramai menjadi pembicaraan di bulan Maret, OnlinePajak mengumumkan pembukaan API dan kemitraan dengan tiga layanan, yaitu software accounting Accurate, layanan SaaS HR Talenta, dan layanan logistik on-demandEtobee. OnlinePajak berharap kemudahan yang diberikan bisa dioptimasi untuk kemudahan tiga layanan tersebut mengurusi soal pembayaran dan pelaporan bukti pembayaran pajak untuk perusahaan.
Dengan kerja sama ini, klien B2B Accurate dan Talenta bisa langsung mengurusi pembayaran pajak pegawainya melalui API OnlinePajak secara seamless. Caranya adalah dengan mengimpor bukti transaksi finansial dan data gaji perusahaan ke aplikasi OnlinePajak untuk memudahkan pencetakan e-Faktur, penyiapan dokumen perpajakan (PPN, PPh 21 dan 23), dan mengirimkannya secara elektronik menggunakan proses e-filing.
OnlinePajak sendiri sudah diakui oleh DJP (Direktorat Jenderal Pajak) dalam pengurusan hal ini dan saat ini mengatakan telah memiliki 60 ribu klien pembayarpajak dan memiliki Astra Otoparts, TNT, dan Coca Cola di antara kliennya.
Tersedia pula opsi untuk mengirimkan bukti potong pajak, yang harus dikirimkan secara fisik, melalui layanan logistik Etobee. Secara umum, mereka berharap pengalaman perpajakan bisa dilakukan dengan lebih mudah, nyaman, dan transparan.
Dalam sebuah acara di bilangan Kuningan, Pendiri dan CEO OnlinePajak Charles Guinot mengatakan, “Kami percaya sistem perpajakan seharusnya terbuka dan gratis untuk semua. Kami percaya bakal semakin banyak perusahaan bergabung bersama kami dan membangun layanan hebat di atas platform kami.”
Nantinya layanan seperti Accurate dan Talenta akan memberikan tambahan biaya untuk opsi kemudahan ini, yang akan menjadi salah satu cara monetisasi OnlinePajak yang didirikan sejak tahun 2014.
Selain kerja sama pembukaan API ini, OnlinePajak juga menyebutkan pihaknya akan segera merilis fitur pelaporan pajak untuk individu dan berharap bisa memperoleh 30 ribu pengguna baru.
Platform manajemen sumberdaya manusia Talenta telah memperoleh pendanaan baru yang tidak disebutkan jumlahnya, dengan investo utama Fenox Venture Capital. Investor awal Talenta East Ventures juga berpartisipasi di putaran pendanaan kali ini. Dana yang diperoleh akan digunakan untuk menambah pegawai baru, terutama di bidang penjualan dan pemasaran. Hingga kini, 1500 pegawai dari berbagai perusahaan klien telah memanfaatkan Talenta dan perusahaan berencana untuk berekspansi ke model bisnis berbasis transaksi.
Human resource management platform Talenta has raised new undisclosed funding, led by Fenox Venture Capital. Talenta’s initial investor East Ventures also participates in this round. The funding will used to add new hires, especially in sales and marketing. To date, 1500 employees from many clients have already utilized Talenta and the company plans to expand beyond subscription based scheme to transactional.
Setelah mendapatkan pendanaan awal dari East Ventures dan juga mendapat dukungan dari Grace Tahir (Mayapada Group) selaku angel investor pada September tahun lalu,Sistem Informasi Sumber Daya Manusia berbasis cloud (SaaS) Talenta mengumumkan pada hari ini platform mereka resmi diluncurkan pada versi beta untuk publik. Talenta sendiri memiliki visi untuk menciptakan produk SaaS yang berfokus pada pengelolaan sumber daya manusia (SDM).