Tag Archives: Jovee

Para pendiri Lifepack / Lifepack

Startup Healthtech Lifepack Rampungkan Pendanaan Seri A yang Dipimpin Golden Gate Ventures

PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia (ITMI) melalui brand Lifepack, berhasil meraih pendanaan Seri A senilai $7 juta atau lebih dari 103 miliar Rupiah. Putaran ini dipimpin Golden Gate Ventures dan diikuti beberapa investor terdahulu, seperti Teja Ventures, Jungle Ventures, dan SkyStar Capital.

Natali Ardianto, Co-Founder dan CEO Lifepack, mengungkapkan bahwa dana segar ini akan digunakan untuk memperkuat kehadiran di luar Jakarta. Hingga saat ini apotek Lifepack sudah tersedia di Jakarta dan Surabaya. Perusahaan juga sudah mendapat lisensi untuk membuka cabang di Bandung.

“Targetnya, perusahaan akan menambah 7 apotek baru di masing-masing kota, seperti Bekasi, Tangerang, dan Bogor,” sambung Natali.

Justin Hall, partner di Golden Gate Ventures mengungkapkan, bahwa Lifepack memiliki formula terbaik dengan kombinasi dari para pendiri hebat dengan visi yang kuat dan ide bisnis yang relevan dengan pasar. “Kami siap untuk mendukung pertumbuhan bisnis Lifepack melalui jaringan kami yang luas dan wawasan mendalam kami untuk berbagai kesempatan kolaborasi di wilayah segitiga emas start-up di Indonesia, Vietnam, dan Singapura,” ujarnya.

Sejak awal perusahaan ini berdiri, Golden Gate Ventures telah memberikan dukungan besar pada Lifepack sebagai salah satu start-up yang mengusahakan digitalisasi industri tradisional di Indonesia. Golden Gate Ventures merupakan salah satu pelopor ekosistem start-up di Asia Tenggara yang sudah lama berfokus di industri teknologi kesehatan, yang juga sudah turut mendukung pemain kuat di sektor yang sama seperti Medigo, Alodokter, dan Hanna Life Technologies.

Lifepack mulai beroperasi di masa awal pandemi. Ketika itu, PPKM masih ketat dan rumah sakit masih dipenuhi pasien Covid-19. Hal ini menimbulkan kekhawatiran bagi penderita penyakit kronis seperti diabetes, jantung, stroke dan lainnya dalam mendapatkan obat. Hal ini yang kemudian menjadi fokus perusahaan dalam menyediakan layanan terpadu dan cepat.

Dari sisi bisnis, Natali mengaku bahwa hadirnya Covid-19 sempat memberi keuntungan bagi perusahaan. Namun, dampak signifikan dari pandemi ini adalah pembelajaran mengenai kesehatan. Covid-19 menjadi gerbang awal dari literasi kesehatan dan katalisator bagi para konsumen dalam hal kesadaran kesehatan.

Sebagai digital pharmacy, Natali mengungkapkan, perusahaan saat ini memiliki dua model bisnis. Pertama, model B2B2C yang melayani peresepan digital atau e-prescription oleh dokter. Lalu, layanan B2C produk OTC (over the counter). Apotek Lifepack memberikan pelayanan kefarmasian dengan menjamin kualitas obat, memberikan harga yang terjangkau, terlengkap, serta lebih hemat dengan program gratis ongkos kirim (ongkir) ke seluruh Indonesia.

Potensi pasar apotek di Indonesia sendiri terbilang masih sangat besar.Di tahun 2025, industri farmasi di Indonesia diprediksi akan tumbuh dua kali lipat dengan estimasi nilai pasar mendekati US$ 20 milyar. Farmasi online sendiri baru mencakup 3.5% dari total pangsa pasar farmasi yang besar ini. Populasi masyarakat Indonesia yang mencapai lebih dari 245 juta jiwa dan tersebar di 34 provinsi menjadikan Indonesia sebagai pasar yang potensial untuk pasar apotek.

Selain Lifepack, pemain lain yang juga memiliki model bisnis serupa adalah perusahaan farmasi asal Singapura SwipeRx, yang sebelumnya bernama mClinica Pharmacy Solutions. Perusahaan belum lama ini berhasil mengumpulkan pendanaan seri B dan siap mengakselerasi bisnis di Indonesia.

Pertumbuhan bisnis dan target ke depan

Lifepack bukanlah satu-satunya produk di bawah bendera ITMI yang bergerak dalam industri kesehatan. Sebelumnya ada Jovee, sebuah layanan yang fokus menyediakan kebutuhan suplemen bagi masyarakat. Perusahaan ini mengandalkan “data science” dalam memberikan rekomendasi suplemen sesuai kebutuhan.

Natali mengakui, ketika didirikan pada tahun 2019, perusahaan masih dalam tahap discovery. Lifepack menemukan model bisnisnya di tahun 2021. Setelah dirasa scalable, maka timnya mulai menggalang dana dan akhirnya memasuki growth stage di tahun 2022 ini.

Hingga saat ini, apotek Lifepack menyediakan lebih dari 5.000 produk dari mulai obat-obatan, vitamin, hingga alat kesehatan yang dapat dipastikan orisinal. Lifepack juga menawarkan pengiriman secara instan dengan durasi maksimal 2 jam, sedangkan untuk seluruh pulau Jawa, pengiriman dalam waktu 24 jam. Melalui aplikasi ini, pihaknya mengaku ingin mengimplementasi Good Pharmacy Practice dalam memberikan pelayanan kefarmasian.

Natali juga memaparkan dari sisi pertumbuhan bisnis MoM perusahaan yang mencapai 30%, dengan total 60 ribu pengguna per bulannya. Selain itu, jumlah dokter yang mendaftar di ekosistem Lifepack sudah menginjak lebih dari 1000. Ini membuktikan bahwa Lifepack sudah berada di jalur yang berkelanjutan.

Dalam diskusi bersama DailySocial, Natali turut mengangkat salah satu inisiatif pemerintah untuk Uji Coba Platform Indonesia Health Service yang akan mengintegrasikan data kesehatan dari berbagai pelaku di industri ini. Menurutnya, hal ini penting, mengingat industri kesehatan yang sangat terfragmentasi, padahal layanan kesehatannya sudah sangat baik.

Dari sisi kolaborasi, perusahaan mengaku selalu menjalin hubungan yang baik dengan pihak-pihak yang terlibat di industri. Menurutnya, regulasi pemerintah untuk industri ini juga sudah terbilang baik.

“Kita sangat terbuka untuk kolaborasi. Kita sendiri sudah melakukan kolaborasi dengan banyak pihak terkait seperti asosiasi di bidang farmasi dan kedokteran. Karena kita hadir untuk membangun industri farmasi yang lebih baik.”

Menurut Natali, permasalahan fundamental dari farmasi di Indonesia adalah apoteker yang seringkali dinilai sebatas tukang obat. Padahal, apoteker mempelajari farmakologi (interaksi obat) jauh lebih lama daripada dokter. Tidak banyak orang-orang yang menganggap serius hal ini. Call center Lifepack dilayani langsung oleh apoteker handal dan terbuka untuk konsultasi.

“Saat ini Indonesia sudah berada di awal revolusi layanan kesehatan berbasis teknologi. Kurang dari dua tahun, masyarakat sudah merubah kebiasaannya hingga 180 derajat, di mana semua hal terkait kesehatan dapat diakses melalui ponsel. Lifepack akan memimpin revolusi apotek tersebut dan menciptakan layanan omnichannel – sebagai satu destinasi kesehatan untuk pasien dan tenaga medis profesional agar mendapatkan layanan kesehatan yang prima,” ungkap Natali.

Application Information Will Show Up Here

Menerka Kebutuhan Transformasi Digital Bisnis saat Pandemi

Dalam menghadapi masa pandemi, bisnis harus terus beradaptasi agar dapat bertahan. Salah satu adaptasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan transformasi digital. Melalui transformasi digital, sebuah bisnis tetap dapat melakukan pengembangan produk serta melayani permintaan konsumen dengan baik seiring dengan adaptasi digital yang juga terus meningkat di masa pandemi ini.

Namun, hal yang juga harus diperhatikan oleh bisnis adalah bagaimana transformasi digital yang dilakukan tidak hanya dapat membantu mereka bertahan, tetapi juga dapat membantu mereka meningkatkan skala bisnisnya melalui peluang-peluang baru dari transformasi tersebut.

Dalam #DSTalk yang diadakan Kamis (30/7) lalu, Natali Ardianto (Co-founder & CEO of Lifepack.id & Jovee.id) dan Ginandjar Alibasjah (IT Services Director of Lintasarta), membahas tentang kebutuhan untuk melakukan transformasi digital pada setiap skala bisnis di masa pandemi ini, mulai dari adaptasi dengan keadaan baru hingga mencari berbagai peluang baru.

Bagian dari Adaptasi Terhadap Kondisi Baru

Transformasi digital yang dilakukan oleh suatu bisnis dapat dikatakan sebagai bagian dari adaptasi terhadap kondisi serba baru yang dihadapi saat ini. Menurut Natali Ardianto, startup dapat melihat kondisi sebagai tiga kategori yaitu survival, pivot, dan emerge.

Startup harus dapat survive dengan mempertahankan runaway perusahaannya setidaknya hingga dua tahun ke depan. Efisiensi operasional perusahaan serta melakukan PHK juga bisa menjadi opsi bagi startup untuk mempertahankan keberlangsungan bisnisnya. Selain itu, startup juga harus mulai berpikir secara strategis untuk melakukan pivot untuk mengubah business model agar sesuai dengan situasi pandemi ini. Terakhir adalah emerging dengan melakukan digitalisasi dan mulai menyasar strategi hyperlocal untuk menyesuaikan dengan kebutuhan baru konsumen.

“Untuk teman-teman yang melihat potensi dan baru mau memulai sekarang, I think it’s a good time, yang penting sesuai kebutuhan konsumen.” tambah Natali

Transformasi Digital Dibutuhkan Semua Skala Bisnis

Kebutuhan transformasi bisnis ini juga sebenarnya merupakan suatu hal yang tak terelakkan lagi bagi semua skala bisnis, baik bisnis kecil maupun korporasi besar. Menurut Ginandjar Alibasjah, kebutuhan ini juga sebenarnya bukan hadir karena adanya pandemi, melainkan karena hal ini memang merupakan suatu hal yang harus dilakukan oleh setiap perusahaan untuk beradaptasi.

“Kalau kita bicara transformasi digital, itu sebenarnya bukan pandemi triggernya, pandemi ini trigger untuk percepatannya.” tambah Ginandjar.

Selain itu, menurut Ginandjar transformasi ini juga dapat membawa banyak keuntungan bagi korporasi. Mulai dari memanfaatkan data yang dikelola dengan baik menjadi business intelligence baru hingga  simplifikasi proses yang membuat operasional menjadi lebih efisien.

Salah satu hal transformasi digital yang harus diperhatikan adalah semua bisnis adalah bagaimana mereka dapat membangun infrastruktur digital yang tepat. Bagi bisnis yang baru mulai merintis, dapat memanfaatkan bantuan provider seperti Lintasarta untuk membangun infrastruktur digital seperti data center dan cloud. Hal ini dapat menyiasati kekurangan sumber daya yang mungkin menjadi concern di awal bisnis.

Selain infrastruktur, hal penting lainnya dalam melakukan transformasi digital adalah membangun mindset keamanan data. Menurut Natali, hal seperti ini harus sudah diperhatikan sejak awal, karena bila perusahaan sudah terlanjur besar, akan lebih kompleks permasalahan keamanan datanya. Untuk itu, perusahaan juga perlu menyiapkan sistem keamanan yang baik untuk mencegah kebocoran data yang tidak diinginkan.

Mencari Peluang Meski Terkena Dampak Pandemi

Disisi lain, para pebisnis juga harus dapat meningkatkan sensitivitas untuk mencari peluang-peluang baru dalam bisnisnya, salah satunya dengan cara melakukan transformasi digital. Selain itu, Natali juga menyebutkan bahwa setiap pebisnis harus open minded dalam menghadapi pandemi ini. Pertama, mereka harus bisa aware terhadap masalah apa yang saat ini sedang dialami consumer. Selanjutnya, mereka juga harus dapat menerima keadaan pandemi yang berdampak pada bisnis, untuk itu mereka juga perlu membuat skenario bisnis yang disesuaikan dengan perkembangan pemulihan kondisi pandemi ini. Terakhir, setiap pebisnis juga mau tidak mau perlu beradaptasi. Contohnya melakukan pivot ataupun PHK.

“Sebagai entrepreneur, you have to do a lot of hard choices, tapi harus logis, nggak boleh pakai perasaan.” tambah Natali.

Peluang ini juga bisa diwujudkan melalui kolaborasi dengan berbagai pihak. Bagi Lintasarta sendiri, kolaborasi dengan startup sudah dilakukan beberapa kali. Misalnya melalui program Gerakan 1000 Startup Digital, Lintasarta Digischool, dan Appcelerate. Kolaborasi ini tidak hanya dilakukan untuk melahirkan startup-startup baru, tetapi juga turut mengembangkannya dengan cara membantu sampai go to market, serta mempertemukan solusi-solusi tersebut dengan kebutuhan client-client Lintasarta lainnya.

“Komitmen Lintasarta untuk membangun startup sangat besar dan tidak menutup kemungkinan ke depannya bersama teman-teman startup bisa kerja sama dengan Lintasarta.” tambah Ginandjar.

Dengan melakukan transformasi digital, bisnis dapat lebih beradaptasi dengan lebih cepat dengan kebutuhan-kebutuhan baru yang hadir karena masa pandemi ini. Selain itu,  setiap pebisnis juga harus dapat peka terhadap peluang yang dapat dimanfaatkan dari transformasi tersebut.

Perjalanan Natali Ardianto Menjadi Seorang Pakar Industri: Memiliki Tujuan yang Konkret

Artikel ini adalah bagian dari Seri Mastermind DailySocial yang menampilkan para inovator dan pemimpin di industri teknologi Indonesia untuk berbagi cerita dan sudut pandang.

Enterpreneurship memang bukan untuk semua orang. Hal ini membutuhkan kerja keras bertahun-tahun, tanggung jawab yang tidak sedikit, resiko tinggi serta banyak pengorbanan lainnya. Namun, semua itu tidaklah menjadi isu ketika Anda memiliki tujuan yang konkret. Setidaknya, prinsip ini yang dipegang Natali Ardianto, yang pernah memimpin sebuah tim teknologi di salah satu layanan OTA ternama, Tiket.com, sepanjang perjalanannya mengarungi bahtera industri teknologi.

Saat ini, Natali menjabat sebagai Co-founder dan CEO PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia, sebuah perusahaan yang ia dirikan bersama beberapa rekan setelah menjajal beberapa sektor industri. Mulai dari tata kota, bisnis OTA, fintech, lalu healthtech, masing-masing mengajarkan hal beragam yang telah membentuk pribadinya sebagai seorang pakar industri .

Sebagai seorang penggiat teknologi serta maniak komputer, ia sempat berjibaku dengan isu introvert kronis sampai pada akhirnya bisa bangkit lalu berhasil menguasai kemampuan berkomunikasi. Salah satu kuncinya adalah memiliki tujuan yang jelas, konkret, sesuatu yang bisa dipegang teguh dan terukur.

Seperti tertulis di profil profesionalnya, “Life is a journey, not a destination”(Hidup adalah sebuah perjalanan, bukan hanya soal tujuan), DailySocial berkesempatan untuk menggali lebih dalam tentang perjalanan karir seorang Natali Ardiante, berikut rangkumannya.

Dimulai dari posisi saat ini sebagai Co-founder & CEO di Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Boleh berbagi sedikit cerita tentang perusahaan terakhir.

tim ITMI
tim ITMI

Ini merupakan startup ke-5 saya, sebuah perusahaan teknologi kesehatan bernama PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Kami menawarkan solusi digital yang berfokus pada produk suplemen. Mengunakan teknologi achine learning yang sepenuhnya mempersonalisasikan data untuk memberikan rekomendasi suplemen terbaik untuk kesehatan Anda. Banyak yang bertanya-tanya, mengapa healthtech?

Sederhananya, apakah Anda menganggap kesehatan sebagai kebutuhan primer atau sekunder? Sejujurnya, kebanyakan orang akan menempatkan kesehatan di atas segalanya, kesehatan akan selalu diposisikan pertama. Padahal, itu [kesehatan] adalah kebutuhan pokok yang membuat orang rela merogoh kocek. Sementara industri hiburan serta yang lainnya memerlukan perhitungan menyeluruh karena itu bukan kebutuhan utama. Dari segi keuntungan, memang lebih bagus. Karena pendapatan rata-rata per pengguna (ARPU) dapat meningkat beberapa kali lebih tinggi daripada industri hiburan lainnya. Dengan kata lain, suatu tujuan yang sama dapat dicapai dengan usaha lebih sedikit.

Duabelas tahun yang lalu, ketika pertama kali terjun ke dunia startup, apa yang ada dalam pikiran Anda? Bagaimana anda memulai perjalanan bisnis ini?

Pada tahun 2008, ketika startup belum hype, kami hanya berpikir untuk membangun perusahaan digital. Adapun, memiliki perusahaan telah menjadi impian saya sejak saya masih kecil. Pengalaman pertama saya terpapar teknologi dan jatuh cinta pada komputer ada di kelas 5 SD, saya juga mulai coding sekitar usia tersebut. Saya lalu menetapkan fokus pada teknologi sampai saya berhasil masuk ke Ilmu Komputer di Universitas Indonesia.

Pada tahun 2003, saya sudah memulai beberapa proyek freelance lintas wilayah. Saat startup mulai populer pada tahun 2010, saya mengalami kesulitan dengan Urbanesia, perusahaan pertama di mana saya belajar banyak setelah 13 bulan pengembangan. Saya memiliki pola pikir bahwa hidup adalah tentang menyelesaikan masalah. Ketika kita memecahkan masalah berulang-ulang, kita akan menguasai ilmu tersebut. Kemudian, yang terjadi selanjutnya pada perusahaan kedua saya hanya membutuhkan 8 bulan pengembangan, lalu kami membangun Tiket.com dalam waktu 3 bulan.

Apa yang ingin saya lakukan sangat jelas dari awal. Saya melabeli diri saya sebagai hardcore engineer. Namun, saya sadar bahwa insinyur tanpa pengetahuan dasar komunikasi tidak akan bisa melangkah lebih jauh. Apalagi jika Anda ingin menjadi pemimpin. Kepemimpinan adalah segala hal tentang mengarahkan dan mendelegasikan, itu membuat komunikasi sangat penting.

Sebagai seorang maniak teknologi, apakah Anda pernah merasa kesulitan dalam berkomunikasi? Apa yang bisa Anda bagikan pada para engineer di luar sana?

Ini sebenarnya sangat sederhana, hanya dengan berbicara dengan orang. Di sini bukan cuma perkara literatur, namun sebuah proses belajar sambil bekerja. Setelah dua tahun mengajar, saya menjadi lebih baik dalam pemasaran. Masalah yang ada pada kebanyakan teknisi adalah mereka tidak bisa melakukan pemasaran. Saya beruntung memiliki mitra untuk membantu saya belajar cara menghadapi orang dan berbagi wawasan penting.

Natali Ardianto bersama tim Semut Api Colony
Natali Ardianto bersama tim Semut Api Colony

Dengan latar belakang pendidikan di bidang teknologi informasi, ditambah pengalaman di berbagai sektor industri, mulai dari tata kota, OTA, fintech dan sekarang healthtech. Bagaimana anda mendeskripsikan masing-masing perusahaan?

Saya seorang penganut industri agnostik, startup pertama saya berfokus pada direktori kota tanpa latar belakang terkait. Perusahaan kedua saya bernama Golfnesia, padahal faktanya, saya belum pernah bermain golf dalam hidup saya. Selanjutnya, di perusahaan ketiga saya, Tiket, tidak ada dewan direksi yang memiliki latar belakang terkait layanan OTA. Sebelum ini, adalah perusahaan fintech bernama Pluang [dulu EmasDigi], dan sekarang kapal saya berlabuh di industri healthtech.

Di antara semua ini, ada hikmah yang dirasakan, sebuah pencapaian sebagai seorang pakar industri. Hal ini bukan hanya tentang latar belakang pendidikan, kepribadian, atau keluarga. Untuk mencapai tahap itu, seseorang harus melalui hampir semua hal.

Saya sendiri percaya pada rahasia ilahi. Ada sesuatu yang disebut RAS (Reticular Activating System) di otak kita yang dapat menyaring pikiran hal-hal penting. Ketika Anda memiliki sesuatu yang benar-benar Anda inginkan dan tanam di kepala Anda sejernih dan sejelas mungkin. Pada akhirnya, Anda bisa mendapatkannya.

Dalam empat perusahaan terakhir, Anda memimpin tim teknisi, sementara saat ini Anda menjabat sebagai CEO. Bagaimana Anda melihat gap dalam transisi ini? Apakah hal ini membutuhkan kemampuan khusus?

Dalam gambaran besar ketika kami memulai Tiket, saya membuat dek lapangan dan rencana keuangan. Saya selalu bekerja bagian bisnis untuk CEO kadang-kadang. Juga, saya memiliki latar belakang sebagai manajer proyek di perusahaan konsultan. Jika harus saya katakan, saya selalu menjadi CTO yang berorientasi bisnis. Saya sangat sadar akan anggaran dan angka.

Natali dalam acara pemberian pernghargaan iCIO
Natali dalam acara pemberian pernghargaan iCIO

Kebanyakan CTO sangat high maintenance dalam hal teknologi. Mereka hanya ingin menggunakan teknologi terbaru dan paling keren, tetapi berbiaya tinggi, Sementara itu, Anda masih bisa menciptakan sesuatu yang berdampak dengan teknologi sederhana yang ada. Saya membuat sistem Tiket dengan sistem yang sangat korporat dengan detail finansial. Setiap transaksi tercatat, menghindari penipuan dan korupsi. Saya adalah tipe orang yang suka belajar sesuatu, oleh karena itu saya tidak bisa hanya fokus pada teknologi, tetapi juga bisnis.

Namun, beberapa orang salah kaprah hanya karena mereka belajar sepotong demi sepotong, bukan ujung ke ujung. Sistem agile cukup menarik tetapi tanpa visi hal itu tidak akan menjadi efektif.

Memiliki pemikiran strategis. Sebagai CEO, kata kuncinya adalah Anda tahu apa yang akan Anda capai dalam 5 hingga 10 tahun. Beberapa CTO masih bertahan dengan rencana selama 6 bulan hingga 2 tahun karena industri yang dinamis. Adapun, yayasan seperti hukum, keuangan, bisnis merupakan target yang terpenting. Saya beruntung memiliki mentor yang baik dan pengalaman selama sebelas tahun. Jujur, hari ini saya agak merasa lega, karena mengambil keputusan sudah menjadi proses yang berulang. Ketika Anda sudah tahu strateginya, selanjutnya adalah untuk mengulangi proses yang sama.

Dalam hal bisnis dan kehidupan pribadi, siapakah yang menjadi role model anda? Mungkin sebagai mentor, pendamping, seseorang yang menemani anda samapai pada tahap seperti ini.

Dalam hal pendamping, tentunya adalah istri saya. Saya bertemu dengannya pada tahun 2002 pada saat masih mengalami introvert kronis. Sebenarnya, dia turut membantu saya berubah, dan mengajarkan banyak hal tentang cara berkomunikasi, berpakaian bagus, serta yang lainnya. Saat ini ia sudah meraih gelar master dalam psikologi konseling. Istri adalah mitra belajar saya, terutama dalam memahami orang.

natali nuniek 2003 - Natali and Nuniek

Kata kunci dalam hal kepemimpinan adalah kemampuan memahami pribadi orang. Anda harus bisa menemukan cara untuk membuat mereka tetap tinggal, meskipun apa yang Anda tawarkan tidak sebesar perusahaan raksasa di luar sana. Saya mencoba memahami dan memenuhi celah emosional tidak hanya secara finansial. Karena kami berusaha membuat yayasan tidak hanya berdasarkan uang. Masalahnya, ketika orang punya uang, mereka mencoba menyelesaikan semuanya dengan membayar. Untuk bisa memecahkan masalah adalah dengan belajar menjadi orang yang efektif. Ketika Anda menjadi orang yang efektif, secara tidak langsung Anda menjadi orang yang efisien.

Secara pribadi, dalam hal menjalankan perusahaan, Jonggi Manalu dari Tiket menjadi salah satu inspirasi saya. Secara umum, Larry Page & Sergey Brin akan selalu menjadi contoh terbaik, walaupun pada 11 tahun pertama, Eric Schmidt yang menjadi eksekutif berpengalaman dan membuat google sangat korporat. Saya menyebutnya dengan corporate agility, korporasi adalah dasar dari sebuah perusahaan sedangkan agile adalah bagaimana kita menjalankan perusahaan. Mengapa sebuah perusahaan harus korporat? Karena saya sering menemukan perusahaan yang mengalami kesulitan dengan keborosan, korupsi, kelemahan finansial, masalah hukum, dan kekurangan manajemen.

Menjalankan startup berarti menjalankan perusahaan, bukan hanya produk. Anda bisa saja membuat produk, namun ketika Anda tidak tahu apa-apa tentang pemasaran, pengembangan bisnis, serta hal-hal yang berkaitan dengan korporasi, semua itu tidak akan berhasil. Saya menemukan dua hal yang dapat membuat perusahaan gagal, yaitu ketika pendiri menyerah dan kehabisan uang.

Natali Ardianto at Tiket grand launching
Grand launching Tiket.com

Diantara beberapa industri yang telah dijelajahi, manakah yang paling menantang? Apa pelajaran terbesar yang ada dapatkan dari berbagai pengalaman ini?

Dalam entrepreneurship, kuncinya adalah waktu. Menjalankan perusahaan yang tidak berbasis jual-beli benar-benar sulit. Untuk mendapatkan satu transaksi, margin yang besar atau kecil membutuhkan usaha yang sama besar.

Dalam menjalankan sebuah perusahaan, saya lebih suka menyebutnya sebagai hardship. Ketika menjalankan sesuatu untuk mendapatkan profit, semuanya akan terbatas oleh anggaran. Sebagai contoh, ketika saya berada di industri OTA, dengan tim kecil saat ini bersaing melawan raksasa pesaing kami adalah satu perjuangan yang sangat berat. Dalam kasus ini, bukanlah sebuah titik terendah, tetapi sebuah kesulitan. Ketangguhan dalam mencoba menjalankan perusahaan yang profitable.

Apa yang menjadi target Anda selanjutnya? Apakah ada mimpi yang belum terwujud ataukah sesuatu yang diidam-idamkan selama ini?

Startup Montage

Setelah “lulus”dari Tiket.com, saya ingin menikmati masa “pensiun” selama satu tahun. Saya dan istri bepergian keliling 5 benua, lebih dari 30 kota. Namun, saya tidak menikmati pensiun seperti itu sama sekali. Akhirnya, pada bulan ke-7, saya membantu teman membangun startup baru. Membangun sesuatu dari awal dan mengubahnya menjadi hal besar selalu menjadi hasrat saya. Sepertinya, saya tidak mau menukarnya dengan apa pun. Bahkan jika harus melakukan hal ini sampai berusia 70 tahun, saya masih akan melakukan hal yang sama. Menciptakan produk hebat yang digunakan dan dicintai semua orang. Juga, suatu hari saya ingin mengejar gelar Ph.D. dalam kewirausahaan atau e-commerce.


Artikel ini ditulis dalam Bahasa Inggris, diterjemahkan oleh Kristin Siagian

Natali Ardianto talks about his clear vision to become an industry expert as he is now

Natali Ardianto’s Journey on Becoming an Industry Expert: Set Up a Vivid Goal

This article is a part of DailySocial’s Mastermind Series, featuring innovators and leaders in Indonesia’s tech industry sharing their stories and point of view.

Entrepreneurship is not for everyone. It takes years of hard work, loads of responsibilities, high risk, and other important sacrifices. However, all those will not be an issue when you have a clear set of goals to achieve. At least, it’s what Natali Ardianto, the former tech leader in one of the leading OTA services, Tiket.com, has been doing through these years of paving ways into the tech industry.

Ardianto is now the Co-Founder & CEO at Indopasifik Teknologi Medika Indonesia, the company he built after sailing through several industry sectors. From city directory, OTA, fintech, and now healthtech, each venture has taught him different lessons and shaped him as the industry expert he is now.

As a tech enthusiast and computer geek, he was struggling with chronic introvert but eventually managed to overcome the issue and master the communication skill. One of the key points he suggested is to have a clear vision, a vivid goal, one that you can cling on to, and be precise about it.

As stated on his profile “Life is a journey, not a destination”, DailySocial has an opportunity to dig deeper into his journey and here’s what we discover.

Let’s start from your current position, Co-founder & CEO at Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. Tell me a bit about the latest venture.

ITMI Team member
ITMI Team member

This is my 5th startup, a healthtech company under the name PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia. We provide a digital solution focused on supplement products. It’s a machine learning that fully personalized your data to give recommendations of the best supplement for your health. People may have question, why healthtech?

Simply put, do you think health as primary or secondary? Actually, most people will put health above anything, health will always be positioned first. In fact, it [health] becomes a basic need that people willing to spend money. While other leisure industries require thorough calculation as it is not the primary need. In terms of profit, it surely be a good thing. As the average revenue per user (ARPU) can get few times higher than other leisure industries. In other words, a goal can be achieved with less effort.

Twelve years ago, when you first jumped into the startup life, what were you thinking? How did you start the whole tech-business journey?

In 2008, when startup hype is yet to penetrates the region, we only thought to build a digital company. Also, own a company has been my dream since I was a child. I had my first encounter and fall in love with the computer in the 5th grade, I also started coding around that age. I keep my eyes and mind focused on tech until I make it into Computer Science in Universitas Indonesia.

In 2003, I already started some freelance projects, and it crosses the region. While startups are getting popular in 2010, I had my struggle with Urbanesia, the first company where I learned a lot after 13 months of development. I have mindset that life is about solving problems. When we solve the problem over and over again, we master the skill. It is what happened to my second company that took 8 months of development, and then we make it only 3 months for Tiket.com.

What I want to do is very clear from the very beginning. I labeled myself as a hardcore engineer. However, I’m aware that engineers without basic knowledge of communication will not get any further. Especially if you want to be a leader. Leadership is all about directing and delegating, it makes communication very important.

As a tech geek, do you have any issues regarding communication? You have something to say to other engineers out there?

It’s actually simple, just talk to people. This is not only about literature yet a learning-by-doing process. After two years of teaching, I get better at marketing myself. The problem with engineer is they can’t do marketing. I’m lucky to have a partner to help me learn on how to manage people and share essential insights.

The very first book that’s important to read is “How to win friends and influence people” written by Dale Carnegie. It’s the foundation of communicating with people. And then “7 Habits of Highly effective people” by Stephen Covey, on how we make the right decisions for ourselves and the other. The rest is usually biography and books about different kinds  of leaders, such as Elon Musk, Steve Jobs, or even “Bad Blood” Elizabeth Holmes.

Natali Ardianto with Semut Api Colony team
Natali Ardianto with Semut Api Colony team

You have an educational background in technology information, experienced in several industry sectors, from city directory, OTA, fintech, and now healthtech. How would you describe each venture?

I am an industry-agnostic, I had my first startup focused on city directory without any related background. My second company is named Golfnesia, with a fact that I’ve never been playing golf in my life. Next, in my third company, Tiket, none of the board of directors have background in the OTA service. The previous one is a fintech company named Pluang [used to be EmasDigi], and now my ship anchored in healthtech.

Among all these, there’s a silver lining that one must have, a value named industry expert. It’s not only about the educational background, personality traits, or family pictures. In order to reach that stage, one must get through almost everything.

I am, myself, believe in the secret. There’s something called RAS (Reticular Activating System) in our brain that can filter the mind of significant things. When you have something you really want and plant it in your head as clear and vivid as possible. Eventually, you’ll get it.

In the last four companies, you’ve been serving as a tech leader for the last four companies, now you’re a CEO. How do you see the gap in the transition? Is there any specific skill for that?

In a big picturem when we started Tiket, I created the pitch deck and financial plan. I was always been working a business part for the CEO sometimes. Also, I have background as a project manager in the consulting company. If I must say, I’m always be the business-oriented CTO. I’m very aware of budgets and numbers.

Natali as the iCIO awards
Natali as the iCIO awards

Most of the CTOs are very high maintenance in terms of technology. They only want to use the latest and coolest technology, but high costing, In fact, you can still create something impactful with the simple technology you already have. I create Tiket’s system in a very corporate way and financial detaill. Every transaction is recorded, avoiding fraud and corruption. I’m the type of person who likes to learn things, therefore I can’t just focus on tech, but also business.

However, some people get misled just because they’re learning piece by piece, not end-to-end. The agile thing is quite interesting but without vision it’s no longer effective.

Strategic thinking. As a CEO the keyword is you know what you’re going to achieve in 5 to 10 years. Some CTOs still on to 6 to 2 years plam due to the dynamic industry. In fact, foundations such as legal, finance, businessm is what really matter. I’m lucky to have a good mentor and eleven years of experience. Honestly, today I kinda feel relieved, because decision is a repeating process. When you already know the strategy it’s only time to repeat the previous overcomes.

In terms of Business and Life, do you have someone or something that you really look up to? Either a mentor, companion, things that shaped you into the current position?

In terms of companion, I’d say my wife. I met her in 2002 in time of my chronic introvert issue. Actually, she helped me changed too, on how to communicate, dress well and many others. She’s now a master in psychology counseling. she’s my learning partner, especially in understanding people.

 

The keyword to the leadership position is to manage people. You have to find a way to make them stay, even though what you offer is not as big as the giant company out there. I try to understand and fulfill the emotional part not only financially.  Because we try to create a foundation not only based on money. The problem when people have money, they try to solve everything using it. A way to solve a problem is to become an effective person. When you become an effective person, you also become an efficient person.

Personally, in terms of running a company, Jonggi Manalu of Tiket is my inspiration. In general, Larry Page & Sergey Brin are always the best example, but the first 11 years, Eric Schmidt becomes the seasoned executive and makes google very corporate. I called it corporate agility, corporate is the foundation of a company while agility is how we run the company. Why the foundation must be corporate? Because I often find a company struggling with cash leak, corruption, financial weakness, legal issue, and under management.

Running a startup means running a company, not just a product. You can make a product but if you don’t know anything about marketing, business development, things related to a corporation it won’t work.  I found out two things that can make a company going down, it’s when the founder gives up and the cash runs out.

Natali Ardianto at Tiket grand launching
Natali Ardianto at Tiket’s grand launching

Among the several industries you’ve been managed, which one is the most challenging? What is your biggest lesson for these past experiences?

In terms of entrepreneurship, the key point is timing. Running a company that is not commerce-based is really tough. In order to gain one transaction, either big or small margin need practically the same effort.

In running a company, I’d rather called it a hardship. When running something to be profitable, everything is restricted by budget. As an example, when I’m in the OTA industry, with the current small team competing against the horsepower of our competitor is one hell of a struggle. If I were to say it, not the lowest point, but hardship. The toughness of trying to run a profitable company.

What do you aim next? Is there any unfulfilled dream or something you really want to do after all these?

Startup Montage

After exiting from Tiket.com, I wanted to take a year of “retirement”. My wife and I travel around 5 continents, over 30 cities. But I didn’t enjoy that kind of retirement at all. Eventually, in the 7th month, I help co-found another startup. Building something from scratch and turn it into a big thing has always been my passion. I guess I wouldn’t trade it for anything. Even if I will do this until I am 70 years old, I would still do the same thing. Creating a great product that everyone uses and loves. Also, one day I would like to pursue a Ph.D. in entrepreneurship or e-commerce.

Startup healthtech mulai menyasar penyediaan teknologi ke rumah sakit, klinik, dan korporasi

Kaleidoskop Startup Kesehatan dan Wellness Selama Tahun 2019

Sepanjang tahun ini Indonesia diramaikan dengan berita investasi di startup yang menyasar sektor kesehatan dan makin maraknya layanan wellness.

Tidak hanya layanan kesehatan yang mencoba untuk meng-cater konsumen secara langsung, startup yang berbasis teknologi kesehatan juga mulai menawarkan teknologi yang bisa digunakan pihak rumah sakit, dokter, dan klinik. Hal tersebut membuktikan teknologi sudah mulai diadopsi sektor kesehatan yang selama ini dikenal paling sulit untuk di-disrupt.

Munculnya layanan wellness

Salah satu layanan yang makin menjamur kehadirannya sepanjang tahun 2019 adalah layanan menyediakan pilihan aktivitas atau kegiatan olahraga. Konsep yang mengedepankan kemitraan dan agregator pusat kebugaran ditawarkan oleh layanan seperti The Fit Company, ClassPass hingga R Fitness.

Bulan Agustus 2019 lalu The Fit Company meluncurkan aplikasi bernama “Fitco” dan berkomitmen untuk menciptakan gaya hidup aktif dan sehat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Aplikasi Fitco merupakan produk unggulan yang memungkinkan masyarakat mengakses layanan gaya hidup aktif dan sehat dengan mudah. Sementara itu usai mengantongi pendanaan Pra-Seri A sebesar Rp17,7 miliar, R Fitness melakukan rebranding dan menawarkan tiga pilihan aktivitas olah raga yang lengkap untuk warga penggunannya. Setelah sebelumnya dikenal dengan nama Ride, startup wellness yang menghadirkan layanan kebugaran, khususnya indoor cycling, melakukan rebranding menjadi R Fitness.

Sementara platform asal Amerika Serikat “ClassPass” meresmikan kehadiran mereka di Indonesia. Kepada DailySocial, Country Manager ClassPass Indonesia Anjani Percaya mengungkapkan, makin besarnya minat warga ibukota peduli akan olahraga dan gaya hidup yang sehat, menjadikan platform seperti ClassPass mulai banyak diminati saat ini. ClassPass merupakan platform wellness asal Amerika Serikat, saat ini telah memiliki 20 ribu mitra secara global.

Khusus untuk suplemen, Jovee menjadi pendatang baru yang menawarkan kebutuhan suplemen untuk pengguna milenial. Jovee didirikan oleh veteran industri, Natali Ardianto, yang sebelumnya adalah Co-Founder Tiket.com.

Hadirnya berbagai layanan kesehatan baru

Jika di tahun 2017-2018 banyak bermunculan startup healthtech yang menawarkan layanan konsultasi dokter (telemedicine) dan pengantaran obat langsung ke rumah pelanggan, sepanjang tahun 2019 makin banyak bermunculan layanan kesehatan berbasis teknologi yang menawarkan ragam layanan baru, mulai dari jasa perawat yang bisa dipesan seperti MHomecare hingga platform yang menghadirkan informasi dan berita kesehatan terkurasi SehatQ.

Kedua layanan tersebut mencoba untuk meng-cater target pasar dari berbagai kalangan untuk bisa mendapatkan layanan kesehatan hingga informasi kesehatan yang diinginkan.

Layanan kesehatan yang lebih fokus kepada kosmetik atau perawatan dental (gigi) juga mulai hadir di Indonesia, diprakarsai platform lokal Rata dan platform Singapura yang merupakan alumni program Surge Sequoia India bernama Zenyum. Tahun 2020 mendatang diprediksi makin banyak lagi layanan kesehatan kosmetik berbasis teknologi.

Sementara itu, Grab melalui GrabHealth meresmikan layanan kesehatan bersama Good Doctor Technology Indonesia (anak usaha Ping An Good Doctor). President Grab Indonesia Ridzki Kramadibrata mengatakan, GrabHealth adalah salah satu buah investasi SoftBank senilai $2 miliar yang diumumkan pada Juli 2019 untuk Indonesia. Perusahaan percaya pemanfaatan teknologi yang tepat bisa membawa manfaat positif buat masyarakat.

Ada empat fitur yang dihadirkan, di antaranya tanya jawab kesehatan dengan dokter, membuat janji konsultasi tatap muka dengan dokter, belanja produk kesehatan dan kebugaran (Health Mall), dan konten kesehatan dan gaya hidup yang dikurasi oleh tim dokter. Seluruh fitur ini dapat diakses secara gratis, sementara tersedia di Jabodetabek, dan segera digulirkan ke kota lain di dalam cakupan operasional Grab secara bertahap.

Layanan lain untuk rumah sakit dan klinik

Dengan regulasi yang ketat di industri, belum banyak startup healthtech yang menyasar konsumen rumah sakit dan klinik. Didukung Ikatan Dokter Indonesia, tahun ini beberapa startup healtech mencoba mengakomodir konsumen ini. Salah satunya adalah Medigo yang menawarkan joint venture dengan pihak klinik untuk memberikan sistem manajemen layanan kesehatan terpadu dan proses digitalisasi klinik melalui Klinik Pintar. Dikabarkan IDI juga berniat untuk merangkul lebih banyak investor untuk mendukung klinik yang tersebar di seluruh Indonesia untuk mengadopsi teknologi melalui kemitraan.

Sementara fitur unik lainnya adalah ulasan rumah sakit melalui Dokter.id. melalui fitur ini nantinya Pengguna bisa memberikan pendapat, kritik, dan testimoni kepuasan pelanggan terhadap layanan dokter, perawat, dan proses pengobatan selama berada di rumah sakit.

Layanan yang sudah dikenal publik, seperti Halodoc dan Alodokter, terus menambah lini bisnis baru, termasuk menyasar konsumen korporasi dan peningkatan variasi layanan. Pengembangan teknologi dan strategi bisnis yang ada membuktikan bahwa layanan kesehatan berbasis teknologi mendapatkan momentum yang tepat tahun ini.

Jovee mengandalkan "data science" dalam memberikan rekomendasi suplemen sesuai kebutuhan

Aplikasi Penyedia Kebutuhan Suplemen Jovee Hadir Ramaikan Pasar Healthtech

Pasar health tech Indonesia kembali kedatangan pemain baru Jovee. Melalui PT Indopasifik Teknologi Medika Indonesia (ITMI), Jovee hadir sebagai platform penyedia kebutuhan suplemen untuk pengguna milenial.

Co-Founder dan CEO Jovee Natali Ardianto menyebutkan, pihaknya memiliki misi untuk membangun literasi kesehatan pengguna milenial yang berada di rentang usia 23-38 tahun. Untuk memahami kebutuhan kesehatan mereka, Jovee mengedepankan personalisasi produk.

Menurutnya, seluruh dunia hingga saat ini belum mencapai standar konsumsi yang baik. Di samping itu, masih banyak yang belum sadar bahwa kebutuhan nutrisinya belum tercukupi. Mengutip Global Burden of Disease Study 2017, Natali menyebut konsumsi tidak sehat berkontribusi terhadap 22 persen kematian di dunia.

“Untuk itu, kami mengandalkan data science dalam memberikan rekomendasi suplemen ke pengguna. Ke depannya, kami ingin bergantung pada data science karena goal kami ingin menjadi top of mind penyedia suplemen di masa mendatang,” tuturnya ditemui di peluncuran aplikasi Jovee, Kamis (14/11/19).

Untuk pengguna Android, aplikasi Jovee sudah bisa diunduh di Google Play, sedangkan versi iOS akan tersedia dalam waktu dekat.

Dalam mendapatkan rekomendasi sesuai kebutuhan, pengguna di awal masuk ke aplikasi akan diminta untuk 20-30 pertanyaan berkaitan dengan concern kesehatan dan rekam penyakit yang dimiliki.

Setelah itu, algoritma akan mengolah data tersebut untuk mengetahui suplemen yang dibutuhkan. Tak hanya berbasis data, personalisasi kebutuhan suplemen ini juga diperkuat oleh rekomendasi lima apoteker yang saat ini dimiliki Jovee.

“Kami mau cari traction dulu. Kalau [penggunanya] banyak, kami akan tambah jumlah apotekernya,” ungkap Natali yang juga eks Co-founder dan CTO Tiket.com ini.

Berbeda dengan pemain healthtech lain yang fokus sebagai agregator, Co-founder dan CCO Jovee Abi Dwiaji Wicahyo mengungkap bahwa Jovee memiliki posisi berbeda. Menurutnya, Jovee memiliki apotek sendiri untuk menjaga kualitas dan keamanan, serta mitra penyuplai produknya sendiri.

ITMI merupakan anak usaha PT Indopasifik Medika Investama. Induk usaha ini memiliki beberapa unit bisnis yang dapat memperkuat bisnis Jovee ke depan, yaitu jaringan apotek Pharmaplus, klinik Primecare, dan aplikasi penghubung perawat dan lansia Homecare24.

Lebih lanjut, saat ini pihaknya bermitra dengan perusahaan logistik untuk mendukung pengiriman ke seluruh Indonesia. Soal metode pembayaran, Jovee belum didukung oleh pembayaran digital seperti, OVO, GoPay, LinkAja, dan DANA.

“Namun, kami terbuka untuk kerja sama dengan mereka [penyedia pembayaran digital],” tambahnya.

Application Information Will Show Up Here