Tag Archives: junanto herdiawan

Fintech Provider in Payment Sector Must Now Registered at Bank Indonesia

Bank Indonesia issued a policy requiring fintech (financial technology) developer in payment system to register at central bank. The rule will be applied on January 1st, 2018. It’s stated in Bank Indonesia’s regulation (PBI) Number 19/12/17 on the Implementation of Financial Technology.

Bank central expects, with this policy, fintech startups can develop and contribute to push Indonesia’s economic growth by prioritizing risk mitigation aspects.

“BI sees a fast growing fintech can be used to push Indonesia’s economic growth. By innovation, the activities should be better. It also necessary to know the risk of fast growing fintech. The BI rule is a way to balance it,” said Sugeng, Bank  Indonesia’s Deputy Governor on Thursday (12/7).

PBI’s scope consists of registration rule, regulatory sandbox, licensing and approval, also monitoring and supervision.

Furthermore, there are five types of fintech classified by BI. It is payment system, market support, investment and risk management, financial loan and funding provider with other financial services.

Fintech criteria is regulated with five indicators, such as innovative, impactful on products/services/technologies and/or existing financial business model, beneficial for society, be widely used and other criteria set by BI.

Sugeng said, required registration is only for fintech provider which will or has done activities fit to the fintech criteria and under other authority, providing fintech in payment system.

Registered companies (and permitted by other authority) are not required to register. However, providing information regarding their business is sufficient.

“Unless the fintech’s payment, system already got permission as payment system provider (PJSP) by BI.”

Moreover, bank central issued two derivative rules of PBI Fintech as follows, governing board regulation (PADG) Number 19/14/PADG/2017 on fintech’s regulatory sandbox and PADG Number 19/15/PADG/2017 on how to register, deliver information, and monitor fintech’s implementation.

Junanto Herdiawan, BI’s Fintech Office Acting Head added, registered fintech provider will get into regulatory sandbox to see business model side and potential risk generated. Fintech company might go there for six month with a one-time renewal option.

“Later, the result will be seen whether it was working, not working or other status we set,” said Herdiawan, closely called as Iwan.

Immediately set an explicit prohibition regarding bitcoin

The PBI states fintech’s requirements in using Rupiah in every transaction. It means prohibition for any other currency in transaction, including virtual currency like bitcoin.

For Sugeng, the prohibition is basically due to the high-level volatility of virtual currency. It is concerned to have negative impact, then decided as invalid payment instrument.

Bank central is currently finalize the virtual currency prohibition as payment and investment instrument. BI plans to explicitly prohibit the virtual currency by issuing new rule in January 2018.

Unlike bitcoin, blockchain as supporting technology is not prohibited. In fact, BI is exploring ways to apply blockchain’s technology next year.

“Blockchain technology is not prohibited,” said Iwan.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Penyelenggara Fintech di Sistem Pembayaran Kini Wajib Terdaftar di Bank Indonesia

Bank Indonesia menerbitkan beleid yang mewajibkan penyelenggaran fintech (teknologi finansial/tekfin) di bidang sistem pembayaran untuk terdaftar di bank sentral. Kewajiban ini mulai berlaku pada 1 Januari 2018. Aturan ini tertuang dalam Peraturan BI (PBI) No.19/12/17 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial.

Bank sentral berharap melalui beleid ini, bisnis fintech tetap dapat berkembang dan berkontribusi demi mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia dengan tetap mengedepankan aspek mitigasi risiko.

“BI melihat pertumbuhan fintech sangat bagus bisa dimanfaatkan untuk dorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Dengan inovasi, kegiatan inovasi bisa lebih baik. Tapi perlu diketahui bahwa fintech saking berkembangnya bisa timbulkan risiko. Aturan di BI ini adalah cara untuk menyeimbangkannya,” ucap Deputi Gubernur Bank Indonesia Sugeng, Kamis (7/12).

Ruang lingkup PBI ini meliputi aturan pendaftaran, regulatory sandbox, perizinan dan persetujuan, dan pemantauan dan pengawasan.

Lebih lanjut, ada lima jenis penyelenggara fintech yang sudah diklasifikasikan BI untuk mendaftar. Yakni, sistem pembayaran, pendukung pasar, manajemen investasi dan risiko, pinjaman pembiayaan dan penyedia modal, dan jasa finansial lainnya.

Kriteria bisnis fintech pun diatur dalam lima indikator seperti, inovatif, dapat berdampak pada produk/layanan/teknologi, dan/atau model bisnis finansial yang telah eksis, memberikan manfaat bagi masyarakat, bisa digunakan secara luas, dan kriteria lainnya yang ditetapkan BI.

Sugeng mengatakan, kewajiban pendaftaran ini hanya diperuntukkan ke penyelenggara tekfin yang akan atau telah melakukan kegiatan yang memenuhi kriteria fintech dan berada di bawah kewenangan otoritas lain dan menyediakan tekfin di bidang sistem pembayaran.

Untuk perusahaan yang telah terdaftar dan mendapat izin dari otoritas lain, tidak perlu mendaftar ke BI. Akan tetapi, setidaknya memberikan informasi bisnisnya ke BI.

“Kecuali tekfin sistem pembayaran itu telah mendapatkan izin sebagai penyelenggara jasa sistem pembayaran (PJSP) dari BI.”

Bersamaan dengan itu, bank sentral juga merilis dua aturan turunan dari PBI Fintech yaitu peraturan anggota dewan gubernur (PADG) No.19/14/PADG/2017 tentang ruang uji coba terbatas (regulatory sandbox) tekfin dan PADG No.19/15/PADG/2017 tentang cara pendaftaran, penyampaian informasi, dan pemantauan penyelenggaraan tekfin.

Plt Kepala Fintech Office BI Junanto Herdiawan menambahkan penyelenggara fintech yang telah terdaftar akan masuk ke regulatory sandbox untuk melihat sisi model bisnis dan risiko yang berpotensi bisa ditimbulkan. Kemungkinan perusahaan fintech akan masuk ke sana selama enam bulan dengan opsi perpanjangan satu kali.

“Nanti dari situ akan dilihat hasilnya apakah berhasil, tidak berhasil, atau status lainnya yang kami tetapkan,” kata Junanto, atau yang lebih akrab disapa Iwan.

Segera buat larangan lebih tegas mengenai bitcoin

Dalam PBI ini juga menetapkan kewajiban penyelenggara fintech untuk mengunakan Rupiah dalam setiap transaksinya. Ini berarti melarang penggunaan mata uang lain dalam bertransaksi, termasuk mata uang virtual seperti bitcoin.

Menurut Sugeng, pelarangan ini pada dasarnya disebabkan mata uang virtual memiliki tingkat volatilitasnya yang tinggi. Dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak yang negatif, sehingga ditetapkan bukan sebagai alat pembayaran yang sah.

Bank sentral pun saat ini terus mematangkan rencana pelarangan penggunaan mata uang virtual sebagai alat pembayaran dan instrumen investasi. Rencananya BI akan secara tegas melarang mata uang virtual tersebut dengan menerbitkan aturan baru pada Januari 2018.

Meskipun melarang penggunaan bitcoin, blockchain sebagai teknologi pendukungnya tidak dilarang. Malah BI sendiri menjajaki penerapan teknologi blockchain tahun depan.

“Teknologi blockchain sendiri tidak kami larang,” pungkas Iwan.

Mengapa Bank Indonesia Perlu Mendirikan Fintech Office?

Bank Indonesia (BI) pada 14 November 2016 telah meresmikan BI Fintech Office (BI-FTO). Peresmian ini pada dasarnya dilatar belakangi oleh pertumbuhan pelaku usaha rintisan (startup) di bidang fintech yang cukup pesat.

Pelaksana Tugas Kepala Financial Technology Office Bank Indonesia Junanto Herdiawan menerangkan berdasarkan dari total nilai transaksi fintech yang dihimpun oleh Statista pada tahun lalu diperkirakan telah menembus angka US$15,02 miliar atau tumbuh 24,6% secara year-on-year (yoy).

BI menilai pertumbuhan ini di satu sisi sangat baik karena dapat mendukung bergeraknya perekonomian nasional. Pasalnya fintech memiliki ciri inovatif yang dapat membantu penyelesaian masalah nasional, seperti ketahanan pangan, inklusi finansial, pengangguran, hingga stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi. Pelaku fintech memiliki cara untuk bekerja dengan memanfaatkan teknologi dan menjawab berbagai masalah di lapangan.

“Kami memandang, pertumbuhan fintech ini perlu terus didukung dengan tetap memerhatikan unsur kehati-hatian dan perlindungan konsumen. Oleh karena ini, BI meluncurkan BI-FTO untuk memberi ruang bagi inovasi di bidang fintech dengan menjaga level of playing field yang setara lewat rezim regulasi yang berimbang dan proporsional,” tuturnya kepada DailySocial.

Ada empat fungsi BI-FTO dalam bekerja, yakni sebagai fasilitator/katalisator bagi para pelaku startup, menjalankan business intelligence dengan terus meng-update perkembangan di dunia internasional, melakukan kajian dan assessment atas berbagai tema di bidang fintech, dan melakukan koordinasi dan komunikasi dengan para pengambil kebijakan, industri, dan pelaku fintech.

Ruang lingkup kegiatan dan rencana kerja BI FTO

Pelaksana Tugas Kepala Financial Technology Office Bank Indonesia Junanto Herdiawan
Pelaksana Tugas Kepala Financial Technology Office Bank Indonesia Junanto Herdiawan

Ada dua regulator yang bertugas menjaga industri keuangan Indonesia, yakni BI dan OJK. Kedua pihak ini memiliki tugas yang berbeda, namun perlu koordinasi satu sama lainnya agar tidak saling tumpang tindih.

Junanto, yang lebih akrab disapa Iwan, menjelaskan jika dilihat berdasarkan jenis usahanya. Perusahaan fintech dapat dikategorikan dalam empat kategori, yaitu (1) payment, clearing, dan settlement; (2) deposit, lending, dan capital raising; (3) market provisioning, dan (4) investment dan risk management.

Dari keempat kategori tersebut, sekitar 56% perusahaan fintech di Indonesia bergerak di kategori pertama. Adapun kategori ini termasuk dalam ranah kawasan Bank Indonesia selaku otoritas sistem pembayaran.

“Namun karena dalam praktiknya ada beberapa pelaku fintech yang bergerak di perbatasan kategori tersebut, koordinasi dengan lembaga/kementerian terkiat jadi penting. Terlihat dari peraturan yang dikeluarkan BI yakni PBI PTP mengatur (salah satunya) perkembangan penyelenggara jasa sistem pembayaran berbasis TI. Sementara OJK mengeluarkan POJK tentang layanan pinjam meminjam uang berbasis TI.”

Iwan melanjutkan salah satu bentuk rill yang akan diwujudkan dari BI FTO adalah meluncurkan regulatory sandbox pada pertengahan tahun ini. Hal ini adalah semacam wahana bagi pelaku fintech untuk mencoba inovasinya secara terbatas dalam pengawasan dan monitoring BI.

Menurut Iwan, pada umumnya pelaku startup memiliki inovasi yang mungkin belum sepenuhnya berada dalam wilayah pengaturan, atau belum memenuhi kriteria tertentu.

“Dalam sandbox itu kami akan melakukan assessment dan evaluasi apakah sebuah inovasi berjalan atau tidak. Tentu saja hal-hal yang tetap kami perhatikan adalah kehati-hatian, keamanan, dan perlindungan konsumen.”

Regulatory sandbox adalah pendekatan yang dilakukan oleh berbagai negara maju dalam membendung inovasi sistem dan bisnis fintech sebelum dioperasikan secara penuh. Pelopornya adalah Inggris, kemudian ditiru oleh Australia, Hongkong, Singapura, dan Malaysia.

Iwan menjelaskan nantinya dalam implementasi regulatory sandbox tidak akan mengikuti sepenuhnya dari apa yang dilakukan berbagai negara. Akan tetapi akan ada proses perbandingan dan dipilih sesuai dengan kondisi dan inovasi yang diperlukan oleh Indonesia.

Selain regulatory sandbox, pada tahun ini BI FTO akan melakukan beberapa kajian tentang fintech, mengadakan acara edukasi, dan sosialisasi mengenai fintech kepada masyarakat di beberapa daerah.