Tag Archives: kamera analog

Fujifilm Instax Square SQ6 Adalah Kamera Instan Analog Berwujud Logo Lama Instagram

Setahun yang lalu, Fujifilm meluncurkan sebuah kamera instan yang sangat unik. Kamera bernama Instax Square SQ10 itu unik bukan semata karena menghasilkan potret dalam format kotak, tapi juga karena sistem hybrid (digital dan analog) yang diadopsinya.

Sekarang, Fujifilm memutuskan untuk melakukan hal yang berbeda dengan merilis Instax Square SQ6. Berbeda karena SQ6 murni merupakan kamera instan analog, yang dapat menghasilkan potret berukuran 62 x 62 mm di atas kertas 86 x 72 mm.

Desainnya sepintas kelihatan mirip seperti SQ10, namun dengan sudut-sudut yang lebih kaku sehingga membuatnya makin mirip dengan logo lama Instagram. Di samping lensa 32 mm-nya, terdapat cermin kecil yang berfungsi untuk membantu pengguna mengambil selfie. Dalam mode selfie ini, kamera akan mengatur tingkat kecerahan dan fokusnya secara otomatis.

Fujifilm Instax Square SQ6

Pada kenyataannya, SQ6 memang dibekali sensor untuk mendeteksi kondisi pencahayaan di sekitarnya, lalu mengatur shutter speed dengan sendirinya. Pengguna hanya perlu menjepret tanpa memusingkan parameternya meskipun kamera ini termasuk jenis analog.

Mode pemotretan lainnya mencakup mode makro, dengan jarak paling dekat 30 cm, mode landscape, serta mode double exposure yang memungkinkan pengguna untuk menggabungkan dua gambar di dalam satu kertas film. Juga tidak kalah unik adalah kehadiran tiga filter warna (oranye, ungu dan hijau) yang ‘disemburkan’ melalui flash bawaannya.

Nuansa nostalgia tentunya menjadi nilai jual utama Fujifilm Instax Square SQ6. Di samping itu, kamera ini juga merupakan alternatif yang lebih terjangkau untuk SQ10 berkat banderol harganya yang cuma $130. Di AS, kamera ini akan dipasarkan mulai 25 Mei mendatang.

Sumber: DPReview.

Kodak Scanza Tawarkan Cara Mudah untuk Mengubah Film Kamera Analog Menjadi Gambar Digital

Sebagai salah satu produsen rol film yang paling dominan di masa kejayaaan fotografi analog, sangat masuk akal apabila Kodak juga menjadi pihak yang mencoba melestarikan fotografi analog hingga kini. Inisiatif terbaru mereka dimaksudkan supaya pengguna kamera analog tetap memanfaatkan kamera-kamera kesayangannya, tapi di saat yang sama tidak menghentikan kebiasaan mengunggah foto ke media sosial.

Buah pemikirannya adalah Kodak Scanza, sebuah digitizer berwujud ringkas yang berfungsi untuk mengubah film negatif (klise) menjadi gambar digital berformat JPEG, dengan resolusi 14 atau 22 megapixel. Tinggi dan diameternya tidak lebih dari 13 cm, sehingga membawanya bepergian masih terkesan rasional.

Kodak Scanza

Diperkenalkan di ajang CES 2018, Scanza bisa memindai banyak jenis film atau slide sekaligus (35mm, 126 110, Super 8, 8mm) dengan bantuan sejumlah adapter yang tersedia. Hasil scan-nya bisa langsung disimpan ke SD card, disimpan di komputer (Windows atau macOS) yang tersambung via USB, atau langsung dilihat di monitor atau TV via sambungan HDMI.

Scanza turut dibekali layar 3,5 inci yang bisa dimiringkan, yang dapat digunakan untuk menyesuaikan tingkat kecerahan maupun warna foto sebelum disimpan dalam format JPEG dan akhirnya bermukim di Instagram sembari mendulang like.

Kodak Scanza saat ini sudah dipasarkan seharga $170. Selain Scanza, sebelumnya juga ada digitizer lain yang tidak kalah unik dan praktis. Namanya FilmLab dan ia sebenarnya merupakan aplikasi smartphone, namun sampai sekarang statusnya masih dalam tahap pengembangan setelah menjalani kampanye penggalangan dana di Kickstarter.

Sumber: DPReview.

I’m Back Hidupkan Kembali Kamera Analog Menjadi Kamera Digital

Dalam rangka membangkitkan kembali semangat fotografi analog, Yashica belum lama ini memperkenalkan sebuah kamera digital unik yang memiliki cara kerja seperti kamera analog. Di tempat lain, ada startup asal Itali yang mencoba menghidupkan kembali kamera analog lewat jalur lain.

Jalur lain itu adalah mengubah kamera analog sepenuhnya menjadi kamera digital. Buah pemikirannya adalah I’m Back, sebuah aksesori yang bertindak sebagai dudukan kamera, dengan sebuah sensor gambar digital pada bagian dimana rol film sebelumnya berada.

I’m Back dapat digunakan bersama sejumlah kamera analog, seperti Nikon F, Minolta Maxxum 7000, Olympus om10, Praktica B200 maupun sejumlah kamera besutan Pentax. Pada dasarnya, apabila kamera analog Anda memiliki lubang tripod, opsi Bulb pada pengaturan shutter speed, kompatibilitas dengan sync flash dan kemampuan beroperasi selagi panel belakangnya terbuka; maka kamera itu kompatibel dengan I’m Back.

I'm Back

Sensor yang digunakan adalah sensor 16 megapixel buatan Panasonic. Detail mengenai ukuran sensornya tidak diberikan, tapi saya duga Micro Four Thirds kalau melibatkan Panasonic. Video dapat direkam dalam resolusi 1080p 60 fps, atau 2880 x 2160 pixel di kecepatan 24 fps.

Bagian belakangnya dihuni layar 2 inci, akan tetapi pengguna juga dapat memanfaatkan ponsel atau tablet-nya sebagai jendela bidik. Foto dan video akan disimpan ke kartu microSD, lalu ketika pengguna hendak menggunakan film kembali, cukup lepas modul I’m Back begitu saja.

I’m Back saat ini sedang ditawarkan melalui situs crowdfunding Kickstarter seharga €175, atau kurang lebih sekitar Rp 2,8 juta.

Sumber: PetaPixel.

Yashica digiFilm Y35 Adalah Kamera Digital dengan Cara Kerja Sangat Mirip Seperti Kamera Analog

Comeback Polaroid bulan lalu mendapat respon yang cukup positif dari publik. Hal ini tampaknya menginspirasi produsen kamera lawas lain untuk mengambil langkah serupa, salah satunya adalah Yashica. Pabrikan asal Jepang yang merupakan pionir teknologi shutter berbasis elektronik itu baru saja memperkenalkan kamera yang super-unik.

Namanya Yashica digiFilm Y35. Desainnya sengaja dibuat semirip mungkin dengan Yashica Electro 35 yang populer di tahun 60-an. Secara mendasar ia merupakan sebuah kamera digital, akan tetapi embel-embel “digiFilm” mengindikasikan keunikan tersendiri daripadanya.

Desain Yashica digiFilm Y35 terinspirasi Yashica Electro 35 / @wikupedia (Instagram)
Desain Yashica digiFilm Y35 terinspirasi Yashica Electro 35 / @wikupedia (Instagram)

Y35 mengemas sensor CMOS 1/3,2 inci beresolusi 14 megapixel, plus lensa fixed 35mm f/2.8. Dengan sensor sekecil itu, kualitas gambar jelas bukan aspek yang diunggulkannya. Pada kenyataannya, Y35 memang tidak mengincar titel kamera dengan hasil foto terbaik.

Yang ingin disuguhkannya justru adalah pengalaman memotret menggunakan kamera analog, tapi dengan kepraktisan teknologi digital. Jadi, dengan kata lain, cara menggunakan Y35 sebenarnya sangat mirip seperti kamera analog, tapi semua hasil jepretannya merupakan foto digital.

Yashica digiFilm Y35

Kalau kamera analog membutuhkan rol film untuk beroperasi, Y35 membutuhkan digiFilm, yang pada dasarnya merupakan rol film palsu. Namun sebelum Anda menggaruk-garuk kepala, ketahuilah bahwa digiFilm merupakan bagian terpenting dari keseluruhan kamera ini.

digiFilm sederhananya berfungsi untuk menyetel pengaturan kamera, spesifiknya tingkat ISO, aspect ratio dan mode warna. Jadi ketimbang mengakses menu via layar seperti pada kamera digital biasa, pengguna Y35 harus menukar satu digiFilm dengan yang lain secara fisik untuk mengubah pengaturan-pengaturan tersebut – Anda juga tak akan menemukan layar di belakang Y35.

Yashica digiFilm Y35

Seperti kasusnya di kamera analog, mengganti tingkat ISO di Y35 hanya bisa dilakukan dengan mengganti digiFilm yang terpasang. Total ada 4 jenis digiFilm yang menemani Y35 pada awal debutnya ini: ISO 1600 High Speed, ISO 400 Black & White, ISO 200 Ultra Fine, dan 120 Format (ISO 200, tapi dengan aspect ratio kotak yang dioptimalkan untuk Instagram).

Satu-satunya parameter yang dapat diatur pengguna secara langsung adalah shutter speed; bisa 1 detik, 1/30, 1/60, 1/250 atau 1/500 detik lewat sebuah kenop di panel atasnya – atau pengguna bisa juga mengaktifkan mode otomatis kalau perlu. Juga seperti kamera analog, Y35 beroperasi menggunakan sepasang baterai AA biasa.

Yashica digiFilm Y35

Agar pengalaman fotografi analog yang disuguhkan jadi lebih autentik lagi, Y35 bahkan juga dilengkapi film winder di sebelah tombol shutter-nya. Jadi setiap kali selesai menjepret, pengguna harus menggeser tuas ini secara manual terlebih dulu agar dapat memotret kembali, sama persis seperti di kebanyakan kamera analog.

Tidak cuma itu, pengguna Y35 bahkan tidak memiliki opsi untuk menghapus foto yang diambilnya. Satu-satunya cara adalah memindah hasil jepretannya terlebih dulu dari SD card yang terpasang, atau bisa juga dengan menancapkan kabel micro USB dan menyambungkannya ke komputer.

Yashica digiFilm Y35

Yashica digiFilm Y35 pastinya tidak akan bisa menggantikan kamera analog sejati, tapi menurut saya ini merupakan cara cerdas untuk mengenang atau setidaknya mengenali fotografi analog, tanpa harus meluangkan waktu ekstra yang diperlukan untuk proses pencucian film.

Hal lain yang perlu dicatat, pengembang digiFilm mungkin sudah bukan lagi Yashica yang dunia kenal dulunya, sebab Yashica sebagai perusahaan telah beberapa kali berpindah tuan (dijual) dalam beberapa dekade terakhir. Terlepas dari itu, Anda yang tertarik dapat memesannya lewat situs crowdfunding Kickstarter seharga HK$1.168 (± Rp 2 jutaan), sudah termasuk 4 jenis digiFilm itu tadi.

Sumber: PetaPixel.

Mati dan Terlahir Kembali, Polaroid Luncurkan Suksesor Kamera Instan Terpopulernya

Bulan Mei lalu, beredar kabar bahwa Polaroid telah diakuisisi oleh sekelompok investor yang dipimpin oleh seorang pebisnis asal Polandia bernama Wiaczeslaw Smolokowski. Yang menarik dari kabar tersebut adalah fakta bahwa Smolokowski merupakan investor utama di balik The Impossible Project, perusahaan yang berupaya menghidupkan kembali legenda Polaroid dengan membeli pabrik terakhirnya di tahun 2008.

Dengan berpindah tangannya aset Polaroid, ambisi The Impossible Project akhirnya bisa benar-benar terwujudkan. Bertepatan dengan hari jadi ke-80 Polaroid pada tanggal 13 September kemarin, diumumkanlah sebuah brand baru bernama Polaroid Originals, yang juga sepenuhnya akan menggantikan brand Impossible.

Polaroid OneStep 2

Produk pertamanya adalah Polaroid OneStep 2, suksesor dari salah satu kamera instan terpopuler di sepanjang sejarah Polaroid. Desain ikoniknya masih dipertahankan selagi mendapat sentuhan modern, dan apabila penampilannya terasa familier, itu karena OneStep orisinil yang terlahir di tahun 1977 merupakan inspirasi di balik logo awal Instagram.

Polaroid mendeskripsikan OneStep 2 sebagai kamera instan analog untuk generasi modern. Untuk itu, cara pengoperasiannya telah disederhanakan agar bisa langsung digunakan untuk mengabadikan momen sesaat setelah dikeluarkan dari boksnya, plus Polaroid tidak lupa menyematkan fungsi self-timer yang sangat krusial di era selfie dan wefie ini.

Polaroid OneStep 2

Letak viewfinder-nya tetap berada di sisi kiri, akan tetapi sisi kanannya kini dihuni oleh flash yang amat bertenaga. Polaroid memastikan kalau OneStep 2 turut dilengkapi lensa berkualitas tinggi yang dapat mengambil fokus dari jarak 60 cm sampai tidak terbatas, dengan panjang fokal 106 mm.

Agar OneStep 2 bisa terasa lebih modern, Polaroid turut mengembangkan seri film baru bernama i-Type. i-Type menjanjikan reproduksi warna yang sama ikoniknya, tapi di saat yang sama tidak membutuhkan baterai. OneStep 2 sendiri ditenagai oleh baterai rechargeable berkapasitas 1.100 mAh, yang diyakini mampu bertahan selama 60 hari sebelum perlu dicas kembali.

Deretan kamera vintage Polaroid dari berbagai seri kini telah di-refurbish dan siap dipasarkan kembali / Polaroid Originals
Deretan kamera vintage Polaroid dari berbagai seri kini telah di-refurbish dan siap dipasarkan kembali / Polaroid Originals

Hal penting yang perlu dicatat, OneStep 2 bukan sekadar kamera instan yang mengusung label Polaroid, tapi sebenarnya diproduksi oleh perusahaan lain yang hanya membeli lisensi namanya. Kamera ini benar-benar berasal dari Polaroid yang mati dan terlahir kembali, dan bersamaan dengan itu, deretan kamera vintage Polaroid pun juga ikut dihidupkan kembali, mulai dari seri 600, SX-70 sampai Spectra.

Pre-order Polaroid OneStep 2 saat ini sudah dibuka, dengan harga $100 dan pilihan warna putih atau hitam. Film i-Type sendiri dibanderol $16 per pak (isi 8), dan tersedia dalam varian berwarna atau hitam-putih.

Sumber: DPReview.

Lomography Ciptakan Kamera Instan Analog untuk Format Instax Square

Lomography kembali hadir dengan kamera instan bernuansa retro, kali ini yang menggunakan format Instax Square. Instax Square sendiri diperkenalkan Fuji bersamaan dengan kamera instan hybrid SQ10, yang berarti kamera bernama Lomo’Instant Square ini adalah kamera instan analog pertama yang kompatibel dengan film Instax Square.

Sepertinya sulit menemukan kamera instan yang berpenampilan lebih retro ketimbang Lomo’Instant Square. Lensanya bahkan memiliki mekanisme seperti membuka pintu, yang berjasa membuat dimensi kamera jadi lebih ringkas sekaligus memunculkan kesan antik.

Lomography bilang kalau lensa 95 mm ini dibuat menggunakan material kaca asli supaya hasil fotonya bisa tetap kelihatan tajam. Pengguna bebas bermain-main dengan aperture f/10 – f/22, tapi Lomography rupanya tidak lupa menyematkan mode otomatis yang akan menyesuaikan shutter speed, aperture dan output flash secara otomatis.

Lomo'Instant Square

Meski analog, Lomo’Instant Square sejatinya menyimpan sejumlah fitur modern, seperti misalnya indikator LED yang menandakan berapa film Instax Square yang tersisa, atau kemampuan dikendalikan dari jarak jauh menggunakan remote control. Penggemar multi exposure juga akan tersenyum mengetahui bahwa kamera ini tak akan membatasi Anda sama sekali.

Lalu untuk siapa sebenarnya kamera ini? Untuk mereka yang suka dengan format Instax Square, tapi tidak membutuhkan elemen digital dari Fuji SQ10. Harganya pun juga lebih terjangkau di angka $199, atau malah bisa lebih murah lagi ($129) kalau konsumen memesannya via Kickstarter selama masa kampanyenya.

Fujifilm Luncurkan Kamera Instan Hybrid, Instax Square SQ10

Fujifilm baru saja meluncurkan kamera instan yang cukup unik. Dijuluki Instax Square SQ10, ia merupakan kamera instan berjenis hybrid. Hybrid artinya ia dapat menghasilkan gambar digital sekaligus gambar cetakan seperti model Instax lainnya.

Sebagai kamera analog, SQ10 sejatinya ingin menghadirkan ‘warna’ baru lewat format gambar kotak. Foto dengan aspect ratio 1:1 seperti yang kerap kita jumpai di Instagram ini akan dicetak pada kertas film berukuran 86 x 72 mm.

Tampak depan dan belakang Fujifilm Instax Square SQ10 / Fujifilm
Tampak depan dan belakang Fujifilm Instax Square SQ10 / Fujifilm

Sebagai kamera digital, SQ10 telah mengemas sensor CMOS 1/4 inci yang sanggup menghasilkan gambar JPEG beresolusi 1920 x 1920 pixel. Ya, hasil jepretan smartphone Anda mungkin masih lebih bagus, tapi setidaknya SQ10 tetap bisa digunakan meski Anda sedang kehabisan kertas film – fitur yang tidak akan Anda jumpai pada model Instax lainnya.

Jadi dengan SQ10, Anda dapat mengambil foto digital lalu menyimpannya terlebih dulu di memory internal perangkat atau microSD, baru kemudian mencetaknya saat kertas film sudah tersedia. Memory-nya sendiri bisa menampung sampai sekitar 50 foto, sedangkan baterai rechargeable-nya dapat bertahan hingga 160 kali jepretan.

Salah satu dari dua tombol shutter di depannya dapat dimanfaatkan sebagai tombol multi-fungsi (Fn) / Fujifilm
Salah satu dari dua tombol shutter di depannya dapat dimanfaatkan sebagai tombol multi-fungsi (Fn) / Fujifilm

Fisik SQ10 mengingatkan saya pada logo Instagram. Di depan, terdapat lensa fixed 28,5mm f/2.4, sedangkan panel belakangnya dihuni oleh LCD 3 inci beresolusi 460 ribu dot beserta sederet tombol pengoperasian. SQ10 dilengkapi dua tombol shutter yang diposisikan di kiri atau kanan lensa, memudahkan pengguna untuk mengambil selfie, tidak peduli tangan dominannya sebelah kiri atau kanan.

Fujifilm Instax Square SQ10 bakal dipasarkan mulai bulan Mei seharga $280. Satu paket kertas filmnya (isi 10) dibanderol $17.

Sumber: PetaPixel dan Fujifilm.

Impossible I-1 Ialah Kamera Instan Analog dengan Sentuhan Fitur Digital

Masih ingat dengan Impossible Instant Lab Universal, perangkat unik yang dapat menyulap foto-foto digital di smartphone menjadi foto analog ala Polaroid? Well, kini perusahaan pengembangnya baru saja memperkenalkan kamera perdananya, Impossible I–1.

I–1 didapuk sebagai generasi baru kamera instan yang dipopulerkan oleh Polaroid. Ia mencoba meleburkan dua dunia yang terpisah oleh waktu, yakni kesan nostalgia bersama kamera instan analog dan desain modern beserta kontrol berbasis digital yang kita kenal baik sekarang.

Kamera ini pada dasarnya merupakan kamera analog. Ia menggunakan film tipe 600 seperti milik seri Polaroid 600. Pun begitu, dirinya tetap mengemas sejumlah fitur modern, seperti baterai rechargeable, autofocus dan deretan LED flash yang membentuk lingkaran yang akan bekerja secara otomatis menyesuaikan dengan kondisi pencahayaan sekitar sekaligus jarak kamera dan objek yang terkunci fokus.

Impossible I-1

Impossible Project selaku pengembangnya tak lupa menyertakan aplikasi pendamping yang akan memberikan fungsi ekstra ketika kamera dan smartphone terhubung via Bluetooth. Dari situ pengguna akan mendapat kontrol manual secara penuh, mulai dari aperture, shutter speed sampai pengaturan flash-nya dan mode-mode kreatif lain seperti double exposure atau long exposure.

Impossible I–1 sejatinya ingin mempertahankan seluruh kebaikan yang diusung oleh kamera instan analog dan kamera digital, mengemasnya dalam satu produk inovatif yang bisa memikat semua kalangan, tidak hanya komunitas penggemar kamera-kamera lawas saja.

Perangkat ini rencananya akan mulai dipasarkan pada 10 Mei mendatang dengan harga $300. Berikut contoh hasil foto yang diambil menggunakan Impossible I–1.

Impossible I-1 sample images

Sumber: PetaPixel.

Kodak Hidupkan Kembali Kamera Legendaris Kodak Super 8

Meski popularitasnya sudah tidak setenar dulu, generasi saya tahu betul kebesaran nama Kodak di era pra-kamera digital. Lebih jauh ke belakang lagi, generasi orang tua saya pun paham bagaimana Kodak sempat merevolusi industri perfilman lewat kamera Super 8 yang legendaris.

Kini digital sudah mengambil alih, tapi itu bukan berarti analog dan film sudah ditinggalkan begitu saja. Buktinya, film-film blockbuster macam Star Wars: The Force Awakens maupun Interstellar masih direkam menggunakan film besutan Kodak. Ya, Kodak memang belum menyerah memproduksi film, dan mereka justru bermisi untuk ‘menghidupkannya’ kembali.

Caranya adalah dengan mendatangkan kembali kamera Kodak Super 8. Sudah 50 tahun berselang sejak Super 8 orisinil diperkenalkan pertama kalinya, dan Kodak sekarang tengah bersiap untuk meluncurkan versi baru Super 8 dengan teknologi yang disesuaikan untuk generasi modern.

Menurut Kodak, kalau tren di industri musik ternyata mengacu pada kembalinya popularitas vinyl, mengapa di industri film tidak bisa demikian? Digital memang punya kelebihan tersendiri, begitu juga dengan analog. Jadi, kenapa tidak menyatukan keduanya saja?

Kodak Super 8

Itulah ide mendasar yang melahirkan Kodak Super 8 baru ini. Wujudnya masih serupa dengan yang lawas, ada grip berlapis kulit di atas, tapi ada juga grip di bawah untuk digenggam layaknya sebuah pistol. Kamera ini pun juga masih menggunakan cartridge film Super 8 seperti yang dulu.

Kendati demikian, Kodak Super 8 baru ini telah dibentuk menggunakan material-material berkualitas tinggi. Kodak tak mau main-main, mereka menunjuk desainer kenamaan Yves Behar guna menciptakan sebuah produk yang di satu sisi tampak retro, tapi di saat yang sama juga terasa amat modern.

Lalu apa wujud digitalisasi Kodak Super 8 yang bisa kita lihat? Yang pertama adalah sebuah viewfinder 3,5 inci yang bisa dimiring-miringkan untuk membantu pengguna mengatur komposisi. Kemudian pada bagian atasnya tertanam sebuah mikrofon yang menghadap ke depan seperti lensa Ricoh 6 mm miliknya – atau lensa zoom 6-48 mm yang opsional.

Kodak Super 8

Konektivitas digital pun turut mendapat perhatian penting bagi Kodak. Di belakang Super 8, Anda akan menjumpai slot SD card, port HDMI maupun USB. Super 8 generasi modern ini bisa Anda charge menggunakan kabel USB dan adapter seperti smartphone atau tablet.

Namun yang tak kalah menarik adalah bagaimana Kodak menginginkan seluruh kalangan, baik kaum profesional maupun konsumen secara umum, bisa sama-sama berkreasi menggunakan Super 8. Setiap kali pengguna selesai merekam, mereka bisa mengirimkan cartridge filmnya kembali ke Kodak. Selanjutnya, Kodak akan mengolahnya menjadi sebuah kopi digital beserta rol film 8 mm standar, dan mengirimkannya kembali kepada pengguna.

Inkarnasi terbaru Kodak Super 8 ini rencananya akan mulai dipasarkan pada musim gugur tahun ini juga. Belum ada kepastian soal harganya, kemungkinan berkisar antara $400 sampai $750, sedangkan proses digitalisasi cartridge filmnya dihargai sekitar $50 sampai $75.

Sumber: PetaPixel. Sumber gambar: Kodak.