Tag Archives: kamera mirrorless full-frame

Sony a7R IV Siap Merebut Kembali Takhta Teratas di Segmen Mirrorless Full-Frame

Kita tahu Sony bukan lagi satu-satunya pemain di kancah mirrorless full-frame. Canon, Nikon dan Panasonic sudah mulai mengusik dominasi Sony, dan tentu saja Sony tidak mau tinggal diam. Mereka baru saja mengumumkan kamera terbarunya: Sony a7R IV.

Datang hampir dua tahun setelah pendahulunya, a7R IV tidak sebatas membawa pembaruan yang iteratif. Sony percaya kamera ini bakal memasang standar baru di segmen mirrorless full-frame, dan itu mereka wujudkan lewat sensor yang benar-benar gres (pertama kalinya sejak 2015 kalau menurut Sony).

Sensor full-frame yang tertanam di tubuh a7R IV ini mengemas resolusi 61 megapixel, diklaim mampu menyuguhkan dynamic range hingga 15 stop. Lalu seandainya resolusi setinggi itu masih dianggap kurang, masih ada fitur pixel shift yang memungkinkan kamera untuk menghasilkan foto beresolusi 240 megapixel, disatukan dari total 16 gambar.

Sony a7R IV

Resolusi yang amat tinggi juga tak harus berarti performa kamera harus dikorbankan. Pada kenyataannya, a7R IV sanggup menjepret tanpa henti hingga 68 gambar dengan kecepatan 10 fps, dan ini dalam resolusi penuh sekaligus continuous AF/AE tracking menyala. Juga masih dipertahankan adalah sistem image stabilization internal 5-axis.

Urusan autofocus, a7R IV pun jauh dari kata mengecewakan. Ia mengusung 567 titik phase detection autofocus (PDAF) beserta 425 titik contrast-detection, yang secara keseluruhan mencakup 74% area bingkai. Fitur Real-Time Tracking AF, Real-Time Eye AF, dan Animal Eye-AF yang sebelumnya eksklusif untuk Sony a9 kini telah diwariskan ke seri a7 melalui a7R IV.

Real-Time Eye AF ini bahkan bisa digunakan selagi merekam video. Kemampuannya mengambil video pun tak kalah mengesankan: 4K 30 fps hasil oversampling dari 6K, dengan bitrate maksimum 100 Mbps menggunakan codec XAVC S. Format ‘mentah’ S-Log2, S-Log3 maupun HLG turut tersedia sebagai salah satu opsi perekaman.

Sony a7R IV

Tak cuma menghadirkan pembaruan di dalam, a7R IV juga membawa pembaruan di luar. Fisiknya sedikit berbeda dari a7R III, utamanya berkat hand grip yang lebih tebal, serta layout tombol dan kenop yang lebih dioptimalkan. Sony pun juga telah memaksimalkan kapasitas weather sealing dari kamera ini dengan ‘menambal’ lebih banyak celah pada tubuhnya.

Di belakang, pengguna akan disambut oleh layar sentuh tilting serta viewfinder elektronik (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 5,76 juta dot. Tepat di sebelah kanan atas LCD-nya, tampak joystick yang berukuran lebih besar dari sebelumnya, yang tentu saja dapat membantu memudahkan pengaturan titik autofocus ketika diperlukan.

Sony a7R IV rencananya akan dipasarkan mulai September mendatang seharga $3.500 (body only). Sejumlah aksesori terpisah yang bakal menemaninya mencakup vertical grip (VG-C4EMO) seharga $400, shotgun microphone (ECM-B1M) dengan integrasi analog-to-digital converter seharga $350, dan XLR microphone adapter kit (XLR-K3M) seharga $600.

Sumber: DPReview.

Sigma fp Adalah Kamera Mirrorless Full-Frame yang Dapat Dikantongi di Saku Celana

Diumumkan pada tahun 2012, Sony RX1 masih memegang predikat kamera full-frame terkecil yang pernah ada. Namun RX1 mengusung lensa fixed alias yang tidak bisa dilepas-pasang, dan 2019 merupakan tahunnya kamera mirrorless full-frame, utamanya berkat perlawanan dari Nikon, Canon, sekaligus Panasonic terhadap dominasi Sony di segmen ini.

Itulah mengapa kreasi terbaru Sigma berikut ini terdengar begitu menarik. Kamera bernama Sigma fp ini mungil, bersensor full-frame, tapi juga siap digonta-ganti lensanya. Ya, ini merupakan kamera mirrorless full-frame yang bisa kita kantongi dengan mudah di saku celana – tentunya dalam posisi tidak ada lensa yang terpasang.

Secara spesifik, Sigma fp memiliki dimensi 112,6 x 69,9 x 45,3 mm, dengan bobot 370 gram (422 gram jika diisi baterai dan SD card). Di dalamnya bernaung sensor BSI-CMOS full-frame 24,6 megapixel, namun yang mengandalkan filter Bayer tradisional ketimbang teknologi Foveon yang sudah menjadi ciri khas Sigma selama ini.

Sigma fp

Sensor ini memiliki sensitivitas ISO 100 – 25600, sedangkan sistem autofocus-nya mengandalkan model contrast detection dengan 49 titik, lengkap beserta dukungan terhadap fitur seperti face detection, eye detection, maupun subject tracking. Performa kamera ini juga amat mengesankan, sanggup memotret dalam format DNG RAW 14-bit dengan kecepatan hingga 18 fps.

Angka setinggi itu dicapai dengan memanfaatkan shutter elektronik, dan ternyata Sigma fp sama sekali tidak memiliki shutter mekanis. Absennya shutter mekanis merupakan alasan utama mengapa Sigma fp bisa sekecil ini.

Sigma fp mengandalkan dudukan lensa L-Mount, yang Sigma kembangkan bersama Panasonic dan Leica. Beralih ke sisi belakang bodi weather sealed-nya, terdapat layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot. Tentu saja tidak ada ruang lagi untuk sebuah viewfinder elektronik.

Sigma fp

Urusan video, Sigma fp tidak kalah mengesankan. Dibantu oleh external recorder yang menyambung via port USB 3.1, ia mampu merekam video 4K 24 fps dalam format CinemaDNG RAW 12-bit. Kendala yang kerap dijumpai kamera compact di sektor perekaman video adalah overheating, tapi Sigma fp berhasil mengatasinya berkat heat sink terintegrasi.

Sigma tak lupa mengklaim bahwa fp siap digunakan oleh kalangan sineas profesional. Ini dikarenakan rancangannya yang modular, di mana pengguna dapat menambah beraneka ragam aksesori macam hot shoe, viewfinder, hand grip, dan masih banyak lagi, baik bikinan Sigma sendiri maupun pabrikan lain.

Sigma fp

Gambaran lebih jelasnya mengenai sifat modular Sigma fp bisa Anda lihat sendiri melalui video di bawah. Di situ bisa kita lihat bagaimana kamera seringkas ini dapat disulap menjadi kamera sinema bongsor berkat bantuan segudang aksesori.

Sigma fp sendiri rencananya baru akan dipasarkan pada musim semi mendatang, tapi sejauh ini belum ada info apapun terkait harganya. Pasca peluncuran fp, Sigma juga berniat meluncurkan varian lain fp yang mengemas sensor Foveon. Varian bersensor Foveon ini kabarnya mengemas resolusi 20 megapixel per layer, dengan resolusi total melebihi angka 60 megapixel.

Sumber: PetaPixel.

Panasonic Resmi Luncurkan Duo Kamera Mirrorless Full-Frame Perdananya, Lumix S1R dan Lumix S1

Setelah sekian lama mendominasi pasar kamera mirrorless full-frame, Sony di tahun 2019 ini bakal menghadapi dengan perlawanan yang cukup sengit dari rival-rival barunya. Salah satunya adalah Panasonic, yang baru saja meresmikan kamera mirrorless full-frame pertamanya, Lumix S1R dan S1, setelah mengungkap teaser-nya pada ajang Photokina 2018 lalu.

Seperti yang sudah kita ketahui sejak pengumuman perdananya, perbedaan antara Lumix S1R dan S1 mirip seperti Sony a7R dan a7. Lumix S1R adalah model yang benar-benar didedikasikan untuk fotografi dengan mengandalkan sensor full-frame 47,3 megapixel. Lumix S1 di sisi lain ‘hanya’ mengemas resolusi 24,2 megapixel pada sensor full-frame miliknya.

Panasonic Lumix S1

Meski demikian, Lumix S1 sebenarnya lebih superior perihal videografi. Kedua kamera memang sama-sama sanggup merekam video 4K 60 fps, akan tetapi Lumix S1R masih mengandalkan metode pixel binning, sementara Lumix S1 benar-benar memanfaatkan seluruh penampang sensornya. Kasusnya ini sama persis seperti di kubu Sony, di mana kalangan videografer lebih banyak yang memilih Sony a7 III ketimbang a7R III.

Perbedaan berikutnya terletak pada mode High Resolution yang ditawarkan kedua kamera: Lumix S1R dapat menghasilkan gambar beresolusi total 187 megapixel, sedangkan Lumix S1 cuma 96 megapixel. Kabar baiknya, perbedaan antara kedua kamera ini terhenti sampai di situ saja.

Panasonic Lumix S1R

Selebihnya, baik Lumix S1R maupun S1 sama-sama merupakan kamera mirrorless full-frame yang sangat kapabel. Performanya pun cukup mumpuni, dengan kemampuan menjepret tanpa henti secepat 9 fps (atau 6 fps dengan continuous AF). Kalau resolusi bukanlah prioritas, pengguna dapat memanfaatkan mode 6K Photo untuk mengekstrak deretan foto beresolusi 18 megapixel dari jepretan dalam kecepatan 30 fps.

Sistem autofocus yang digunakan adalah DFD (Depth From Defocus) generasi terbaru, yang diklaim lebih lihai soal tracking berkat keterlibatan machine learning dalam mengidentifikasi subjek bergerak. Sistem image stabilization 5-axis juga merupakan fitur standar pada kedua kamera ini.

Panasonic Lumix S1R

Terobosan lain yang diterapkan Panasonic datang dalam wujud viewfinder elektronik dengan panel OLED beresolusi 5,76 juta dot, resolusi tertinggi yang ada saat ini. Refresh rate-nya pun dapat dipilih antara 60 atau 120 fps, lalu di bawahnya masih ada layar sentuh 3 inci beresolusi 2,1 juta dot, yang sayangnya tidak sepenuhnya articulated, melainkan cuma dapat dimiringkan pada tiga poros.

Secara fisik, keduanya sama-sama mengusung sasis magnesium yang siap menerjang cuaca buruk. Dudukan lensa yang digunakan adalah L-Mount bikinan Leica, akan tetapi nantinya juga akan tersedia deretan lensa dari Panasonic sendiri maupun Sigma.

Panasonic Lumix S1R

Lalu kapan Panasonic bakal memasarkannya? Awal April, dengan banderol $3.699 untuk Lumix S1R (body only) dan $2.499 untuk Lumix S1. Bundel bersama lensa baru 24-105mm f/4 juga tersedia seharga $4.599 (S1R) atau $3.399 (S1). Panasonic sepertinya cukup percaya diri dengan debut mereka di ranah full-frame kalau melihat banderol yang lebih tinggi ketimbang duo Sony a7R III dan a7 III.

Sumber: DPReview.

Leica Kembali Luncurkan Kamera Mirrorless Full-Frame Tanpa LCD, Leica M10-D

Yang namanya kamera digital, sudah pasti ada sebuah layar di bagian belakangnya untuk melihat hasil jepretannya. Namun pakem ini tidak berlaku buat perusahaan sekelas Leica. Dua tahun lalu, mereka mengejutkan industri fotografi dengan meluncurkan kamera mirrorless tanpa LCD bernama Leica M-D.

Bukannya kapok, Leica malah mematangkan ide gilanya ini. Baru-baru ini, maestro kamera asal Jerman itu memperkenalkan Leica M10-D, suksesor M-D yang juga tidak dibekali layar sama sekali.

Leica M10-D

Di saat Leica M10-P menghadirkan layar sentuh pada bodi Leica M10, M10-D malah meniadakannya. Sebagai gantinya, ada satu kenop besar yang menghuni bagian belakangnya. Namun tidak seperti M-D, kenop pada M10-D ini bukan berfungsi untuk mengatur tingkat ISO.

Kenopnya sendiri terbagi menjadi dua: kenop bagian dalam untuk mengatur exposure compensation (+3 sampai -3), sedangkan kenop bagian luarnya untuk mematikan dan menyalakan kamera, serta untuk mengaktifkan koneksi Wi-Fi.

Ya, M10-D setidaknya masih memberikan pengguna opsi untuk mengatur komposisi sekaligus melihat hasil jepretannya via smartphone. Selain fungsi remote control, aplikasi pendampingnya ini juga mendukung fungsi transfer gambar, baik yang diambil dalam format JPEG maupun DNG.

Leica M10-D

Secara teknis, M10-D mengusung spesifikasi yang identik dengan M10 dan M10-P, yang mencakup sensor full-frame 24 megapixel dan prosesor Maestro II. Kamera dilengkapi penyimpanan internal sebesar 2 GB, tapi ada juga slot SD card yang tersembunyi di pelat bawahnya.

Satu hal sepele namun unik adalah kehadiran semacam tuas rol film di pelat atasnya seperti yang terdapat pada kamera analog. Namun fungsi tuas ini ternyata tidak lebih dari sebatas grip tambahan untuk ibu jari.

Leica M10-D saat ini telah dipasarkan seharga $7.995, nyaris $2.000 lebih mahal daripada Leica M-D. Aksesori electronic viewfinder yang bisa dipasangkan ke hotshoe milik M10-D ditawarkan secara terpisah seharga $575.

Sumber: DPReview.

Zenit Bangkit Kembali dengan Kamera Mirrorless Full-Frame, Zenit M

Penggemar sekaligus pengguna kamera Leica semestinya pernah mendengar pabrikan bernama Zenit. Di era fotografi film, merek asal Rusia tersebut pernah berjaya berkat sejumlah kamera jiplakan produk-produk Leica, sampai akhirnya mereka berhenti memproduksi kamera di tahun 2005.

Namun di tahun 2016, Shvabe Holding selaku pemegang merek Zenit mengumumkan bahwa mereka berniat menghidupkan brand itu kembali. Setahun setelahnya, niat mereka semakin jelas dengan rencana meluncurkan kamera mirrorless full-frame di tahun 2018, dan itu ternyata bukan bualan semata.

Di ajang Photokina 2018, di tengah-tengah pengumuman dari brandbrand besar, Zenit memperkenalkan Zenit M. Kalau sebelumnya mereka banyak mencontek Leica, kali ini Zenit bekerja sama langsung dengan Leica; Zenit M dibuat dengan Leica M (Typ 240) sebagai basisnya.

Leica M (Typ 240) / Leica
Leica M (Typ 240) / Leica

Kendati demikian, Zenit bilang bahwa mereka telah melakukan modifikasi baik pada hardware maupun software guna merealisasikan Zenit M, yang seharusnya berarti ini bukan revisi kosmetik semata. Menemani Zenit M adalah lensa Zenitar 35mm f/1 yang proses desain dan produksinya diklaim 100% berlangsung di Rusia.

Menurut Zenit, lensa ini sanggup menghasilkan gambar dengan efek soft focus dan bokeh yang unik tanpa memerlukan pemrosesan digital tambahan. Secara keseluruhan, penampilan Zenit M memang sengaja dibikin mirip dengan kamera-kamera lawas buatan mereka.

Zenit M

Zenit sejauh ini belum membeberkan spesifikasi M, akan tetapi semestinya identik dengan Leica M (Typ 240), yang mencakup sensor CMOS full-frame 24 megapixel, ISO 6400, continuous shooting 3 fps, perekaman video 1080p, LCD 3 inci beresolusi 920 ribu dot, live view focusing, dan viewfinder dengan tingkat perbesaran 0,68x.

Rencananya, kamera ini akan mulai dipasarkan di Eropa pada bulan Desember mendatang. Harganya belum diungkap, tapi sebagai referensi, Leica M (Typ 240) yang menjadi basisnya sampai sekarang masih bisa dibeli seharga $6.000.

Sumber: PetaPixel dan Shvabe.

Fujifilm Belum Tertarik Mengembangkan Kamera Mirrorless Full-Frame

Hari ini (27/9/2018), Fujifilm Indonesia meresmikan kantor barunya di Surabaya. Sebelumnya menumpang di Sinarmas Land Plaza, kantor Fujifilm di Surabaya sekarang berdiri sendiri di Jalan Tegalsari No. 2D (sangat dekat dengan showroom-nya yang bertempat di Tunjungan Plaza).

Selain tentu saja untuk urusan operasional, kantor baru ini juga dirancang supaya Fujifilm bisa lebih mudah menyapa konsumen secara langsung; di lobi kantornya ada area hands-on kecil, meski untuk urusan penjualan masih diserahkan ke showroom sepenuhnya. Showroom-nya sendiri disebut menerima respon yang bagus dari konsumen, dan terbukti sanggup membantu meningkatkan angka penjualan.

Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor baru di depan area hands-on / Foto pribadi
Eko Yulianto, Branch Manager Fujifilm Indonesia untuk kantor cabang Surabaya, menjelaskan fasilitas-fasilitas kantor di depan area hands-on / Foto pribadi

Namun seperti yang bisa Anda lihat di judul, bukan itu yang ingin saya bahas lebih lanjut. Kesempatan ini saya manfaatkan untuk berbincang dengan sejumlah perwakilan Fujifilm Indonesia mengenai tren kamera mirrorless terkini. Dua sosok yang saya ajak bicara adalah Noriyuki Kawakubo (Presiden Direktur Fujifilm Indonesia) dan Anggiawan Pratama (Marketing Manager Fujifilm Indonesia).

Full-frame itu ‘nanggung’

Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm
Lini GFX adalah jawaban Fujifilm terhadap maraknya tren mirrorless full-frame / Fujifilm

Seperti yang kita tahu, mirrorless full-frame menjadi topik terhangat di industri kamera belakangan ini. Nikon, Canon, bahkan Panasonic semuanya telah memperkenalkan kamera mirrorless full-frame bikinannya untuk bersaing dengan lini Sony a7. Bagaimana dengan Fujifilm?

Fujifilm rupanya belum tertarik mengembangkan kamera mirrorless full-frame, setidaknya untuk saat ini. Ada sejumlah alasan yang dibeberkan, baik oleh Noriyuki maupun Anggiawan. Yang pertama, Fujifilm percaya lini kamera X-Series dengan sensor APS-C sudah cukup mampu bersaing dengan kamera bersensor full-frame.

Sikap Fujifilm ini sejatinya tidak berbeda dari ketika mereka memperkenalkan kamera X-Pro1 di tahun 2012. Kala itu, Fujifilm dengan percaya diri mengatakan bahwa sensor APS-C X-Trans bikinannya bisa disetarakan dengan sejumlah sensor full-frame.

Noriyuki sendiri mengakui bahwa sensor full-frame secara teknis memiliki keunggulan dibanding APS-C, meski perbedaan hasil fotonya mungkin tidak terlalu dramatis. Itulah mengapa Fujifilm punya lini GFX; daripada lompat ke full-frame, lebih baik langsung lompat lebih jauh lagi ke medium format.

Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai "super full-frame" / Foto pribadi
Noriyuki Kawakubo (kanan), menyebut lini GFX dengan sensor medium format sebagai “super full-frame” / Foto pribadi

Lini GFX pada dasarnya merupakan jawaban Fujifilm kepada mereka yang menanyakan “mana mirrorless full-frame dari Fuji?” Noriyuki pun sempat mengutarakan istilah super full-frame sebagai julukan lini GFX, dan Fuji memang menggunakan jargon tersebut untuk menjelaskan sensor medium format ke kalangan konsumen yang lebih awam.

Alasan yang kedua, kalau dikaitkan dengan Indonesia, pangsa pasar kamera mirrorless full-frame tergolong kecil; cuma sekitar 9%. Jadi ketimbang bersusah payah bersaing di pasar yang kecil, Fujifilm lebih memilih berfokus di pasar yang lebih luas, dalam konteks ini mirrorless APS-C – kamera terlaris Fuji di Indonesia sendiri adalah seri X-A yang masuk kelas entry-level.

Bukan tidak mungkin ke depannya Fujifilm bakal merilis kamera mirrorless full-frame, apalagi jika Nikon, Canon dan Panasonic terbukti bisa mencuri pangsa pasar yang selama ini didominasi Sony. Namun kemungkinannya terbilang kecil apabila Fuji tetap berpegang teguh pada prinsipnya untuk menawarkan sesuatu yang berbeda.

Fujifilm kini lebih serius di sektor video

Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm
Setelah X-H1, Fujifilm X-T3 sekali lagi menghadirkan banyak penyempurnaan di sektor video / Fujifilm

Fujifilm X-T3 yang dirilis baru-baru ini adalah kulminasi keseriusan Fuji untuk berbenah di sektor video, setelah sebelumnya lebih dulu dibuktikan melalui Fujifilm X-H1 yang benar-benar video-oriented. Apa yang sebenarnya menjadi motivasi Fujifilm? Apakah karena tren yang digalakkan kompetitor belakangan ini?

“Bukan karena kompetitor,” jelas Anggiawan. Sejak awal Fuji memang berfokus pada aspek fotografi, tapi semakin lama semakin banyak konsumen yang menginginkan paket lengkap dari kamera mirrorless yang dibelinya – bukan hanya untuk foto, tapi juga video. Masukan dari konsumen inilah yang menjadi dorongan utama bagi Fujifilm.

Bicara soal X-T3, saya pun tergerak untuk menanyakan kabar mengenai seri X-Pro. Sebelumnya, seri X-Pro selalu menjadi yang pertama kebagian sensor X-Trans generasi terbaru – X-Pro2 yang dirilis di bulan Januari 2016 adalah kamera pertama yang membawa sensor X-Trans III, disusul X-T2 di bulan Juli 2016. Namun situasinya berubah tahun ini; X-T3 adalah kamera pertama yang mengusung sensor X-Trans generasi keempat.

Menurut Anggiawan, nasib seri X-Pro masih belum bisa dipastikan. Mereka belum menerima kabar dari Fujifilm pusat apakah seri ini masih akan dilanjutkan atau tidak. Kalau melihat pasar, seri X-T yang juga diposisikan sebagai flagship mendampingi seri X-Pro memang terbukti lebih laris, dan ini sejatinya bisa menjelaskan mengapa X-T3 dirilis lebih dulu ketimbang X-Pro3.

Panasonic Sedang Kerjakan Dua Kamera Mirrorless Full-Frame: Lumix S1R dan S1

Kehadiran Nikon Z 7 dan Nikon Z 6 beserta Canon EOS R semestinya sudah cukup membuat Sony sebagai penguasa di segmen kamera mirrorless full-frame khawatir. Namun ternyata masih ada lagi pihak lain yang juga ingin ikut menginvasi lahan dominasi Sony, yaitu Panasonic. Di ajang Photokina 2018, pelopor tren mirrorless itu mengumumkan bahwa mereka sedang mengerjakan dua kamera mirrorless full-frame.

Kamera tersebut adalah Panasonic Lumix S1R dan S1. Layaknya seri Sony a7 yang selalu dibagi dua (tiga kalau a7S yang video-oriented juga dimasukkan hitungan), S1R adalah model flagship dengan sensor full-frame beresolusi 47 megapixel, sedangkan S1 ‘hanya’ 24 megapixel. Yang cukup unik, kedua kamera ini tidak menggunakan dudukan lensa (mount) baru seperti halnya Nikon Z dan Canon EOS R, melainkan L-mount besutan Leica.

Kendati demikian, Panasonic masih akan mengembangkan lensa L-mount bikinannya sendiri. Tiga yang sudah direncanakan adalah 50mm f/1.4, 24-105mm, dan 70-200mm, lalu tujuh lainnya akan menyusul tidak lewat setahun setelah kedua kamera ini diluncurkan. Demi semakin memperluas ekosistem lensa yang ditawarkan, Panasonic dan Leica juga telah menggandeng Sigma untuk ikut memproduksi lensa L-mount.

Panasonic Lumix S1R and Lumix S1

Berhubung masih dalam tahap pengembangan (yang dipamerkan baru prototipenya), detail mengenai S1R dan S1 pun belum terlalu lengkap. Beberapa yang esensial di antaranya adalah kemampuan merekam video 4K 60 fps (pertama untuk mirrorless full-frame kata Panasonic), dan sistem image stabilization internal yang dapat dikombinasikan dengan stabilization bawaan lensa.

Kedua kamera dilengkapi layar sentuh yang dapat dimiringkan pada tiga poros (atas, bawah dan samping, macam milik Fujifilm X-T3), sayang bukan yang model fully-articulated. Slot memory card-nya ada dua, satu untuk SD card biasa dan satu untuk XQD card. Menyesuaikan dengan target pasarnya, sasisnya telah dirancang agar tahan terhadap cuaca yang tidak ramah.

Rencananya, kedua kamera ini baru akan dipasarkan pada awal tahun 2019 mendatang. Harganya belum diketahui, tapi sudah pasti lebih mahal daripada Lumix GH5S, yang merupakan kamera termahal Panasonic saat ini.

Sumber: DPReview.

Canon EOS R Memulai Babak Kompetisi Baru di Segmen Kamera Mirrorless Full-Frame

Ternyata tidak butuh waktu lama bagi Canon untuk merespon peluncuran Nikon Z 7 dan Z 6 dua minggu lalu. Dengan kehadiran Canon EOS R, rivalitas abadi antar keduanya resmi berlanjut sampai ke segmen mirrorless full-frame.

Tidak seperti Nikon yang sempat gagal di kancah mirrorless, Canon belakangan semakin menunjukkan keseriusannya di ranah ini, dan mereka rupanya juga tergiur untuk mengusik dominasi Sony. Canon memang hanya mengumumkan satu kamera mirrorless full-frame, tapi mereka menegaskan bahwa ini baru yang pertama.

Canon EOS R

Di atas kertas, EOS R bisa dibilang duduk di tengah-tengah Nikon Z 7 dan Z 6. Sensor full-frame miliknya yang didampingi prosesor DIGIC 8 ini memiliki resolusi 30,3 megapixel, dengan tingkat ISO 100 – 40000 (dapat ditingkatkan lagi menjadi 50 – 102400). Sensor ini dibekali low-pass filter untuk mengurangi efek moiré, tapi dampaknya ketajaman jadi sedikit berkurang.

Yang sangat mengesankan dari EOS R, layaknya DSLR kelas atas Canon, adalah sistem autofocus Dual Pixel-nya. Total ada 5.655 titik fokus yang dapat dipilih, yang menjangkau 88% bentang vertikal dan 100% bentang horizontal. Fitur eye detection turut tersedia, dan ini absen pada Nikon Z 7 maupun Z 6.

Kemampuan menjepret tanpa henti EOS R tergolong lumayan: 8 fps dengan AF-S, atau 5 fps dengan AF-C. Untuk video, pengguna dapat merekam dalam resolusi maksimum 4K 30 fps langsung ke memory card, atau ke external recorder via HDMI jika membutuhkan bitrate lebih. Opsi slow-motion pun juga tersedia, sayang cuma 120 fps pada resolusi 720p.

Canon EOS R

Sama seperti pesaingnya, EOS R juga menggunakan dudukan lensa baru bernama RF-mount. Diameternya sama persis seperti EF-mount (54 mm), akan tetapi jaraknya ke sensor tentu lebih dekat karena tidak ada lagi cermin (mirrorless), dan ini memungkinkan konstruksi lensa yang lebih simpel dan ringkas.

Alasan klasik menggunakan kamera Canon adalah ekosistem lensanya yang begitu luas, dan ini tentu masih berlaku pada EOS R, sebab Canon telah menyediakan adaptor untuk lensa-lensa EF, EF-S, TS-E dan MP-E. 12 pin elektrik yang digunakan RF-mount juga diklaim bisa mewujudkan komunikasi yang lebih sigap dan mendalam antara kamera dan lensa.

Canon EOS R

Lanjut ke bagian fisik, EOS R mengusung sasis magnesium yang tahan terhadap cuaca ekstrem. Bobotnya berkisar 660 gram, sudah termasuk baterai. Baterainya sendiri diklaim dapat bertahan sampai 370 jepretan, tapi yang unik, EOS R bisa di-charge langsung menggunakan kabel USB layaknya kamera saku.

EOS R dilengkapi layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot yang fully-articulated, alias bisa kita tarik ke samping dan putar-putar sesuka hati, tidak seperti Nikon Z 7 dan Z 6 yang cuma bisa di-tilt ke atas atau bawah. Di atasnya, tentu saja ada electronic viewfinder (EVF) berpanel OLED dengan resolusi 3,69 juta dot dan tingkat perbesaran 0,76x.

Canon EOS R

Namun bagian terunik EOS R berada tepat di samping kanan EVF tersebut. Bagian kecil itu merupakan semacam touchpad multi-fungsi yang akan memberikan akses cepat ke berbagai pengaturan seperti autofocus, ISO atau white balance, dan tentu saja semua ini bisa diprogram sesuai kebutuhan masing-masing pengguna. Wi-Fi maupun Bluetooth juga sudah menjadi fitur standar pada kamera ini.

Secara harga, Canon EOS R lebih mirip Nikon Z 6. Bodinya saja dibanderol $2.300, sedangkan bundel bersama lensa RF 24–105mm f/4 L IS USM dibanderol $3.400. Resmi sudah, jangan ada lagi yang bilang “Canon dan Nikon tidak serius menyikapi persaingan di kancah mirrorless”.

Sumber: DPReview.

Leica M10-P Siap Menggoda Street Photographer Berkantong Tebal

Leica belum lama ini mengungkap suksesor dari kamera mirrorless Leica M10 yang dirilis pada awal tahun lalu. Dinamai Leica M10-P, pembaruan yang dibawanya tergolong sedikit (desainnya sama), akan tetapi cukup signifikan terutama bagi para penggiat street photography.

Itu dikarenakan desain M10-P yang lebih minimalis sekaligus stealthy; Anda tak akan menemukan logo merah khas Leica di mana pun pada M10-P. Perubahan kecil namun sepele ini setidaknya bisa membantu menimbulkan kesan di mata publik bahwa sang fotografer tidak sedang menggunakan kamera mahal, sehingga momen-momen candid bisa diabadikan dengan lebih leluasa.

Leica M10-P

Juga sangat membantu menyuguhkan kesan stealthy itu adalah bunyi shutter mekanis yang jauh lebih halus. Bunyi jepretan M10-P nyaris tidak terdengar sama sekali, apalagi kalau kita menggunakannya di tempat-tempat umum.

LCD 3 inci di bagian belakangnya sepintas terlihat sama, akan tetapi Leica telah membubuhkan panel sentuh untuk memudahkan pengoperasian. Kehadiran touchscreen pastinya akan sangat membantu ketika melihat-lihat hasil foto, plus bakal mempermudah pengaturan fokus yang lebih presisi.

Leica M10-P

Selebihnya, M10-P mengusung spesifikasi utama yang sama persis seperti pendahulunya, yakni sensor CMOS full-frame 24 megapixel, dengan rentang ISO 100 – 50000. Tidak ada satu pun colokan di tubuhnya, tapi untungnya masih ada Wi-Fi. Viewfinder dan lain sebagainya pun masih identik dengan M10 standar.

Leica M10-P saat ini sudah dipasarkan seharga $7.995 dalam dua pilihan warna: hitam-silver atau serba hitam. Kenaikan harganya dibandingkan M10 standar terbilang sangat tinggi jika melihat minimnya fitur baru yang dihadirkannya, tapi ya begitulah Leica.

Sumber: DPReview.

Nikon Z 7 dan Z 6 Siap Mengusik Dominasi Sony di Pasar Mirrorless Full-Frame

Yang ditunggu-tunggu sejak lama akhirnya datang juga. Nikon telah memperkenalkan secara resmi kamera mirrorless full-frame pertamanya. Sesuai rumor sebelumnya, ada dua kamera sekaligus yang dihadirkan, yaitu Nikon Z 7 dan Nikon Z 6.

Keduanya memiliki dimensi beserta wujud fisik yang identik. Perbedaannya hanya di bagian dalam: meski sama-sama bersensor full-frame, resolusinya berbeda, Z 7 mengemas 45,7 megapixel, sedangkan Z 6 ‘cuma’ 24,5 megapixel. Pendekatannya kurang lebih mirip seperti yang Sony ambil dengan seri a7 dan a7R.

Nikon Z 7 / Nikon
Nikon Z 7 / Nikon

Z 7 sebagai model flagship mewarisi banyak fitur salah satu DSLR terunggul Nikon saat ini, D850. Sensor masif dengan ISO 64 – 25600 tersebut datang bersama performa yang sangat mumpuni. Utamanya adalah sistem hybrid autofocus 493 titik yang mencakup 90% bentang horizontal dan vertikal, dan burst shooting dalam kecepatan 9 fps.

Urusan video, Z 7 siap merekam dalam resolusi 4K 30 fps langsung di memory card, atau dengan bantuan external recorder via HDMI jika memerlukan bitrate yang lebih tinggi lagi. Uniknya, Z 6 justru bisa dibilang lebih superior soal video ketimbang Z 7.

Ini dikarenakan resolusi sensornya yang lebih kecil, sehingga Z 6 dapat merekam video yang oversampled (karena memakai penampang sensor secara menyeluruh), yang akhirnya bisa kelihatan lebih tajam ketika resolusinya diturunkan menjadi 4K. Untuk Z 7, kualitas yang sama hanya bisa didapatkan kalau merekam dalam format Super 35. Kasusnya sama seperti Sony a7 III dan a7R III, di mana a7 III yang resolusi sensornya lebih kecil justru lebih bagus hasil rekaman videonya.

Nikon Z 7 / Nikon
Nikon Z 7 / Nikon

Z 6 rupanya juga lebih sensitif terhadap cahaya, dengan rentang ISO 100 – 51200. Sistem hybrid autofocus-nya tidak secanggih Z 7 dengan 273 titik saja, akan tetapi kemampuan menjepret tanpa hentinya berada di kecepatan 12 fps (lebih ngebut karena resolusi yang lebih kecil tentu saja).

Untuk pertama kalinya, Nikon juga menerapkan sistem image stabilization 5-axis di dalam kamera, baik untuk Z 7 maupun Z 6. Sistem ini juga dapat dipadukan dengan image stabilization bawaan deretan lensa Nikon yang mengusung label “VR” (Vibration Reduction).

Bicara soal lensa, Z 7 dan Z 6 menggunakan dudukan baru bernama Z-mount. Diameter dudukannya ini mencapai 55 mm – terbesar di kelas mirrorless full-frame – memungkinkan akomodasi terhadap lensa dengan aperture yang sangat besar, hingga sebesar f/0.95.

Nikon Z 6 / Nikon
Nikon Z 6 / Nikon

Kedua kamera sama-sama menggunakan sasis magnesium yang tahan terhadap cuaca ekstrem, lagi-lagi sama seperti Nikon D850. Berhubung ini mirrorless, jendela bidiknya sudah menganut model elektronik, akan tetapi resolusinya sangat tinggi di angka 3,6 juta dot, dengan tingkat perbesaran 0,8x.

Di bawah viewfinder tersebut ada layar sentuh 3,2 inci beresolusi 2,1 juta dot yang bisa di-tilt. Di panel atas, terdapat layar OLED kecil untuk menampilkan sejumlah parameter kamera. Seperti yang bisa kita lihat, hand grip-nya pun juga sangat gemuk sehingga pasti nyaman sekali untuk digenggam.

Konektivitas Wi-Fi sudah pasti tersedia, demikian pula Bluetooth, yang mewujudkan sistem Nikon SnapBridge yang inovatif. Satu hal yang menurut saya kurang adalah, baterainya kecil, dengan klaim daya tahan hingga 330 jepretan saja.

Nikon Z 6 / Nikon
Nikon Z 6 / Nikon

Secara keseluruhan, bisa kita lihat kalau Nikon tidak mau mengulangi kesalahannya dengan ‘almarhum’ Nikon 1, yang terkesan setengah-setengah dalam menghadapi persaingan di pasar mirrorless. Kedua kamera baru ini siap mengusik dominasi lini Sony a7 dan a7R, yang selama ini memang tidak mempunyai lawan sepadan.

Soal harga, Nikon Z 7 dibanderol $3.400 untuk bodinya saja saat dipasarkan mulai 27 September mendatang, atau $4.000 bersama lensa Nikkor Z 24–70mm f/4 S. Nikon Z 6 baru akan menyusul di akhir bulan November. Harganya jauh lebih bersahabat: $2.000 body only, atau $2.600 dengan lensa 24–70mm yang sama.

Sumber: DPReview 1, 2.