Tag Archives: kamera sinema

RED Komodo Bakal Menjadi Kamera Pertama RED yang Dibekali Phase-Detect Autofocus

Sekitar satu tahun yang lalu, RED menyingkap teaser kamera barunya yang dinamai Komodo. Berbeda dari kamera-kamera besutan RED lainnya, Komodo merupakan satu unit kamera utuh yang siap dipakai untuk merekam begitu dikeluarkan dari boks dan dipasangi lensa.

Dengan wujud seperti kubus, Komodo bakal menjadi kamera paling ringkas yang pernah RED produksi. Segmen yang dituju tetap kalangan profesional – harganya dipastikan di atas $5.000 – akan tetapi Komodo diciptakan untuk skenario penggunaan yang berbeda.

Kalau kamera-kamera lain RED umumnya selalu dipasangkan di atas tripod atau gimbal sekelas DJI Ronin, Komodo dengan wujud ringkasnya bakal ideal untuk teknik sinematografi run-and-gun. Anggap saja Komodo sebagai alternatif yang lebih kapabel dari kamera mirrorless atau DSLR, dan itulah mengapa Komodo juga akan menjadi kamera RED pertama yang dibekali sistem phase-detect autofocus (PDAF).


View this post on Instagram

A post shared by Jarred Land (@instajarred) on

Lewat sebuah video yang diunggah ke Instagram, Jarred Land selaku pimpinan RED baru-baru ini mendemonstrasikan sistem PDAF yang terdapat pada Komodo. Di video tersebut bisa kita lihat bahwa Komodo mendukung fitur tap to focus layaknya kamera smartphone, meski memang kinerjanya masih terkesan lambat, terutama jika dibandingkan dengan sistem serupa milik kamera mirrorless.

Jarred mengaku sistemnya masih jauh dari kata sempurna, dan tim RED akan terus menyempurnakannya. Sayang hingga kini masih belum ada informasi mengenai kapan RED Komodo bakal diluncurkan.

Unit prototipenya sudah diuji bersama sejumlah sineas ternama, tapi kalau melihat situasi seperti sekarang, sepertinya konsumen masih harus bersabar menunggu. RED punya riwayat jadwal perilisan yang kerap meleset dalam kondisi normal, apalagi di tengah pandemi.

Sumber: Engadget.

Blackmagic Pocket Cinema Camera 6K Usung Sensor Super 35 dan Dudukan Lensa Canon

Pabrikan asal Australia, Blackmagic Design, kembali meluncurkan kamera sinema yang cukup menarik. Dinamai Blackmagic Pocket Cinema Camera 6K (BMPCC6K), ia merupakan versi lebih garang dan lebih kapabel dari Blackmagic Pocket Cinema Camera 4K (BMPCC4K) yang dirilis tahun lalu.

BMPCC6K mengusung sensor Super 35 21,2 megapixel dengan ukuran penampang setara sensor APS-C. Ini jelas lebih besar ketimbang sensor Four Thirds yang digunakan BMPCC4K, dan lagi sederet keunggulannya tetap dipertahankan, semisal teknologi Dual Native ISO (400 dan 3200) serta klaim dynamic range seluas 13 stop.

Blackmagic Pocket Cinema Camera 6K

Sensor ini siap menghasilkan output video dengan resolusi maksimum 6144 x 3456 di kecepatan 50 fps, atau 6144 x 2560 di kecepatan 60 fps. Mode perekaman yang didukung sejatinya sangat melimpah, mencakup mode high frame rate 120 fps di resolusi 2,8K, serta mode anamorphic beresolusi 3,7K 60 fps. Format yang didukungnya meliputi Blackmagic RAW 12-bit serta ProRes 10-bit.

Untuk lensanya, BMPCC6K menggunakan jenis mount terpopuler sejagat raya, yakni EF-mount besutan Canon. Semua lensa bikinan Canon dapat bekerja sepenuhnya di kamera ini, termasuk model-model yang dilengkapi sistem image stabilization. Dipadukan dengan sensor berukuran besar, kamera ini siap menghasilkan video dengan kesan sinematik dan efek bokeh yang menawan.

Blackmagic Pocket Cinema Camera 6K

Dari segi fisik, BMPCC6K tampak sangat mirip seperti BMPCC4K, lengkap sampai ke layout tombol-tombolnya. Panel belakangnya pun turut didominasi oleh layar sentuh 5 inci beresolusi 1080p, siap menampilkan interface Blackmagic OS yang begitu rapi. Deretan port konektivitasnya lagi-lagi disusun di panel sebelah kiri, siap mengakomodasi kebutuhan sineas yang terbiasa menggunakan custom rig.

Blackmagic Pocket Cinema Camera 6K saat ini sudah dipasarkan seharga $2.495 (body only). Ukuran sensor yang besar, serta dukungan native terhadap lensa bikinan Canon tentu menjadikannya alternatif yang menarik sekaligus lebih terjangkau ketimbang kamera-kamera besutan RED.

Sumber: DPReview.

Octopus Camera Adalah Kamera Sinema Modular yang Dapat Diprogram Sesuai Kebutuhan

Kamera sinema macam bikinan RED pada dasarnya sudah bisa dianggap sebagai sebuah komputer mini yang kebetulan memiliki sensor dan bisa dipasangi lensa. Namun yang namanya komputer semestinya dapat diprogram sesuai kebutuhan, dan kamera-kamera RED rupanya tidak demikian.

Kalau yang dicari adalah keleluasaan memprogram suatu kamera sesuai keperluan, mungkin inisiatif dari perusahaan bernama Octopus Cinema ini bisa menarik perhatian. Mereka baru saja menyingkap Octopus Camera, sebuah kamera sinema yang bersifat modular seperti besutan RED, tapi yang juga bersifat open-source, mudah di-upgrade dan mudah diprogram.

Saat ini Octopus Camera masih dalam tahap pengembangan awal, akan tetapi pengembangnya tidak segan membeberkan detail-detail seputar kapabilitasnya. Rahasia utamanya terletak pada penggunaan mainboard mini Intel NUC, lengkap beserta prosesor 8-core Intel i7-8650U dan RAM DDR4 16 GB atau 32 GB, yang dikawinkan dengan sistem operasi berbasis Linux.

Kombinasi ini secara langsung mengubah statusnya menjadi sebuah open platform, dan di sini Octopus juga menyediakan SDK (software development kit) guna memaksimalkan kinerjanya, menyesuaikan dengan berbagai skenario yang ada. Inilah yang saya maksud dengan kemudahan untuk memprogramnya sesuai kebutuhan.

Octopus Camera

Salah satu contoh yang diberikan adalah penggunaan Octopus Camera untuk keperluan menambahkan special effect pada suatu adegan film. Berkat sifat terbukanya, kamera ini bisa dijejali dengan proyek AR berbasis Unity3D yang mengemas sejumlah aset CG (computer graphics), dan ini dapat dipakai untuk ‘menembakkan’ special effect langsung di atas komposisi secara real-time tanpa bantuan hardware tambahan.

Kalau memang performanya sudah dirasa berkurang, mainboard beserta prosesornya ini juga bisa dilepas dan diganti dengan yang lebih baru. Namun sifat modularnya belum berhenti sampai di situ saja; sensornya pun juga dapat dilepas-pasang dari sasis aluminiumnya yang berwujud kubus, dengan panjang tiap sisi 110 mm dan bobot sekitar 900 gram.

Untuk sekarang, pengembangnya sedang mengerjakan dua versi Octopus Camera yang berbeda. Satu akan dibekali sensor full-frame beresolusi 5K, sedangkan satunya dengan sensor Four Thirds beresolusi 4K. Kedua versi ini sama-sama sanggup merekam video lossless 12-bit RAW dalam resolusi 4K 30 fps.

Namun jika tidak membutuhkan format lossless, resolusi dan frame rate-nya jelas bisa ditingkatkan secara drastis pada kedua versi. Untuk merekam video 10-bit HEVC misalnya, versi 5K-nya dapat merekam dengan frame rate maksimum 48 fps, sedangkan versi 4K-nya dengan frame rate 70 fps.

Octopus Camera

Dua versi tersebut barulah versi mainstream, sebab Octopus juga merancang kamera ini agar bisa mengakomodasi kebutuhan-kebutuhan yang sangat niche. Contohnya adalah dukungan terhadap sensor monokrom, atau yang mendukung global shutter, dan masih banyak lagi.

Berhubung Octopus Camera saat ini masih berupa prototipe awal, pengembangnya belum bisa memberikan estimasi harga jualnya. Kalau semuanya berjalan sesuai rencana, mereka berharap bisa memasarkan kamera ini mulai musim panas tahun 2020.

Sumber: NewsShooter.

RED Sederhanakan Lineup Kameranya Sekaligus Pangkas Harganya Secara Drastis

Memahami lineup kamera sinema yang ditawarkan RED itu gampang-gampang susah. Kuncinya ada pada penamaannya, yang berarti kita harus hafal mana yang merujuk ke tipe bodi dan mana yang untuk tipe sensor. Situasinya memang jauh dari kata ideal, dan RED sendiri rupanya menyadari akan hal itu.

Mereka pun memutuskan untuk menyederhanakan lineup-nya menjadi tiga model saja: DSMC2 Monstro 8K VV, DSMC2 Helium 8K S35, dan DSMC2 Gemini 5K S35. DSMC sendiri merupakan singkatan dari Digital Stills and Motion Capture, dan ini merujuk pada jenis bodi kamera yang digunakan.

RED DSMC2 cameras

Ketiga kamera di atas menggunakan bodi yang sama persis, sehingga perbedaannya hanya terletak pada sensornya, yang diwakili oleh masing-masing namanya. Cinema5D punya cara mudah untuk memahami perbedaannya. Berikut rangkumannya:

  • Monstro bisa kita anggap sebagai versi full-frame, sebab sensor ini mampu merekam video 8K 60 fps dalam format VistaVision (VV). Ukuran sensornya adalah yang paling besar, dan kalau diukur panjang diagonalnya, sangat mirip dengan sensor full-frame (Monstro 46,31 mm, full frame 43,27 mm).
  • Sama seperti Monstro, Helium juga bisa merekam video 8K 60 fps, hanya saja dalam format Super 35 yang lebih umum. Kalau diamati, dimensi fisik sensornya juga lebih kecil ketimbang Monstro.
  • Gemini punya dimensi yang tak jauh berbeda dari Helium (sedikit lebih besar), hanya saja resolusinya terbatas di 5K 96 fps, juga dalam format Super 35. Bukan cuma itu perbedaannya, Gemini juga mengemas teknologi Dual ISO yang membuatnya superior di kondisi minim cahaya.

Namun yang lebih menarik lagi justru adalah pemangkasan harga atas ketiga kamera tersebut. Monstro kini dibanderol $54.500, Helium $24.500, dan Gemini $19.500. Dibandingkan harga lamanya, konsumen bisa menghemat lebih dari $25.000 untuk Monstro dan Helium, atau $5.000 untuk Gemini. Berbahagialah Anda yang dulu belum tertarik membeli, atau yang masih menabung.

Sumber: DPReview.

Foxconn dan RED Tertarik Mengembangkan Kamera 8K dengan Harga yang Lebih Terjangkau

Bagi sebagian besar orang, kamera mirrorless buatan Sony atau Panasonic sebenarnya sudah lebih dari cukup untuk menghasilkan video dengan kualitas jauh di atas kamera smartphone. Namun kalau uang memang bukan masalah, saya yakin kamera-kamera buatan RED yang terkadang bisa seharga mobil mewah bakal menjadi pertimbangan.

Apakah situasinya harus selamanya demikian? Tidak, kalau menurut Foxconn. Baru-baru ini, perusahaan perakit perangkat elektronik itu mengungkap rencananya untuk bekerja sama dengan RED, dengan tujuan untuk menciptakan kamera yang sanggup merekam dalam resolusi 8K, tapi dengan dimensi dan banderol harga sepertiga dari yang ada sekarang.

Kalau kita lihat, kamera 8K ‘termurah’ RED sekarang adalah Epic-W yang mengemas sensor Helium 8K S35. Untuk bodinya saja, konsumen harus merogoh kocek sedalam $29.500. Kalau sepertiganya, berarti kamera baru hasil kolaborasi Foxconn dan RED ini nanti bakal dibanderol kurang lebih sekitar $10.000.

Angka itu memang masih sangat mahal kalau dibandingkan dengan kamera termahal Panasonic sekalipun, yakni Lumix GH5S yang dijual seharga $2.500 untuk bodinya saja. Namun perlu diingat, kemampuan merekam Lumix GH5S ‘hanya’ mentok di 4K, sedangkan yang Foxconn dan RED incar adalah kamera 8K.

Pertanyaan berikutnya, mengapa Foxconn? Jawabannya karena keduanya memang sudah punya hubungan baik selama ini. Foxconn selama ini sudah berjasa merakitkan komponen LSI circuit yang digunakan pada kamera-kamera besutan RED, dan rencana baru ini sejatinya bakal semakin memperdalam kemitraan mereka.

Tidak ada sama sekali yang menyinggung soal waktu maupun jadwal perilisan di sini. Realisasinya mungkin masih membutuhkan beberapa tahun, dan mungkin ketika sudah siap, Sony dan Panasonic juga sudah menyiapkan kamera mirrorless yang sanggup merekam video 8K.

Sumber: DPReview dan EOSHD. Gambar header: Jakob Owens via Unsplash.

4K Sudah Biasa? Sharp Luncurkan Camcorder 8K untuk Kalangan Profesional

Kemampuan merekam video 4K saat ini boleh dikatakan bukan lagi atribut yang layak dibanggakan oleh suatu kamera, terutama kamera sinema. Hal ini dikarenakan mayoritas smartphone sudah bisa merekam video 4K, bahkan beberapa dalam kecepatan 60 fps. Singkat cerita, pabrikan pun mulai mengejar kapabilitas di atas 4K.

RED adalah salah satunya, tapi mereka jelas tidak sendirian. Masih ada pabrikan lain seperti Sharp yang baru saja mengumumkan sebuah camcorder profesional dengan kemampuan merekam video 8K 60 fps, seperti terindikasi dari namanya, yaitu Sharp 8C-B60A.

Kamera ini mengemas sensor Super 35, dengan ukuran setara RED Helium 8K S35, tapi belum sebesar RED Monstro 8K VV. Codec HQX dipilih agar ukuran file yang dihasilkan tidak terlalu besar meski berformat 10-bit, dan Sharp juga telah membekali kamera ini dengan SSD berkapasitas 2 TB yang kira-kira sanggup menyimpan video 8K berdurasi total 40 menit.

Untuk lensa, Sharp memilih mount PL yang kompatibel dengan berbagai lensa, termasuk lensa premium besutan Leica maupun Zeiss. Sederet fitur lain yang ditujukan buat kalangan broadcaster tentunya juga tersedia, mengingat kamera ini dimaksudkan untuk mengantisipasi Olimpiade 2020 yang dihelat di Tokyo nanti.

Usai melihat spesifikasinya, jangan kaget melihat harganya. Sharp 8C-B60A bakal dipasarkan mulai bulan Desember 2017 seharga 8,8 juta yen, atau sekitar 1,05 miliar rupiah. Bukan salah ketik, tapi memang itu biaya yang harus ditebus untuk kamera sekelas ini, apalagi di saat televisi 8K masih hampir belum eksis sama sekali.

Sumber: DPReview dan Sharp.

RED Luncurkan Kamera Bersensor 8K Baru Seharga $79.500

RED tidak bosan-bosannya membuat gebrakan di dunia perfilman. Produsen kamera pilihan sutradara Guardians of the Galaxy itu belum lama ini memperkenalkan sensor baru bernama Monstro 8K VV, yang dirancang untuk jenis bodi kamera Weapon.

Dari semua opsi sensor yang tersedia untuk RED Weapon saat ini, Monstro 8K VV memiliki ukuran penampang fisik yang paling besar, tepatnya 40,96 x 21,60 mm. Resolusinya memang masih sama seperti Helium 8K S35, yakni 35,4 megapixel, akan tetapi dimensi sensor yang lebih besar pastinya sanggup menghasilkan kualitas gambar yang lebih baik lagi.

RED Monstro 8K VV

Jika melihat hasil benchmark DxOMark sebagai salah satu patokan, Helium 8K S35 berhasil mencatatkan skor total 108, alias yang tertinggi yang pernah ada. Monstro 8K VV nantinya sudah bisa dipastikan bakal mencetak rekor yang lebih tinggi lagi, apalagi mengingat RED mengklaimnya dapat menghasilkan dynamic range hingga 17+ stop.

Dari kacamata sederhana, Monstro 8K VV siap merekam video beresolusi 8K dalam kecepatan 60 fps. Ia sejatinya merupakan penerus sensor Dragon 8K VV, dengan penyempurnaan dalam hal dynamic range dan detail di area bayangan.

RED berencana memasarkan kamera Weapon dengan sensor Monstro 8K VV ini secara luas mulai awal tahun depan – kemungkinan hampir berbarengan dengan smartphone perdana mereka. Seperti halnya produk RED lain, kamera ini bukanlah untuk semua orang. Kenapa bisa demikian? Simpel: harganya $79.500.

Sumber: RED.

Usung Sensor Full-Frame, Kamera Sinema Sony Venice Unggulkan Perekaman 6K dan Desain Modular

Sony punya persembahan baru untuk kalangan videografer profesional. Dijuluki Venice, ia merupakan generasi terbaru lini CineAlta yang untuk pertama kalinya mengusung sensor full-frame berukuran 36 x 24 mm. Sebagai bagian dari CineAlta, Venice sudah pasti menjanjikan reproduksi warna yang apik serta dynamic range yang luas (sampai 15-stop).

Dipadukan dengan lensa full-frame, Venice dapat merekam video dalam resolusi maksimum 6048 x 4032 pixel alias 6K. Kendati demikian, Venice rupanya juga kompatibel dengan lensa Anamorphic, Super 35, Spherical maupun lensa E-mount milik lini mirrorless Sony dengan modifikasi ekstra.

Sony membebaskan pengguna Venice untuk merekam dalam format XAVC 10-bit, atau RAW/X-OCN 16-bit dengan bantuan external recorder. Sistem manajemen warna yang canggih dan dukungan wide color gamut memungkinkan pengguna untuk melakukan editing dengan sangat leluasa.

Sony Venice

Namun hal lain yang tak kalah penting untuk disorot adalah desain modular yang diadopsi oleh Venice. Tujuannya bukan cuma untuk memasangkan berbagai macam aksesori dari lini CineAlta saja, bahkan sensor kamera ini pun juga modular, yang berarti pengguna dapat melepasnya dan menggantinya dengan yang baru ke depannya.

Aspek modular ini sejatinya merupakan salah satu alasan mengapa RED Camera yang tergolong pendatang baru pada akhirnya bisa menuai reputasi di industri perfilman. Sony sepertinya banyak belajar dari sini, dan dengan Venice mereka ingin memberikan kebebasan sekaligus fleksibilitas lebih terhadap konsumen.

Fitur lain yang tak kalah menarik dari Venice adalah integrasi ND filter 8 tahap. Bodi perangkat juga telah dirancang sedemikian rupa agar dapat beroperasi di lokasi dengan cuaca ekstrem sekalipun.

Sayang sekali sejauh ini belum ada informasi harga untuk Sony Venice. Sony berencana untuk membawa Venice ke pasaran mulai Februari tahun depan.

Sumber: DPReview.