Tag Archives: Kedai Sayur

KedaiSayur Umumkan Pendanaan Seri A, Ingin Perkuat Rantai Pasok Untuk Petani dan Peternak

KedaiSayur Umumkan Pendanaan Seri A, Ingin Perkuat Rantai Pasok untuk Petani dan Peternak

Startup agritech KedaiSayur mengumumkan perolehan dana segar dalam putaran seri A yang dipimpin oleh Kejora-SBI Orbit dengan nominal dirahasiakan. Investor dari putaran sebelumnya turut berpartisipasi dalam putaran tersebut, yaitu Triputra Group dan beberapa investor strategis lainnya dengan identitas dirahasiakan.

Dalam keterangan resmi disampaikan bahwa KedaiSayur akan memanfaatkan raihan dana tersebut untuk memperkuat infrastruktur farm-to-table dan mempercepat kolaborasi dengan bagian hulu pemasok produk pertanian. Diharapkan kolaborasi ini akan membantu para petani dan peternakan untuk meningkatkan kualitas produk dan layanan mereka.

“KedaiSayur akan menghadirkan lebih banyak lagi layanan terbaik bagi para konsumen dan juga memperkuat supply chain dari titik awal, yaitu para petani dan peternak itu sendiri melalui bantuan teknologi,” ucap CEO KedaiSayur Adrian Hernanto.

Fund Director Kejora-SBI Orbit Fund Billy Boen turut menyampaikan alasan dibalik ketertarikan perusahaan memimpin pendanaan di KedaiSayur. Vertikal agrikultur merupakan pasar besar yang memiliki banyak permintaan. Hal tersebut tentunya harus diimbangi dengan infrastruktur rantai pasok yang kuat.

“Kami percaya bahwa KedaiSayur memiliki ekosistem yang tepat untuk membangun jaringan farm-to-table terkuat yang terintegrasi sepenuhnya dari hulu ke hilir dengan teknologi,” kata Billy.

Kejora–SBI Orbit Fund merupakan joint venture berbentuk perusahaan modal ventura yang fokus untuk pendanaan startup tahap awal di Indonesia. Dalam portofolionya terdapat sejumlah startup, di antaranya Olsera, SWAP Energy, dan Selleri.

Bergerak di online grocery, KedaiSayur merupakan startup di bawah konglomerasi Triputra Group. Grup ini juga memiliki anak usaha yang bergerak di industri agrikultur, Triputra Agro Persada, yang berfokus pada pengembangan teknologi agrikultur dan Sumber Energi Pangan yang merupakan produsen komoditas pangan.

CFO Triputra Group Erida Gunawan menambahkan, pihaknya melihat komitmen KedaiSayur dalam meningkatkan efisiensi rantai pemasok akan berdampak positif bagi konsumen dan meningkatkan kualitas petani di Indonesia. “Melalui dukungan penuh dari ekosistem Triputra Group dan Kejora-SBI Orbit, KedaiSayur akan dapat terus berkembang dengan pesat,” kata Erida.

Sejak beroperasi di 2018, diklaim pertumbuhan perusahaan naik hingga 5x lipat dalam satu tahun terakhir, melayani lebih dari ratusan ribu pelanggan. Pencapaian tersebut didukung pula dengan akuisisi dan kolaborasi dengan hulu rantai pemasok produk pertanian.

Saat ini perusahaan memiliki beberapa lini bisnis: KedaiMart (B2C online grocery), KedaiBiz (B2B food supplies), KedaiVenture (manajemen supply chain dan petani).

Prospek industri online grocery

Menurut laporan IGD, ukuran pasar grocery di Indonesia akan mencapai $169,4 miliar di tahun 2022 ini dengan CAGR mencapai 5,2% dalam dua tahun terakhir. Posisi ini mengukuhkan Indonesia sebagai peringkat ke-13 untuk pasar grocery terbesar di dunia, dan kedua terbesar di Asia setelah Tiongkok. Tentu ini menjadi potensi bisnis yang sangat besar, mengingat mayoritas masih dilayani oleh bisnis ritel tradisional.

Digitalisasi yang diakselerasi oleh pandemi menjadi kesempatan kunci bagi para pemain online grocery. Tak heran jika sepanjang periode pandemi, startup di bidang ini terus melancarkan penggalangan dana untuk mendukung pertumbuhan bisnis mereka.

Sejumlah aksi korporasi terkait penguatan bisnis online grocery juga dilakukan oleh raksasa teknologi lokal. Pada September 2021 lalu, Blibli resmi mengakuisisi 51% saham Ranch Market yang mengoperasikan 48 unit toko ritel grocery di berbagai kota. Dari situ, tersedia kanal resmi Ranch Market di aplikasi Blibli. Sementara GoTo juga mengakuisisi 6,74% saham pemilik jaringan ritel Hypermart, yang berpotensi untuk memperkuat bisnis GoMart.

Pemain baru juga terus bermunculan dengan pendekatan berbeda. Misalnya, Japang yang diinisiasi oleh pendiri dan investor ex-Tanihub, yang fokus menyediakan akses ke layanan online grocery untuk pengguna di luar Jawa. Hingga Astro yang hadir dengan konsep quick commerce.

Application Information Will Show Up Here
Startup Agritech Indonesia

Inilah Daftar Startup Agritech Indonesia yang Menjadi Solusi Petani

Startup agritech Indonesia adalah salah satu hal yang harus diketahui banyak orang. Karena bisa menjadi fondasi dasar untuk perkembangan ekonomi masyarakat Indonesia. Dilansir oleh BPS (Badan Pusat Statistik), produksi pertanian Indonesia meningkat 2,59% di kuartal keempat 2021. Maka dari itu, pertanian menjadi sumber yang paling besar perannya untuk menjadi salah satu pilar perekonomian.

Kehadiran startup digital di bidang pertanian (argitech) juga dilihat sebagai sebuah harapan baru untuk membawa industri pertanian Indonesia naik level. Dengan cara menghadirkan mekanisme dan model bisnis baru untuk efisiensi produksi sampai dengan distribusi.

Berikut ini daftar startup pertanian di Indonesia yang layak diketahui:

Agriaku

PT Agriaku Digital Indonesia (Agriaku) merupakan startup agritech Indonesia yang menyediakan berbagai perlengkapan dan kebutuhan petani melalui sistem keagenan atau social commerce. Mereka baru saja, memimpin pendapatan awal oleh Arise, dana kelolaan kolaboratif MDI Ventures dan Finch Capital.

Agriaku didirikan pada Mei 2021 oleh Irvan Kolonas dan Danny Handoko. Ivan memang memiliki pengalaman sebagai pengusaha di bidang agribisnis, saat ini juga menjabat sebagai CEO Vasham. Sementara itu, Danny adalah mantan Co-Founder & CEO Airy Indonesia. kolaborasi mereka dapat menggabungkan keahlian di bidang pertanian dan teknologi untuk memberikan layanan yang komprehensif kepada agro-UKM dan petani.

Dengan dana segar yang terkumpul, Agriaku berencana untuk meningkatkan jumlah petani dalam jaringannya agar berhasil menembus pasar senilai $17 miliar di Indonesia. Sejak awal, Agriaku telah memberdayakan lebih dari 6 ribu mitra dan petani kecil di seluruh Indonesia melalui teknologi. Agriaku memiliki mimpi untuk menjadi superapp bagi para pemain agri di Indonesia.

Crowde

Crowde adalah startup fintech didirikan oleh Yohanes Sugihtononugroho pada tahun 2015 yang berfokus pada pertanian yang memberdayakan petani Indonesia dengan teknologi dan permodalan. Ribuan petani dan investor di seluruh Indonesia telah mempercayakan Crowde dengan mencapai apa yang belum pernah dilakukan sebelumnya.

Ekosistem keuangan yang mudah untuk petani dapat terhubung dengan investor yang mencari hal menarik dengan petani yang mengharapkan modal untuk tumbuh, menciptakan lapangan kerja, dan membantu komunitas lokal.

Eden Farm

Eden Farm lebih fokus menyajikan produk-produk terbaik dari petani lokal hingga berbagai restoran dan warung makan di Indonesia. Startup yang didirikan pada tahun 2017 oleh David Gunawan ini memiliki tujuan agar bisnis kuliner Indonesia menggunakan bahan-bahan yang berasal dari petani lokal.

Berdasarkan informasi dari situs resminya, Eden Farm merupakan pemasok berbagai jenis sayuran dan bahan makanan seperti sayuran hidroponik, buah, dan bahan kering.

Etanee

Etanee adalah aplikasi e-commerce yang fokus pada produk pangan dan pertanian. Didesain berawal dari memulai petani dan peternak kita yang tidak mendapatkan hak ekonomi secara layak. Padahal merekalah rantai produksi dengan kerja kerasnya menghasilkan produk terbaik yang kita konsumsi.

Selain itu, rantai logistik dan pengiriman yang tidak efisien menjadi penyebab tingginya harga beli konsumen juga menjadi pemicu lahirnya Etanee yang mulai digagas sejak awal tahun 2017. Maka dari itu, Etanee dibuat sebagai solusi untuk petani dan peternak agar memiliki penghasilan yang sesuai dengan meraka.

Herry Nugraha dan Cecep Mochamad Wahyudin mendirikan Etanee pada tahun 2017 ingin berfokus pada pengembangan bisnis pertanian di Indonesia. Mereka mendapatkan dana awal sebesar 7 miliar Rupiah dari East Ventures untuk mengekspansi ke beberapa daerah di Indonesia.

Habibi Garden

Di Indonesia juga ada startup teknologi pertanian yaitu Habibi Garden. Perusahaan startup agritech Indonesia ini memiliki tujuan untuk membangun peradaban melalui pertanian internet of things (IOT). Perusahaan ini memang menghadirkan solusi perawatan tanaman berbasis IoT. Startup ini membantu menyediakan data up-to-date melalui smartphone.

Ada sensor yang digunakan untuk membantu mendapatkan data tersebut. Data yang diberikan misalnya adalah kondisi tanah dan unsur hara pada tanaman. Ini dapat membantu petani mengurangi biaya, meningkatkan produktivitas, dan mencegah gagal panen.

Startup agritech Indonesia yang satu ini didirikan pada tahun 2016 oleh Dian Prayogi Susanto. Pada awal pendiriannya Habibi Garden mendapatkan 8 miliar Rupiah dibantu oleh beberapa Investor pendanaan seri A.

iGrow

Startup bergerak di bidang pertanian yang memungkinkan pelaku usaha untuk bertani tanpa harus turun ke lahan pertanian sendiri untuk menanam. Cukup dengan mendaftar, memilih tanah dan jenis pohon, maka para pelaku usaha dapat menerima uang atas tanah tersebut.

Setelah lahan diolah dan dipanen, hasil pertanian bisa dijual dengan porsi 40% untuk pengguna, 20% untuk mitra pengelola perkebunan (petani), dan 20% untuk iGrow. Perusahaan yang satu ini didirikan pada tahun 2014. Kini iGrow telah diakuisisi dan masuk ke dalam grup LinkAja.

Kedai Sayur

Layanan startup ini lebih fokus pada pendistribusian produk pertanian berupa sayuran kepada konsumen. Dengan sistem mengundang pedagang sayur konvensional untuk menjadi bagian dari Kedai Sayur sebagai Mitra Sayur.

Mitra sayur ini merupakan satu-satunya layanan utama yang dihadirkan untuk memberikan kemudahan bagi pengguna khususnya ibu rumah tangga yang ingin berbelanja kebutuhan sayur tanpa perlu ribet, namun tetap memiliki kualitas sayur terbaik.

Startup yang pertama kali digagas pada tahun 2016 oleh Adrian Hernanto ini telah mendapatkan dua putaran pendanaan di tahun 2019, yang keduanya dipimpin oleh East Ventures. Pendanaan pertama diperoleh pada bulan Mei sebesar $1,3 juta dan pendanaan kedua dilakukan tiga bulan kemudian yaitu pada bulan Agustus dengan nominal lebih besar yaitu 4 juta dollar AS.

Sayurbox

Didirikan pada tahun 2017, Sayurbox menggunakan konsep bisnis farm-to-table. Konsep ini mendukung konsumen untuk dapat memperoleh berbagai sayuran dan buah segar berkualitas langsung dari petani dan produsen lokal.

Sayurbox, perusahaan rintisan yang menggabungkan teknologi pangan dan bahan-bahan makanan, mengumumkan telah mendapatkan pendanaan seri C sebesar $120 juta atau lebih dari Rp. 1,7 triliun.

Tanihub

Startup pertanian lain yang cukup menonjol adalah TaniHub. Startup ini dikenal membangun ekosistem petani mulai dari pembiayaan, penanaman, hingga pemasaran. Dalam aplikasi ini, produk pertanian masuk ke pasar sehingga membebani petani untuk memasarkan produk tersebut.

TaniHub sendiri merupakan aplikasi yang merupakan bagian dari TaniGroup. Di dalam grup, tidak hanya ada TaniHub tetapi juga TaniFund. Juni tahun 2021 lalu Tanihub mendapatkan pendanaan seri B senilai 945 miliar Rupiah dipimpin oleh MDI Ventures.

Itulah beberapa startup agritech Indonesia yang bisa menjadi solusi bagi mereka. Perkembangan teknologi telah memberikan banyak peluang, termasuk di bidang pertanian.

KedaiSayur Announces the Latest Funding Worth of 50 Billion Rupiah

KedaiSayur (PT Kedai Sayur Indonesia) announced the latest funding in a bridge round worth of $3.5 million or around 50 billion Rupiah. The investors involved are yet to be disclosed. In the release, KedaiSayur also confirmed its status as a tech-based wholesale company under the Triputra Group.

The bridge round concept is basically investors participating in a startup funding to close the next series. In general, the latest equity count will be delivered after the company met a certain target, according to the agreement and based on the value disbursed by each investor. In addition, there is an agreed deadline regarding the closing of the next series.

Previously, the competitor, Sayurbox, also announced the funding in the bridge round from Metrodata.

The fresh funds is said to be focused on supporting business acceleration and advancing the platform’s technology. This is in line with the target growth — until the end of 2021, KedaiSayur claims to have achieved 24x business growth compared to the previous year through the KedaiMart application.

“With our commitment as a good supply chain management to provide grocery from upstream to downstream, KedaiSayur continues to improve service quality and always offer added value for all partners. It is because customer satisfaction is the key in our business development, therefore, we will continue to make efforts to create operational excellence,” KedaiSayur’s CEO, Adrian Hernanto said.

Adrian also mentioned, in addition to providing convenience to fulfill people’s needs of groceries through applications and dashboards for ordering, KedaiSayur is currently focus on slowly developing the land digitization. “Through monitoring with tech, we can do forecasting and each region will later be able to have sufficient data to increase their business scale, which is supported by the data transparency generated through the digitization process,” he said.

Pivoting due to pandemic

In May 2020, KedaiSayur announced a business pivot to online food delivery service. Previously, the company served B2B consumers such as hotels, restaurants and cafes, and vegetable vendors who wanted to supply food ingredients for selling.

The thing is, the food product market has started to change since the Covid-19 began in early March. Demand from hotels, restaurants and cafes drop by 50%. Previously, the growth of this business could reach more than 20% per month. Meanwhile, at the same time, the demand from vegetable growers and household customers has increased significantly. The company is confident to take pivot decisions based on this.

On the other hand, operational restrictions on the wholesale market and local markets disrupt the distribution pattern of fresh food products in Indonesia. This has an impact not only on consumers who cannot shop at the market, farmers also lose the medium to distribute their harvests.

In February 2021, KedaiSayur released the KedaiMart application to provide daily grocery with the concept of “supermarket in your pocket”. Previously, apart from the application itself, users could also order KedaiSayur products through Tokopedia and Blibli.

Growing market, tighten competition

Since it was founded in 2018, KedaiSayur has closed two funding rounds, with a total of $5.3 million supported by some investors, including East Ventures, SMDV, Triputra Group, and Multi Persada Nusantara. Currently, they have more than 5 thousand partners from vegetable traders, HORECA, and wholesale markets. They also cooperate with 250 farmers who provide product supplies to meet their needs.

According to the IGD report, the size of the wholesale market in Indonesia will reach $169.4 billion in 2022 with a CAGR of 5.2% in the last two years. This position confirms Indonesia as the 13th largest wholesale market in the world, and the second largest in Asia after China. It iis indeed a huge business potential, considering the size of traditional retail businesses.

The pandemic that accelerates digitization is a key opportunity for online store players. It’s clear that throughout the pandemic, startups in this field continue to raise funds to support the business growth.

Period Startup Investasi
November 2021 Astro Seed Funding
September 2021 Dropezy Series A
August 2021 Pasarnow Seed Funding
August 2021 Segari Series A
July 2021 HappyFresh Series D
April 2021 Sayurbox Series B
March 2021 Dropezy Seed Funding
March 2021 Segari Seed Funding
March 2021 Eden Farm Seed Funding
August 2020 Wahyoo (meluncurkan Langganan.co.id) Series A
July 2020 BorongBareng Pre-Series A
March 2020 Chilibeli Series A

Local technology giants has held a series of corporate actions related to strengthening the wholesale online business. Last September 2021, Blibli online marketplace officially acquired a 51% stake in Ranch Market, which operates 48 wholesale retail stores in various cities. Recently, there are also several integration, from the creation of the official Ranch Market channel on the Blibli application. Meanwhile, GoTo also acquired 6.74% of Hypermart retail network owners, which is likely to strengthen GoMart’s business.

New players also keep popping up with different approaches. For example, Japang, which was initiated by the founder and investor of ex-Tanihub, which focuses on providing access to online wholesale services for users outside Java. Until Astro came up with the quick commerce concept.

Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan KedaiSayur 2022

KedaiSayur Umumkan Perolehan Dana Segar 50 Miliar Rupiah

KedaiSayur (PT Kedai Sayur Indonesia) mengumumkan telah mendapatkan pendanaan dalam bridge round senilai $3,5 juta atau sekitar 50 miliar Rupiah. Tidak diumumkan secara spesifik siapa investor yang terlibat. Dalam keterangannya, KedaiSayur turut menegaskan sebagai perusahaan grosir berbasis teknologi di bawah naungan Triputra Grup.

Konsep bridge round  ini pada dasarnya menjadi partisipasi investor dalam sebuah pendanaan startup untuk menyambut penutupan seri selanjutnya. Umumnya pembagian ekuitas baru disampaikan setelah target pendanaan pada seri tertentu terpenuhi, disesuaikan dengan formula yang telah disepakati dan didasarkan pada nilai yang dikucurkan tiap investor. Selain itu, dalam perjanjian ada tenggat batas yang disepakati terkait penutupan seri berikutnya.

Sebelumnya kompetitor mereka, yakni Sayurbox, juga mengumumkan perolehan dana dalam bridge round dari Metrodata.

Dana segar yang didapat KedaiSayur akan difokuskan untuk mendukung percepatan bisnis dan penguatan teknologi yang ada di dalamnya. Hal ini sejalan dengan growth yang tengah diupayakan — hingga akhir 2021 KedaiSayur mengklaim telah meraih pertumbuhan bisnis 24x lipat dibanding tahun sebelumnya melalui aplikasi KedaiMart.

“Dengan komitmen kami sebagai penyedia supply chain management yang baik untuk memenuhi suplai bahan makanan dari hulu ke hilir, KedaiSayur terus meningkatkan kualitas layanan dan senantiasa memberikan nilai tambah untuk semua pihak yang terlibat. Karena kepuasan pelanggan merupakan kunci dalam pengembangan bisnis kami, sehingga kami akan terus melakukan upaya untuk menciptakan operational excellence,” ujar CEO KedaiSayur Adrian Hernanto.

Adrian menambahkan, di samping memberikan kemudahan dalam pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat melalui aplikasi dan dasbor untuk pemesanan, saat ini fokus KedaiSayur juga dalam pengembangan digitalisasi lahan secara perlahan. “Melalui monitoring menggunakan teknologi, kami bisa melakukan forecasting dan nantinya setiap daerah akan dapat memiliki data yang cukup untuk menaikkan skala bisnis mereka yang didukung oleh adanya transparansi data yang dihasilkan lewat proses digitalisasi tersebut,” ujarnya.

Sempat lakukan pivot akibat pandemi

Di bulan Mei 2020 lalu, KedaiSayur mengumumkan perubahan fokus bisnis menjadi layanan pesan antar makanan online. Sebelumnya perusahaan melayani konsumen B2B seperti hotel, restoran, dan kafe, dan tukang sayur yang ingin memasok kebutuhan bahan makanan untuk berjualan.

Alasannya, pasar produk pangan mulai berubah sejak persebaran Covid-19 merebak pada awal Maret. Permintaan dari hotel, restoran, dan kafe merosot hingga 50%. Padahal sebelumnya pertumbuhan dari bisnis ini lebih dari 20% per bulan. Sementara, di saat yang bersamaan, permintaan dari tukang sayur dan pelanggan rumah tangga meningkat signifikan. Atas dasar inilah perusahaan percaya diri untuk mengambil keputusan pivot bisnis.

Di sisi lain, pembatasan operasional pasar induk dan pasar lokal mengganggu pola distribusi produk pangan segar di Indonesia. Kondisi tersebut berdampak tidak hanya pada konsumen yang tidak bisa belanja ke pasar, petani pun kehilangan medium untuk menyalurkan hasil panennya.

Hingga akhirnya pada Februari 2021, KedaiSayur merilis aplikasi KedaiMart untuk memenuhi kebutuhan bahan makanan harian dengan konsep “supermarket in your pocket“. Sebelumnya, selain melalui aplikasinya sendiri, pengguna juga bisa memesan produk KedaiSayur melalui Tokopedia dan Blibli.

Pasar bertumbuh, kompetisi makin sengit

Sejak berdiri pada 2018, KedaiSayur sudah dua kali mendapat pendanaan, dengan total $5,3 juta didukung sejumlah investor seperti East Ventures, SMDV, Triputra Group, dan Multi Persada Nusantara. Kini mereka telah memiliki lebih dari 5 ribu mitra dari kalangan pedagang sayur, HORECA, dan pasar induk. Mereka turut bekerja sama dengan 250 petani yang memberikan suplai produk untuk memenuhi kebutuhannya.

Menurut laporan IGD, ukuran pasar grocery di Indonesia akan mencapai $169,4 miliar di tahun 2022 ini dengan CAGR mencapai 5,2% dalam dua tahun terakhir. Posisi ini mengukuhkan Indonesia sebagai peringkat ke 13 untuk pasar grocery terbesar di dunia, dan kedua terbesar di Asia setelah Tiongkok. Tentu ini menjadi potensi bisnis yang sangat besar, mengingat mayoritas masih dilayani oleh bisnis ritel tradisional.

Digitalisasi yang diakselerasi oleh pandemi menjadi kesempatan kunci bagi para pemain online grocery. Tak heran jika sepanjang periode pandemi, startup di bidang ini terus melancarkan penggalangan dana untuk mendukung pertumbuhan bisnis mereka.

Periode Startup Investasi
November 2021 Astro Pendanaan Awal
September 2021 Dropezy Seri A
Agustus 2021 Pasarnow Pendanaan Awal
Agustus 2021 Segari Seri A
Juli 2021 HappyFresh Seri D
Apri 2021 Sayurbox Seri B
Maret 2021 Dropezy Pendanaan Awal
Maret 2021 Segari Pendanaan Awal
Maret 2021 Eden Farm Pendanaan Awal
Agustus 2020 Wahyoo (meluncurkan Langganan.co.id) Seri A
Juli 2020 BorongBareng Pra-Seri A
Maret 2020 Chilibeli Seri A

Sejumlah aksi korporasi terkait penguatan bisnis online grocery juga dilakukan oleh raksasa teknologi lokal. September 2021 lalu, online marketplace Blibli resmi mengakuisisi 51% saham Rach Market yang mengoperasikan 48 unit toko ritel grocery di berbagai kota. Baru-baru ini integrasi awal juga mulai dilakukan, dimulai pembuatan kanal resmi Ranch Market di aplikasi Blibli. Sementara GoTo juga mengakuisisi 6,74% saham pemilik jaringan ritel Hypermart, yang berpotensi untuk memperkuat bisnis GoMart.

Pemain baru juga terus bermunculan dengan pendekatan berbeda. Misalnya Japang yang diinisiasi oleh pendiri dan investor ex-Tanihub, yang fokus menyediakan akses ke layanan online grocery untuk pengguna di luar Jawa. Hingga Astro yang hadir dengan konsep quick commerce.

Application Information Will Show Up Here

Effectivity of Business Pivot from Three Startups Amid Pandemic

Business pivot is not a new thing for startups. Usually, this action is taken when a business is difficult to progress, aka not growing. In the Covid-19 pandemic situation, many startups have pivoted. This is not because the business is not growing, but the act must be taken due to survival.

The pandemic has hit all business sectors, especially the aviation, tourism, and hospitality sectors. As a result, startups that depend a lot on their main income from this sector are forced to rethink their business strategy and take new steps.

It has been eight months since Covid-19 broke out in Indonesia. DailySocial interviewed three CEOs of three Indonesian startups regarding the realization and effectiveness of their business pivots during the pandemic.

Market research before pivot

Before talking about effectiveness and realization, doing a pivot must be accompanied by careful readiness for the target market and business model to be explored. In their interview with DailySocial, Kedai Sayur, Medigo, and Izy admitted to doing market research and survey first.

Please note, the three startups are both playing in the Business-to-Business (B2B) segment. The difference is, both Izy and Kedai Sayur decided to pivot to B2C because of the pandemic. Meanwhile, Medigo, whose pivot has been planned since 2019, has actually been impacted by the pandemic.

Izy’s business model is closely related to hospitality where it provides digitalization of services to encourage increased consumption of hotel and accommodation guests through the platform. For example room service and laundry.

Izy started pivoting in April 2020 after conducting simple market research with several clients and related parties to get initial input. With the same business model, Izy creates new markets by penetrating modern retail and residential settlements.

Meanwhile, Kedai Sayur, which initially served B2B, such as vegetable vendors, cafes, and restaurants, is forced to enter the B2C segment or end-users. Social restrictions have resulted in a decrease in visitor transactions at restaurants and cafes, therefore, managers have to reduce the volume of orders for ingredients.

“We do market research to determine consumer behavior, the need for fresh products that are of interest, and on the lifestyle. This is because B2C and B2B consumer behavior is different,” Kedai Sayur’s Co-Founder and CEO, Adrian Hernanto said.

In Medigo’s case, this platform initially attempted to connect all ecosystems in the health industry from upstream to downstream with hospitals (RS) as an initial approach.

Given the hospital bureaucracy that required a long integration process, Medigo finally pivoted by focusing on clinical management only. In December 2019, Medigo built a Smart Clinic and opened it in February 2020.

“When we developed the clinic management system in early 2019, there were indeed more than 300 clinics that registered. It’s just that the usage is still small. We start researching and surveying the clinic to find out what the problem is. Is technology or is there any major problem that hasn’t been resolved yet?,” Medigo Indonesia’s Co-Founder and CEO Harya Bimo said.

Along the way, Medigo encountered difficulty in executing the pivot. Smart Clinics are run with two business models, namely building their own and collaborating with existing clinics. Problems arise when a pandemic hits.

“When we wanted to build a second Smart Clinic, the situation was not possible because the model had to be monitoring, renovating, where it requires high touch. Meanwhile, we had to be low touch as that time were social restrictions. Here we are rethinking our pivot strategy and partnership model,” said the man who is better known as Bimo.

Pivot realization during pandemic

Approximately almost eight months after the pandemic occurred in Indonesia, the three startups said that they had reaped positive results or responses from the new services they offered to the market.

Although this pivot is temporary, Izy’s Co-Founder and CEO, Gerry Mangentang admitted that he has managed to earn revenue. Even so, his team avoids sharing details regarding the increase in revenue because it is related to internal data with its partners.

“For the core product/service, we will remain the same as before, focusing on the hotel industry. However, this pivoting will be very useful in the future to complement the Izy platform and ecosystem,” he said.

Meanwhile, Kedai Sayur recorded an increase in sales with the demand of more than 50 percent after entering the B2C segment. Adrian said the demand continues to increase because people are getting used to buying foodstuffs, vegetables, and fruits online.

Apart from sales, Adrian said, the company also recorded other positive responses. For example, the number of customer complaints at Kedai Sayur continues to decline every month, followed by an increase in traffic engagement and the number of new users through social media. “To maintain customer satisfaction and loyalty, we accelerate the delivery process from H + 2 to H + 1,” he explained.

Medigo’s entry into the clinical supply chain also recorded a significant increase. At the beginning of the period of social distancing, the company did not immediately reap a business increase because people tend to be afraid to go to hospitals or clinics during that period.

However, its services began to increase with a peak in May up to four times compared to April. He claims that since May until now, the increase has more than quadrupled. “In fact, we already have a healthy margin every month. Therefore, our income is higher than our burn rate,” he said.

Effectivity and metrics used

By optimizing technology, operations, and the right business model, Medigo, Izy, and Kedai Sayur reveal that this pivot is working effectively. However, there is still room for improvement in the future.

In measuring the effectiveness of pivots, Adrian said that his team did not rely solely on traction metrics or the number of transactions alone. They seek to maximize Customer Relationship Management (CRM) by utilizing quality data to get better business prospects.

Previously, Adrian had mentioned that data plays an important role in reading a trend or phenomenon in the digital era. In the context of a pandemic, Adrian said data can show trends in demand for orders or product prices in certain areas.

“The biggest challenge of pivoting into B2C is the big effort in bringing the [name] brand to the wider community with various characteristics. Therefore, we pay close attention to details that can be essential updates to improve our services in the future,”

However, Bimo added, his team did not rely solely on sales metrics to measure the effectiveness of this pivot. Since its debut, Medigo has defined interactivity in the healthcare ecosystem as its “North Star Metric”. This means that these metrics are at the core of growing its main business.

“Our pivot is very effective because it is not only measured from commercial, but also non-commercial. It’s useless if non-commercial is good, but it can’t be monetized because the business model is not yet supported. After the pivot, [non-commercial metric] interactions on our platform increase extraordinary,” Bimo added.

He said the success of this pivot can be maintained if the two metrics can work together. “We run many clinics where patient medical records are stored in our system. If one hospital can handle 900 patients per day, we can manage 60 clinics with 100 patients each per day. This becomes our ‘North Star Metric’ to encourage the interaction of healthcare stakeholders,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengambil contoh kasus pivot yang dijajaki Medigo, Kedai Sayur, dan Izy untuk memahami bagaimana mereka mengubah problem menjadi pendapatan

Efektivitas Pivot Bisnis Tiga Startup di Masa Pandemi

Pivot bisnis bukanlah hal baru bagi startup. Biasanya, aksi ini diambil apabila sebuah bisnis sulit maju alias tidak berkembang. Dalam situasi pandemi Covid-19, tak sedikit startup melakukan pivot. Ini bukan karena bisnisnya tak berkembang, tetapi terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan bisnisnya.

Pandemi menghajar telak segala sektor bisnis, terutama sektor penerbangan, pariwisata, dan hospitality. Alhasil, startup yang banyak menggantungkan pendapatan utamanya dari sektor tersebut terpaksa harus memikirkan ulang bisnisnya dan mengambil langkah baru.

Delapan bulan sudah berjalan sejak Covid-19 mewabah di Indonesia. DailySocial mewawancarai tiga CEO tiga startup Indonesia mengenai realisasi dan efektivitas pivot bisnisnya di masa pandemi.

Riset pasar sebelum pivot

Sebelum bicara efektivitas dan realisasi, melakukan pivot harus disertai kesiapan yang matang terhadap target pasar dan model bisnis yang akan dijajaki. Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Kedai Sayur, Medigo, dan Izy mengaku melakukan riset dan survei pasar terlebih dahulu.

Perlu diketahui, ketiga startup tersebut sama-sama bermain di segmen Business-to-Business (B2B). Yang berbeda, baik Izy dan Kedai Sayur memutuskan pivot ke B2C karena pandemi. Sementara, Medigo yang pivot-nya yang direncanakan sejak 2019 justru eksekusinya terdampak karena pandemi.

Model bisnis Izy sangat bersinggungan dengan hospitality di mana pihaknya menyediakan digitalisasi layanan untuk mendorong peningkatan konsumsi tamu hotel dan akomodasi lewat platform. Contohnya room service dan laundry.

Izy mulai pivot sejak April 2020 setelah melakukan riset pasar secara sederhana dengan beberapa klien dan pihak terkait untuk memperoleh masukan awal. Dengan model bisnis yang sama, Izy membuka pasar baru dengan merambah ritel modern dan permukiman residensial.

Sementara Kedai Sayur yang awalnya melayani B2B, seperti tukang sayur, cafe, dan restoran, mau tak mau masuk ke segmen B2C atau end user. Pembatasan sosial mengakibatkan penurunan transaksi pengunjung di restoran dan cafe sehingga pengelola harus menurunkan volume pesanan bahan makanan.

“Di sini kami riset pasar untuk menentukan perilaku konsumen, kebutuhan produk segar yang diminati, dan bagaimana lifestyle-nya. Ini karena perilaku konsumen B2C dan B2B berbeda,” ungkap Co-Founder dan CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto.

Di kasus Medigo, semula platform ini berupaya menghubungkan seluruh ekosistem di industri kesehatan dari hulu ke hilir dengan Rumah Sakit (RS) sebagai pendekatan awal.

Mengingat birokrasi RS yang mengharuskan proses integrasi yang panjang, Medigo akhirnya pivot dengan fokus pada pengelolaan klinik saja. Pada Desember 2019, Medigo membangun Klinik Pintar dan meresmikannya pada Februari 2020.

“Ketika kami kembangkan clinic management system di awal 2019, memang ada lebih dari 300 klinik yang daftar. Hanya saja usage-nya masih kecil. Di sini kami mulai riset dan survei ke klinik untuk tahu apa masalahnya. Apa teknologi jadi masalah utama atau ada hal lain yang belum bisa diselesaikan?,” ujar Co-Founder dan CEO Medigo Indonesia Harya Bimo.

Dalam perjalanannya, Medigo menemui kesulitan dalam mengeksekusi pivot. Klinik Pintar dijalankan dengan dua model bisnis, yakni membangun sendiri dan berkolaborasi dengan klinik existing. Masalah muncul ketika pandemi melanda.

“Ketika kami mau membangun Klinik Pintar kedua, situasi tidak memungkinkan karena modelnya harus monitoring, renovasi, di mana perlu high touch. Sementara, kami harus low touch karena saat itu ada pembatasan sosial. Di sini kami memikirkan ulang strategi pivot dan model partnership kami,” tutur pria yang karib disapa Bimo ini.

Realisasi pivot selama pandemi

Sekitar hampir delapan bulan terhitung sejak pandemi mewabah di Indonesia, ketiga startup di atas mengungkapkan telah menuai hasil atau respon positif dari layanan baru yang mereka tawarkan ke pasar.

Meski pivot ini bersifat sementara, Co-Founder dan CEO Izy Gerry Mangentang mengaku sudah berhasil mengantongi pendapatan. Meskipun demikian, pihaknya belum dapat membagikan lebih rinci terkait kenaikan pendapatan tersebut karena berkaitan dengan data internal dengan mitranya.

“Untuk core product/service, kami akan tetap akan sama seperti sebelumnya, yakni fokus di industri hotel. Akan tetapi pivoting ini akan sangat berguna untuk kedepannya bisa melengkapi platform dan ekosistem Izy,” ucapnya.

Sementara Kedai Sayur mencatat kenaikan penjualan dengan permintaan lebih dari 50 persen pasca masuk ke segmen B2C. Menurut Adrian, permintaan terus meningkat karena semakin hari masyarakat semakin terbiasa membeli bahan makanan, sayur mayur, dan buah-buahan melalui online.

Selain penjualan, ungkap Adrian, perusahaan juga mencatatkan respons positif lainnya. Misalnya, jumlah keluhan pelanggan Kedai Sayur terus menurun setiap bulan, lalu diikuti peningkatan engagement traffic dan penambahan pengguna baru melalui media sosial. “Untuk menjaga kepuasan dan loyalitas konsumen, kami mempercepat proses pengiriman dari H+2 menjadi H+1,” jelasnya.

Medigo yang masuk ke rantai suplai klinik juga mencatatkan peningkatan signifikan. Di awal masa pembatasan sosial, pihaknya belum langsung menuai kenaikan bisnis karena pada periode tersebut masyarakat cenderung takut ke RS atau klinik.

Namun, layanannya mulai mengalami kenaikan dengan puncaknya pada Mei naik hingga empat kali lipat dibandingkan April. Ia mengklaim sejak Mei hingga saat ini, kenaikannya sudah melebihi empat kali lipat. “Bahkan kami sudah memiliki margin yang sehat setiap bulan. Jadi, pendapatan kami lebih tinggi dari burn rate kami,” katanya.

Efektivitas dan metrik yang digunakan

Dengan mengoptimalkan teknologi, operasional, dan model bisnis yang tepat, baik Medigo, Izy, dan Kedai Sayur mengungkap bahwa pivot ini berjalan efektif. Meskipun demikian, tetap perlu ada ruang perbaikan ke depannya.

Dalam mengukur efektivitas pivot, Adrian menyebutkan bahwa pihaknya tak hanya mengandalkan metrik traction atau jumlah transaksi semata. Pihaknya berupaya memaksimalkan Customer Relationship Management (CM) dengan memanfaatkan data berkualitas untuk mendapatkan prospek bisnis lebih baik.

Sebelumnya, Adrian pernah menyebutkan bahwa data memegang peranan penting dalam membaca sebuah tren atau fenomena di era digital. Dalam konteks pandemi, Adrian menyebutkan data dapat memperlihatkan tren permintaan pesanan atau harga produk di area tertentu.

“Tantangan terbesar pivot ke B2C adalah effort yang besar dalam membawa [nama] brand ke masyarakat lebih luas dengan karakteristik beragam. Maka itu, kami sangat memperhatikan detail yang dapat jadi pembaruan berarti untuk meningkatkan layanan kami ke depan,”

Kendati demikian, tambah Bimo, pihaknya tidak berpatok pada metrik sales saja untuk mengukur efektivitas pivot ini. Sejak awal berdiri, Medigo telah menetapkan interactivity di ekosistem healthcare sebagai “North Star Metric”-nya. Artinya metrik ini menjadi inti pertumbuhan bisnis utamanya.

Pivot kami sangat efektif karena tidak hanya terukur dari commercial saja, tetapi juga non-commercial. Percuma kalau non-commercial bagus, tetapi tidak bisa dimonetisasi karena model bisnis belum mendukung. Setelah pivot, [metrik non-commercial] interaksi di platform kami naik luar biasa,” tambah Bimo.

Menurutnya, keberhasilan pivot ini dapat terjaga apabila metrik keduanya dapat saling berjalan. “Kami kelola banyak klinik di mana rekam medis pasien tersimpan di sistem kami. Jika satu RS bisa handle 900 pasien per hari, kami bisa pegang 60 klinik dengan masing-masing 100 pasien per hari. Ini jadi ‘North Star Metric’ kami untuk mendorong interaksi healthcare stakeholder,” tutupnya.

Webinar Selasa Startup

6 Catatan Pelaku Agritech Beradaptasi dengan Perilaku Konsumen di Masa Pandemi

Pandemi Covid-19 mengubah perilaku belanja di Indonesia dari offline ke online. Masyarakat mulai banyak memanfaatkan platform jual-beli untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari selama PSBB.

Tren ini tentu menjadi peluang besar bagi pelaku agritech yang memasarkan bahan pangan, seperti sayur mayur dan buah-buahan. Di sisi lain, fenomena ini menjadi tantangan tersendiri dengan kesiapannya menghadapi lonjakan pemesanan yang signifikan.

Lalu, bagaimana agritech beradaptasi terhadap perilaku konsumen selama pandemi? Simak insight menarik dari Co-founder dan CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto di sesi #SelasaStartup berikut ini.

Atasi penurunan transaksi lewat jalur petani

Pandemi menghantam berbagai sektor bisnis tanpa terkecuali. Bagi Kedai Sayur yang sejak awal bermain di segmen B2B, pandemi mengakibatkan volume transaksinya menurun.

Saat pertama kali diterapkan, masa PSBB berdekatan dengan bulan Ramadan, sedangkan mitra tukang sayur yang menjadi salah satu ujung tombak bisnisnya, mudik dalam jangka waktu lama. Belum lagi mitra dari hotel, restoran, dan cafe terpaksa harus menurunkan volume pesanan karena PSBB.

Menurut Adrian, perusahaan berupaya mencari celah baru untuk menghadapi situasi ini. Caranya adalah membantu distribusi hasil panen para petani agar cepat terserap, dan membantu siklus tanam mereka agar tidak berhenti.

“Biasanya volume pesanan mencapai Rp1 juta per hari. Karena pandemi, size-nya turun menjadi Rp400 ribu per hari. Untuk menyesuaikan demand, kami cari solusi dengan membantu distribusi ke customer base. Pendapatan mereka terdisrupsi karena jalur konvensional logistik terhambat,” ungkap Adrian.

Memberdayakan komunitas sebagai agen

Karena masih fokus di area B2B, Kedai Sayur belum memiliki channel B2C untuk memasarkan produknya langsung ke konsumen. Kanal B2C sendiri ditargetkan meluncur di kuartal I 2021. Saat Covid-19 mewabah, ada banyak permintaan untuk bahan pangan dari segmen consumer.

Untuk beradaptasi terhadap permintaan tersebut, Adrian mau tak mau melakukan pivoting ke B2C. Ia menggunakan pendekatan komunitas untuk menjadi agen Direct-to-Consumer (DTC) kebutuhan sehari-hari di lingkungan tempat tinggal.

Inisiatif ini diwujudkan lewat layanan Kedai Emak yang diluncurkan pada awal PSBB. Selain merangkul komunitas untuk menjadi agen, cara ini dilakukan untuk memberdayakan masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat pandemi.

Melakukan efisiensi operasional bisnis

Salah satu bentuk adaptasi yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan efisiensi. Kedai Sayur melakukan shifting pasar dengan mengacu pada kebijakan pemerintah daerah setempat. Sebagai contoh, pada saat PSBB di Jakarta dipercepat, Kedai Sayur shifting pasar ke Bekasi dan Tangerang.

Adrian juga mengungkap bahwa pihaknya melakukan efisiensi besar-besaran dengan mengevaluasi pusat distribusi yang sekiranya mendatangkan permintaan besar. Selama pandemi, ia terpaksa harus menutup satu pusat distribusi dikarenakan volume transaksinya menurun.

“Bagian logistik juga perlu diefisiensikan karena startup itu critical dengan runaway. Startup memang perlu mempertahankan service level, tetapi mereka harus tetap efisien,” tutur Adrian.

Masuk ke semua segmen pasar

Salah satu tantangan pelaku agritech di industri perishable adalah bagaimana dapat memenuhi kebutuhan grade produknya secara lengkap. Menurut Adrian, kuncinya adalah masuk ke semua segmen pasar, baik B2B dan B2C.

Dengan masuk ke semua segmen, pelaku bisnis dapat memenuhi berbagai permintaan produk dari grade apapun. Penyerapan produk juga menjadi lebih cepat.

“Tukang sayur biasanya punya spesifik grade dalam memilih produk, sedangkan sourcing dari petani harus ambil semua grade. Nah, perishable itu baiknya masuk ke semua segmen supaya terserap. Kombinasi antara sourcing dan market demand itu jadi kunci sukses di bisnis ini,” kata Adrian.

Memanfaatkan data untuk mengoptimalkan operasional

Tak dapat dimungkiri, data memegang peranan penting dalam membaca sebuah tren atau fenomena di era digital. Dalam konteks pandemi, Adrian menyebutkan data dapat memperlihatkan tren permintaan pesanan atau harga produk di area tertentu.

Ambil contoh, harga cabe rawit di Bekasi dan Jakarta Timur bisa berbeda dengan di Jakarta Selatan. Justru dari situasi tersebut, Kedai Sayur dapat memanfaatkan data untuk mengoptimalkan operasionalnya.

“Kuncinya adalah meng-capture informasi dari last mile kami. Makanya, engine di back end dibuat sedemikian rupa untuk capture data secepat mungkin. Ini bisa jadi feedback ke bagian sourcing dan pricing untuk optimalisasi layanan,” jelasnya.

Value proposition yang kuat lewat logistik

Adrian menilai logistik menjadi elemen paling krusial dalam memasarkan produk pertanian. Apalagi produk ini masuk dalam kategori produk perishable. Bagi mitra seperti tukang sayur, tentu hal tersebut menjadi tantangan sendiri.

Ritme kegiatan kerja tukang sayur umumnya dimulai sejak malam hari, di mana mereka berbelanja produk satu per satu ke pasar dan mulai berjualan di pagi hari. Sementara, produk perishable tidak dapat dijual lagi apabila tidak laku,

“Maka itu kami menawarkan value proposition dengan solusi logistik sehingga tukang sayur bisa punya normal working hours, working capital, dan harga yang lebih baik. Sekarang tukang sayur tinggal login dan order saja. Mereka jadi punya bargaining power,” tutupnya.

Agritech Startup Kedai Sayur Officialy Pivot, Currently Serves Supply Chain Delivery

The agritech startup Kedai Sayur announced a business pivot to an online supply chain delivery service since the pandemic began in March 2020. Previously, the company served B2B customers such as hotels, restaurants and cafes, and vegetable vendors in need of a supply chain.

Kedai Sayur‘s CEO, Adrian Hernanto said the food product market has begun to change since the Covid-19 outbreak in early March. Supply demands from hotels, restaurants and cafes dropped by 50%. Whereas the growth of this business was previously more than 20% per month.

Meanwhile, at the same time, demands from vegetable vendors and household customers have significantly increased. It is the reason the company is confident in making business pivot decisions.

On the other hand, operational restrictions on wholesale and local markets disrupt the distribution chain of fresh food products in Indonesia. The situation has affected not only consumers who cannot shop to the market, but farmers also lose the medium to distribute their crops.

“The unexpected pandemic really forced Kedai Sayur as a startup to be able to innovate and take initiatives quickly to continue to carry out its vision and mission to be a solution for the community,” he told DailySocial, Wednesday (5/13).

As further explanation, the business model uses a variety of fleets to reach consumers. One of them, using the services of a vegetable handyman who registered as Kedai Sayur users.

Consumers who want to order vegetables can go through Kedai Sayur app and put on the Partner code. The order will be delivered to the Partner and will be distributed by him. Partners will also receive additional income in the form of commissions and payment of shipping charges from consumers.

“This business model will become permanent, of course, with more upcoming upgrades. For example working with last-mile delivery service, therefore, we can continue to improve our service level. ”

Online Vegetables Kedai Sayur
Kedai Sayur driver partners with Si Komo vehicle for product distribution / East Ventures

Apart from the application, reservations can also be made through Tokopedia and Blibli.

The company also made an initiative to help farmers distribute their crops to customers, in collaboration with the Ministry of Agriculture. Farmers can sell their crops assisted by the government using digital platforms such as Kedai Sayur.

“Now with supply chain expertise and digital platform technology, Kedai Sayur contributes to both sides of the distribution patterns affected by the Corona virus,” he concluded.

However, Adrian was reluctant to mention any achievements after the pivot.

Kedai Sayur is one of East Ventures portfolios. Since it was founded two years ago, the company has received two funding rounds with total of $5.3 million. From the latest data, the company has partnered with more than 5 thousand partners in Jadetabek.

Supply Chain business dynamic

As Kedai Sayur chooses to pivot, it is quite successful to extend the company’s runaway because of the pandemic. Thanks to the change in B2C business focus, the Kedai Sayur application has additional functions. Previously, the application used only by Vegetable Partners and B2B consumers who wanted to stock up on food ingredients to sell.

Another startup with aligning business models, such as Stoqo, was forced to close down due to failure to adapt to the conditions. It is a platform that focuses on providing basic food needs, from meat, vegetables, flour, coffee, and others, but only for B2B consumers.

Before the pandemic, this business model was certainly very sophisticated considering a large pie in the culinary field. What Kedai Sayur did is actually applicable by Stoqo.

Wahyoo’s Founder and CEO Peter Shearer revealed some strategies to maintain a high demand. Wahyoo, on the other hand, tries to help stalls to sell on digital platforms such as GoFood. At the same time, the implementation of large-scale social restrictions (PSBB) in many regions has shifted shopping patterns in the platform.

“The positive effect is that the PSBB situation and Covid-19 has forced food stall owners to adapt faster into digital,” he added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Aplikasi Pesan Bahan Makanan Kedai Sayur

Startup Agritech Kedai Sayur Pivot, Kini Layani Pesan Antar Bahan Makanan

Startup agritech Kedai Sayur mengumumkan perubahan fokus bisnis menjadi layanan pesan antar makanan online sejak pandemi berlangsung pada Maret 2020. Sebelumnya perusahaan melayani konsumen B2B seperti hotel, restoran, dan kafe, dan tukang sayur yang ingin memasok kebutuhan bahan makanan untuk berjualan.

CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto menerangkan pasar produk pangan mulai berubah sejak persebaran Covid-19 merebak pada awal Maret. Permintaan dari hotel, restoran, dan kafe merosot hingga 50%. Padahal sebelumnya pertumbuhan dari bisnis ini lebih dari 20% per bulan.

Sementara, di saat yang bersamaan, permintaan dari tukang sayur dan pelanggan rumah tangga meningkat signifikan. Atas dasar inilah perusahaan percaya diri untuk mengambil keputusan pivot bisnis.

Di sisi lain, pembatasan operasional pasar induk dan pasar lokal mengganggu pola distribusi produk pangan segar di Indonesia. Kondisi tersebut berdampak tidak hanya pada konsumen yang tidak bisa belanja ke pasar, petani pun kehilangan medium untuk menyalurkan hasil panennya.

“Masa pandemi yang tidak terduga seperti ini benar-benar menguji Kedai Sayur sebagai startup untuk dapat berinovasi dan berinisiatif dengan cepat untuk tetap menjalankan visi dan misinya untuk menjadi solusi bagi masyarakat,” ujarnya kepada DailySocial, Rabu (13/5).

Dijelaskan lebih jauh, model bisnis layanan ini menggunakan berbagai armada untuk dapat sampai ke tangan konsumen. Salah satunya, menggunakan jasa tukang sayur yang telah menjadi pengguna Kedai Sayur.

Konsumen yang ingin memesan bahan makanan, bisa melalui aplikasi Kedai Sayur, dapat memasukkan kode Mitra Sayur tersebut. Pesanan tersebut akan diantarkan ke tempat Mitra Sayur dan akan didistribusikan olehnya. Mitra pun akan mendapat tambahan penghasilan berupa komisi dan pembayaran ongkos kirim dari konsumen.

“Model bisnis ini akan menjadi permanen, tentunya dengan berbagai upgrade lagi ke depannya. Misalnya bekerja sama dengan last-mile delivery service, agar bisa terus meningkatkan service level kami.”

Pesan Sayur Online Kedai Sayur
Mitra Kedai Sayur bersama kendaraan Si Komo untuk distribusi produk / East Ventures

Selain melalui aplikasi, pemesanan juga bisa dilakukan lewat Tokopedia dan Blibli.

Perusahaan juga membuat inisiatif yang membantu petani untuk mendistribusikan hasil panen mereka ke pelanggan, melalui kerja sama bersama Kementerian Pertanian. Petani dapat menjual hasil panen mereka dibantu oleh pemerintah dengan menggunakan platform digital seperti Kedai Sayur.

“Kini dengan keahlian supply chain dan teknologi digital platform, Kedai Sayur berkontribusi ke dua sisi pola distribusi yang kena dampak virus Corona,” pungkasnya.

Akan tetapi, Adrian enggan memaparkan pencapaian yang berhasil didapat pasca pivotnya tersebut.

Kedai Sayur merupakan salah satu portofolio di bawah East Ventures. Sejak berdiri dua tahun lalu, perusahaan sudah dua kali mendapat pendanaan, dengan total $5,3 juta. Dari data terakhir, perusahaan sudah bermitra dengan lebih dari 5 ribu mitra di Jadetabek.

Dinamika bisnis supply-chain

Pilihan pivot yang diambil Kedai Sayur bisa dikatakan cukup sukses untuk menyelamatkan perusahaan karena terdampak pandemi. Berkat perubahan fokus bisnis B2C, aplikasi Kedai Sayur punya tambahan fungsi. Sebelumnya, aplikasi tersebut hanya digunakan oleh Mitra Sayur dan konsumen B2B yang ingin menyetok bahan makanan untuk berjualan.

Startup lainnya yang bisnisnya beririsan dengan Kedai Sayur, yakni Stoqo terpaksa harus gulung tikar karena gagal beradaptasi dengan kondisi. Mereka adalah platform yang fokus menyediakan kebutuhan makanan pokok, mulai dari daging, sayur mayur, tepung, kopi, dan lainnya, tapi khusus konsumen B2B saja.

Sebelum pandemi muncul, model bisnis ini tentunya sangat moncer karena kuenya yang besar di bidang kuliner. Apa yang dilakukan Kedai Sayur sejatinya juga bisa dilakukan oleh Stoqo.

Founder dan CEO Wahyoo Peter Shearer menjelaskan siasat yang perlu dilakukan untuk tetap bertahan adalah menjaga tingkat permintaan. Wahyoo sendiri berupaya membantu warung-warung agar dapat berjualan di platform digital seperti GoFood. Di saat yang bersamaan pelaksanaan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di banyak daerah sudah menggeser pola belanja di Wahyoo.

“Positifnya secara tidak langsung dengan adanya PSBB dan Covid-19 ini memaksa adaptasi pemilik warung makan terhadap digital jadi lebih cepat,” imbuhnya.

Startup Kedai Sayur

Kedai Sayur, Startup Agritech yang Bertumpu pada Kehadiran Tukang Sayur

Tidak ada kebutuhan yang lebih fundamental dibanding kebutuhan pangan. Dengan jumlah penduduk dan luas wilayah yang begitu besar, ekosistem agritech terus berkembang dan memunculkan pemain baru.

Kedai Sayur adalah salah satu agritech yang bertekad mengisi potensi pasar produk segar di Indonesia. Berdiri sejak 2018 dengan CEO & Co-founder Adrian Hernanto, Kedai Sayur berupaya membuat rantai suplai sayur-mayur dari petani ke pedagang jadi lebih efisien.

Dibuat untuk tukang sayur

Melalui jawaban tertulis, Adrian menjelaskan layanan Kedai Sayur menargetkan para tukang sayur. Layanan mereka yang berbasis aplikasi mobile dibuat untuk memudahkan tukang sayur mendapatkan produk segara tanpa repot-repot meninggalkan rumah. Nantinya tukang sayur yang sudah tergabung sebagai mitra dapat memesan produk dari para petani yang sudah bekerja sama dengan Kedai Sayur lalu mengambilnya di lokasi drop-off terdekat.

Hal ini yang membedakan Kedai Sayur dengan agritech lainnya. Beberapa startup lain punya layanan yang menghubungkan langsung antara petani dengan lender seperti halnya iGrow, ritel seperti yang dilakukan TaniHub, atau langsung ke konsumen akhir seperti Chilibeli.

“Perbedaan yang bisa dilihat adalah kami adalah perusahaan startup pertama yang menyasar ke Tukang Sayur. Selain itu, kami bisa masuk untuk semua model bisnis, B2B dan B2C,” tukas Adrian.

Monetisasi

Bisnis Kedai Sayur saat ini memang bersifat B2B. Namun seperti yang Adrian utarakan, mereka akan merambah ke B2C. Ia menargetkan tahun ini mereka sudah bisa meluncurkan platform untuk rumah tangga. “Secepatnya akan dibuka aplikasi khusus untuk end customer yang tentunya tetap melibatkan Tukang Sayur, yang merupakan tujuan utama bisnis Kedai Sayur,” imbuhnya.

Adapun keuntungan yang diambil Kedai Sayur berasal dari selisih harga yang mereka bayarkan kepada petani dengan yang mereka jual ke para tukang sayur. Hal itu dimungkinkan karena mereka membeli hasil panen dalam kuantitas besar sehingga harga beli yang mereka peroleh dan harga jual yang mereka berlakukan dapat bersaing dengan harga di pasar.

Kedai Sayur punya standardisasi produk yang memudahkan mereka menyortir dan mengontrol kualitas produk yang mereka distribusikan ke tukang sayur. Untuk sejumlah produk, mereka memberlakukan penanganan khusus agar kesegaran produk hasil panen tetap terjaga hingga tiba di gudang dan konsumen.

Pendanaan

Sejak berdiri dua tahun lalu, Kedai Sayur tercatat sudah dua kali mengumumkan dua kali mendapat pendanaan. Yang pertama adalah pendanaan awal senilai US$1,3 juta (Rp18,7 miliar dengan kurs saat itu) pada akhir Mei tahun lalu dengan East Ventures yang memimpin babak pendanaan tersebut.

Berselang beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Oktober 2019 kemarin, Kedai Sayur mendapat tambahan pendanaan sebesar US$4 juta (Rp57 miliar dengan kurs saat itu). East Ventures kembali memimpin pendanaan tambahan itu dengan sokongan dari SMDV, Triputra Group, dan Multi Persada Nusantara.

Suntikan modal itu mereka pakai untuk menarik lebih banyak tukang sayur dan pedagang sebagai mitra. Sesuai targetnya, Kedai Sayur kini sudah punya lebih dari 5 ribu mitra di Jakarta, Depok, Tangerang, dan Bekasi yang bergabung di platform mereka, bertambah pesat dibanding pertengahan tahun lalu yang masih sekitar dua ribuan mitra.

Angka itu diperkirakan akan terus tumbuh seiring rencana mereka untuk memperluas jangkauan layanannya. “Juga kami ada target untuk ekspansi ke beberapa kota besar lainnya di Indonesia,” pungkas Adrian.

Application Information Will Show Up Here