Tag Archives: kemenhub

Diskresi Ojek Online

Pemerintah Tempuh Jalan Diskresi Atur Ojek Online

Pemerintah Indonesia akan mengeluarkan aturan penggunaan kendaraan bermotor roda dua sebagai transportasi publik. Secara khusus, ojek online akan menjadi objek utama yang disorot. Adapun regulasi yang disusun meliputi aspek keselamatan, tarif, pembekuan dan kemitraan.

Untuk mempercepat aksi, pemerintah disebut akan melakukan diskresi, karena pada dasarnya kendaraan bermotor roda dua tidak termasuk dalam angkutan umum berdasarkan UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Diskresi sendiri merupakan istilah untuk tindakan yang ditetapkan oleh pejabat pemerintahan (dalam kaitannya dengan peluncuran aturan) untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Landasan hukumnya pada UU No. 30 Tahun 2014. Diskresi dalam pemerintah sudah lazim dilakukan. Biasanya untuk mengatasi isu krusial yang sifatnya segera.

Di dalam pasal 22 ayat 2 UU No. 30 Tahun 2014 dijelaskan bahwa setiap diskresi yang diambil memiliki beberapa tujuan, seperti melancarkan penyelenggaraan pemerintahan, mengisi kekosongan hukum, memberikan kepastian hukum, dan mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna memberikan kemanfaatan dan kepentingan umum.

Karena dari awal tidak diregulasi sebagai bagian dari transportasi publik, posisi ojek memang jadi sulit. Sementara di kalangan masyarakat ojek sudah menjadi bagian penting dalam mobilitas.

Melalui diskresi ini pemerintah mencoba mengisi kekosongan regulasi. Aturan masih digodok dan sejak awal tahun 2019 pemerintah aktif berkomunikasi dengan pihak-pihak yang berkepentingan untuk mendapatkan masukan.

“Selama ini seolah-olah ojek online tidak mendapatkan perlindungan. Dengan diskresi ini, saya sudah putuskan kami akan memberikan satu hal agar mereka ada suatu jaminan,” kata Menteri Perhubungan Budi Karya dikutip dari Tirto.

Persaingan dan kesejahteraan ojek

Regulasi yang akan dikeluarkan pemerintah terkait ojek online ini nantinya akan mengatur banyak aspek. Beberapa hal penting yang disorot termasuk mengenai penetapan tarif untuk menghindari perang harga. Sejauh ini tarif ojek online dikeluarkan sepihak oleh penyedia layanan atau aplikasi. Harga yang dikeluarkan keduanya pun sempat dinilai terlalu murah bagi mitra pengemudi.

Aspek lain yang rencananya akan diatur mengenai keamanan, di dalamnya termasuk asuransi perjalanan. Regulasi yang akan dikeluarkan diharapkan mampu mengatasi polemik yang selama ini muncul, sekaligus meningkatkan kesejahteraan mitra driver dan melindungi konsumen.

Layanan transportasi online Kemenhub, jika terwujud, Ingin menggandeng Telkom sebagai pengembang aplikasi. Akan dikelola sebagai BUMN

Kemenhub Berwacana Siapkan Layanan Transportasi Online (UPDATED)

Kementerian Perhubungan berwacana mengembangkan aplikasi transportasi online. Aplikasi tersebut nantinya akan menjadi pesaing bagi Grab, Go-Jek dan sejumlah aplikasi transportasi online yang sudah beroperasi di Indonesia. Kemenhub sudah berbicara dengan Telkom dan nantinya layanan ini akan dikelola dalam bentuk BUMN.

“Ada pemikiran dari berbagai pihak, tapi belum matang. Kita akan matangkan,” terang Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi.

Direktur Jendral Perhubungan Darat Kemenhub Budi Setiyadi menuturkan, rencana pembuatan aplikasi ini didorong masukan dari para pengemudi transportasi online. Hal ini bertujuan membawa transportasi online ke level yang lebih tinggi termasuk soal tarif.

“Saya sedang membenahi semua. Tujuannya [jika dibangun] maka untuk meningkatkan level of service, level of safety. Termasuk juga soal tarif yang selama ini dikeluarkan,” terang Budi.

Sementara menurut Direktur Angkutan dan Multimoda Kemenhub Ahmad Yani, munculnya rencana pengembangan aplikasi transportasi online oleh pemerintah tak terlepas dari masih sulitnya kerja sama antara perusahaan transportasi online yang ada dengan pemerintah dalam hal pemberian informasi yang berkaitan dengan perusahaan tersebut.

“Kami minta buat tahu berapa jumlah driver saja enggak pernah dikasih berapa jumlahnya. Alasannya itu nanti persaingan bisnis, selalu begitu,” sebut Ahmad Yani.

Telkom rencananya akan dilibatkan sebagai pengembang aplikasi dan sistem, namun saat masih dalam tahap pembicaraan awal karena memang pengembangan transportasi online milik pemerintah ini masih dalam tahap wacana.

Tidak banyak badan usaha milik negara dan daerah yang beroperasi di sektor transportasi darat. Sebut saja DAMRI (negara) dan TransJakarta (daerah) yang merupakan contohnya. Keduanya belum dilengkapi aplikasi mandiri yang memadai sebagai pendukung layanannya.

Update : Direktur Jendral Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Budi Setiyadi meralat pertanyaan terkait aplikasi transportasi yang akan dikembangkan pemerintah.

“Saya meralat kembali terkait masalah aplikasi plat merah, itu tidak ada lagi istilah demikian. Sebagai pemerintah, kami akan lebih konsentrasi ke regulasi aja,” terang Budi.

Budi juga menjelaskan bahwa pemerintah hanya mendukung kalau ada badan usaha swasta atau milik negara yang tertarik mengembangkan aplikasi transportasi online.

 

 

Mahkamah Agung Cabut Permenhub Terkait Layanan Transportasi Online

Dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 (Permenhub) disebutkan beberapa keberatan terkait keberadaan layanan transportasi online (taxi online) di Indonesia. Peraturan yang berisikan tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, menyimpulkan beberapa peraturan dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh layanan transportasi online.

Dalam keberatan yang diajukan, angkutan sewa khusus sebagaimana dimaksudkan pada ayat (1) wajib memenuhi pelayanan seperti, wilayah operasi berada di dalam kawasan perkotaan, tidak terjadwal, dari pintu ke pintu, tujuan perjalanan ditentukan oleh jasa, tarif angkutan tertera pada aplikasi berbasis teknologi informasi, penentuan tarif dilakukan berdasarkan tarif batas atas dan batas bawah atas dasar usulan dari Gubernur/Kepala badan yang ditetapkan oleh Direktur Jenderal atas nama Menteri setelah dilakukan analisa dan masih banyak lagi (pasal 19 ayat 2).

Menanggapi peraturan tersebut, hari ini (22/8) Mahkamah Agung secara resmi mencabut Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 tentang transportasi online. Keputusan tersebut diumumkan Mahkamah Agung langsung melalui situs MA.

“Menyatakan pasal-pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan Republik Indonesia Nomor PM 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek, tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” putus MA, dikutip dari situs resmi MA, Selasa (22/8/2017).

Sedikitnya ada beberapa 14 poin yang tertuang di 14 pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek. Hal tersebut dilakukan karena berlawanan dengan Undang Undang yang lebih tinggi. Sebelumnya uji materi tersebut didaftarkan oleh enam pengemudi transportasi online.

“Dengan memanfaatkan keunggulan pada sisi teknologi untuk bermitra dengan masyarakat pengusaha mikro dan kecil dengan konsep sharing economy yang saling menguntungkan dengan mengedepankan asas kekeluargaan sebagaimana amanat Pasal 33 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945,” tertulis dalam putusan.

MA mendukung keberadaan “sharing economy” di Indonesia

Hal menarik yang perlu digarisbawahi dalam putusan MA ini adalah adanya keputusan sepihak tanpa melibatkan pihak terkait (stakeholder, komunitas hingga penyelenggara layanan transportasi online) saat perumusan keputusan tersebut disampaikan. Melihat perkembangan dan fakta yang ada, hadirnya layanan transportasi online seperti GO-JEK, Grab hingga Uber, telah membuka lapangan pekerjaan dan membantu masyarakat umum untuk bekerja, sekaligus memudahkan orang banyak mendapatkan transportasi alternatif.

“Seharusnya didasarkan pada asas musyawarah mufakat yang melibatkan seluruh stakeholder di bidang jasa transportasi sehingga secara bersama dapat menumbuh kembangkan usaha ekonomi mikro, kecil dan menengah, tanpa meninggalkan asas kekeluargaan,” jelas majelis hakim seperti tertuang dalam lembar putusan.

Pembatasan yang diajukan dalam Permenhub tersebut, menurut MA, bertentangan dengan undang-undang yang kedudukan hukumnya lebih tinggi. Dalam hal ini hakim berpendapat pembatasan untuk transportasi online telah membatasi pertumbuhan usaha mikro dan bertentangan dengan Undang-Undang UMKM.

Berharap Gemuruh Pertentangan Taksi Online Berakhir Lewat Revisi PMP Nomor 32/2016

Pemerintah akhirnya menjawab akan segera melakukan revisi Peraturan Menteri Perhubungan (PMP) Nomor 32/2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang Dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak Dalam Trayek, pasca aksi demonstrasi yang terjadi baru-baru ini di berbagai daerah.

Revisi ini rencananya akan diketuk palu pada 1 April 2017. Dalam aturan tersebut, nantinya akan ada 11 poin penting yang patut diperhatikan oleh perusahaan transportasi berbasis aplikasi (Grab, Uber dan Go-Car), serta mitra pengemudinya. Mulai dari perubahan definisi, tarif, kuota kendaraan, STNK berbadan hukum, kapasitas mesin kendaraan hingga pemberian sanksi.

Semangat yang ingin disampaikan oleh pemerintah sebenarnya cukup baik, yakni meredakan perselisihan dengan menyediakan aturan yang diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan kedua belah pihak.

Aturan main tersebut kini bisa dibilang jadi lebih jelas untuk perusahaan transportasi berbasis aplikasi, mengingat sudah ada payung hukum yang akan selalu memantau seluruh pergerakan mereka.

Beberapa aturan yang harus dipatuhi misalnya pengemudi taksi online diharuskan memakai stiker khusus berbentuk bulat sebagai simbol dari roda dan di dalamnya terdapat huruf T yang merupakan tanda dari kata Taksi.

Jumlah kendaraan beredar pun juga akan dibatasi sesuai kebutuhan daerah setempat. Kapasitas akan ditentukan dan terbuka kemungkinan untuk evaluasi berkala secara tahunan.

Dari sisi tarif, pemerintah menerapkan batas atas dan batas bawah agar terjadi keseimbangan dengan mode transportasi publik konvensional. Besaran tarif akan bergantung pada masing-masing Pemda setelah menampung aspirasi dari pengusaha angkutan kota dan mitra transportasi online.

Prediksi saya ada beberapa poin yang mungkin akan memberatkan perusahaan transportasi berbasis aplikasi dalam revisi ini. Yang pertama mengenai pajak dengan salah satu persyaratan yang menetapkan bahwa mereka harus mempunyai/menguasai server atau pusat data yang berdomisili di Indonesia.

Yang kedua adalah akses dashboard yang bisa diakses oleh pemerintah untuk memantau operasional pelayanan angkutan dalam pengawasan dan pembinaan operasional. Pemerintah meminta aplikasi dashboard paling sedikit memuat profil perusahaan, data seluruh perusahaan angkutan umum yang bekerja sama, data seluruh kendaraan dan pengemudi, dan layanan pelanggan berupa telepon, email, dan alamat kantor perusahaan.

Kedua aturan ini mungkin kurang cincai bagi perusahaan transportasi online. Pasalnya, perusahaan yang notabenenya berasal dari pemain luar umumnya menempatkan pusat datanya di luar negeri, mungkin yang terdekat di Singapura. Sepengetahuan saya, masih jarang perusahaan teknologi yang menempatkan pusat datanya di lokal mengingat belum terjaminnya keamanan komputasi awan.

Belum lagi aturan mengenai akses dashboard. Mau tak mau perusahaan tersebut harus membuka diri dengan menyerahkan data-data pentingnya kepada pemerintah untuk dipantau terus sistem operasionalnya.

Pertanyaan yang kemudian muncul adalah apakah dalam revisi ini pemerintah sudah mengajak diskusi dengan seluruh stakeholder dari kedua belah pihak? Apakah seluruh poin dari revisi ini mencerminkan seluruh kebutuhan yang memang benar-benar dibutuhkan? Bila pemerintah tidak melakukan ini, bisa jadi memicu gemuruh lainnya bukannya malah meredakan.

Jawaban pemerintah yang terlambat

Pemerintah lagi-lagi bisa dikatakan terlambat dalam menanggulangi konflik sosial yang terjadi di tengah masyarakat. Asal tahu saja, konflik ini sudah mencuat sejak aplikasi transportasi online berhamburan di Indonesia pada 2015.

Aksi penolakan terus terjadi hingga kini meski terkadang diwarnai aksi anarkis, mungkin kejadian yang cukup disesalkan adalah memakan korban seperti terjadi di Tangerang.

Pemerintah sudah semestinya untuk lebih cepat tanggap dalam menjawab konflik sosial, apalagi kejadiannya tidak hanya di Jakarta saja tapi sudah merembet ke kota lainnya.

Di satu sisi, inovasi yang dihadirkan perusahaan seperti Uber, Grab, dan Go-Car merupakan jawaban dari pergerakan zaman yang kini sudah mengarah ke digital. Mereka bisa dibilang menjadi “pahlawan” bagi orang-orang Indonesia yang sudah terlampau lelah dengan kemacetan jalanan.

Kehadiran mereka sangat disyukuri, belum lagi tarif yang ditawarkan jauh lebih murah. Toh, strategi “bakar duit” masih dipakai oleh perusahaan demi menarik banyak pengguna.

Tentu saja tidak semua masyarakat memiliki pandangan yang sama. Itu maklum saja. Menjadi pengemudi angkutan umum atau ngojek adalah pekerjaan yang sudah ada dan dilakoni sejak puluhan tahun. Hal inilah yang mungkin jadi penyebab berbedanya pola pikir setiap orang untuk terbuka pada perkembangan zaman.

Saya pribadi berharap semoga revisi ini jadi pengakhir konflik. Semua pihak bisa menunjukkan komitmennya untuk mematuhi aturan main ini dan tidak bertindak culas.

Pemerintah juga harus menunjukkan komitmen untuk tegas dalam praktiknya ketika aturan diresmikan. Siapapun yang melanggar aturan harus ditindak tegas, jangan sampai ada bias.

Toh, ini semua demi kepentingan bersama. Seluruh orang bisa mencari rezeki lebih nyaman dan penumpang pun jadi aman, sebab rezeki tiap orang itu sudah di tangan Tuhan.

Membedah Inovasi Pemberdayaan dan Aturan Drone di Indonesia

Dinamika perkembangan teknologi memaksa berbagai pihak gesit untuk menyiasatinya, tak terkecuali unsur di pemerintahan sebagai penyusun regulasi. Salah satu yang sedang masuk di dapur regulator saat ini ialah aturan terkait penggunaan pesawat tanpa awak, atau dikenal dengan istilah drone. Saat ini pemerintah yang diwakili oleh Kementerian Perhubungan (Kemenhub) dan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) sepakat untuk saling isi melengkapi kebijakan tersebut.

Sebelumnya di era Menteri Ignasius Jonan, pada 12 Mei 2015 lalu, pemerintah secara resmi telah mengeluarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 90 Tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Pesawat Udara Tanpa Awak. Dalam aturan tersebut tertulis beberapa poin di antaranya drone yang digunakan untuk kepentingan pemotretan, film dan pemetaan harus melampirkan surat izin dari institusi yang berwenang dan pemerintah daerah yang wilayahnya akan dipotret, difilmkan atau dipetakan.

Aturan tersebut dianggap krusial, karena terkait masalah privasi ruang dan frekuensi. Di aturan lama tersebut, pro kontra muncul. Beberapa penggiat drone khususnya untuk kalangan media massa merasa keberatan. Saat ini pemanfaatan drone banyak digunakan untuk menggambarkan situasi terkini dari tampilan udara, misalnya untuk menginfokan daerah terdampak bencana, kemacetan lalu lintas dan sebagainya. Poin aturan tersebut di atas dinilai membatasi ruang gerah pada kebutuhan “positif” tersebut.

Selain poin tadi, pada peraturan Kemenhub juga dijelaskan bahwa drone diperbolehkan mengudara pada uncontrolled airspace di bawah 500 kaki atau 150 meter. Drone diperbolehkan mengudara 500 meter dari batas terluar restricted/prohibited area. Jika melenggang di atas itu, harus ada izin dari Dishub udara selambat-lambatnya 14 hari sebelum penerbangan. Sementara penggunaan untuk aplikasi spesifik, seperti pertanian atau perkebunan harus berjarak minimal 500 meter dari pemukiman.

Kolaborasi antar kementerian dibutuhkan, karena drone bukan hanya menyangkut pesawat udara

Pada akhirnya bulan November 2016 ini dalam sebuah forum diskusi, Kemenkominfo melalui Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika (Ditjen SDPPI) mulai mencetuskan aturan dan standardisasi pemanfaatan drone dalam kaitannya dengan penggunaan spektrum frekuensi radio (dalam hal ini memang menjadi kebijakan Kemenkominfo untuk mengaturnya). Menanggapi rancangan ini Kemenhub menanggapi baik terkait aturan tersebut dan siap berkolaborasi menyusunnya.

Sebelumnya Kemenhub juga telah berkoordinasi dengan satuan pengaman udara di tubuh TNI. Pihak TNI diberikan mandat untuk mengawasi pelaksanaan Peraturan Menteri Nomor 47 tahun 2016 tentang perubahan atas Peraturan Menteri 180 tahun 2015 tentang Pengendalian Pengoperasian Sistem Pesawat Udara Tanpa Awak di Ruang Udara yang Dilayani Indonesia. Aturan tersebut menekankan bahwa pihak Kemenhub atau TNI berhak untuk menjatuhkan drone yang dinilai membahayakan saat diterbangkan.

Tak hanya di Indonesia, pengetatan aturan drone ini juga telah diterbitkan di negara seperti Amerika Serikat, Swedia juga Kanada.

Sejauh mana pemanfaatan drone untuk Inovasi di Indonesia

Mampu menggambarkan situasi daratan melalui pencitraan di udara, drone saat ini telah masuk ke dalam implementasi di luar militer. Pemanfaatan drone di awal kemunculannya memang banyak diterapkan untuk keperluan perangkat militer, mulai dari sistem pengintai hingga persenjataan perang. Seiring dengan hadirnya produk drone yang terjangkau, inovasinya pun turut terdongkrak, tak terkecuali oleh insan kreatif di Indonesia.

Beberapa peneliti di Indonesia mulai memanfaatkan drone untuk kebutuhan di bidang pertanian. Peneliti di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) memanfaatkan drone untuk memetakan lahan dan penyebaran bibit di medan yang sulit terjangkau. Pesawat tanpa awak itu diberi nama Farm Mapper masih dalam tahap pengembangan, kisarannya mencapai Rp 700 juta jika diproduksi. Tak hanya itu, Lembaga Antariksa Nasional (LAPAN) juga tengah mengembangkan LAPAN LSU (LAPAN Surveillance UAV), beberapa universitas seperti UGM, ITB dan ITS juga memiliki produk pengembangan serupa.

Di sektor riil lain, untuk menanggulangi bencana di daerah, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menjalin kerja sama dengan berbagai pihak yang ahli dalam pemanfaatan drone. Digunakan untuk menjangkau dan memetakan daerah terdampak bencana yang sulit diterjang oleh transportasi darat. Menurut Deputi Bidang Penanganan Darurat BNPB Tri Budiarto pemanfaatan drone di sini menjadi kebutuhan krusial, karena bencana bisa terjadi kapan saja, dan membutuhkan analisis dan perancangan cepat untuk strategi penanganannya. Drone bekerja baik di sini.

Drone dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, salah satunya di bidang pertanian dan penanganan bencana / Pixabay
Drone dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, salah satunya di bidang pertanian dan penanganan bencana / Pixabay

Terakhir inovasi terkait drone yang sedang ramai dibincangkan di mana-mana ialah inisiatif komunitas Menembus Langit. Sekelompok pemuda yang bertekad membawa sebuah pesawat nirawak ke stratosfer untuk memetakan beragam citra daratan di Indonesia.

Urgensi pengaturan operasional drone tanpa membatasi inovasi

Pemanfaatan drone di Indonesia memang masih sangat terfragmentasi. Ada yang memanfaatkan untuk hiburan semata, untuk produksi film, untuk riset, hingga untuk kebutuhan penanganan bencana. Hal tersebut memungkinkan hadirnya beragam celah yang mengancam berbagai hal, mungkin dimanfaatkan oleh pihak luar yang tidak bertanggung jawab, sehingga memungkinkan mengancam privasi hingga keamanan nasional. Dari situ aturan yang mengayomi penting untuk dibuat, yang mampu memberikan perlindungan tanpa membatasi inovasi yang sedang mulai digencarkan.

Pembatasan memang diperlukan, karena ruang udara juga menyangkut tentang keselamatan lalu lintas udara. Pelanggarannya pun harus ditindak tegas. Awareness pemerintah untuk segera menerbitkan aturan yang pas adalah upaya yang sangat baik. Mengingat pemanfaatan drone masih bisa dikondisikan. Jangan sampai belum ada regulasi yang mendampingi ketika pemanfaatan peralatan tersebut menghadirkan dampak negatif yang tidak diinginkan. Di sisi lain usulan aturan juga harus melibatkan berbagai pihak yang memiliki kepentingan terkait dengan pemanfaatan drone untuk kemajuan bangsa.