Apakah kamu salah satu dari orang-orang yang suka memikirkan semuanya? Maka kamu mungkin salah satu dari orang-orang yang berpikir terlalu banyak. Jangan salah memahami sifat pemikir. Orang dengan sifat pemikir cenderung memikirkan hal-hal yang memang perlu dipikirkan. Di saat yang sama, overthinkers cenderung menghabiskan waktu berjam-jam untuk memikirkan hal-hal sepele atau hal-hal yang mungkin tidak berguna.
Memikirkan sesuatu sebelum bertindak memang baik, tetapi melakukannya terlalu sering juga berbahaya bagi kamu, tidak hanya waktu, tetapi juga energi kamu akan habis jika kamu melakukan ini selama berjam-jam. Jadi, kamu bisa mencegah kebiasaan ini dengan mengikuti tips di bawah ini.
1. Mencari Tahu Penyebabnya
Cara pertama untuk menghilangkan overthinking adalah mencari tahu penyebabnya. Ketika kamu mengetahui akar masalahnya, Anda dapat menemukan solusi untuk mengatasi pemicu overthinking kamu.
2. Lakukan Sesuatu yang Berbeda
Cara ini dapat membantu kamu melupakan pikiran di kepala kamu. Bagi kamu yang suka berpikir berlebihan, mengalihkan perhatian adalah cara yang tepat. Kamu bisa mencoba aktivitas baru yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Seperti bergabung dengan komunitas tempat kamu tinggal, berpetualang bersama teman atau sekadar menonton film dan memasak di rumah, hal yang jarang kamu lakukan sebelumnya.
3. Tarik Nafas Dalam-dalam
Pertama, temukan tempat yang nyaman untuk duduk dan jaga agar leher dan bahu kamu sesantai mungkin. Letakkan satu tangan di dada dan tangan lainnya di perut.
Kemudian tarik dan keluarkan napas melalui hidung, perhatikan gerakan dada dan perut saat kamu bernapas. Lakukan latihan ini selama 5 menit tiga kali sehari atau setiap kali kamu memiliki pikiran yang mengganggu.
4. Cobalah untuk Berpikiran Terbuka
Membuka pikiran dapat membantu kamu menemukan solusi dari masalah yang ada. Lihatlah masalah yang kamu hadapi dari sudut pandang yang berbeda. Buanglah pikiran negatif kamu dan gantilah dengan pikiran positif. Ini tidak hanya membantu kamu menemukan solusi, tetapi juga melupakan pikiran yang tidak perlu.
5. Berdamai dengan Ketakutan Sendiri
Belajar menerima ketakutan kamu sendiri bisa menjadi cara yang efektif untuk mengatasi pemikiran berlebihan. Studi dalam jurnal Kesehatan Psikologis Manfaat Menerima Emosi dan Pikiran Negatif:
Studi laboratorium, buku harian, dan longitudinal menunjukkan bahwa menerima pikiran dan ketakutan negatif dapat membantu meningkatkan kesehatan mental.
Tentu saja, menghadapi ketakutan kamu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan. Prosesnya memakan waktu lama dan tidak bisa dilakukan dalam beberapa hari. Namun begitu rasa takut diatasi, tidak ada lagi pemikiran berlebihan akibat kondisi ini.
6. Beri Batas Waktu dalam Mengatasi Keputusan
Overthinking biasanya terjadi ketika seseorang harus membuat keputusan besar. Orang tidak ingin melakukan kesalahan dalam tindakannya, sehingga mereka terus memikirkan keputusan yang tepat.
Cara termudah untuk mencegah terlalu banyak berpikir adalah dengan membatasi pilihan. Dengan begitu kamu punya waktu untuk memikirkannya dan kapan harus berhenti memikirkannya.
7. Berikan Waktu Diri Sendiri
Otak dan tubuh membutuhkan waktu untuk berpikir dan mencerna peristiwa atau ketakutan yang dialami. Jadi cadangan sekitar 30 menit. Selama waktu ini, tuliskan kekhawatiran yang mengkhawatirkan dalam jurnal.
Kemudian luangkan waktu untuk mencari solusi. Ketika sampai pada hal-hal yang tidak dapat kamu kendalikan, seperti reaksi atau apa yang orang lain katakan tentang kamu, cobalah untuk tidak membiarkannya membebani kamu.
Demikianlah cara mengatasi overthinking dan jika cara mengatasi overthinking di atas tidak membantu, berkonsultasilah dengan psikolog untuk menemukan solusi yang tepat.
Sekarang, kesehatan mental dan emosional adalah kondisi tubuh yang juga turut diperhatikan oleh banyak orang. Karena itu, kamu mungkin pernah mendengar istilah Quarterlife Crisis sebelumnya. Krisis ini adalah saat ketika seseorang mengkhawatirkan masa depannya.
Ya, Quarter Life Crisis adalah masa yang bisa membuat stres bagi sebagian orang. Oleh karena itu, saat ini harus dipenuhi dengan menciptakan pola pikir yang positif dan mencari sesuatu yang bermakna. Bagan berikut akan membantu kamu memahami cara menghadapi krisis kehidupan lainnya.
Apa Itu Quarter Life Crisis?
Quarter Life Crisis atau Krisis Seperempat Abad adalah masa ketika usia 18-30 tahun merasa disorientasi, cemas, bingung dan bingung akan ketidakpastian masa depan hidupnya. Biasanya, kekhawatiran ini mencakup masalah dalam hubungan, romansa, karier, dan kehidupan sosial.
Kecuali bahwa orang-orang yang mengalami quarter-life crisis sering mempertanyakan keberadaan mereka sebagai individu. Ada juga orang yang merasa tidak memiliki arti hidup.
Penyebab Quarter Life Crisis
Fase quarter life crisis biasanya terjadi pada seseorang yang beranjak dewasa dan dihadapkan pada masalah “dewasa” untuk pertama kalinya.
Beberapa penyebab Quarter Life Crisis adalah sebagai berikut:
• Ada masalah keuangan atau pekerjaan
• Sedang merintis dan merencanakan masa depan
• Berada dalam hubungan romantis untuk pertama kalinya
• Putus setelah hubungan serius yang panjang
• Ada rekan-rekan yang sudah mewujudkan impiannya
• Dia membuat keputusan pribadi yang akan memiliki dampak panjang pada hidupnya
• Untuk pertama kalinya dalam hidup dia mandiri
Tanda-tanda Quarter Life Crisis
Berikut ini adalah beberapa hal yang bisa menjadi tanda seseorang sedang mengalami quarter life crisis:
• Sering bingung dengan masa depan
• Merasa terjebak dalam situasi yang tidak disukai
• Sulit untuk membuat keputusan ketika memiliki beberapa pilihan di depannya
• Kurangnya motivasi untuk melakukan aktivitas sehari-hari
• Sulit untuk memutuskan apakah akan menjalani hidup menurut keinginan sendiri atau menurut tuntutan keluarga dan masyarakat
• Takut sendirian di tempat yang tidak diketahui
• Merasa iri pada teman yang sudah mencapai impiannya
Cara Menghadapi Quarter Life Crisis
Hal terpenting untuk mengatasi quarter life crisis adalah mengembangkan pola pikir dan mengambil tindakan positif. Selain itu, kamu bisa meminta berbagai cara untuk menghadapi quarter life crisis lainnya, antara lain:
1. Tidak Perlu Membandingkan Diri dengan Orang Lain
Pesatnya perkembangan teknologi seringkali membuat orang mengikuti prestasi orang lain yang bisa dilihat di media sosial. Kamu mungkin melihat rekan-rekan mu mencapai prestasi mereka terlebih dahulu, seperti sukses dalam karir mereka, menikah, berkeliling dunia, dan lainnya.
Namun, kamu tidak boleh membandingkan pencapaian orang lain yang kamu lihat di media sosial dengan pencapaian kamu sendiri. Karena setiap orang memiliki waktunya masing-masing.
2. Bercerita kepada Orang Terdekat
Agar tidak merasa sendiri, kamu bisa berbagi hal-hal yang mengganggu kamu dengan orang-orang terdekat. Itu karena kamu akan mendapat dukungan dari orang-orang terdekat biasanya dan secara tidak langsung akan memotivasi.
3. Lakukan Sesuatu yang Berarti Bagi Dirimu
Daripada membandingkan dirimu dengan orang lain, lebih baik kamu melakukan sesuatu yang berarti untuk dirimu sendiri. Kamu dapat menentukan apa yang ingin kamu capai dan fokus pada hal itu.
4. Ubah Rasa Khawatir Menjadi Tindakan
Jika kamu bingung dan khawatir akan masa depan, kamu bisa menggunakan ini sebagai kesempatan untuk memperbaiki diri.
Misalnya, bagi kamu yang mengkhawatirkan karir masa depan, kamu dapat memulai kursus online atau beberapa kursus yang tersedia untuk umum. Dengan cara ini visi kamu lebih terbuka dan kamu dapat perlahan-lahan mencapai tujuan hidupmu.
5. Mulai Cintai Diri Sendiri
Orang yang merasa stres dan khawatir akan masa depannya melupakan kegembiraan dan pencapaiannya sendiri. Jadi mulailah menerima dan menghargai hal-hal yang telah kamu capai melalui kerja keras kamu sendiri. Dengan begitu, energi yang kamu pancarkan akan lebih positif sehingga kamu bisa fokus pada tujuan hidup lainnya.
Selain itu, kamu bisa mulai mencintai diri sendiri dengan melakukan hal-hal kecil yang penting, seperti berolahraga, makan sehat, dan lainnya.
Quarter life crisis bisa menimpa siapa saja, karena masalah hidup sebenarnya cukup wajar. Sebelum fase ini menyerang maka kamu harus kuat fisik dan mental agar krisis ini tidak berlanjut.
Semoga artikel ini membantu kamu dalam melewati masa-masa quarter life crisis ini.
Kesehatan mental masih menjadi isu dengan tingkat literasi yang relatif rendah di antara masyarakat Indonesia. Seringkali tidak kasat mata, esensi kesehatan mental tidak kalah penting dengan kesehatan fisik. Keduanya memiliki keterlibatan satu sama lain. Bila seseorang terganggu fisiknya, mungkin saja mental atau psikisnya juga terganggu, begitu pula sebaliknya.
Ada banyak faktor yang memengaruhi tingkat kesehatan mental seseorang, mulai dari sosial, psikologis, dan biologis. Kesehatan mental yang buruk juga dikaitkan dengan perubahan sosial yang cepat, kondisi kerja yang penuh tekanan, diskriminasi gender, pengucilan sosial, gaya hidup tidak sehat, kesehatan fisik yang buruk, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Hal ini makin menjadi di masa pandemi. Kondisi stres, cemas, depresi, hingga keinginan bunuh diri muncul sebagai respons atas isolasi, masa depan yang tak pasti, hingga kondisi ekonomi yang menurun. Rendahnya literasi terkait kesehatan mental membuat banyak persoalan jiwa yang bisa dicegah dan diatasi sejak dini justru ditemukan dalam kondisi berat dan memengaruhi kualitas hidup masyarakat.
Organisasi Kesehatan Dunia PBB (WHO) mengatakan, kesehatan mental adalah salah satu bidang kesehatan masyarakat yang paling terabaikan. Hampir 1 miliar orang di dunia memiliki gangguan kesehatan mental, 3 juta orang meninggal setiap tahun akibat penggunaan alkohol yang berbahaya, dan satu orang meninggal setiap 40 detik karena bunuh diri.
Sistem Registrasi Sampel yang dilakukan Badan Litbangkes tahun 2016 menunjukkan adanya 1.800 laporan bunuh diri per tahun di Indonesia atau setara lima orang per hari menghabisi nyawa mereka sendiri. Dari total tersebut, 47,7% korban bunuh diri ditengarai pada usia 10-39 tahun yang merupakan usia anak remaja dan usia produktif.
Selain itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menunjukkan adanya lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami masalah mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi. Dengan total lebih dari 30 juta masyarakat yang berpotensi membutuhkan penanganan mental, Indonesia baru memiliki sekitar 2500 psikolog klinis dan 600-800 psikiater yang terdaftar.
Sekumpulan fakta di atas menimbulkan kekhawatiran mendalam bagi berbagai pihak dan mendorong hadirnya inovasi untuk meningkatkan kualitas layanan kesehatan mental di seluruh tingkatan. Juga makin banyak platform yang fokus menjangkau masyarakat yang rentan dengan isu kesehatan mental. Perlahan tapi pasti, isu kesehatan mental mulai mendapat perhatian dan menciptakan potensi bisnis.
Layanan konseling di masa pandemi
Seiring perkembangan dan pemanfaatan teknologi yang semakin luas, inovasi mulai hadir dalam industri kesehatan mental. Di masa pandemi yang membatasi ruang gerak dan interaksi sosial masyarakat, mulai bermunculan startup yang fokus menawarkan layanan konseling online, seminar mendalam bersama praktisi profesional, serta aktivitas lain yang menunjang kesehatan mental pada umumnya.
Sebut saja KALM. Layanan yang mulai beroperasi di tahun 2018 ini merupakan salah satu aplikasi konseling online yang menyediakan layanan yang fleksibel, privat, dan terjangkau dengan para profesional. Selain konseling online, KALM juga menawarkan fitur penulisan jurnaldengan ekspektasi untuk membantu memperbaiki pola pikir positif, menurunkan tingkat stres, dan memperbaiki tidur.
Karina Negara, Psikolog Klinis & Co-Founder KALM, mengungkapkan, pada awalnya konseling online dianggap hanya sebagai pelengkap, namun di masa sekarang, konsep ini telah menjadi pilihan bagi sebagian besar masyarakat. Di akhir tahun 2020, menurut data dari KALM sendiri, 60% pengguna mengaku baru pertama kali menggunakan layanan konseling online.
Senada dengan Karina, Chief Visionary Officer (CVO) Kalbu Iman Hanggautomo juga mengungkapkan peningkatan signifikan di jumlah pengguna platform-nya. Berdasarkan keterangan beberapa praktisi yang sudah terdaftar di Kalbu, seorang psikolog yang biasanya menangani 1-2 pasien per hari, di masa pandemi pandemi meningkat jadi 8-10 pasien. Kalbu sendiri menawarkan berbagai layanan untuk pemulihan serta pemeliharaan kesehatan mental.
Di Indonesia, sudah ada beberapa layanan yang lebih dulu menyasar segmen ini, seperti Satu Persen, Bicarakan.id dan Riliv yang baru saja mendapat pendanaan tahap awal dari East Ventures.
Kehadiran platform-platform ini memberikan validasi terhadap kebutuhan layanan kesehatan mental di Indonesia. Pendanaan yang berhasil dituai pun menunjukkan segmen ini mulai dilirik investor.
Nama
Biaya Konseling
Pengguna
Psikolog
Riliv
Mulai dari Rp100ribu/sesi
500 ribu+
100+
Kalm
Mulai dari Rp250 ribu/minggu
12 ribu+
167
Bicarakan.id
Mulai dari Rp189 ribu/sesi
5 ribu+
26
Satu Persen
Mulai dari Rp250 ribu/sesi
270 ribu+
9
Kalbu
Rp300-350 ribu/sesi
200+
15
Salah satu platform healthtech terkemuka Halodoc juga melihat potensi besar yang ada di segmen ini. Mulai tahun 2020 lalu, Halodoc sudah memiliki kanal atau fitur khusus untuk memberikan layanan konsultasi kesehatan mental bagi penggunanya dengan dukungan 500 psikolog dan psikiater. Kompetitornya, Alodokter, juga menawarkan fitur ini dan mengaku mengalami kenaikan jumlah sesi konsultasi kesehatan mental selama pandemi.
Potensi di sektor B2B
Salah faktor yang memicu isu kesehatan mental adalah lingkungan pekerjaan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2019 menyebut kelelahan mental sebagai “fenomena yang dipicu pekerjaan”. Dampak masalah kesehatan mental di tempat kerja memiliki konsekuensi serius. Tidak hanya untuk individu, tetapi juga untuk produktivitas perusahaan.
Menyadari pentingnya pemeliharaan kesehatan mental terhadap kinerja karyawan, beberapa perusahaan mulai mencari solusi untuk mengatasi hal ini. Karina mengungkapkan, sejak awal tahun 2020 permintaan perusahaan untuk layanan kesehatan mental semakin tinggi. Hal ini menjadi salah satu alasan KALM mulai menjalankan KALMporate, layanan kesehatan mental untuk korporasi, di akhir kuartal pertama 2020.
Di sisi lain, startup kesehatan mental memiliki layanan yang terbatas karena menyasar ceruk pasar yang lebih sempit dibandingkan layanan healthtech pada umumnya. Potensi layanan kesehatan mental dinilai akan lebih maksimal diarahkan pada kebutuhan korporasi. Konsep ini dinilai lebih scalable sekaligus dapat menjangkau pasar yang lebih luas.
“Kita merasa dengan menyediakan layanan KALMporate, bisnis akan lebih scalable secara finansial. Tentunya sembari tetap mempertahankan kualitas layanan B2C kita,” tambah Karina.
Terkait potensi skema B2B untuk layanan kesehatan mental, Riliv telah meluncurkan Riliv for Company, sementara Kalbu juga menyasar institusi dan komunitas. Dalam wawancara terpisah, Iman mengungkapkan bahwa konsep B2B ini juga sebagai upaya tepat untuk meningkatkan literasi kesehatan mental di ranah institusi dan komunitas.
“Tantangannya ada dalam hal literasi kesehatan mental pada masyarakat Indonesia. Maka dari itu, kami mulai masuk dari penetrasi ke beberapa sekolah yang masif, juga perusahaan besar dengan harapan informasi dapat tersebar secara inklusif,” ungkap Iman.
Tantangan yang membayangi
Dengan hadirnya berbagai layanan kesehatan mental beserta potensinya, masih ada beberapa tantangan yang masih membayangi di segmen ini. Salah satunya adalah stigma negatif yang masih kuat terhadap orang yang mengalami isu kesehatan mental di Indonesia. Keterbatasan pemahaman dan pengetahuan mengenai kesehatan mental di negara kita tidak dapat lepas dari nilai-nilai tradisi budaya atau kepercayaan masyarakat.
Sebagian masyarakat masih mempercayai penyebab isu kesehatan mental berasal dari hal-hal supernatural atau takhayul sehingga mengategorikan hal tersebut sebagai aib. Pelabelan, pengucilan, dan stereotipe terhadap orang yang mengalami isu kesehatan mental acap kali membuat mereka memilih bungkam atau menolak berkonsultasi kepada ahli.
Di sisi lain, isu finansial kembali mencuat. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menjalani praktik konseling terkait isu kesehatan mental dinilai tidak sebanding. Pasalnya, layanan yang diberikan hanya dianggap sebatas “curhat” dan tidak menawarkan tindakan medis khusus dengan harga yang tidak jauh berbeda ketika melakukan konsultasi ke dokter spesialis.
Selain itu, akses yang tidak merata juga menjadi tantangan tersendiri. Di Indonesia, masih banyak provinsi yang tidak memiliki instansi khusus serta sumber daya profesional untuk isu kesehatan mental ini. Kementerian Kesehatan Indonesia memprediksi setidaknya 90% orang dengan gangguan kesehatan mental tidak mendapatkan akses terhadap perawatan yang memadai.
Tantangan lain datang dari sisi pengguna. Dengan berbagai solusi yang ditawarkan platform kesehatan mental, bagaimanapun juga, isu yang kerap memicu tidak stabilnya mental seseorang datang dari ranah yang cukup privat. Untuk itu tidak mudah bagi pengguna untuk langsung memutuskan berbagi (ke orang lain) terkait persoalan pribadi.
Salah seorang pengguna layanan konseling yang berdomisili di Jakarta mengakui dampak positif dari layanan konsultasi kesehatan mental pada dirinya. Meskipun harus melalui lebih dari satu kali pertemuan di beberapa platform berbeda, ia akhirnya menemukan konselor yang tepat dan nyaman untuk membagikan beban emosionalnya.
“Nyamannya orang beda-beda. Syukur kalau bisa langsung ketemu yang pas. Kalau enggak, ya harus cari-cari lagi,” tuturnya.
Demikian juga ketika melangsungkan sesi konseling. Layaknya sebuah treatment atau perawatan, konseling didesain untuk berkelanjutan. Karina menuturkan, “Untuk setiap sesi kita akan tentukan goal-nya apa dan akan ada ‘pekerjaan rumah’ yang harus diselesaikan.”
Lagipula, seseorang yang mengalami masalah hidup selama bertahun-tahun tidak akan seketika pulih dalam konseling yang ditargetkan selesai dalam satu jam.
Mimpi Karina adalah memosisikan layanan kesehatan mental setara dengan layanan kesehatan pada umumnya. Semakin kuat penetrasi layanan kesehatan mental di Indonesia, maka pemahaman terkait kesehatan mental diharapkan bisa lebih mendalam dan merata. Dengan demikian jalan untuk mengatasi tantangan-tantangan lainnya disinyalir akan lebih mulus.
Perlahan tapi pasti, isu kesehatan mental semakin mendapat perhatian dari masyarakat di Indonesia. Didukung dengan kehadiran platform teknologi yang fokus mengembangkan solusi terkait layanan kesehatan mental, salah satunya adalah Kalbu. Diluncurkan pada bulan Agustus 2021 lalu, Kalbu menyediakan platform yang menawarkan berbagai layanan untuk pemulihan serta pemeliharaan kesehatan mental.
Kalbu melihat adanya peningkatan isu kesehatan mental, terlebih sejak hadirnya pandemi Covid-19 di Indonesia yang menyebar perasaan kecemasan, ketakutan, tekanan mental akibat dari isolasi, pembatasan interaksi sosial, serta ketidakpastian Berdasarkan keterangan dari beberapa praktisi yang sudah terdaftar di Kalbu, satu psikolog biasanya menangani 1-2 pasien per hari, namun setelah pandemi meningkat jadi 8-10 pasien.
Hal ini pun diakui oleh Iman Hanggautomo, selaku Chief Visionary Officer (CVO) Kalbu. Ia sendiri sudah merasakan manfaat luar biasa dari konsultasi dengan praktisi kesehatan mental selama kurang lebih dua tahun. Meskipun tanpa background yang kuat di dunia psikologi, Iman berharap dengan pengalamannya di dunia startup serta antusiasmenya terhadap kesehatan mental, Kalbu bisa menghadirkan solusi menyeluruh yang memfasilitasi berbagai kebutuhan terkait kesehatan mental.
Layanan yang ditawarkan Kalbu cukup beragam seperti online counseling dan online workshop dengan psikolog yang terbiasa menangani beragam isu kesehatan mental, seperti anak & keluarga, pendidikan, institusi, dan olahraga. Selain itu, platform ini juga bisa digunakan untuk tes minat dan bakat, IQ, kesiapan sekolah, juga psychotherapy untuk adiksi obat-obatan tertentu.
Menjaga kesehatan mental tidak hanya dengan konseling serta pemulihan jiwa, namun juga diiringi dengan pemeliharaan raga. Dalam platformnya, Kalbu juga menyediakan kelas-kelas pemulihan diri (self-healing) seperti meditasi dan hypnotherapy, juga pengembangan diri (self-development) dengan praktisi yang bersertifikasi.
Saat ini, Kalbu juga menawarkan model bisnis B2B yang menyasar institusi dan komunitas. Salah satu yang ditawarkan adalah Employee Assistance Program untuk setiap karyawan dapat menikmati sesi konseling kesehatan mental. Dari sisi komunitas, perusahaan juga telah bekerja sama dengan beberapa komunitas, salah satunya di bidang olahraga untuk pemeliharaan kesehatan mental atlet. Sejauh ini, sudah ada 15 psikolog profesional yang terdaftar dalam platform Kalbu dengan pengalaman lebih dari 5 tahun.
Selain bisnis model B2B, Kalbu menerapkan sistem monetisasi dengan memotong fee dari biaya per konseling sesuai kesepakatan dengan praktisi.
Layaknya konsultasi ke dokter spesialis pada umumnya, tarif konseling kesehatan mental sebenarnya tidak jauh berbeda. Namun, literasi yang masih kurang terkait pentingnya kesehatan mental membuat orang enggan merogoh kocek untuk konsultasi. Kalbu memasang tarif sekitar 300-350 ribu untuk satu sesi selama kurang lebih satu jam. Namun, timnya sedang mengusahakan untuk membuatnya lebih terjangkau di harga 150-200 ribu saja.
“Tantangannya adalah literasi kesehatan mental di masyarakat. Kami ingin membuat konsultasi dengan psikolog itu bisa jadi rutin seperti konsultasi ke dokter gigi. Kami mulai masuk dari penetrasi ke beberapa sekolah yang masif, juga perusahaan besar. Setiap bulan, kami juga mengadakan talkshow online membahas masalah yang terjadi di kehidupan sehari-hari,” jelas Iman.
Potensi pasar dan target ke depan
Iman juga mengungkapkan bahwa industri ini masih memiliki potensi yang sangat besar. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan adanya lebih dari 19 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami masalah mental emosional dan lebih dari 12 juta penduduk berusia di atas 15 tahun mengalami depresi. Sementara Indonesia baru punya sekitar 2500 psikolog klinis dan 600-800 psikiater yang terdaftar. Dengan total lebih dari 30 juta masyarakat yang berpotensi membutuhkan penanganan mental, negara ini diharapkan bisa mengoptimalkan jasa praktisi yang ada.
Di Indonesia, beberapa platform yang juga menawarkan konsep serupa dengan Kalbu adalah Riliv, Kalm, dan Bicarakan.id. Beberapa platform tersebut memiliki satu visi yaitu meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan mental. Layanan yang ditawarkan juga beragam dengan konseling sebagai core nya.
Dari sisi pendanaan, Kalbu telah mendapatkan dukungan modal dari salah satu perusahaan ternama Indonesia yang bergerak di bidang tambang. Meskipun secara bisnis terlihat tidak terkait, namun peran kuat perusahaan diharapkan dapat membantu memberi pengaruh yang lebih besar dalam masyarakat.
Ke depannya, Kalbu berencana untuk menggunakan pendanaan ini untuk mengembangkan layanan kesehatan mental, memperkuat kerja sama dengan beberapa universitas di Indonesia dan internasional, menghadirkan kembali suicide hotline, serta mendorong peran pemerintah juga berpartisipasi dalam pengembangan solusi mental health di Indonesia.
“Kami juga berencana meluncurkan aplikasi sendiri di semester 2 tahun 2022. Namun, kami juga harus memastikan bahwa layanan yang kami tawarkan sudah cukup kuat. Targetnya tidak muluk, 450-500 pasien per bulan untuk individu dan perbanyak klien B2B,” ujar Iman.
Teknologi memiliki peran signifikan dalam menghubungkan setiap orang di berbagai belahan dunia. Kehadirannya juga dimanfaatkan mereka untuk mengembangkan beragam layanan digital yang kini semakin luas fungsinya, mulai dari layanan keuangan, belanja, pendidikan, hingga kesehatan mental.
Founder & CEO Bicarakan.id Andreas Handani meyakini bahwa siapa pun berhak untuk memiliki kesehatan mental yang baik. Bahkan bagi masyarakat modern sekalipun yang cukup memiliki kebutuhan sandang, pangan, dan papan, tak menutup kemungkinan kebutuhan kesehatan mentalnya sudah terpenuhi.
Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di 2018, sebanyak 12 juta penduduk Indonesia berusia di atas 15 tahun mengalami depresi, dan 19 juta penduduk di atas 15 tahun mengalami gangguan mental emosional. Jumlah ini berpotensi bertambah, terutama di masa pandemi Covid-19, saat ruang gerak masyarakat dibatasi.
Dalam skala global, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di 2017 melaporkan lebih dari 200 juta orang (3,6% dari populasi) menderita kecemasan. Sementara, jumlah penderita depresi mencapai 322 juta orang (4,4% dari populasi), hampir separuhnya berasal dari Asia Tenggara dan Pasifik Barat.
DailySocial.id berkesempatan untuk mengenal lebih jauh mengenai platform konseling online Bicarakan.id yang didirikan oleh Andreas Handani beserta visi-misinya ke depan.
Mendorong kesehatan mental dengan layanan konseling
Saat mendirikan Bicarakan.id, Andreas bercerita bahwa ide awal layanan ini lahir dari sebuah lirik lagu yang menyinggung pentingnya mengutarakan masalah yang dihadapi. Secara psikologis, ia menilai bahwa mengutarakan masalah sangat berguna untuk mencari langkah penyelesaiannya.
Di samping itu, ia melihat layanan untuk mengakomodasi kebutuhan kesehatan mental belum tergarap baik di Indonesia. “Belum ada tempat yang benar-benar berfungsi sebagai ekosistem yang dapat menggabungkan para psikolog dan kebutuhan psikologis masyarakat Indonesia itu secara sinergis. Itu adalah sebuah kekacauan yang masif untuk kita sebagai masyarakat modern,” tuturnya.
Andreas mengakui bahwa ia tidak punya latar belakang pendidikan dan karier sebagai psikolog. Bahkan sebelum ini, ia sempat berkarir sebagai freelance copywriter dan marketing consultant di startup fintech. Kendati begitu, Andreas mengaku bahwa ilmu psikologi membantu hidupnya dalam melakukan perubahan dan menginspirasinya untuk mengembangkan platform konseling online.
Sebagai informasi, Bicarakan.id adalah sebuah platform yang menyediakan layanan konseling online. Misinya adalah menjadi ekosistem layanan kesehatan mental yang berkualitas dengan biayanya terjangkau bagi semua orang di Indonesia.
Bicarakan berdiri sejak Maret 2020 dan telah memiliki 11 orang di timnya. Di awal berdiri, layanan konseling online Bicarakan baru dapat diakses di website dengan biaya awal sebesar Rp149 ribu per sesi. Saat ini, biaya per sesinya dimulai dari Rp189 ribu. Layanan konseling online yang tersedia, yaitu individu dan pasangan.
Kini, pengguna dapat menjadwalkan sesi konseling online melalui Google Play Store dan Apps Store dalam waktu kurang dari 5 menit. “Bandingkan dengan konseling tatap muka yang tradisional di mana prosesnya bisa berhari-hari bahkan berminggu-minggu. Saya rasa ini improvement yang cukup drastis ya dari segi kemudahan untuk user,” tambahnya.
Selain online, Bicarakan.id juga menawarkan layanan konseling tatap muka untuk individu dan pasangan melalui Rumah Bicara. Fasilitas ini memudahkan Pembicara (sebutan pengguna Bicarakan.id) untuk bertatap muka dengan konselor pilihan mereka. Pengguna juga dapat menjadwalkan sesi konseling langsung di sana.
Saat ini, Bicarakan.id telah memiliki sebanyak 26 orang mitra konselor aktif. Menurut Andreas, proses kurasi konselor ditanganinya bersama Head of Counseling Operations Mario Albert. Siapa pun dapat mengajukan diri untuk bergabung menjadi mitra selama memiliki Surat Izin Praktek Psikolog (SIPP).
Investasi East Ventures dan rencana bisnis
Pada kesempatan ini, Andreas juga mengungkap bahwa platform Bicarakan.id telah memperoleh pendanaan tahap awal (pre-seed) dari East Ventures dengan nominal dirahasiakan. Pihaknya juga tengah berdiskusi dengan beberapa investor lain untuk mengakselerasi rencana pengembangan Bicarakan.id menjadi sebuah ekosistem layanan kesehatan mental yang optimal di Indonesia.
Pihaknya memiliki visi untuk membangun ekosistem layanan yang berkualitas, terjangkau, dan dilengkapi dengan konten-konten terkait, seperti journaling dan meditasi. Lewat platform ini, ia memiliki visi untuk mendorong masyarakat Indonesia lebih terbuka terhadap masalah, memvalidasi emosi, dan mengapresiasi pentingnya membicarakan masalah, bukan membiarkannya.
“Saat ini, kami fokus untuk develop ekosistem layanan kesehatan mental yang berkualitas, lengkap, dan memiliki biaya terjangkau. Ada tiga hal yang menjadi area utama pengembangan kami, yaitu aplikasi, konten, serta penambahan jumlah konselor dan layanan konseling,” tuturnya.
Partisipasi program Startup Studio
Selain mencari akses permodalan, Bicarakan.id juga turut berpartisipasi pada program inkubasi Startup Studio yang difasilitasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo). Pada September lalu, Bicarakan.id terpilih sebagai salah satu peserta yang lolos di Batch III ini.
Menurut Andreas, salah satu alasan utama mengikuti program ini adalah untuk mendapatkan pendampingan dan pelajaran dalam mengembangkan startup. Ia mengakui bahwa pengembangan produk secara mandiri akan memakan waktu lama.
“Ada banyak orang yang lebih memahami pengembangan bisnis, terutama di industri startup teknologi. [Partisipasi ini dapat membantu misi yang kami emban untuk menjadikan masyarakat Indonesia lebih sehat mental,” ucapnya.
Ada beberapa pelajaran menarik yang diperolehnya dari program ini, di antaranya adalah mempertemukan business goals dengan market reality, cara meraih profit tanpa melupakan misi sosial, cara menuju product-market fit, hingga pentingnya tracking data dan cohort metrics untuk mencapai user retention rate yang optimal.
Industri esports telah berkembang pesat. Kini, menjadi atlet esports adalah mimpi yang bisa dicapai. Sayangnya, menjadi atlet esports tidak semudah yang banyak orang bayangkan. Salah satu masalahnya adalah beban mental yang dihadapi oleh para pemain esports profesional. International Esports Federation (IESF) dan International School Sports Federation (ISF) baru saja menanadatangani memorandum of understanding (MOU). Tujuan kerja sama ini adalah untuk mengajak para pemain esports yang masih duduk di bangku SMA untuk membangun gaya hidup yang sehat.
“Kami percaya, kerja sama antara IESF dan ISF akan menghasilkan dampak positif pada kesehatan, kompetisi, dan hiburan untuk para generasi muda,” kata Vlad Marinescu, President IESF, dikutip dari Esports Insider. “Kami harap, pencapaian kami berdua akan menjadi contoh yang baik tidak hanya untuk para generasi muda, tapi juga semua gamer di dunia.” Dia menjelaskan, selama ini, baik IESF dan ISF memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk mendorong generasi muda lebih aktif berolahraga. Melalui kolaborasi ini, mereka akan mengadakan program untuk mendorong para gamer muda agar mereka bermain game dengan bertanggung jawab dan tetap memerhatikan kesehatan mereka.
IESF adalah lembaga esports nirlaba global asal Korea Selatan yang didirikan pada 2008. Sekarang, mereka telah memiliki 56 negara sebagai anggota. Pada November 2019, mereka baru saja memilih anggota dewan baru. Sebelum berkolaborasi dengan ISF, IESF juga telah menandatangani perjanjian kerja sama dengan Asian Electronic Sports Federation pada Maret 2020 dan dengan World Esports Consortium pada Mei 2020.
“Kami merasa, kerja sama ini adalah cara yang inovatif untuk mendorong generasi muda lebih aktif dalam berolahraga dan menjaga kesehatan fisik, mental, dan sosial mereka,” kata Laurent Petrynka, President ISF. “Untuk mencapai semua itu, ISF dan IESF akan mengadakan sejumlah kompetisi di masa depan. Kami dan IESF memiliki semangat yang sama dan kami akan membangun era esports baru bagi para siswa di seluruh dunia.”
Siapa yang tak ingin bekerja sesuai dengan passion mereka? Bagi gamer, menjadi pemain esports profesional tentunya adalah sebuah impian. Bisa bermain game yang disukai setiap hari, bertanding di depan ribuan atau bahkan ratusan ribu orang dan menjadi populer, dibayar pula. Gamer mana yang tak tergiur dengan itu semua? Sayangnya, menjadi pemain esports tidak melulu menyenangkan. Ada pengorbanan yang harus para atlet esports profesional lakukan.
Jika Anda berpikir, “Ah, kan tinggal main aja, gampang!” Bagi seorang gamer, bermain game tentu saja terasa menyenangkan. Tapi ingat, menurut Hukum Gossen: “Jika pemuasan kebutuhan terhadap satu hal dilakukan terus-menerus, kenikmatannya akan terus berkurang sampai akhirnya mencapai titik jenuh.” Ini contoh mudahnya. Misalnya, makanan favorit Anda adalah nasi goreng. Ketika Anda memakan nasi goreng, Anda tentu akan senang. Namun, bayangkan jika setiap hari — pagi, siang, dan malam — Anda hanya bisa makan nasi goreng. Bayangkan jika itu terjadi selama satu minggu, satu bulan, atau mungking satu tahun! Lama-kelamaan, Anda akan merasa bosan dengan nasi goreng, walau tadinya, itu adalah makanan favorit Anda. Begitu juga dengan bermain game.
Apa Masalah yang Dihadapi Pemain Esports Profesional?
Menurut Yohannes Paraloan Siagian, pemegang gelar M.M dari Universitas Indonesia dan M.B.A. dari I.A.E de Grenoble, Universite Piere Mendes, yang pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah SMA 1 PKSD dan Vice President EVOS Esports, beban mental para atlet esports justru lebih berat daripada atlet olahraga biasa. Pasalnya, atlet olahraga biasanya hanya dituntut untuk memberikan performa terbaik dalam satu ajang olahraga saja. Sementara atlet esports bisa mengikuti beberapa turnamen atau liga dalam satu tahun. Itu artinya, mereka harus memberikan performa terbaik mereka lebih dari satu kali atau mereka harus menjaga agar performa mereka stabil selama waktu yang lebih lama dari atlet olahraga biasa.
“Kemudian, feedback dari publik jauh lebih cepat sampai ke player di dunia esports daripada di olahraga tradisional,” ujar pria yang akrab dengan panggilan Joey ini saat dihubungi melalui pesan singkat. “Memang, di zaman medsos, ini sudah mulai umum. Tapi, perbedaannya adalah atlet esports ‘hidup’ di dunia online: streaming, media sosial, bahkan in-game chat. Hal-hal tadi adalah jalur komunikasi publik yang cepat dan tidak terfilter. Ini berarti, semua pujian bisa cepat sampai. Tapi, semua hinaan, kata-kata kasar, dan lain sebagainya… juga bisa langsung ke player. Dan toxicitynetizen Indonesia sudah bukan rahasia lagi…”
Selain tuntutan untuk bermain maksimal, hal lain yang bisa menjadi beban mental atlet esports adalah kontrak dengan tim profesional. Joey mengatakan, saat ini, di Indonesia, kebanyakan kontrak antara pemain profesional dan tim cenderung menguntungkan tim. Para pemain bisa dilepas atau dinonaktifkan kapan saja. “Masih mending kalau dilepas dan bisa main di itm lain. Kalau hanya dinonatkfikan dan tidak bisa bermain?” kata Joey. “Kemungkinan diganti setelah satu atau dua performa buruk itu akan menjadi beban besar bagi player manapun, dan berlaku di cabang manapun. Tapi, di esports, saat ini ancaman itu lebih besar. Dan jika terjadi, jalur kembali ke tim utama seringkali tidak jelas.”
Hal lain yang bisa menambah beban mental pemain esports adalah masalah “META (Most Effective Tactics Available)”. Berbeda dengan basket, sepak bola, atau olahraga tradisional lainnya, perubahan META di esports sangat cepat. “Misalnya, ada teknologi VAR (Video Assistant Referees) di sepak bola. Ini akan dibahas selama beberapa tahun, baru dites, dan setelah itu baru diimplementasi. Contoh lainnya, perubahan taktik tim basket yang bisa dilihat melalui video dan terpantau melalui scouting dan observasi,” ujar Joey. Sebagai perbandingan, perubahan META di game-game esports tidak hanya cepat, tapi juga sering.
Saat developer game merilis update atau patching, maka biasanya akan ada karakter yang di-buff atau di-nerf. Tak tertutup kemungkinan, ada mekanisme game yang juga berubah. Misalnya, ketika update Outlanders dirilis untuk Dota 2. “Ini membuat pemain esports harus selalu up to date dan beradaptasi ke semua perubahan yang terjadi, karena di esports, perubahan kecil saja di satu aspek bisa memengaruhi seluruh META dengan drastis. Tuntutan harus up to date ini juga jadi beban besar yang tidak bisa disepelekan,” kata Joey. “Semua ini, digabung dengan kenyataan bahwa atlet esports tidak punya ‘offseason‘, memberikan tekanan mental yang relatif tinggi jika dibandingkan dengan olahraga tradisional.”
Mia Stellberg, psikolog esports yang pernah bekerja untuk Astralis, salah satu tim Counter-Strike: Global Offensive terbaik dunia, juga mengatakan hal yang sama. “Secara umum, menjadi atlet esports memiliki beban yang lebih berat daripada atlet olahraga tradisional,” ujar Stellberg dalam wawancara dengan RedBull. Dia mengungkap, ada banyak tanggung jawab atlet esports yang tak terlihat oleh masyarakat awam. Bagi tim internasional, mereka harus sering berpergian ke luar negeri. Dan pergi ke luar negeri untuk ikut serta dalam turnamen esports tentunya tidak sama dengan pergi untuk tamasya. Seorang atlet esports juga dituntut untuk tetap memberikan performa terbaik meskipun mereka mengalami jet lag.
Pentingnya Mengendalikan Emosi Bagi Atlet Esports
Saat bekerja untuk Astralis, Stellberg menjelaskan, tugasnya adalah untuk mengetahui keadaan para pemain dan membantu mereka untuk menjadi lebih baik lagi. Salah satunya dalam hal mengendalikan emosi. Jika Anda sering bermain game kompetitif, Anda pasti akrab dengan istilah “rage quit“. Sayangnya, pemain esports tak mungkin melakukan itu, apalagi ketika mereka tengah bertanding.
Selain itu, seseorang biasanya merasa frustasi ketika dia melakukan kesalahan atau kalah — apalagi kalau musuh ikut mengolok-olok. Jika tak terkendali, rasa frustasi ini justru bisa membuat seorang atlet esports membuat lebih banyak kesalahan. Membuat kesalahan, kemudian merasa frustasi, yang berakhir pada lebih banyak kesalahan, dan meningkatkan rasa frustasi; seperti terjebak dalam lingkaran setan. Karena itulah, Stellberg mencoba untuk mengajarkan para pemain esports untuk berpikir rasional dan tetap rileks bahkan setelah mereka melakukan kesalahan. Dengan begitu, mereka tetap bisa fokus untuk bermain dengan baik.
“Saya ingin mengajarkan para pemain cara mengendalikan emosi mereka sehingga mereka bisa berpikir lebih rasional. Jika Anda emosional, ini mungkin menyebabkan masalah saat bermain game,” ujar Stellberg. “Agar bisa memberikan performa terbaik, Anda harus bisa berpikir dengan jernih. Karena jika Anda merasa stres, hal ini akan memengaruhi koordinasi mata-tangan dan reaction time Anda. Rasa percaya diri Anda juga memengaruhi performa Anda. Karena, jika Anda tidak merasa percaya diri, Anda akan lebih mudah merasa stres.”
Mengendalikan emosi tidak hanya penting ketika seorang atlet esports membuat kesalahan, tapi juga ketika mereka dalam posisi unggul. Ketika Anda merasa bahwa Anda sudah pasti akan menang, biasanya, Anda menjadi lebih santai. Dan jika tidak hati-hati, rasa percaya diri yang terlalu berlebihan ini justru bisa jadi senjata makan tuan.
CEO BOOM Esports, Gary Ongko Putera mengaku, rasa tidak percaya diri pemain bisa menjadi penghambat tim meraih kemenangan. Berdasarkan pengalamannya, pemain bisa merasa tidak percaya diri ketika menghadapi pemain lain yang dianggap lebih populer. Selain itu, atlet esports juga bisa merasa tertekan karena merasa harus memuaskan para fans. Ini semua bisa menyebabkan pemain atau tim bermain terlalu aman. “Istilahnya, jadi play to not lose bukannya play to win,” ujar Gary melalui pesan singkat. Menurutnya, mental pemain esports juga diuji ketika mereka tak kunjung meraih tujuan mereka, misalnnya memenangkan turnamen.
“Nggak semua orang kuat bisa menerima kegagalan di fase yang sama berturut-turut. Misalnya, kalah di open atau closed qualifier melulu,” kata Gary. “Awal-awal mungkin semangat, tapi habis tiga atau empat kali gagal, mungkin justru akan meragukan diri sendiri atau ketika bermain merasa ada pressure. Atau kebalikannya, sudah pernah ke luar negeri untuk mewakili Indonesia, tiba-tiba mau mewakili Indonesia lagi, jadi merasa ada pressure.”
Bagaimana Cara Pemain Esports Mengatasi Stres?
Masing-masing pemain esports bisa memiliki sumber stres yang berbeda-beda. Joey memberikan contoh, bagi pemain esports yang berasal dari keluarga berada mungkin lebih peduli akan reputasinya daripada penghasilannya. Sementara pemain yang datang dari keluarga kurang mampu mungkin akan lebih cemas dia akan kehilangan sumber penghasilannya jika performanya buruk dan dia dikeluarkan dari tim.
“Jadi, dalam menghadapi keadaan seperti ini, pertama, harus dimulai dari hal-hal yang global,” kata Joey. “Misalnya, membangun rasa percaya diri, mengajari cara melepaskan tekanan agar proses pelepasan tekanan tidak berbahaya.” Dia menjadikan balon sebagai metafor. Jika balon terus ditiup tanpa membiarkan udara di dalamnya keluar, balon akan meledak. Sementara jika udara di dalam balon dikeluarkan begitu saja, balon bisa terbang tanpa arah yang jelas. Begitu juga dengan pelepasan stres bagi pemain esports. Mereka harus dapat melakukannya dengan cara yang tepat agar stres tidak menumpuk dan membuat mereka “meledak”.
Masing-masing atlet esports punya caranya sendiri dalam melepas stres. “Ada pemain yang larinya ke rohani dan iman. Sebelum stream atau latihan atau bertanding selalu berdoa. Ada yang memilih untuk mencari kegiatan refreshing. Ada yang memilih untuk menghabiskan waktu lebih bannyak dengan keluarga,” ungkap Joey. Sayangnya, tidak sedikit juga pemain esports yang memilih melepaskan stres dengan cara yang kurang sehat. “Tidak sedikit pemain profesional yang terlihat sangat akrab dengan alkohol, vape, dan lain sebagainya. Seringkali, jawaban yang diberikan ketika ditanya kenapa mereka sering minum adalah untuk ‘menenangkan pikiran’.”
Padahal, gaya hidup yang tidak sehat — mengonsumsi junk food, rokok, alkohol, dan pola tidur tak teratur — justru bisa menyebabkan kondisi fisik memburuk. Semua itu juga bisa menurunkan kondisi mental seseorang, sehingga mereka lebih muda merasa stres karena tekanan. Dan saat stres, pemain cenderung mencari jalan pintas untuk menghadapi tekanan, yaitu mengonsumsi junk food, rokok, dan alkohol.
Kebanyakan pemain esports masih sangat muda. Tidak jarang, pemain esports sudah mengundurkan diri pada pertengahan umur 20-an. Secara legal, anak di bawah umur 21 tahun, menjadi tanggung jawab orangtua. Artinya, mereka tidak akan bisa menjadi pemain profesional tanpa persetujuan orangtua. Jadi, jika orangtua setuju anaknya meniti karir sebagai pemain profesional, mereka seharusnya juga bertanggung jawab dalam membantu sang anak/remaja untuk mengatasi stres dengan cara yang sehat.
“Tapi, menurut saya, secara etis dan moral, ini merupakan tanggung jawab tim yang seharusnya mereka penuhi,” ujar Joey. “Kalau sudah membawa anak muda ke satu lingkungan saat dia harus memberikan performa maksimal, ya seharusnya tim memberikan dukungan full. Tim juga akan bisa lebih untung karena atlet akan bisa bermain dengan maksimal dan mengangkat nama tim.”
Menurut Joey, tim esports profesional seharusnya memiliki psikolog yang bertanggung jawab dalam mengatasi masalah mental dalam organisasinya. Tak hanya itu, atlet profseional juga sebaiknya rela mengeluarkan uang lebih untuk mendapatkan jasa psikolog untuk membantunya mengatasi berbagai masalah mental yang dia alami. “Di luar negeri, atlet sepak bola misalnya, memiliki trainer fisik pribadi, koki pribadi, psikolog pribadi dan lain sebagainya,” kata Joey. Dia sadar, hal ini mungkin tidak bisa diterapkan di Indonesia begitu saja. “Tapi, saya merasa, atlet seharusnya paham bahwa dirinya adalah sumber daya yang perlu dia kembangkan dengan investasi. Hal ini akan membantu untuk menaikkan level mereka.”
Sementara itu, menurut Stellberg, sangat penting bagi para pemain esports untuk bisa menyeimbangkan kehidupan profesional dan kehidupan pribadi mereka. Memang, atlet esports biasanya hobi bermain game. Namun, saat menjadi pemain profesional, bermain tak lagi sekadar menjadi hobi, tapi sebuah pekerjaan. Stellberg percaya, menghabiskan waktu lebih dari 10 jam setiap hari selama seminggu penuh di depan komputer untuk latihan bukanlah ide bagus. Pemain esports sebaiknya menghabiskan waktu istirahat mereka bersama teman, keluarga, atau kekasih mereka.
“Salah satu tugas saya adalah membantu para pemain untuk menyeimbangkan kehidupan profesional dan pribadi mereka,” ujar Stellberg. “Saya merasa, tidak peduli apa pekerjaan Anda, Anda seharusnya tetap memiliki kehidupan pribadi dan kehidupan sosial dan mungkin, seorang kekasih.”
Kesimpulan
Jika Anda sering menonton pertandingan sepak bola, Anda pasti pernah mendengar seorang fans mengeluh, “Seharusnya si A melakukan XYZ!” Atau mungkin, Anda adalah orang yang meneriakkan kata-kata itu ke layar televisi? Sekedar berbicara memang jauh lebih mudah dari melakukan sesuatu. Begitu juga dengan esports. Meskipun para atlet esports terlihat hanya duduk di depan layar dan bermain, mereka juga menghadapi berbagai masalah yang mungkin tidak terlihat, termasuk tekanan mental.
Memang, mengatur stres dan tekanan mental adalah tanggung jawab para pemain esports profesional. Namun, sebagai fans, tidak ada salahnya untuk menjadi lebih baik.
Pandemi yang berlangsung saat ini merupakan ancaman kesehatan terbesar di abad ke-21. Hingga tulisan ini dibuat, sudah lebih dari 2,7 juta kasus dengan total kematian 191.176 jiwa terjadi di seluruh dunia. Beraktivitas sepenuhnya di rumah merupakan cara utama memutus rantai corona virus disease 2019 (Covid-19) ini.
Namun virus ini nyatanya tak hanya mengancam kesehatan fisik, tapi juga kesehatan mental. Gempuran kabar buruk sepanjang pandemi dan minimnya pilihan kegiatan dapat meningkatankan ancaman terhadap kesehatan mental. Layanan konseling digital merupakan alternatif untuk mendapatkan konseling sembari menerapkan social distancing.
Psikologimu dan KALM merupakan dua dari sekian penyedia layanan konseling digital. Mereka berbagi cerita mengenai perubahan yang dibawa oleh pandemi terhadap layanan mereka masing-masing.
Meningkatnya jumlah pengguna
Situasi kesehatan dan ekonomi yang memburuk saat ini adalah kombinasi maut penyebab stres. Hal ini sudah diperkirakan oleh pakar kesehatan sebagai dampak tak langsung dari Covid-19. Tak heran apabila jumlah pengguna layanan konseling digital melonjak.
CEO Psikologimu Nova Ariyanto Jono menyebut platform mereka mengalami pertambahan pengguna hingga 8-10% selama pandemi ini berlangsung. Menurut Jono layanan konsultasi mereka yang kian populer adalah konsultasi perihal keluarga dan asmara. Sedangkan untuk pertambahan pengguna untuk konsultasi mengenai rasa cemas disebut masih sedang-sedang saja.
“Memang terjadi peningkatan users yang merasa cemas dan khawatir, namun peningkatannya tidak terlalu signifikan,” ujar Jono.
Perlu dicatat meski terjadi kenaikan pelanggan, Psikologimu belum menarik keuntungan atas layanan mereka. Jono menekankan Psikologimu yang masih berstatus bootstrap bertekad meningkatkan produk dan layanan mereka terlebih dahulu.
Hal serupa terjadi pada KALM. CMO & Co-Founder KALM Lukas Limanjaya menceritakan ada pergeseran yang tak terelakkan oleh pengguna layanan konseling tatap muka ke layanan digital. Hal ini terlihat dari pembelian paket konseling mereka yang terus bertambah.
Menurut Lukas layanan konseling mereka baik yang berupa chat, video, serta teks jadi favorit para pengguna untuk melewati keseharian mereka. “Kami juga melihat banyak perusahaan-perusahaan yang mencari layanan konseling untuk karyawan mereka,” ucap Lukas.
Model bisnis KALM menerapkan sistem berlangganan yang dibagi per paket berdasarkan durasi. Didukung oleh 160 konselor, KALM menjual paket termurahnya senilai Rp99.000 untuk konsultasi selama tiga hari. Sementara paket termahal berkisar Rp2 juta dengan masa konsultasi selama 12 pekan. KALM juga menawarkan layanannya kepada korporasi yang memerlukan dukungan kesehatan mental atau emosional bagi pegawainya.
Sudah diantisipasi
Beruntung mereka cepat mengantisipasi lonjakan di atas. KALM menggunakan momen ini untuk mengembangkan aplikasinya. Lukas bercerita mereka menambah konten-konten edukasi dan menggelar lokakarya yang tentu saja secara online. Di samping itu, mereka juga mempersiapkan sistem konseling video.
Pendekatan berbeda dilakukan oleh Psikologimu. Jono mengatakan pihaknya lebih giat menambah tenaga psikolog untuk bergabung dengan mereka. Ia mengklaim telah berhasil mengajak sedikitnya enam psikolog ikut melayani di Psikologimu, menambah 100 lebih psikolog yang sudah ada di platform. Tak hanya itu, Jono berniat menggandeng organisasi sosial untuk menyediakan dukungan kesehatan mental masyarakat yang terdampak pandemi.
“Dengan maraknya dukungan sehat mental dari Himpunan Psikologi Indonesia – HIMPSI (HIMPSI pusat maupun Daerah), kami masih akan terus meng-onboard serta menjalin kerjasama, sehingga users serta masyarakat Indonesia lebih mudah mendapatkan bantuan sehat mental oleh Psikolog tersertifikasi,” imbuh Jono.
Sektor layanan kesehatan memang menjadi satu dari sedikit sektor yang bisnisnya yang tak hanya bertahan tapi juga tumbuh di tengah terjangan wabah Covid-19. Hal ini menjadikan mereka sebagai salah satu jenis bisnis yang diprediksi akan kian cemerlang selepas pandemi berakhir.
World Health Organization (WHO) sendiri sudah memberi peringatan bahwa wabah Covid-19 ini akan berdampak besar terhadap kesehatan mental banyak orang. Potensi serupa juga dihadapi oleh para tenaga kesehatan yang menangani langsung wabah Covid-19. Beberapa kasus bunuh diri akibat menanggung dampak wabah sudah tercatat di beberapa negara termasuk di Indonesia.