Tag Archives: Kevin Juan

Eratani telah membina lebih dari 1.000 petani, lahan seluas 1.000 hektar, dan menyalurkan modal sebesar Rp10 miliar / Eratani

Bagaimana Startup Agritech Eratani Merangkul Ekosistem Pertanian Secara Menyeluruh

Wasroni, petani asal Indramayu, mengaku terbantu dengan permodalan dalam bentuk sarana produksi yang diberikan oleh Eratani. “Kalau terlambat [memberikan] pupuk, hasil panennya jadi kurang bagus,” ujarnya.

Petani lainnya, asal Yogyakarta, Edi Purwanto, juga dapat menekan biaya pengeluaran berkat alat dan mesin bertani yang disediakan Eratani. “Kami harap ini dapat mengangkat harga gabah,” tutur Edi.

Barusan adalah dua dari sekian petani yang telah tergabung dalam ekosistem Eratani, pemain baru di industri agritech Indonesia. Berdiri pada 2021, Eratani lahir dari kekhawatiran para founder, yang diawaki Andrew Soeherman, Kevin Juan, dan Angles Gani, terhadap masa depan sektor pertanian Indonesia.

McKinsey sebelumnya mengungkap sebanyak 50%-70% hasil panen di Indonesia tidak pernah sampai ke pasar. Dalam risetnya, McKinsey memperkirakan produktivitas petani di Indonesia harus naik 60% jika ingin memenuhi kebutuhan pangan sebanyak 280 juta jiwa. Itu pun bisa terealisasi apabila petani mampu meningkatkan hasil panen, mengurangi kerugian pasca-panen, hingga dapat mendistribusikannya ke kota besar.

Untuk bisa berkontribusi terhadap pemecahan masalah petani, Eratani masuk dengan menerapkan strategi pendekatan berbeda jika dibandingkan dengan platform agritech yang sudah ada.

Elemen kuncinya adalah membangun ekosistem dari hulu (upstream) sampai ke hilir (downstream) sehingga dapat mendorong jumlah petani yang bergabung, membantu menyalurkan pembiayaan, serta bagaimana meningkatkan produktivitas lahan dan bagaimana mereka bisa mendorong kesejahteraan petani.

Pain point

“Sebagaimana yang kami terapkan di Eratani, saya percaya bisnis sama dengan air, mengalir dari atas ke bawah.” ujar Co-founder dan CEO Eratani Andrew Soeherman saat berbincang virtual dengan DailySocial.

Berbagai pengalaman yang diperoleh Andrew ketika berkarier di Gojek dan OYO membawanya ke momen pembelajaran untuk mendirikan Eratani. Ketika pandemi Covid-19 terjadi, ia menyaksikan banyak pergeseran model bisnis demi beradaptasi di era new normal.

Ia ingin Eratani dapat melayani ekosistem pertanian di hulu sampai ke hilir, model yang dinilai belum mampu dicengkeram oleh pemain existing di Tanah Air.

Ada beberapa isu lapangan yang ditangkap Andrew. Yang pertama adalah 98% proses pertanian dari hulu ke hilir belum terdigitalisasi. Kemudian, sebanyak 93% petani masih melakukan kegiatan usaha sendiri dan tidak terorganisir. Selain itu, petani juga tidak punya modal untuk mengolah lahan sampai panen. Kebanyakan sarana produksinya dibeli dengan hasil panen.

Yang cukup mengkhawatirkan, ia melihat kebanyakan petani di Indonesia telah berusia di atas 40 tahun. Ini akan menjadi situasi sulit untuk meregenerasi petani-petani baru karena anak-anak masa kini kurang tertarik untuk bertani.

Sumber: DSInnovate & Crowde

Mengacu laporan DSInnovate dan Crowde di tahun 2021, hal-hal di atas memang telah menjadi tantangan usang yang kerap menghambat sektor pertanian Indonesia. Dari permodalan, akses untuk menyalurkan produk ke pasar, dan hak mendapatkan harga jual yang adil. Situasi ini diperburuk ketika pandemi terjadi. Menurut laporan, pandemi berdampak terhadap produktivitas tenaga kerja, seluruh aspek produktivitas, dan aktivitas perdagangan di sektor pertanian.

Sebagian besar petani diklasifikasikan dalam kategori masyarakat miskin. Jangankan modal bertani dan biaya operasional. Mereka harus memikirkan biaya untuk menghidupi kebutuhan sehari-hari sebelum hasil panen terjual. Sulit bagi petani mencari pekerjaan di luar musim panen sehingga sulit memenuhi biaya hidup dari musim ke musim tanpa pinjaman.

Pendekatan berbeda

Eratani menggunakan pendekatan secara kolektif. Diawali dari permodalan, Andrew paham petani punya kebutuhan berbeda-beda. Setiap petani yang ingin bergabung ke Eratani harus mengikuti kebijakan yang ada. Di antaranya Eratani tidak mengakuisisi petani secara satu per satu, tetapi masuk melalui kelompok tani. Pada proses ini, Eratani akan membahas anggaran dan mengumpulkan data calon petani yang dilakukan oleh tim Farmers.

Selanjutnya data tersebut diserahkan ke tim Operations untuk divalidasi berdasarkan sejumlah indikator, misalnya lama menjadi petani, validasi kepemilikan lahan, dan isu-isu di lapangan, termasuk hasil panen.

“Ketika sudah tervalidasi, tidak semua petani di-approve. Dari sini, kami akan serahkan data ke mitra P2P untuk proses validasi selanjutnya. Dengan kata lain, proses akuisisi petani dilakukan secara manual karena petani tidak bisa langsung begitu saja [paham memakai] teknologi atau aplikasi,” ungkapnya.

Eratani juga mengoperasikan tim Engagement yang berfungsi untuk memantau dan memastikan terjadinya retensi di kalangan petani. Tim ini akan melakukan tatap muka dengan petani untuk memantau situasi panen atau isu lahan.

Hulu ke hilir

Misi Eratani adalah mempermudah proses bertani dari hulu (mencakup pendanaan dan pengelolaan rantai pasokan) hingga ke hilir (mencakup distribusi dan penyaluran hasil panen). Misi ini tercermin dari produk/layanan dikembangkan Eratani, yakni Era Farmers, Era Market, dan Era Rice.

“Kami coba validasi produk pada dua-tiga bulan pertama. Kami ada proof of concept sampai akhirnya kami mendapat investasi dari angel investor pada Juli 2021,” tutur Andrew.

Menurutnya, ekosistem hulu menjadi elemen kunci yang sulit dibangun karena karakteristiknya yang berat di operasional. Ditambah lagi, petani di Indonesia kebanyakan jauh dari perkotaan. Di lapangan, ada 180 ribu unit pabrik penggilingan (Rice Mailing Unit/RMU) tersedia, tetapi 60%-70% di antaranya setop beroperasi karena tidak ada hasil panennya. Sama seperti model Gojek, menurutnya percuma punya jutaan merchant jika tidak ada driver.

Lebih lanjut, pada model Era Rice, pihaknya mengadopsi model franchise di mana pihaknya memfasilitasi penggilingan gabah menjadi beras dan menjualnya kembali dalam bentuk private label ke supermarket. Penggilingan ini tergantung ketersediaan di lokasi, jika tidak ada, gabah akan tetap dijual.

Saat ini Eratani baru fokus pada komoditas padi yang merupakan komoditas terbesar di Indonesia. Nilai pasarnya mencapai $31 miliar secara tahunan. Menurut data Kementerian Pertanian, produksi padi sebagai komoditas utama sektor pertanian meningkat mencapai 55,27 ton gabah kering giling (GKG) atau naik 1,13% di 2021 dibandingkan tahun sebelumnya.

Saat ini ada sekitar 34 juta petani di Indonesia dengan total lahan sebesar 10,5 juta hektar. Asumsinya 50%-60% merupakan petani padi, ketika biaya mengelola lahan per hektar mencapai sebesar Rp14 juta.

“Petani rata-rata butuh Rp30-35 juta per satu hektar ketika musim panen. Setelah kami kalkulasi, kami butuh source of fund yang memadai untuk mencapai [metrik] North Star kami. Model pembiayaan bukan dalam uang tunai, tetapi dikonversi dalam bentuk sarana produksi petani yang dikelola Eratani. Contohnya, sewa traktor dan beli pupuk. Modal yang dikonversi ini tidak langsung turun sekaligus, biasanya 30% untuk pengolahan pertama,” jelasnya.

Saat ini, Eratani didukung lima platform P2P dalam menyalurkan modal kepada petani. Pihaknya tengah menjajaki peluang kemitraan pembiayaan dari sektor perbankan.

Lalu bagaimana mereka menghadapi potensi gagal bayar atau panen? Eratani menyiapkan sejumlah langkah mitigasi bagi petani, yakni asuransi dan pembeli hasil panen (off taker) yang akan ditunjuk dan disepakati dalam kontrak. Di sini, tim Engagements bergerak untuk mengetahui isu yang terjadi di lapangan dan bagaimana mengatasinya.

Sejauh ini, Eratani memiliki lebih dari 1.000 petani dan 1.000 hektar luas wilayah binaan, menyalurkan dana lebih dari Rp10 miliar, mendorong produktivitas pertanian di atas 20%, dan pendapatan petani naik 15%. Tahun ini, Eratani membidik sebanyak 25.000 petani masuk ke ekosistemnya.

“Kami ingin kehidupan petani lebih baik, ketahanan pangan lebih baik, dan petani generasi baru dapat lahir,” tambahnya.

Teknologi

Yang menarik, proses ini masih dilakukan secara manual. Andrew punya hipotesis kuat mengapa mereka tidak melibatkan teknologi di proses awal. Menurut data BPS di 2018, baru 4,5 juta orang yang terhubung dengan internet dari total 27 juta pelaku usaha di agrikultur.

“Jangan karena tech company, semua harus serba teknologi. Apakah petani siap untuk bertransformasi bersama Anda? You need time to make sure they understand. It’s not the right time for them to start everything digitilized,” katanya.

Pertanyaannya, sampai kapan proses ini dijalankan secara manual?

Menurut Andrew, shifting ke digital ini akan dilakukan secara bertahap. Pada musim tanam pertama, proses akuisisi petani akan dilakukan secara manual, asumsinya satu kali musim tanam sekitar empat bulan. Pada musim tanam kedua, Eratani mulai shifting sekitar 30%-40% prosesnya ke digital. Pada musim tanam ketiga, seluruh proses sudah terdigitalisasi, bahkan penjualan ke off taker bisa dilakukan via aplikasi.

Saat ini, Eratani tengah fokus membina petani dan membangun teknologi untuk mengakomodasi kebutuhan operasional yang banyak.

“Belum ada startup yang masuk ke plantation management. Ini bakal menjadi lanskap yang kompetitif, makanya kami tidak ingin terburu-buru, meski kami tahu startup kulturnya serba cepat,” tutup Andrew.