Akhir pekan lalu kita melihat babak final dari GLHF VALORANT Open Cup berlangsung dengan sangat intens. Diselenggarakan tanggal 17 – 19 Juli 2020, babak final GLHF VALORANT Open Cup mempertemukan tim ANONYMOUS dengan tim SOMNIUM. Satu hal yang jadi menarik adalah, tim ANONYMOUS diikuti oleh pemain CS:GO Indonesia yang sudah melanglang-buana sampai ke negeri Tiongkok, yaitu Kevin Susanto atau Xccurate.
Ketika itu Kevin bermain bersama dengan para veteran skena CS:GO Indonesia, yaitu Agil Baskoro atau Roseau, Kevin Gunawan atau Eeyore, Jason Susanto atau f0rsakeN, Aaron Leonhart atau Mindfreak. Menariknya lagi adalah, ANONYMOUS cukup terdesak ketika melawan SOMNIUM, walau akhirnya berhasil keluar sebagai juara.
Penasaran dengan pendapatnya soal VALORANT dan skena kompetisi di Indonesia, tim redaksi Hybrid.co.id mencoba menghubungi Kevin “Xccurate”. Membicarakan soal game VALORANT, Kevin mengakui bahwa FPS terbaru besutan Riot Games ini memang memiliki keseruannya tersendiri. “VALORANT untuk have fun memang seru sih.” Ucap Kevin membuka pembahasan.
“Kelebihan game ini adalah dia punya karakter-karakter (Agents) dengan skill masing-masing, yang membuat pemain jadi tidak mudah bosan. Juga karena itu, dalam VALORANT kita jadi bisa tidak terlalu bergantung sepenuhnya dengan aim. Kalau kita punya mekanik yang jago, kita bisa jadi jago di VALORANT. Sementara itu kalau CS:GO itu murni bergantung pada aim dan skill individu, yang menurut saya, membuat CS:GO jadi cenderung lebih sulit jika dibanding VALORANT.” Kevin menjelaskan lebih lanjut soal pendapatnya terkait VALORANT.
Menurut catatan Liquidpedia CS:GO, Xccurate masih terdaftar sebagai bagian dari anggota tim Big Time Regal Gaming (BTRG) hingga saat ini. BTRG sendiri merupakan tim CS:GO asal Tiongkok, yang juga sempat menjadi tim bagi pemain VALORANT BOOM Esports, Adrian Setiawan atau Adrnk1ng. Dengan percobaan perdana Xccurate di skena VALORANT lewat gelaran GLHF Cup, apakah ada kemungkinan dirinya akan pindah haluan suatu saat nanti?
“Untuk pindah sih belum ada kepikirian, karena memang sampai saat ini passion saya masih di CS:GO.” Ucap Kevin. Lebih lanjut, melihat pertandingan kemarin di mana Xccurate dan kawan-kawan cukup kesulitan, Kevin juga memberi pendapatnya soal tim SOMNIUM dan potensi Indonesia di skena VALORANT masa depan.
“Kalau bicara SOMNIUM, menurut saya permainan mereka sih bagus. Kami sempat kesulitan saat bertanding di map Bind gara-gara trap milik Agent Cypher, yang memang belum banyak kami pelajari. Kalau bicara Indonesia untuk skena VALORANT internasional, menurut saya potensi sudah pasti ada, karena sebenarnya kemampuan aim pemain Indonesia itu sakit. Namun, menurut saya tim-tim ini masih punya kekurangan di bagian teamplay, yang harus diasah lebih tajam lagi.” Jawab Xccurate menutup pembahasan.
Memang kalau bicara jujur-jujuran, untuk saat ini, potensi Xccurate jadi gemilang tentu lebih besar lewat skena CS:GO. Ini karena saat ini, tim dan jenjang kompetisi CS:GO cenderung lebih mapan jika dibandingkan dengan skena VALORANT yang masih mapan. Tetapi siapa yang tahu, mungkin bisa jadi Xccurate pindah haluan jika nantinya skena VALORANT menjadi lebih mapan di masa depan? Jika itu terjadi, tentunya Indonesia akan bisa bicara banyak di skena Internasional!
Alpha JWC Ventures today (8/16) announced investment to Goola, a startup focused on traditional beverages. It was worth up to $5 million or equivalent to 71 billion Rupiah. They provide various beverages, such as doger ice, green bean ice, and many more. Targeting young adult, they’re using “grab-and-go” concept for serving and packaging.
Goola was founded in 2018 by two founders, Kevin Susanto and Gibran Rakabuming. Gibran is well-known as President Joko Widodo’s son and a businessman in the culinary industry. They are currently open five outlets in Jakarta, to develop 100 more after receiving funding until 2020 – in Indonesia also the neighbor cities.
“Goola was first established as a conventional culinary business, then we realize that this can grow bigger once we transformed and start using technology in daily operation,” Susanto said.
“New Retail” Implementation
In addition to the outlets, fresh money will be focused on the new retail implementation. It’ll be realized through the application – the developing process is currently internal.
Goola app design is to maximize online transaction experience no queue, loyalty program, and others. This app also helps to analyze consumer’s habit to constantly improve the services and products.
“The use of technology is one thing, for me, the most important is the ingredients. Our challenge is to take Goola and these local beverages into the global market,” he said.
Susanto added, “If there is any other competitor arise, it will be our market validation. Competitors are the motivation we need to realize Goola mission faster, for they will help us to educate the market on relevant products.”
Prior to the business, Alpha JWC Ventures had first invested on Kopi Kenangan. The key is similar, they are to develop a new retail concept in selling cups of coffee to young adults.
–
Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Alpha JWC Ventures hari ini (16/8) mengumumkan penggelontoran investasi kepada Goola, startup yang mengembangkan produk minuman tradisional. Nilainya mencapai $5 juta atau setara dengan 71 miliar Rupiah. Ada beragam produk minuman yang ditawarkan bisnis tersebut, mulai dari es doger, es kacang hijau dan aneka minuman lainnya. Menyasar kalangan muda, mereka mengusung konsep “grab-and-go” untuk pengemasan dan penyajian.
Goola didirikan pada tahun 2018 oleh dua orang founder, yakni Kevin Susanto dan Gibran Rakabuming. Gibran dikenal sebagai pengusaha kuliner yang juga putra pertama Presiden Joko Widodo. Saat ini mereka memiliki lima unit gerai di Jakarta, pasca pendanaan akan targetkan pengembangan 100 gerai hingga tahun 2020 – baik di Indonesia maupun di negara-negara tetangga.
“Goola tadinya didirikan sebagai bisnis kuliner konvensional, namun kami kemudian menyadari bahwa bisa melakukan sesuatu yang jauh lebih besar jika kami mengubah cara bisnis kami dan mulai menggunakan teknologi dalam operasional sehari-hari,” ujar Kevin.
Segera terapkan konsep “new retail”
Selain penambahan gerai, dana investasi yang didapatkan juga akan difokuskan Goola untuk mengimplementasikan pendekatan new retail. Realisasinya ialah dalam pengembangan aplikasi – saat ini proses pengembangannya tengah berjalan di internal.
Aplikasi Goola akan didesain memaksimalkan pengalaman transaksi pelanggan melalui jalur online tanpa antrean, program loyalitas, dan lain-lain. Aplikasi ini juga akan membantu pengelola menganalisis pola konsumsi para pelanggan sehingga dapat terus memperbaiki layanan serta produk yang ditawarkan.
“Penggunaan teknologi adalah satu hal, tapi bagi saya, faktor terpenting tetaplah pada racikan minuman kami. Tantangan kami selanjutnya adalah bagaimana membawa Goola dan minuman lokal ini ke pecinta kuliner internasional,” ujar Gibran.
Kevin melanjutkan, “Jika nantinya ada kompetitor yang muncul, ini akan menjadi bukti validasi pangsa pasar yang kami tuju. Munculnya kompetitor juga sebenarnya akan mendorong kami untuk merealisasikan visi Goola lebih cepat karena mereka akan membantu kami mengedukasi masyarakat mengenai produk sejenis.”
Untuk bisnis dengan konsep serupa, sebelumnya Alpha JWC Ventures juga berinvestasi pada Kopi Kenangan. Prinsipnya sama, mereka akan mengembangkan pendekatan new retail dalam menjual produk minuman kopi kepada kalangan muda.
Kevin “xccurate” Susanto resmi bergabung dengan BTRG. Melalui akun Twitter resminya, Kevin mengumumkan hal ini.
“Hari ini, saya mengakhiri perjalanan saya dengan @tyloogaming. Itu adalah pengalaman yang panjang dan berarti bagi saya. Saya harap mereka mendapatkan yang terbaik dan saya senang karena mereka lolos babak kualifikasi! Terima kasih telah memberikan kesempatan pada saya untuk bermain bersama tim top 30 dunia. Saya akan terus berusaha keras untuk menjadi yang terbaik,” tulis Kevin di Twitter resminya.
BTRG, yang merupakan singkatan dari Big Time Regal Gaming, merupakan organisasi esports dari Tiongkok yang fokus ke game-game FPS, salah satunya CS: GO.
Sebelum bergabung dengan BTRG, Kevin bermain untuk tim Tyloo, yang juga asal sana. Dia resmi bermain untuk Tyloo sejak Januari tahun lalu (2018). Sebelum itu, dia juga pernah bermain untuk Jakarta Juggernauts pada tahun 2015 dan 2016, lalu masuk ke tim Recca Esports pada 2016 hingga 2018.
Selama 2018, Kevin memenangkan berbagai kompetisi bersama dengan Tyloo, mulai dari kompetisi C-Tier sepreti XINHUA Electronic Sports Conference sampai turnamen S-Tier seperti Intel Extreme Masters XIII di Sydney.
Turnamen yang terakhir kali Kevin menangkan bersama Tyloo adalah TOYOTA Master CS: Go Bangkok 2018. Turnamen yang diadakan pada November 2018 itu masuk ke dalam kategori A-Tier. Di sana, Tyloo berhasil menjadi juara dua. Mereka kalah dengan skor 2:3 dari Heroic pada pertandingan final.
“Mau cari tantangan baru,” kata Kevin ketika ditanya alasannya untuk pindah. “Dan waktu itu, setiap pergi ke luar gampang sakit bikin performa sedikit menurun.”
Di BTRG, Kevin bukan satu-satunya pemain asal Indonesia. Ada juga Adrian “adrnkiNg” Setiawan, yang memiliki peran sebagai entryfragger.
Satu hal yang menarik, meskipun BTRG adalah organisasi esports asal Tiongkok, tim CS:GO mereka hanya memiliki satu atlet dari negaranya, yaitu ZhiTao “Drea3er” Zhang. Dua anggota lain dari BTRG adalah Kristjan “fejtZ” Allsaar dari Estonia dan Anthony Lim Ying Jun alias ImpressioN asal Singapura, yang merupakan kapten.
Menurut HLTV.org, di tingkat global, BTRG ada di posisi 96. Posisi tertinggi yang pernah mereka capai adalah peringkat 79. Sebagai perbandingan, Tyloo kini ada di posisi 33 dengan peringkat tertinggi yang pernah mereka capai 14.
“Soalnya yang ada di pikiran saya cuma bagaimana saya bisa tetap bermain CS dan tentunya balik ke scene competitive,” ujar Kevin. “Untuk masalah rank, itu semua butuh proses. Nggak ada yang instan.”
Untuk menjawab pertanyaan terkait apa yang dia harapkan dengan berpindah tim, ini jawaban Kevin: “Bisa lebih mengasah skill, bahkan bisa melebihi performa sebelumnya. Dan tentunya, balik ke scene competitive lagi dan masuk major.”
6 Desember 2018, Valve mengumumkan bahwa Counter Strike: Global Offensive (CS:GO) berubah jadi game Free-to-Play (FTP). Kabar ini memang menggemparkan dunia persilatan meski memang bukan yang pertama kali dilakukan oleh Valve. Sebelumnya, Team Fortress 2 (TF2) juga menerapkan sistem bisnis yang serupa. 23 Juni 2011, TF2 berubah menjadi FTP setelah sebelumnya berbayar.
Lalu bagaimana dengan para pemain yang telah membeli CS:GO sebelumnya? Buat mereka yang telah membeli, para pemain tersebut akan secara otomatis mendapatkan Upgrade Prime Status. Para pemain dengan Prime Status akan ditandingkan (matchmaking) dengan pemain yang sama berstatus Prime. Mereka juga berhak untuk menerima in-game items yang eksklusif.
Keputusan CS:GO jadi FTP tentu mengundang perdebatan di antara komunitasnya karena memang ada dampak positif dan negatifnya. Lalu bagaimanakah perubahan sistem bisnis ini akan berpengaruh terhadap scene esports CS:GO?
Saya pun menghubungi 2 orang yang termasuk dalam ikon esports CS:GO Indonesia untuk menanyakan pendapatnya. Pertama adalah Richard Permana, yang mungkin bisa dibilang sebagai salah satu orang paling berjasa dalam perkembangan esports CS:GO Indonesia ataupun esports secara luas. Ia adalah pemain sekaligus CEO dari TEAMnxl> yang merupakan salah satu organisasi esports Indonesia yang masih eksis dari 2006 sampai sekarang.
Sedangkan yang kedua adalah Kevin “xccurate” Susanto yang merupakan satu dari 2 pemain CS:GO profesional kebanggaan Indonesia yang bermain di tim luar negeri. Ia bersama Hansel “BnTeT” Ferdinand bermain untuk tim Tiongkok bernama TyLoo. Keduanya tak hanya bisa dibilang pemain CS:GO terbaik asal Indonesia, tapi juga Asia Tenggara.
Dampak Positif dan Negatif Free-to-Play
Baik Richard dan Kevin sama-sama setuju bahwa berubahnya CS:GO jadi FTP merupakan kabar baik buat game FPS yang dirilis di 22 Agustus 2012. “Lebih bagus soalnya jadi lebih banyak orang yang tertarik untuk bermain CS:GO.” Ujar Kevin.
Richard juga menambahkan bahwa Valve sebenarnya tidak butuh pendapatan dari user yang membeli game ini karena mereka bisa mencari revenue dari in-game item. Dengan jadi gratis, CS:GO juga mungkin akan lebih menarik bagi pasar Indonesia yang suka game-game gratisan.
“Harusnya dari dulu (jadi gratis)… Hahaha.” Kata Richard sambil tertawa.
Penambahan jumlah pemain ini juga terbukti dengan data yang kami lihat di SteamCharts ataupun SteamDB. Dari SteamCharts, jumlah pemain tertinggi di November 2018 mencapai 546.031 sedangkan, di Desember 2018, angka tersebut naik ke 692.891 pemain. Sedangkan di SteamDB, terlihat tren yang serupa. Ada kenaikan jumlah pemain di bulan Desember 2018.
Namun begitu, kenaikan jumlah pemainnya memang tidak signifikan (setidaknya sampai artikel ini ditulis). Bahkan di kedua situs tadi, data dari 7 hari terakhir bukan merupakan periode dengan jumlah pemain tertinggi. Namun demikian, angka ini masih bisa saja berubah mengingat baru satu hari CS:GO digratiskan.
Kevin berharap bahwa dengan perubahan sistem bisnis ini, CS:GO bisa booming kembali seperti saat CS:GO jadi satu-satunya game FPS kompetitif. “Saya sih berharap seperti itu (booming lagi). Apalagi ada mode baru juga, Battle Royale Danger Zone. Sebenarnya, CS:GO itu seru banget (tapi) mungkin karena dulu berbayar orang-orang jadi malas untuk bermain. Apalagi CS:GO itu tidak terlalu mudah jadi harus benar-benar sering bermain untuk jadi pro (player).” Ungkap Kevin.
Sedangkan Richard sendiri sedikit pesimis bahwa CS:GO akan kembali ke puncak kejayaannya. Ia beranggapan bahwa, di Indonesia, CS:GO tetap tidak akan seramai game mobile karena bermain CS:GO butuh perangkat yang tidak murah – setidaknya dibandingkan perangkat mobile.
Penambahan jumlah pemain memang bisa dibilang sebagai dampak positif dari gratisnya CS:GO yang mungkin kehilangan popularitasnya gara-gara Fortnite ataupun PUBG di PC ataupun maraknya game-game kompetitif di platform mobile.
Namun demikian, dengan berubah jadi gratis, jumlah cheaters ataupun trolls (orang-orang yang sekadar ingin mengganggu jalannya permainan)di CS:GO juga kemungkinan besar akan bertambah besar. “Yup! Bener (cheater dan trolls akansemakin banyak). Siap-siap aja.” Kata Richard.
Ia juga menambahkan semoga Valve terus meningkatkan sistem keamanan game mereka (VAC) untuk menekan hal tersebut. Jumlah orang-orang yang tidak serius bermain memang tak dapat dihindari dan komunitas CS:GO di Reddit sendiri sudah merasakannya. Mereka pun meminta sebuah fitur dari Valve agar para pemain gratisan bisa diblok di Community Server dan Valve mengabulkan fitur tersebut (di patch 7 Desember 2018).
Saya pribadi, yang telah berkecimpung di industri game dari 2008, memang tak melihat CS:GO akan kembali ke puncak kejayaannya jika tak ada peningkatan dari dukungan ekosistemnya, seperti esports-nya.
Dampaknya terhadap Esports Scenes?
Dampak kenaikan jumlah pemain mungkin memang juga akan berdampak positif terhadap dunia esports CS:GO. Sampai hari ini, ajang kompetitif CS:GO memang bisa dibilang lebih buruk dari pada saudaranya, Dota 2 yang sama-sama besutan Valve.
Kenapa? Karena para pemain profesional Dota 2 punya tujuan akhir The International (TI) yang merupakan piala dunianya game tersebut. Sedangkan CS:GO tak punya kompetisi semacam itu. Baik Dota 2 dan CS:GO sama-sama punya jenjang kompetisi Major dan Minor namun hanya Dota 2 yang punya jenjang di atas Major.
Apakah dengan naiknya popularitas CS:GO yang jadi gratis ini akan membuka peluang agar Valve membuat turnamen yang setara TI? Richard dan Kevin setuju bahwa bertambahnya jumlah pemain bisa berpengaruh pada munculnya turnamen CS:GO setingkat TI. Sayangnya, keduanya juga mengaku belum mendapatkan kepastian soal hal tersebut.
Di satu sisi, munculnya ajang kompetitif berskala besar memang dipengaruhi oleh jumlah pemain di game tersebut mengingat butuh dana yang tidak kecil juga untuk menggelar turnamen berskala internasional. Namun demikian, jumlah pemain juga bukan jadi satu-satunya faktor penentu. Keseriusan developer atau publisher game menggarap esports scene game itu juga berpengaruh besar terhadap ekosistemnya.
Coba saja kita bandingkan dengan TF2 yang saya sebutkan di awal artikel. TF2 yang berubah dari berbayar jadi gratis tidak serta merta membuat ekosistem esports-nyahidup. Jika memang Valve ataupun stakeholders lainnya tak ada keinginan untuk membesarkan ekosistem esports CS:GO, jumlah pemain yang bertambah tak akan berdampak apapun.
Hubungan antara ekosistem esports dan popularitas sebuah game memang saling terkait erat. Ajang esports memang dapat berfungsi sebagai alat pemasaran bagi game tersebut namun para stakeholders esports juga kecil kemungkinannya akan menggelontorkan dana besar jika game tersebut tak punya angka pemain yang masif. Perdebatan ini memang seperti perdebatan mana yang lebih dulu antara ayam dan telur.
Selain soal skala, ada perbedaan besar juga antara dunia persilatan ajang kompetitif CS:GO dan Dota 2. Juara-juara TI berasal dari regional yang berbeda-beda, dari mulai Amerika Utara, Eropa, ataupun Asia (Tiongkok). Namun pemerataan juara ini tak terjadi di CS:GO. Sampai artikel ini ditulis, Amerika Utara baru 1x menang kejuaraan setingkat Major. Selebihnya, kejuaraan setingkat Major hanya dimenangkan oleh tim-tim Eropa.
Apakah hal ini akan berubah dengan berubahnya CS:GO jadi FTP, mengingat pemainnya sekarang bisa berasal dari berbagai kalangan seperti Dota 2? Richard beranggapan CS:GO masih akan didominasi oleh para pemain Eropa meski sudah jadi FTP. “Region lain benar-benar harus jadi sebuah tim yang benar-benar bisa perform, dengan work rate yang tinggi.”
Soal dominasi ini, menurut saya, bisa jadi akan sedikit merata setelah CS:GO berubah jadi FTP. Namun, berhubung butuh waktu yang lama untuk benar-benar berada di puncak ajang kompetitif, mungkin tim-tim baru tidak akan serta merta tampil memukau dalam waktu dekat.
Lain waktu, mungkin kita akan berbincang-bincang lebih detail dengan Kevin untuk cari tahu kenapa dominasi tim-tim Eropa begitu kuat di CS:GO karena ia bersama timnya yang benar-benar sudah merasakan panasnya panggung CS:GO kelas internasional.
Danger Zone: Battle Royale CS:GO
Selain perubahan sistem bisnisnya, ada satu update lagi yang tak kalah penting kemarin yaitu mode Battle Royale di CS:GO. Genre Battle Royale sendiri memang sedang berada di puncak popularitasnya berkat Fortnite dan PUBG. Valve nampaknya benar-benar ingin menaikkan popularitas CS:GO di kalangan yang lebih luas dengan update kali ini.
Namun bagaimana pendapat Richard dan Kevin soal mode ini? Richard mengaku cukup positif dengan mode tersebut karena ia melihat Valve berani mengikuti tren dan keinginan komunitas tertentu. Hal ini ia anggap positif karena, menurutnya, CS sudah seperti mother of FPS esports.
Sedangkan Kevin juga setuju bahwa mode ini memang positif namun ia berharap ke depannya ada patch-patch baru untuk membuat Battle Royal CS:GO lebih mantab.
–
Bagaimana dengan Anda? Apakah Anda setuju dengan semua pendapat yang ada di sini? Apakah sistem FTP dan mode BR akan membuat CS:GO kembali ke puncak kejayaannya lagi? Kita tunggu saja ya!