Following its strategic partnership with Gojek, PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) will continue the integration of its second service ecosystem in 2022. A series of use cases have been prepared, such as the GoPay and Jago e-KYC processes and payment for merchant transactions from Kantong Jago via GoPay.
As stated by Bank Jago’s President Director, Karim Siregar, currently his team is preparing to launch GoPay integration as one of the Kantong in the Jago application. Kantong GoPay is estimated to be coming soon.
Karim is reluctant to elaborate on this integration plan with Gojek after the merger with Tokopedia (GoTo). However, he ensured that he would continue to develop the Jago application in order to serve the retail, MSME, and mass market segments.
“This year we are focusing on strengthening the product and user foundations. The number of Bank Jago users is now close to 700 thousand,” he said during Bank Jago’s business presentation, Thursday (28/10). The Bank Jago application has been downloaded more than 1 million on Android devices.
In general note, Gojek Group through GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) grabs 22% of Bank Jago’s shares. After the GoTo merger, Bank Jago is exploring wider synergies as it enters the large ecosystem of services owned by Gojek and Tokopedia.
Digital sharia and payment partnership
In other plans, Bank Jago also targets digital sharia services to be available in the Jago application in the first quarter of 2022. Currently, the Sharia Business Unit has started its operation, just waiting for the realization of digital services. His team is waiting for permission from the Financial Services Authority (OJK).
“Sharia and conventional [financial] services are always identified differently, even though they are not. Moreover, there are no fully digital Islamic financial services in Indonesia,” he added.
Jago Syariah will offer digital financial solutions that focus on customer life (life centric) by optimizing the latest technology, equivalent to conventional Jago applications.
Referring to data from the Financial Services Authority (OJK), the market share of Islamic banks was only 6.33% as of October 2020. The increase was not too significant compared to the market share in 2017 which was only 5%.
Furthermore, Bank Jago also plans to strengthen the digital ecosystem by encouraging service partnerships, especially for lending. In total, Bank Jago has collaborated with 19 partners from various verticals, ranging from e-commerce, lending, and investment.
Currently, all of Bank Jago’s financing is being channeled through a loan channeling model with third parties, either through financial service companies or P2P lending platforms.
“Banks live on interest, therefore, we should not focus on transactional [products], but also on credit or financing,” he said.
Based on the third quarter 2021 financial report, Bank Jago has disbursed Rp3,727 trillion, an increase of 502% from the same period last year which amounted to Rp619 billion. Most of these loans are distributed through loan channeling.
In a previous interview, Karim had revealed that he would target MSMEs as the target market for financing. In 2020, the number of MSME players in Indonesia is estimated to reach more than 65 million which recorded to contribute more than 50% of Indonesia’s GDP, and absorb 97% of the active work budget in Indonesia.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Menyusul kemitraan strategisnya dengan Gojek, PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) akan melanjutkan integrasi ekosistem layanan keduanya di 2022. Sejumlah use case telah dipersiapkan, seperti proses e-KYC GoPay dan Jago hingga pembayaran transaksi merchant dari Kantong Jago melalui GoPay.
Disampaikan Presiden Direktur Bank Jago Karim Siregar, saat ini pihaknya tengah menyiapkan peluncuran integrasi GoPay sebagai salah satu Kantong di aplikasi Jago. Kantong GoPay diestimasi segera hadir dalam waktu dekat.
Karim enggan mengelaborasi terkait rencana integrasinya dengan Gojek pasca-merger dengan Tokopedia (GoTo). Kendati begitu, ia memastikan terus akan melanjutkan pengembangan aplikasi Jago agar dapat melayani segmen ritel, UMKM, dan mass market.
“Tahun ini kami fokus memperkuat fondasi produk dan pengguna. Jumlah pengguna Bank Jago sekarang close to 700 ribu,” ungkapnya saat paparan bisnis Bank Jago, Kamis (28/10). Aplikasi Bank Jago tercatat telah diunduh lebih dari 1 juta di perangkat Android.
Sebagaimana diketahui, Gojek Group melalui GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa) mencaplok 22% saham Bank Jago. Setelah aksi merger GoTo, Bank Jago tengah mengeksplorasi sinerginya lebih luas karena masuk ke ekosistem besar layanan milik Gojek dan Tokopedia.
Syariah digital dan kemitraan pembiayaan
Pada rencana lainnya, Bank Jago juga menargetkan layanan syariah digital tersedia di dalam aplikasi Jago pada kuartal pertama 2022. Saat ini, Unit Usaha Syariah sudah beroperasi, tinggal menunggu realisasi layanan digitalnya saja. Pihaknya tengah menanti izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
“Layanan [keuangan] syariah dan konvensional selalu diidentikkan berbeda, padahal sebetulnya tidak. Lagi pula, belum ada layanan keuangan syariah yang sudah fully digital di Indonesia,” tambahnya.
Jago Syariah akan menawarkan solusi keuangan digital yang berfokus pada kehidupan nasabah (life centric) dengan mengoptimalkan teknologi terkini, setara dengan aplikasi Jago konvensional.
Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pangsa pasar bank syariah hanya 6,33% per Oktober 2020. Kenaikannya tidak terlalu signifikan dibandingkan pangsa pasar di 2017 yang cuma 5%.
Lebih lanjut, Bank Jago juga berencana memperkuat ekosistem digital dengan mendorong kemitraan layanan, terutama untuk pembiayaan (lending). Secara total, Bank Jago telah bekerja sama dengan 19 mitra dari berbagai vertikal, mulai dari e-commerce, lending, dan investment.
Saat ini, seluruh pembiayaan Bank Jago masih disalurkan melalui model loan channeling dengan pihak ketiga, baik melalui perusahaan jasa keuangan maupun platform P2P lending.
“Bank itu hidupnya dari pendapatan bunga, maka itu kita jangan fokus ke [produk] yang sifatnya transaksional saja, tetapi juga ke kredit atau pembiayaan,” tuturnya.
Berdasarkan laporan keuangan kuartal ketiga 2021, Bank Jago telah menyalurkan sebesar Rp3.727 triliun atau naik 502% dari periode sama tahun lalu yang sebesar Rp619 miliar. Sebagian besar kredit ini disalurkan lewat skema loan channeling
Dalam wawancara terdahulu, Karim sempat mengungkap akan membidik UMKM sebagai target pasar pembiayaan. Di 2020, jumlah pelaku UMKM di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 65 juta yang tercatat berkontribusi lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia, dan menyerap sebesar 97% dari anggaran kerja aktif di Indonesia.
Bertujuan untuk memperlancar integrasi nasabah, Bank jago meresmikan kerja sama strategis dengan Gojek, salah satu pemegang saham perusahaan. Pada tahap ini, nasabah dapat menggunakan kantong Jago sebagai sumber dana untuk membayar berbagai layanan di aplikasi. Untuk menikmati integrasi ini, konsumen dapat melakukan pembaruan aplikasi Gojek masing-masing.
Secara singkat dalam rilisnya disebutkan cara kerja dari integrasi ini, yaitu bagi nasabah Bank Jago yang kerap melakukan pembayaran untuk kebutuhan harian, mulai dari sarana transportasi hingga pembelian makanan di Gojek, akan bisa melakukan proses debet secara langsung. Nasabah bisa memisahkan dana tersebut ke kantong khusus yang terhubung dengan aplikasi Gojek.
“Jadi, selain tidak perlu buang waktu dan biaya untuk top up saldo, nasabah juga dapat mengecek riwayat transaksi di kantong khusus tersebut secara detail dan terperinci. Lama-kelamaan, pengalaman baru ini membuat nasabah semakin disiplin dan lebih presisi dalam belanja bulanannya,” kata Direktur Kepatuhan dan Sekretaris Perusahaan Bank Jago Tjit Siat Fun.
Nila Marita selaku Chief Corporate Affairs Gojek menjelaskan, integrasi tahap awal dengan aplikasi Jago semakin melengkapi opsi pembayaran nontunai yang tersedia di aplikasi Gojek. “Kemitraan ini akan terus menghadirkan berbagai inovasi dan kemudahan dalam layanan keuangan digital ke depannya, salah satunya pembukaan akun bank Jago yang akan bisa dilakukan langsung dari aplikasi Gojek,” kata Nila.
Sebelumnya Bank Jago juga mulai bekerja sama dengan marketplace reksa dana Bibit. Ada beberapa keunggulan yang dapat dinikmati pengguna lewat kerja sama ini. Pertama, pengguna dapat membuka rekening Jago di aplikasi Bibit. Kemudian, juga dapat mengaturnya sebagai recurring transaction untuk transaksi reksa dana otomatis.
Bank Jago di tahap awal
PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) resmi meluncurkan aplikasi banking Jago pada awal April 2021. Tiga bulan setelah meluncur hingga saat ini, aplikasi Jago tercatat telah mengantongi rating 4.0 dengan total unduhan mendekati 1 juta kali.
Kepada DailySocial dalam wawancara eksklusif, Direktur Utama Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar menyebutkan, meski tidak mengungkap angka statistik, ia mengaku mengantongi traksi dan umpan balik yang sehat dari peluncuran aplikasi Jago. Beberapa respons positif yang disoroti pengguna Bank Jago adalah kecepatan proses onboarding pada pembukaan rekening dan kehadiran fitur Pocket.
“Bahkan kartu [debit] kami dapat terhubung ke Pocket mana pun dan kapan pun sesuai keinginan pengguna. For me, it’s very cool karena pengguna bisa tahu persis penggunaan uang mereka, seperti tarik tunai atau belanja online. We put a lot of effort by design and architecture supaya bisa menghasilkan response time yang sangat baik. We are continuously upgrading the technology as we speak,” kata Kharim.
Dari sejumlah rencana di sepanjang 2021, Bank Jago cukup banyak menyoroti realisasi sinergi dengan Gojek. Gambaran besarnya, ekosistem Bank Jago dan Gojek ditargetkan dapat terhubung satu sama lain. Untuk tahap awal, keduanya akan masuk dulu lewat layanan pembukaan rekening.
Ramai-ramai bank digital
Belakangan ini, aplikasi bank digital terus bermunculan. Selain Jago, ada beberapa layanan lain yang sudah bisa digunakan, termasuk blu, LINE Bank, Jenius, Neo+, SeaBank, dan TMRW ID. Beberapa memiliki afiliasi kuat dengan platform digital dengan pengguna masif, seperti SeaBank dengan Shopee atau Neo+ dengan Akulaku.
Tingkat penetrasinya masih baru, aplikasi-aplikasi tersebut juga masih dalam tahap menciptakan awareness di kalangan masyarakat. Namun jauh sebelum layanan bank digital bermunculan di Indonesia, McKinsey pernah melakukan survei tentang ke masyarakat Indonesia untuk menggunakan layanan perbankan digital. Dari survei yang dilakukan 55% pelanggan nondigital mengatakan mereka tertarik atau akan menggunakan aplikasi bank digital di waktu mendatang.
Integrasi dengan aplikasi konsumer juga berpotensi besar meningkatkan tingkat adopsi. Tentu pertanyaan berikutnya, apakah akan menggantikan peran e-wallet seperti Gopay? Tentu, butuh waktu yang lebih lama lagi untuk melihat respons pasar terkait hal ini. Namun ada beberapa variabel yang dapat dijadikan pertimbangan.
Pertama, rekening bank sifatnya lebih fleksibel — termasuk dalam kaitannya dengan batas uang yang bisa ditampung. Sementara e-wallet secara regulasi memiliki keterbatasan. Di pasal 45 Peraturan Bank Indonesia tentang Uang Elektronik disebutkan batas nilai transaksi setiap bulan paling banyak 20 juta Rupiah. Sementara untuk nilai uang yang dapat disimpan paling banyak 10 juta Rupiah untuk aplikasi yang sudah terdaftar di BI, dan 2 juta Rupiah yang belum terdaftar.
Kedua, secara proses layanan bank digital sangat memudahkan. Memungkinkan pengguna untuk memiliki akun bank dan mengakses berbagai layanan di dalamnya (termasuk investasi) dari rumah. Proses pendaftaran hingga KYC dilakukan secara virtual.
Dan ketiga, fitur-fitur yang diciptakan mulai mengedepankan personalisasi akan kebutuhan pengguna. Di hampir semua proses pendaftaran awal, calon nasabah akan ditanyai tentang tujuan pembukaan rekening, apakah untuk menambung, berinvestasi, atau lainnya. Di fase berikutnya, berbagai fitur akan disesuaikan dengan preferensi tersebut dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan pengguna secara tepat.
Aside from gradual integration with the Gojek ecosystem, PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) is also preparing to extend the coverage of digital banking services in 2021.
This year, Bank Jago targeted the middle income and mass market segment, including MSMEs and retail (consumer), both conventional and sharia.
Bank Jago’s President Director, Kharim Indra Gupta Siregar revealed that they will be focused on two things, digital-based sharia services and lending through digital platforms for MSMEs.
The following is an extension of DailySocial’s exclusive interview with Kharim Indra Gupta Siregar and Bank Jago Commissioner Anika Faisal.
Sharia digital banking
Currently, Bank Jago is exploring whether this digital sharia will be presented in a new app or just an additional service in an existing one, Jago App. The company has considered several things regarding this development.
Kharim thought, today’s Islamic banking products in Indonesia tend to be associated as different products from its parent company, which in fact is a conventional bank. This is the factor that makes the new sharia services development to follow the conventional way.
The market opportunity for Islamic banks is very large considering its penetration is quite low in Indonesia. Referring to data from the Financial Services Authority (OJK), the market share of Islamic banks was only 6.33% as of October 2020. The increase was not too significant compared to the market share in 2017 which was only 5%.
In addition, the current Islamic mobile banking services have mostly used the USSD menu considering that the digital ecosystem was not ready at that time, smartphones and airtime were still quite expensive.
He observed that Bank Jago’s position as a tech-based bank provides space for companies to utilize 100% of the same capabilities in developing Islamic banking platforms. Whether it is presented in the form of a new app, it will duplicate the Pocket Jago App feature to the sharia platform.
“Currently, we are going through various processes, such as approval and others. We will have it soon. We’ve seen a good opportunity where sharia users can get similar services on the Jago App. We provide all the capabilities there,” Kharim said.
Meanwhile, Anika Faisal considers that there are no Islamic banking products in Indonesia to date that are able to provide a good user experience. She said, these various considerations are to ensure the company can provide a product proposition that is as good as Jago App.
“I have my own preference for sharia services, not in the context [service preference] for usury or not. Unfortunately, sharia mobile banking in Indonesia is currently not able to provide convenience. Therefore, I challenge Bank Jago to have good convenience products. The product [sharia] is basically the same, but what matters is the service,” she said.
Digital lending for MSME
In 2020, the number of MSME players in Indonesia is estimated to reach more than 65 million, contributing more than 50% to Indonesia’s GDP, and absorbing 97% of the active work budget in Indonesia.
The Bain & Company report in 2019 recorded that there were as many as 92 million people or 50% of the total population who did not have access to banking services (unbanked). 25% or 47 million of them do not have adequate access to banking services (underbanked).
Bank Jago observes promising potential in these two segments. In its 2020 financial report, Bank Jago is said to build a financing business with a digital ecosystem managed through Partnership Lending (Business Finance Solution). Since last year, Bank Jago has collaborated with fintech platforms to channel financing.
Some that have been announced include Akseleran, Akulaku Finance, and Adakami.
The collaboration is expected to accelerate the customer acquisition process, which Bank Jago defines as the productive pre-prosperous segment. This segment is considered to have passed the poverty level, but still needs financing. The company targets this lending to be significantly distributed to this segment.
“We will prepare products/services for the entrepreneurial segment as we see great potential from this segment of business players who are yet to be fully formalized. We are going to announce and it’s in progress. After the second right issue, we get strong capital to pursue lending growth because we don’t have a lot of legacy lending products. Therefore, we can focus more on partnerships. Currently, we have partnered with ten lending sites,” Kharim said.
Overall, he said, Bank Jago has closed good number on growth in lending. According to its records, as of the end of 2020 until the first quarter of 2021, Bank Jago has disbursed loans from around Rp900 billion to Rp1.3 trillion with an increase of 40%.
Kharim revealed that his team will collaborate with partners to provide lending products on the Jago App to support the underwriting process and determine whether prospective customers are eligible for loans.
“Currently, Gojek customers have been offered PayLater products. It means, there is analytics support to provide lending to customers. In this model, we want to expand what can we provided through lending products. This also depends on the ecosystem, such as Gojek’s user ecosystem, partners drivers, and merchant partners. Each has a different approach. We can do this after the Jago App and Gojek integration is running,” he said.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Selain integrasi bertahap dengan ekosistem Gojek, PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) juga bersiap menambah cakupan layanan perbankan digital di 2021.
Segmen pasar yang dibidik Bank Jago di tahun ini antara lain middle income dan mass market, termasuk dalamnya UMKM dan retail (consumer), baik konvensional maupun syariah.
President Director Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar mengungkap ada dua fokus utama yang dipersiapkan, yaitu layanan syariah berbasis digital dan penyaluran pinjaman melalui platform digital untuk UMKM.
Berikut ini adalah kelanjutan wawancara ekskusif DailySocial dengan Kharim Indra Gupta Siregar dan Komisaris Bank Jago Anika Faisal.
Perbankan syariah digital
Saat ini, Bank Jago tengah mengeksplorasi apakah syariah digital ini akan hadir dalam aplikasi baru atau hanya layanan tambahan di aplikasi yang sudah ada, yakni Jago App. Ada beberapa hal yang menjadi pertimbangan perusahaan terkait pengembangan ini.
Menurut Kharim, selama ini produk perbankan syariah di Indonesia cenderung diasosiasikan sebagai produk berbeda dengan induk usahanya yang notabene merupakan bank konvensional. Faktor ini membuat pengembangan layanan syariah baru juga ikut-ikutan memakai cara konvensional.
Peluang pasar bank syariah juga sangat besar mengingat penetrasinya di Indonesia masih rendah. Mengacu data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), pangsa pasar bank syariah hanya 6,33% per Oktober 2020. Kenaikannya tidak terlalu signifikan dibandingkan pangsa pasar di 2017 yang cuma 5%.
Di samping itu, selama ini layanan perbankan mobile syariah kebanyakan memanfaatkan menu USSD mengingat ekosistem digital saat itu belum siap, smartphone dan airtime masih terbilang mahal.
Ia menilai posisi Bank Jago sebagai tech-based bank memberi ruang bagi perusahaan untuk memanfaatkan 100% kapabilitas yang sama dalam mengembangkan platform perbankan syariah. Jika memang hadir dalam bentuk aplikasi, pihaknya bakal menduplikasi fitur Pocket (Kantong) Jago App ke platform syariah.
“Saat ini, kami sedang melalui berbagai proses, seperti approval dan lainnya. We will have it soon. Kami lihat ada peluang bagus di mana pengguna syariah bisa mendapatkan layanan serupa di Jago App. Kami sediakan semua capabilities di situ,” ujar Kharim.
Sementara itu, Anika Faisal menganggap saat ini belum ada produk perbankan syariah di Indonesia yang mampu memberikan user experience yang bagus. Menurutnya, berbagai pertimbangan ini untuk memastikan perusahaan dapat memberikan product proposition yang sama bagusnya dengan Jago App.
“Saya memiliki preferensi sendiri untuk layanan syariah, bukan konteksnya [preferensi layanan] golongan riba atau tidak. Sayangnya, mobile banking syariah di Indonesia saat belum bisa kasih convenience. Makanya, saya challenge apakah Bank Jago bisa produk yang punya convenience yang bagus. Produk [syariah] pada dasarnya sama, tetapi yang penting adalah layanannya,” jelasnya.
Digital lending untuk UMKM
Pada 2020, jumlah pelaku UMKM di Indonesia diperkirakan mencapai lebih dari 65 juta yang tercatat berkontrobusi lebih dari 50% terhadap PDB Indonesia, dan menyerap sebesar 97% dari anggaran kerja aktif di Indonesia.
Laporan Bain & Company di 2019 mencatat ada sebanyak 92 juta jiwa atau 50% dari total populasi yang belum mendapatkan akses ke layanan perbankan (unbanked). 25% atau 47 juta jiwa di antaranya belum punya akses memadai ke layanan perbankan (underbanked).
Bank Jago melihat ada potensi menjanjikan pada kedua segmen ini. Dalam laporan keuangan 2020, Bank Jago menyebut akan membangun bisnis pembiayaan dengan ekosistem digital yang dikelola lewat Partnership Lending (Business Finance Solution). Sejak tahun lalu, Bank Jago telah menggandeng platform fintech untuk menyalurkan pembiayaan.
Beberapa yang sudah diumumkan antara lain Akseleran, Akulaku Finance, dan AdaKami.
Kolaborasi ini diharapkan dapat mempercepat proses akuisisi customer yang didefinisikan Bank Jago sebagai segmen pra sejahtera produktif. Segmen ini dinilai sudah melewati tingkat kemiskinan, tetapi tetap membutuhkan pembiayaan. Pihaknya menargetkan lending ini akan terdistribusi secara signifikan ke segmen tersebut.
“Kami akan menyiapkan produk/layanan untuk segmen wirausaha karena kami melihat ada potensi besar dari segmen pelaku usaha yang belum sepenuhnya formal ini. We are going to announce and it’s in progress. Setelah right issue kedua, kami dapat modal kuat untuk pursue pertumbuhan lending karena legacy produk lending kami tidak banyak. Jadi kami bisa lebih fokus ke partnership. Saat ini, kami sudah bermitra dengan sepuluh lending sites,” papar Kharim
Secara keseluruhan, ungkapnya, Bank Jago menutup pertumbuhan apik pada penyaluran pinjaman. Menurut catatannya, per akhir 2020 hingga kuartal pertama 2021, Bank Jago telah menyalurkan pinjaman dari sekitar Rp900 miliar ke Rp1,3 triliun dengan kenaikan 40%.
Kharim mengungkap, pihaknya akan berkolaborasi dengan mitra untuk menyediakan produk lending di Jago App demi mendukung proses underwriting dan menentukan apakah calon customer layak diberikan pinjaman.
“Saat ini, nasabah Gojek sudah ditawarkan produk PayLater. Artinya, ada analitik di belakang untuk menyediakan lending ke customer. Untuk model ini, kami ingin perluas apa yang bisa diberikan lewat produk lending. Ini juga tergantung ekosistem, seperti Gojek punya ekosistem pengguna, mitra driver, dan mitra merchant. Masing-masing punya pendekatan berbeda. We can do this setelah integrasi Jago App dan Gojek berjalan,” jelasnya.
PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) officially launched the Jago banking application in early April 2021. Three months after launching to date, the application currently has 4.1 star rating with total downloads reaching nearly half a million.
Jago app offers some excellent features that are said to provide freedom for users to manage their financing. With the fully digital e-KYC process, users can do financial budgeting through the Pocket feature which can be personalized accordingly.
Aside from these features, the long awaited movement is a synergistic partnership between Bank Jago and Gojek. Public is currently looking forward to how both parties synergize with each other’s ecosystem.
When Gojek was announced as a shareholder in December 2020, the service that would mark the first synergy between the two companies was account opening feature of Bank Jago on the Gojek application.
Today, DailySocial had the opportunity to interview Bank Jago’s President Director, Kharim Indra Gupta Siregar and to exclusively find out the big picture of Bank Jago’s synergy with Gojek and the ecosystem’s partners in 2021.
Positive feedback
Without revealing any statistics, Kharim admitted that he had good traction and positive feedback of the Jago application launching. Some of the highlighted response was the fast onboarding process for account opening and the Pocket feature.
For Kharim, this positive response is seen as a challenge for Bank Jago to make quick adjustments, especially during the e-KYC process. In addition, he considers the Pocket feature to be one of the important milestones in creating something new such as money sharing transparency.
“Even our [debit] card can be connected to whatever Pocket, whenever is good for users. For me, it’s very cool because users can know exactly how to use their money, including cash withdrawals or online shopping. We put a lot of effort for design and architecture in order to produce an excellent response time. We are continuously upgrading the technology as we speak,”
Currently, his teams are exploring the implementation of machine learning in the Jago application. The form that is being tested is, for example categorizing transactions to produce a recommendation (suggestion) to users.
Jago’s great synergy
Among the number of plans throughout 2021, Kharim pretty much highlights the realization of the synergy between Bank Jago and Gojek. The big picture is to connect both Bank Jago and Gojek ecosystems. For starter, the two companies will first enter through the account opening service.
Technically, Kharim said, there will be a link that directly connects Gojek and Bank Jago to open an account. He said, opening an account on the Gojek application will have a similar process to Bank Jago. This is an important note as it relates to regulatory issues.
“The minute you do the download or registration, all the processes are recorded in the bank. You can seamlessly link Gojek, therefore, the Jago application can directly become a source of Gopay. I make sure that these features will be available this year,” he said.
Apart from Gojek, Kharim also revealed a lot about Bank Jago’s collaboration with the mutual fund marketplace Bibit which was announced today, Monday (5/7). In accordance with its vision by offering life centric financial services, it seeks to democratize investment services which have been identical only to the established class.
There are several advantages that users can enjoy through this collaboration. First, users can open a Jago account in the Bibit application. Users would not have to worry about which funds are the main source of mutual fund payments at Bibit. This means that users can use the Jago application as the main source of investment in Bibit.
Then, users can also set it as a recurring transaction where mutual fund purchases can be made directly from Jago’s account. Automatically, Bibit Pocket will appear in the Jago application. This also applies if GoPay becomes a source of funding, then GoPay Pocket appears in Jago.
“We are definitely at the latest stage of development. We are ready for production. When? Very very soon. Therefore, I am confident enough to say that after we go live with Bibit, the next one will be with Gojek. Gojek is a huge ecosystem. Along the way, we will explore new things,” he said.
Partnership opportunity with GoTo
Since the beginnig, Bank Jago has always emphasized its vision to connect financial and lifestyle solutions into one platform. Therefore, collaboration with the digital ecosystem is a key strategy to realize this.
With the increasingly fierce competition for digital banks today, he believes that the industry needs to realize that banking products are no longer a product of the future. What should be highlighted, he said, is where and what is the bank’s position in the digital ecosystem, both financial and lifestyle.
Kharim emphasized that Bank Jago is currently focusing on developing its strategic partnership this year. The company aims for synergies with large customer base partners, also to speed up the process of acquiring new users. In this case, he assesses that the mutual interest of both parties makes user acquisition costs more efficient because acquisitions occur through partners’ services/products.
“Currently, Gojek and Jago’s synergy is only one-way use case, where our functionality is only available in partner applications. The next step will be the other way around to put Gojek’s functionality in the Jago application. It will be similar to Bibit. One of the future use cases is that users do not need to leave the Jago application when they want to use Bibit. Vice versa,” Kharim said.
On the other hand, his team also positively welcomed the merger of Gojek and Tokopedia to become GoTo. He said, this action creates more opportunities to explore new collaborations/synergies. Kharim is yet to reveal a possible new use case with GoTo. However, he took this momentum as an opportunity to learn more as an organization.
“In early 2021, we all know that our main ecosystem that we are planning to work together is Gojek. We did not see GoTo in the picture. Now we should be ready for what’s coming because you really have to react quickly to this, therefore, we can focus on our main strategy. We have to see what collaboration opportunities can be accessed with Gojek. I think this is an exciting journey,” he said.
Collaboration challenges
In his collaboration journey with the ecosystem, Kharim also highlighted how a common vision and passion are crucial in building partnerships. With its position as a tech-based bank, it is also required to make decisions quickly but still refer to the existing regulatory framework.
He said, for example, the strategic partnership with Gojek and Bibit. It elaborates the concept of an embedded ecosystem where both parties must become seamless in the ecosystem. Kharim said, to build this seamless integration, it’s not possible to do it transactionally. This means that there must be alignment at all levels of the organization.
“If you talk with a different language, it will be difficult. The process is different, the way of working is different, OKR is also different. It clearly has to start from the top, starting from ownership, leadership, vision, and execution. Implementation challenges is definite, but an aligned vision will make it much easier. It has to be learning by doing process, how to make decisions quickly. To date, our partners have a good alignment with us.”
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
PT Bank Jago Tbk (IDX: ARTO) resmi meluncurkan aplikasi bankingJago pada awal April 2021. Tiga bulan pasca meluncur hingga saat ini, aplikasi Jago tercatat telah mengantongi rating 4.1 dengan total unduhan mencapai hampir setengah juta.
Aplikasi Jago menawarkan sejumlah fitur unggulan yang disebut dapat memberikan kebebasan pengguna dalam mengelola keuangan. Dengan proses e-KYC yang sepenuhnya digital, pengguna dapat melakukan budgeting keuangan lewat fitur Pocket (Kantong) yang dapat dipersonalisasi sesuai kebutuhan.
Selain fitur-fitur tersebut, salah satu yang cukup lama dinantikan adalah realisasi dari kemitraan sinergis antara Bank Jago dan Gojek. Publik menantikan bagaimana kedua belah pihak bersinergi dengan ekosistemnya satu sama lain.
Ketika Gojek diumumkan sebagai pemegang saham pada Desember 2020, layanan yang bakal menandai sinergi tahap awal keduanya adalah pembukaan rekening Bank Jago di aplikasi Gojek.
Kali ini, DailySocial berkesempatan mewawancarai Direktur Utama Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar dan secara eksklusif untuk mengetahui bagaimana gambaran besar sinergi Bank Jago dengan Gojek dan mitra-mitra di ekosistem digital lainnya di 2021.
Klaim respons positif
Meski tidak mengungkap angka statistik, Kharim mengaku mengantongi traksi dan feedback yang sehat dari peluncuran aplikasi Jago. Beberapa respons positif yang disoroti pengguna Bank Jago adalah kecepatan proses onboarding pada pembukaan rekening dan kehadiran fitur Pocket.
Bagi Kharim, respons positif ini ditanggapi sebagai sebuah tantangan tersendiri agar Bank Jago dapat melakukan adjustment secara cepat, terutama saat proses e-KYC. Di samping itu, ia menilai fitur Pocket menjadi salah satu milestone penting dalam menciptakan sesuatu yang baru, yakni transparansi berbagi uang.
“Bahkan kartu [debit] kami dapat terhubung ke Pocket manapun dan kapanpun sesuai keinginan pengguna. For me, it’s very cool karena pengguna bisa tahu persis penggunaan uang mereka, seperti tarik tunai atau belanja online. We put a lot of effort by design and architecture supaya bisa menghasilkan response time yang sangat baik. We are continuously upgrading the technology as we speak,”
Untuk saat ini, pihaknya mengaku tengah mengeksplorasi implementasi machine learning di dalam aplikasi Jago. Bentuk implementasi yang tengah dijajal misalnya melakukan kategorisasi transaksi untuk menghasilkan sebuah rekomendasi (suggestion) kepada pengguna.
Sinergi besar Jago
Dari sejumlah rencana di sepanjang 2021, Kharim cukup banyak menyoroti realisasi sinergi Bank Jago dengan Gojek. Gambaran besarnya, ekosistem Bank Jago dan Gojek ditargetkan dapat terhubung satu sama lain. Untuk tahap awal, keduanya akan masuk dulu lewat layanan pembukaan rekening.
Secara teknis, ungkap Kharim, akan ada link yang menghubungkan langsung Gojek dan Bank Jago untuk membuka rekening. Menurutnya, pembukaan rekening di aplikasi Gojek akan memiliki proses yang serupa dengan Bank Jago. Ini menjadi catatan penting karena berkaitan dengan regulatory.
“The minute you do the download or registration, semua proses itu ada di bank. You can seamlessly link Gojek sehingga aplikasi Jago bisa langsung menjadi sumber dana Gopay. The first aim of this adalah memastikan kemudahan sehingga pengguna tidak perlu terus-menerus top up Gopay. Saya pastikan fitur-fitur ini bisa dinikmati pengguna di tahun ini,” ungkapnya.
Selain Gojek, Kharim juga banyak mengungkap kolaborasi Bank Jago dengan marketplace reksa dana Bibit yang diumumkan hari ini, Senin (5/7). Sesuai dengan visinya menawarkan layanan keuangan yang berpusat pada life centric, pihaknya berupaya mendemokratisasi layanan investasi yang selama ini identik hanya untuk golongan mapan.
Ada beberapa keunggulan yang dapat dinikmati pengguna lewat kerja sama ini. Pertama, pengguna dapat membuka rekening Jago di aplikasi Bibit. Pengguna tidak perlu memikirkan dana yang menjadi sumber utama pembayaran reksa dana di Bibit. Artinya, pengguna dapat menjadikan aplikasi Jago sebagai sumber utama investasi di Bibit.
Kemudian, pengguna juga dapat mengaturnya sebagai recurring transaction di mana pembelian reksadana dapat dilakukan langsung dari rekening Jago. Secara otomatis, Bibit Pocket akan muncul di aplikasi Jago. Ini juga berlaku apabila GoPay menjadi sumber pendanaan, yaitu muncul GoPay Pocket di Jago.
“We are definitely already at the latest stage of development. Kami sudah siap production. Kapan? Very very soon. Makanya, saya sudah cukup confident bilang after we go live with Bibit, the next one will be with Gojek. Gojek is a huge ecosystem. Sambil jalan, kami akan eksplorasi hal baru,” ujarnya.
Peluang kemitraan dengan GoTo
Sejak awal, Bank Jago selalu menekankan visinya untuk menghubungkan solusi keuangan dan gaya hidup ke dalam satu platform. Maka itu, kolaborasi dengan ekosistem digital menjadi strategi kunci untuk merealisasikan hal tersebut.
Dengan semakin ketatnya persaingan bank digital saat ini, ia menilai industri perlu menyadari bahwa produk perbankan kini bukan lagi menjadi produk masa depan. Yang patut digarisbawahi, ungkapnya, adalah di mana dan apa saja posisi bank di dalam ekosistem digital, baik keuangan maupun gaya hidup.
Kharim menegaskan, saat ini Bank Jago fokus untuk mengembangkan kemitraan strategisnya dulu di tahun ini. Perusahaan membidik sinergi dengan partner yang memiliki customer base besar sehingga mempercepat proses akuisisi pengguna baru. Dalam hal ini, ia menilai mutual interest kedua belah pihak membuat biaya akuisisi pengguna menjadi lebih efisien karena akuisisi terjadi lewat layanan/produk milik partner.
“Saat ini, use case sinergi Gojek dan Jago baru satu arah, di mana our functionality baru tersedia di aplikasi mitra. Langkah selanjutnya adalah the other way around atau functionality Gojek ada di aplikasi Jago. Begitu juga dengan Bibit, misalnya. Salah satu use case ke depan adalah pengguna tidak perlu keluar dari aplikasi Jago ketika mau pakai Bibit. Begitu juga sebaliknya,” jelas Kharim.
Di sisi lain, pihaknya juga menyambut positif aksi merger Gojek dan Tokopedia menjadi GoTo. Menurutnya, aksi ini membuka lebih banyak peluang untuk mengeksplorasi kolaborasi/sinergi baru. Kharim belum dapat mengungkap kemungkinan use case baru dengan GoTo. Namun, ia mengambil momentum ini sebagai kesempatan untuk belajar lebih banyak sebagai organisasi.
“Di awal 2021, we all know that our main ecosystem that we are planning to work together is Gojek. We did not see GoTo in the picture. Now we should be ready for what’s coming because you really have to react dengan cepat terhadap hal ini sehingga kami bisa fokus dengan strategi utama kami. Kita harus melihat peluang kolaborasi apa saja yang bisa diakses dengan Gojek. I think this is an exciting journey,” katanya.
Tantangan kolaborasi
Dalam perjalanannya berkolaborasi dengan ekosistem, Kharim turut menyoroti bagaimana kesamaan visi dan passion menjadi hal krusial dalam membangun kemitraan. Dengan posisinya sebagai tech-based bank, pihaknya juga dituntut untuk membuat keputusan dengan cepat, tetapi tetap mengacu pada regulatory framework yang ada.
Ia mengambil contoh, kemitraan strategis dengan Gojek dan Bibit. Pihaknya menggunakan konsep embedded ecosystem di mana kedua belah pihak harus menjadi seamless partner di ekosistem tersebut. Menurut Kharim, untuk membangun integrasi seamless ini tidak dapat dilakukan secara transaksional. Artinya, harus ada alignment hingga di seluruh level organisasi.
“If you talk with a different language, itu akan sulit. Proses berbeda, way of working berbeda, OKR juga berbeda. It clearly has to start from the top, mulai dari ownership, leadership, visi, dan eksekusi. Tantangan implementasi pasti ada, tetapi kesamaan visi akan jauh lebih memudahkan. Ini harus learn by doing, bagaimana membuat keputusan dengan cepat. Sejauh ini, partner-partner kami memiliki alignment yang bagus dengan kami.”
After almost a year of transition, PT Bank Jago Tbk (ARTO) officially introduced the Jago app to the public. This platform provides digital financial services that focus on life-centricity with a collaborative ecosystem approach.
“In order to present innovative and collaborative solutions, we work closely with the ecosystem. We expect this application can provide financial access to the wider community and accelerate financial inclusion. There are many segments we still want to reach in Indonesia,” Bank Jago’s President Director, Kharim Indra Gupta Siregar said at the launching of Jago app in Jakarta.
Currently, Jago app only provides several financial services, such as transfers, bill payments, and e-wallet top ups. Going forward, the company will add more services to target the digital savvy and mass market segments in the middle class, both individuals and entrepreneurs.
This is one of the initiatives of its strategic partnership with Gojek, which is a service that allows millions of customers to open Jago Bank accounts directly through the ride-hailing platform. “Regarding [the partnership with Gojek], our team is still working on the integration process,” Kharim added.
Review of Jago app
Bank Jago claims to be a fully tech-based digital bank. Kharim also emphasized that Bank Jago’s technology and innovation were entirely developed by an internal team. Therefore, DailySocial has the opportunity to try out some of the innovative features of the Jago app.
For first impression, the onboarding process to create an account is very fast, e-KYC only take less than 30 seconds via video call. We then tried the “Pockets” feature which allows customers to simply allocate money for different purposes. As seen in the image below, the Pocket feature can be personalized, including name, color, and profile photo.
The bag (Kantong) has two categories, “Savings” and “Spendings”. Users can add saving bags (Kantong Nabung) with various transfer methods, including digital banking (TMRW, Digibank, Jenius), mobile banking (BCA, Mandiri, CIMB, BRI), SMS banking, internet banking (BCA, Mandiri, BNI, CIMB), ATM (BCA, Mandiri, BNI, BRI, Permata, CIMB), and Jago Branch.
However, the thing is that the money stored in Kantong Nabung cannot be transferred to external account thereby reducing the potential for unnecessary expenses. For transfers, users must move money to the Pay Bag (Kangtong Bayar). If it’s changed, users can make transactions and the interest will be charged to 0.5% p.a. While changing to Kantong Nabung will activate an interest of 3.5% p.a.
In fact, users can invite other account holders (collaborators) to save together. User can authorize a collaborator to “see” or “use” the money in the bag. There is a daily limit that can be set.
Kharim said, the collaborative financial management feature is not yet owned by banks in Indonesia. This feature was developed by research conducted by the company. He said, there are still many use case in financial service to be explored in the future.
In addition, he said that this feature has gone through a risk management process considering that the use case is still relatively new and has the potential to be called a term savings if it is stored for a long time. “This is one of the challenges for the treasury team at Bank Jago. In this case, we simulate what market this fund will be rotated, therefore, we have made adjustments in providing services,” he said.
Meanwhile, Bank Jago’s Digital Banking Director, Peter van Nieuwenhuizen added that collaborative features are very possible to be implemented into financial services. This is because people in Southeast Asia are familiar with collaboration culture, especially Indonesia, which is known to be active in socializing.
“The new [features] we are developing are new models for banking, therefore, it will take 1-2 years to see how do you do with ‘Pockets’ or how to figure out what works best,” Peter said.
Another leading feature by Jago Bank is the payment of invoices with a variable value, post-paid for example. Through this feature, users can automatically make payments or via a reminder to confirm the value of not fixed bills.
Flashback through Bank Jago
Bank Jago officially shifted from Bank Artos in June 2020. This identity change was an effort to transform Bank Jago into a post-acquisition digital bank by a group of investors led by Jerry Ng through PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) and Patrick Waluyo through Wealth Track Technology Limited (WTT).
Gojek Group, through its subsidiary, GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa), is also a 22% shareholder. Then, in early March, the Singapore government-owned investment institution, the Government of Singapore Investment Corporation Private Limited (GIC), also acquired Bank Jago shares.
In conclusion, Bank Jago’s shareholder consists of PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (29.81%), Wealth Track Technology Limited (11.69%), PT Dompet Karya Anak Bangsa (21.40%), GIC Private Limited (9, 12%), and the public (27.99%).
Previously, senior banker and founder of Bank Jago Jerry Ng said that this collaboration could be a key strategy to accelerate the growth of the digital bank business. He gave an example, digital banks in China and South Korea are oriented towards ecosystem collaboratio, therefore, they can pursue growth through products with a wider spectrum.
This also answers various strategic partnership actions from various verticals by Bank Jago since 2020. This inorganic strategy can accelerate growth. Currently, Gojek is a sole strategic partner. This means that this partnership includes opening a direct account (onboarding) through the Gojek application, without the need for the Jago Bank application.
Ecosystem
Vertical
Partnership
Gojek Group
Ride-hailing
Strategic partnership, shareholder
Akulaku
Lending
Loan channeling scheme (Rp100 billion)
Akseleran
Lending
Loan channeling scheme (Rp50 billion)
Kredit Pintar
Lending
unknown
Logisly
E-logistic
unknown
“We have to create a unique value proposition. What we do is combine the two because we both have advantages. Bank is no longer the center of ecosystem, but part of the ecosystem. If we put ourselves in the right position, we will have a strategic role because whatever consumers do, in the end is payment,” Jerry said.
Other digital banks
The competitive map for digital banks in Indonesia will be even stronger this year. After Bank Neo Commerce and Bank Jago officially introduced application-based digital services, several other banks are anticipating their realization to become digital banks. On our records, there are several names, from Bank Digital BCA, SeaBank, and KB Bukopin.
Bank Agro, which is currently applying for a digital bank license to OJK, has recently appointed Kaspar Situmorang as the President Director through the Annual General Meeting of Shareholders (Annual GMS). Kaspar was previously the Executive Vice President of the Digital Center of Excellence, one of the digital transformation divisions in BRI’s holding company.
BRI’s Director of Digital, Information Technology and Operations Indra Utoyo said to DailySocial last year that BRI Agro has a great opportunity to be converted into a digital bank because it has launched the digital lending platform Pinang (Pinjam Tenang) which is the initial test case to the market.
Meanwhile, SeaBank, which is the new identity of Economic Welfare Bank (BKE), is reportedly exploring the potential to acquire another bank to strengthen its capital structure. That way, SeaBank can get a digital bank license. SeaBank is recorded as a Commercial Bank for Business Activities (BUKU) II with a core capital of IDR 1.3 trillion as of September 2020 and total assets of IDR 3.6 trillion as of December 2020.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Setelah hampir satu tahun berganti identitas, PT Bank Jago Tbk (ARTO) akhirnya resmi memperkenalkan aplikasi Jago (Jago app) ke publik. Aplikasi ini menyediakan layanan keuangan digital yang berfokus pada kehidupan (life-centricity) dengan pendekatan pada kolaborasi ekosistem.
“Untuk menghadirkan solusi inovatif dan kolaboratif, kami bekerja sama erat dengan ekosistem. Kami harap aplikasi ini dapat memberikan akses finansial ke masyarakat lebih luas dan mempercepat inklusi keuangan. Masih banyak segmen yang ingin kami jangkau di Indonesia,” ujar Presiden Direktur Bank Jago Kharim Indra Gupta Siregar ditemui di acara peluncuran aplikasi Jago di Jakarta.
Saat ini, aplikasi Jago baru menyediakan beberapa layanan keuangan, seperti transfer, pembayaran tagihan, dan top upe-wallet. Ke depannya, perusahaan akan menambah lebih banyak layanan untuk membidik segmen digital savvy dan mass market di kelas menengah, baik individual maupun wirausaha.
Termasuk salah satu inisiatif dari kemitraan strategisnya dengan Gojek, yaitu layanan yang memungkinkan jutaan pelanggan membuka rekening Bank Jago langsung melalui platform ride-hailing tersebut. “Terkait [kemitraan dengan Gojek], tim kami masih menggodok proses integrasinya,” tambah Kharim.
Menjajal aplikasi Jago
Bank Jago mengklaim sebagai bank digital yang sepenuhnya berbasis teknologi (tech-based bank). Kharim juga menegaskan bahwa teknologi dan inovasi Bank Jago juga seluruhnya dikembangkan oleh tim internal. Maka itu, DailySocial berkesempatan untuk menjajal beberapa fitur inovatif dari aplikasi Jago.
Kesan pertama, proses onboarding pembuatan rekening sangat cepat, pemeriksaan e-KYC hanya berlangsung tak sampai 30 detik via video call. Kami kemudian mencoba fitur “Pockets” atau “Kantong” yang memungkinkan nasabah mengalokasikan uang dengan tujuan berbeda secara sederhana. Sebagaimana terlihat dalam gambar di bawah ini, fitur Kantong dapat dipersonalisasi, baik nama, warna, dan foto profilnya.
Kantong memiliki dua kategori, yaitu “Savings/Nabung” dan “Spendings/Bayar”. Pengguna bisa menambah Kantong Nabung dengan berbagai metode transfer, antara lain digital banking (TMRW, Digibank, Jenius), mobile banking (BCA, Mandiri, CIMB, BRI), SMS banking, internet banking (BCA, Mandiri, BNI, CIMB), ATM (BCA, Mandiri, BNI, BRI, Permata, CIMB), dan Jago Branch.
Namun, perlu dicatat bahwa uang yang disimpan di Kantong Nabung tidak dapat ditransfer ke rekening luar sehingga mengurangi potensi pengeluaran yang tidak perlu. Untuk transfer, pengguna harus memindahkan uang ke Kantong Bayar. Jika diubah ke Kantong Bayar, pengguna dapat bertransaksi dan bunga dikenakan menjadi 0,5% p.a. Sementara mengubah menjadi Kantong Nabung akan mengaktifkan bunga 3,5% p.a.
Menariknya, pengguna dapat mengundang pengguna pemilik rekening lain (collaborator) untuk berkolaborasi untuk menabung. Pengguna dapat memberi kuasa collaborator untuk “melihat” atau “memakai” uang di kantong tersebut. Ada limit harian yang bisa ditetapkan.
Menurut Kharim, fitur pengelolaan keuangan secara kolaboratif belum dimiliki bank-bank di Indonesia. Fitur ini pun dikembangkan riset yang dilakukan perusahaan. Menurutnya, masih banyak use case layanan keuangan yang dapat dieksplorasi di masa depan.
Selain itu, ia mengatakan bahwa fitur ini telah melalui proses risk management mengingat use case-nya masih terbilang baru dan berpotensi disebut tabungan berjangka apabila disimpan dalam waktu lama. “Ini salah satu tantangan bagi tim treasury di Bank Jago. Dalam hal ini, kami buat simulasi dana ini diputar ke pasar apa, jadi kami sudah buat penyesuaian dalam memberikan layanan,” ujarnya.
Sementara, Direktur Digital Banking Bank Jago Peter van Nieuwenhuizen menambahkan bahwa fitur-fitur yang bersifat kolaboratif sangat memungkinkan diimplementasi ke dalam layanan keuangan. Pasalnya, masyarakat di Asia Tenggara kental dengan budaya kolaborasi, terlebih Indonesia yang dikenal aktif dalam bersosialisasi.
“[Fitur-fitur] baru yang kami kembangkan merupakan model baru untuk perbankan sehingga butuh 1-2 tahun untuk melihat how do you do with ‘Pockets’ or how to figure out what works best,” ungkap Peter.
Fitur menarik lain yang diperkenalkan Bank Jago adalah pembayaran tagihan dengan nilai yang tidak tetap, misal pasca-bayar. Lewat fitur ini, pengguna bisa melakukan pembayaran secara otomatis atau melalui reminder untuk mengonfirmasi nilai tagihan yang tidak tetap.
Kilas balik perjalanan Bank Jago
Bank Jago resmi berganti nama dari Bank Artos pada Juni 2020. Pergantian identitas tersebut merupakan upaya transformasi besar-besaran Bank Jago menjadi bank digital pasca-akuisisi oleh grup investor yang dipimpin oleh Jerry Ng lewat PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (MEI) dan Patrick Waluyo melalui Wealth Track Technology Limited (WTT).
Gojek Group, melalui anak usahanya GoPay (PT Dompet Anak Karya Bangsa), juga masuk sebagai pemegang saham sebesar 22%. Kemudian, awal Maret lalu, lembaga investasi milik pemerintah Singapura, Government of Singapore Investment Corporation Private Limited (GIC) juga mencaplok saham Bank Jago.
Dengan demikian, komposisi pemegang saham Bank Jago terdiri dari PT Metamorfosis Ekosistem Indonesia (29,81%), Wealth Track Technology Limited (11,69%), PT Dompet Karya Anak Bangsa (21,40%), GIC Private Limited (9,12%), dan publik (27,99%).
Sebelumnya, bankir senior sekaligus pendiri Bank Jago Jerry Ng mengatakan bahwa kolaborasi tersebut dapat menjadi strategi kunci untuk mengakselerasi pertumbuhan bisnis bank digital. Ia mencontohkan, bank digital di Tiongkok dan Korea Selatan berkiblat pada kolaborasi ekosistem sehingga dapat mengejar pertumbuhan melalui produk dengan spektrum yang lebih luas.
Ini turut menjawab berbagai aksi kemitraan strategis dari berbagai vertikal yang dilakukan Bank Jago sejak 2020. Strategi anorganik ini dapat mempercepat pertumbuhan. Saat ini baru Gojek yang menjadi mitra strategis. Artinya, kemitraan ini termasuk membuka rekening (onboarding) di aplikasi Gojek langsung, tanpa perlu di aplikasi Bank Jago.
Ecosystem
Vertical
Partnership
Gojek Group
Ride-hailing
Strategic partnership, shareholder
Akulaku
Lending
Loan channeling scheme (Rp100 billion)
Akseleran
Lending
Loan channeling scheme (Rp50 billion)
Kredit Pintar
Lending
unknown
Logisly
E-logistic
unknown
“We have to create unique value proposition. Yang kami lakukan adalah mengombinasikan keduanya karena sama-sama punya keunggulan. Bank is no longer the centre of ecosystem, tetapi bagian dari ekosistem. Jika menempatkan diri dengan tepat, kita akan punya peranan strategis karena apapun yang dilakukan konsumen, ujung-ujungnya adalah pembayaran,” ungkap Jerry.
Bank digital lainnya
Peta persaingan bank digital di Indonesia bakal semakin kuat di tahun ini. Setelah Bank Neo Commerce dan Bank Jago resmi memperkenalkan layanan digital berbasis aplikasi, beberapa bank lain tengah mengantisipasi realisasinya menjadi bank digital. Di catatan kami, masih ada sejumlah nama, mulai dari Bank Digital BCA, SeaBank, dan KB Bukopin.
Bank Agro yang sedang mengajukan izin menjadi bank digital ke OJK, juga baru saja menunjuk Kaspar Situmorang sebagai Direktur Utama melalui Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPS Tahunan). Kaspar sebelumnya merupakan Executive Vice President Digital Center of Excellence, salah satu divisi transformasi digital di induk usaha BRI.
Kepada DailySocial tahun lalu, Direktur Digital, Teknologi Informasi, dan Operasi BRI Indra Utoyo mengatakan, BRI Agro berpeluang besar dikonversi menjadi bank digital karena telah meluncurkan platform digital lending Pinang (Pinjam Tenang) yang menjadi test case awal ke pasar.
Sementara itu, SeaBank yang telah berganti identitas dari Bank Kesejahteraan Ekonomi (BKE), dikabarkan tengah menjajaki potensi akuisisi bank lain untuk memperkuat struktur modalnya. Dengan begitu, SeaBank bisa mengantongi izin bank digital. SeaBank tercatat masih merupakan Bank Umum Kegiatan Usaha (BUKU) II dengan modal inti Rp 1,3 triliun per September 2020 dan total aset per Desember 2020 sebesar Rp 3,6 triliun.