Tag Archives: Kibumi

Dua Startup “Impact” Asal Indonesia Terima Dana Hibah dari The Incubation Network

Dua startup asal Indonesia, Bank Sampah Bersinar dan Kibumi, terpilih mengikuti program “Plastic Waste to Value Southeast Asia Challenge” yang diselenggarakan oleh The Incubation Network. Keduanya termasuk dalam lima peserta terpilih mengikuti program yang bertujuan untuk mendorong kegiatan daur ulang dan upcycling sampah plastik.

Program ini merupakan hasil kerja sama The Incubation Network, Global Plastic Action Partnership, Uplink by the World Economic Forum, dan Alliance to End Plastic Waste yang akan memberikan dana hibah sebesar $72.000 atau sekitar Rp1 miliar bagi inovator terpilih. Adapun, dana hibah tersebut berasal dari Alliance to End Plastic Waste, dan didukung oleh SecondMuse, The Circulate Initiative, Global Affairs Canada, serta DEFRA.

Nicholas Kolesch mewakili Alliance to End Plastic Waste mengungkapkan bahwa sejak awal perusahaan telah terlibat serta terhubung dengan banyak pengusaha yang merintis inovasi dan model bisnis baru untuk meningkatkan pengelolaan dan sirkularitas sampah plastik. “Kami berusaha mendukung startup agar dapat menunjukkan solusi model bisnis yang layak secara teknis, ekonomi, serta memposisikannya untuk investasi, penskalaan, dan replikasi,” jelasnya.

Selanjutnya, dana hibah yang telah disalurkan rencananya akan digunakan untuk mendorong kapasitas operasional bisnis dan meningkatkan fasilitas kerja. Kesempatan ini memungkinkan setiap inovator untuk mengelola, memproses, dan mendaur ulang sampah plastik dalam jumlah yang lebih besar.

Selama lima bulan program ini berjalan, kelima inovator diberi akses ke  berbagai sumber daya dan dukungan, termasuk lokakarya, penyesuaian mentor, serta peluang memperluas jejaring. Terdapat sembilan pakar yang datang dari kalangan pemimpin bisnis, ahli keuangan, pakar pemasaran dan hubungan masyarakat, dan spesialis investasi bertindak sebagai mentor.

Selain itu, para inovator juga dibekali dengan persiapan dalam pengembangan bisnis melalui lokakarya yang berfokus pada pengelolaan dan daur ulang sampah, pemasaran, dan lainnya. Wawasan dan arahan yang diperoleh dari kegiatan ini diharapkan dapat menyempurnakan strategi pemasaran mereka untuk melayani pasar yang lebih luas.

CEO Bank Sampah Bersinar Fei Febri mengungkap, “berkat hibah yang kami terima dari program ini, kami dapat berinvestasi dalam truk pick-up sampah baru. Peluang ini juga memungkinkan kami untuk mengumpulkan lebih banyak sampah dari bank sampah unit binaan kami.”

Didirikan pada 2019, The Incubation Network merupakan kemitraan antara organisasi nirlaba, The Circulate Initiative dan perusahaan inovasi dan dampak, SecondMuse. “Dalam waktu tiga tahun, perusahaan telah memberikan bantuan peningkatan bisnis kepada 358 startup, setara dengan mencegah hampir 148 ribu metrik ton pencemaran sampah plastik ke lingkungan,” ungkap Global Head of Circularity SecondMuse Simon Baldwin.

Kinerja pengelolaan sampah di Indonesia

Berdasarkan data UNEP (2017), Indonesia diketahui menjadi negara penghasil sampah terbesar di Asia Tenggara dengan angka 64 juta ton per tahunnya. Dengan populasi penduduk tertinggi ke-4 di dunia dan rendahnya kesadaran masyarakat, mendukung budaya daur ulang sampah menjadi tantangan besar yang harus dihadapi bangsa ini.

Mengutip Data Indonesia, kinerja pengelolaan sampah Indonesia disebut semakin membaik pada 2022. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan, skor Indeks Kinerja Pengelolaan Sampah (IKPS) di Indonesia sebesar 50,25 poin pada 2022. Nilai tersebut mengalami kenaikan 0,38% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebesar 50,06 poin.

 

Sumber: Data Indonesia

Capaian ini tidak dapat dipisahkan dari fakta bahwa semakin banyak startup ataupun layanan pengelolaan sampah di Indonesia. Di Indonesia sendiri, selain kedua penerima dana hibah di atas, startup yang menawarkan layanan manajemen sampah termasuk OctopusDuitin, dan Rekosistem.

Ikhtiar Kibumi Jembatani Pemulung dan Industri Daur Ulang Sembari Perangi Sampah

Sudah jadi fakta umum bahwa Indonesia masuk dalam kondisi gawat darurat sampah. Merajuk dari data Bappenas, Indonesia menghasilkan 6,8 juta ton limbah plastik setiap tahunnya. Jumlah ini diperkirakan akan berlipat ganda menjadi 13,6 juta ton pada 2040.

Masalah ini semakin genting karena hanya sekitar 30% dari sampah plastik di Indonesia yang terkelola. Sementara, sisanya akan mencemari laut, dibakar, atau dibuang sembarangan sehingga memberikan ancaman bagi lingkungan dan biodiversitas. Kondisi tersebut diperparah dengan fakta bahwa industri daur ulang di Indonesia itu kesulitan dengan rendahnya pasokan daur ulang di lapangan. Ironisnya, mereka harus mengimpor dari luar negeri.

“Industri ini masih sangat bergantung pada rantai nilai tradisional, di mana 80% barang daur ulang dikumpulkan dari sana. Di Indonesia sendiri, industri daur ulang mengimpor 800.000 ton barang daur ulang setiap tahunnya untuk mengisi kekosongan pasokan,” terang Founder dan CEO Kibumi Hadiyan Fariz Azhar saat dihubungi DailySocial.id, Kamis (15/12).

Isu mengenai sampah lah yang akhirnya menjadi cikal bakal lahirnya Kibumi pada 2019. Fariz panggilan akrab dari Hadiyan, melihat bahwa sampah di Indonesia itu sangat tidak terkelola. Akan tetapi, ada industri daur ulang yang sangat bergantung dengan kehadiran sampah-sampah tersebut.

Masalah lain muncul, ternyata selama ini industri daur ulang tidak bisa menjangkau lokasi TPA (tempat pembuangan akhir) atau sejenisnya. Selain tidak punya akses, kebanyakan sampah yang sudah masuk ke sana sudah tertumpuk dan kualitasnya terus menurun karena sudah tercampur dengan sampah jenis lainnya dalam jangka waktu yang lama.

“Kita lihat dari sisi ekonomi sirkular, ada rantai yang terputus karena sumber sampah, yakni rumah tangga, pabrik, dan perkantoran, tidak tersambung dengan industri daur ulang. Sisi inilah yang tadinya kami pikir harus diisi,” tuturnya.

Para pendiri Kibumi terdiri dari empat orang. Selain Faiz, ada Andi Manggala Putra (CFO), Wahyudin Gorang (COO), dan Christine Halim (Komisaris). Masing-masing latar belakang dari para pendiri saling mendukung dalam pendirian Kibumi. Pertemuan mereka bertiga dengan Christine, yang bergabung sebagai ADUPI (Asosiasi Daur Ulang Plastik Indonesia) memperkuat fundamental manajemen di Kibumi.

Kibumi itu sendiri artinya Kita Bumi. Faiz ingin mengajak masyarakat untuk kembali merawat bumi yang sama saja dengan merawat diri sendiri.

Model bisnis Kibumi

Model bisnis awal dari Kibumi mirip dengan apa yang sedang dijalankan oleh Octopus, Duitin, dan Rekosistem, yakni mengambil sampah dari rumah tangga dengan membayar iuran bulanan mulai dari Rp50 ribu sampai Rp100 ribu. Ada sejumlah benefit yang diterima konsumen apabila mereka mampu memilah sampahnya dengan baik. Salah satunya iuran gratis atau mendapat uang ekstra dari Kibumi.

“Seiring berjalannya waktu kita lihat cost dari model bisnis ini karena ke B2C cukup tinggi, harus ada edukasinya. Lalu kita belajar, setelah dapat knowledge dan hitung secara bisnis agar sustain, ternyata value chain dari sumber sampah ke industri itu sudah diisi oleh pemulung, junkshop. Pengumpulan sampah itu 80% dilakukan oleh mereka,” kata Fariz.

Kibumi pun akhirnya pivot tepat di akhir 2020, setelah memerhatikan sisi keberlanjutan perusahaan ke depannya. Kini Kibumi memosisikan diri sebagai agregator supply chain. Perusahaan mengoptimasi proses pengumpulan sampah dari pemulung di berbagai lokasi, lalu hasilnya dijual kembali ke perusahaan daur ulang.

Perusahaan menyediakan infrastruktur sumber daur ulang end-to-end dengan teknologi melalui cara berkelanjutan untuk para pemulung agar mereka dapat bekerja lebih efisien. Misalnya, dengan bantuan Kibumi, mereka bisa memilah lebih banyak plastik botol lebih cepat dengan mesin. Lalu untuk pengemasannya sebelum diterima oleh perusahaan daur ulang, per botolnya ditekan jadi lebih kecil sehingga mencapai kapasitas maksimal untuk satu truknya.

Dampak nyata yaterasa bagi para pemulung adalah mereka mendapat peningkatan nilai sampah dari mitra pemulung dan lapak, hasil dari efisiensi biaya, dan peningkatan kapasitas setelah bergabung dengan Kibumi. Kisarannya mencapai Rp800-Rp900 per kilogram. Diharapkan ada efek domino yang bisa dirasakan, mengingat ini berakitan erat dengan perbaikan taraf hidup mereka.

“Pada akhirnya misi awal kita bisa tercapai karena kapasitas para teman-teman infomal ini bisa meningkat. Lalu dari sisi efisiensi juga tercapai, dari dampak sosial juga jauh lebih baik karena sektor informal ini berada di bawah garis kemiskinan. Ada banyak isu di sana. Kita merasa kalau kita bisa bantu improve kapasitas mereka, masalah bisa terurai satu per satu,” ujarnya.

Sumber: Kibumi

Dari sisi infrastruktur, tak hanya bangun hub di tiap provinsi, perusahaan juga memanfaatkan perangkat lunak dan keras untuk bantu meningkatkan efisiensi. Dari sisi perangkat keras tersedia conveyor belt dengan mesin yang sudah ditingkatkan fiturnya agar hasil kerjanya lebih berkualitas.

Lalu, mengembangkan IoT yang dipasangkan di mesin Kibumi untuk mempermudah proses kerja sehingga tidak memerlukan banyak orang, dan bekerja sama dengan Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) mengembangkan alat pemilah sampah botol berdasarkan warna. Keduanya diharapkan bisa segera teralisasi agar proses kerja jauh lebih efisien.

Sumber: Kibumi

Teknologi digital dimanfaatkan untuk membangun kemampuan ketertelusuran data dari hulu ke hilir. Misalnya, aplikasi untuk rumah tangga, ESG dasbor untuk menampilkan seluruh material flow, dan ERP platform untuk mendigitalkan, mengotomasi, dan menghubungkan proses di junkshop.

Galang pendanaan

Sebagai bagian dari startup impact, perusahaan mengukur dampak yang diciptakan dengan indikator peningkatan nilai plastik dan pengurangan jejak emisi karbon. Untuk mengukur nilai plastik, pihaknya menghitung dari ongkos-ongkos yang berhasil dikurangi, termasuk logistik, setelah dibangun hub. Dari situ akan terlihat bagaimana produktivitas yang berhasil diciptakan oleh para pemulung yang diukur dengan nominal mata uang.

Kemudian, emisi karbon dapat dihitung per botol. Botol berukuran 600 ml itu biasanya punya emisi karbon 20 gram. Dari situ bisa dihitung total botol yang dikirim ke perusahaan daur ulang. Sebagai catatan, pemantaan plastik daur ulang itu 30% lebih rendah jejak emisi karbonnya daripada plastik virgin.

Plastik virgin adalah resin plastik yang diproduksi menggunakan gas alam, minyak bumi, dan minyak mentah. Bahan-bahan yang digunakan untuk memproduksi jenis plastik ini belum pernah diproses sebelumnya. Jadi, plastik virgin merupakan plastik baru tanpa bahan daur ulang.

Sejauh ini, perusahaan berhasil mencegah 72 juta sampah botol masuk ke lautan, mendaur ulang 12 juta botol baru per bulan, dan menciptakan kenaikan nilai plastik hingga 10%.

Sumber: Kibumi

Kinerja perusahaan diklaim terus menunjukkan progres yang menjanjikan. Dalam dua tahun, pendapatan Kibumi tumbuh tiga kali lipat secara year-on-year dan sudah cetak untung. Perusahaan telah memroses 4.200 ton sampah botol, membangun empat hub, dan bekerja sama dengan 210 junkshop (dengan 2.500 pemulung) yang berlokasi di Jawa, Sumatera, dan Bali.

“Tujuan kami pivot as a business agar sustain. Saat ini kita masih bootstrap tapi sudah self-sustaining. Profit yang kita dapat kita putar untuk acquire partner junkshop dan kami jual lagi ke pabrik daur ulang. Kami dapat harga jual yang bagus dari mereka dan ada kontrak jangka panjang.”

Saat ini perusahaan sedang menggalang pendanaan tahap awal dengan nilai target $5 juta. Rencananya dana tersebut akan digunakan untuk perbesar jaringan kemitraan Kibumi dengan junkshop dari 250 menjadi 3.000 junkshop dan perbanyak hub menjadi 12 hub. Kemudian, menambah jenis sampah baru untuk didaur ulang selain sampah botol, seperti kertas dan kardus.

“Kami kejar nilai penjualan dari $1,5 juta jadi $13,5 juta. Sudah ada masterplan yang cukup detail, daerah mana saja, karena sejak dua tahun ini Kibumi mampu perkuat operasional dan efisiensi di lapangan. Bisnis ini terbilang sulit karena banyak detail-detail yang sangat penting, harus akurat agar layanannya bisa sempurna dan tetap efisien. Tanpa itu pasti akan susah.”