Tag Archives: kisah sukses UMKM

Kisah TanganDia yang Tumbuh Bersama Digitalisasi, Diayani: Pandemi Bukan Hambatan

Usaha dengan skala mikro atau kecil bukanlah sebuah hambatan untuk terus bertumbuh. Terlebih lagi di era digital seperti saat ini yang membuat berbagai hal lebih mudah untuk dilakukan, meski ketika situasi mencoba menghambatnya melalui pandemi. TanganDia membuktikannya dengan menjadi Best of The Best UMKM dalam event Telkomsel Digital Creative Entrepreneurs 2021.

Selain penolong saat pandemi, internet ternyata juga telah berperan besar dari awal perjalanan TanganDia. Bagaimana kisah lengkapnya? Simak cerita dari Diayani Sukardi, owner TanganDia, tentang kisah suksesnya bersama digitalisasi.

Berani Tampil Beda dengan Boneka Rajutan Tangan

TanganDia adalah sebuah usaha yang menjual hasil kreasi rajutan. Dinamakan TanganDia karena semua produk dihasilkan dengan tangan atau handmade. Kemudian, Dia sendiri diambil dari nama owner TanganDia.

“TanganDia itu memproduksi sebuah kreasi tangan berupa rajutan. Nah, nama TanganDia itu berasal dari nama saya, Dia, dan karena memang semua produk yang saya buat itu tidak ada yang menggunakan mesin, semuanya asli dari tangan,” kata Dia.

Seperti kebanyakan usaha kerajinan lainnya, TanganDia juga berawal dari hobi Dia dalam merajut. Namun, alih-alih membuat produk fashion seperti banyak pengrajin lainnya, Dia memilih untuk fokus pada pembuatan boneka rajutan tangan.

Sumber: Instagram @tangandia

“Awalnya itu hanya sekedar hobi saya yaitu merajut. Namun yang saya lihat di sini orang lain merajut hanya dalam bentuk baju kebanyakan, belum ada yang dalam bentuk boneka.  Jadi saya berfikir jika saya merajut dalam bentuk boneka akan ada peluang disitu.”

Dari situlah tekad Dia dimulai. Tekad tersebut juga menyemangatinya untuk belajar secara otodidak dan berkreasi dalam membuat pola boneka.

Memulai dari Platform Online dan Titip Jual

Meski tampil berbeda, namun ternyata tidak mudah bagi Dia dalam memasarkannya. Dia pun memanfaatkan media sosial, seperti Instagram. Kemudian, atas semangat dan dukungan yang diberikan teman-temannya, Dia juga menitipkan beberapa produk kreasinya di berbagai tempat, seperti kafe, dengan harapan meningkatkan awareness orang-orang terkait produknya.

Sumber: Instagram @tangandia

“Jadi, selama ini masih (jualan) sebatas online melalui media sosial seperti Instagram dan lain-lain. Saya belum memiliki toko sendiri. Namun, saya suka titipkan barang dagangan saya ini ke teman-teman yang bekerja di hotel atau kafe. Setidaknya sebagai contoh barang rajutan hasil saya. Alhamdulillah dari situ banyak orang yang meihat dan akhirnya tertarik untuk memesan,” ujar Dia.

Meski niat awal Dia hanya ingin menumbuhkan awareness pengunjung hotel atau kafe tempat ia menitipkan produknya, tapi hasilnya ternyata melebihi dugaan. Bahkan, ia juga berhasil menjual produknya ke Jerman melalui sistem titip jual tersebut.

“Kalo itu saya sudah pernah menjual ke Jerman, itu awalnya juga yang saya bilang dititipkan ke teman. Ternyata di Jerman banyak orang yang suka dan memesan ke saya.”

Tawar Menawar Jadi Tantangan yang Sering Dihadapi

Ketika menjual barang handmade yang pembuatannya membutuhkan waktu dan perhatian ke banyak detail, harga adalah satu hal yang seringkali menjadi kendala dalam proses penjualan. Hal ini juga dirasakan oleh TanganDia. Ia mengaku proses tawar menawar merupakan kendala yang paling sering ia temui selama menjalankan TanganDia. 

Namun, meski begitu, TanganDia tidak ingin kendala tersebut berubah menjadi hambatan TanganDia. Ia pun mengatasinya dengan menyesuaikan produk sesuai budget pelanggan.

Sumber: Instagram @tangandia

“Kesuliatnnya itu jika ada orang yang menawar, karena ini kan hasil karya tangan sendiri ya. Akhirnya saya mengatasi kesulitan tersebut dengan menanyakan terlebih dahulu budget dari orang yang memesan itu supaya saya bisa menyesuaikan barang yang harus saya buat.”

Berinovasi dan Raih Keuntungan di Tengah Pandemi

Banyak usaha terdampak akibat adanya pandemi Covid-19 dari berbagai sisi, seperti dari sisi produksi maupun penjualan. Namun, hal ini ternyata tidak berlaku bagi TanganDia. Dia mengaku bahwa pandemi tidak menghambat TanganDia, melainkan menjadi momen TanganDia untuk berinovasi.

Saat berselancar di internet kala itu, Dia menemukan sebuah ide yang juga merupakan inovasi baru untuk TanganDia, yaitu membuat strap masker rajutan tangan.

“Sebetulnya kalau dibilang pandemi menghambat “TanganDia” tidak juga ya. Karena pandemi saya jadi mendapatkan inovasi baru dengan membuat strap masker namun dari rajutan tangan. Jadi alhamdulillah cukup meningkat omset penjualan dari strap masker, karena dalam sehari bisa menjual seratus strap masker,” jelas Dia.

Alih-alih terpuruk, ide tersebut membuat TanganDia meraih banyak keuntungan selama pandemi. Karena untuk memproduksinya tidak membutuhkan banyak bahan namun bisa terjual dalam jumlah banyak.

Untuk menjualnya, Dia juga masih memanfaatkan platform digital, seperti marketplace, dan menitipkannya kepada teman.

Konsisten Pada Niat Awal Menjadi Sumber Semangat

Rasa lelah dan ingin menyerah bisa mendatangi siapa saja, termasuk Dia. Meski tidak terlihat dari luar, tapi nyatanya Dia pernah merasakan momen ingin menyerah. Namun, Dia kini memiliki resep untuk mengatasi rasa lelah tersebut, yakni selalu ingat dan konsisten pada niat awal.

“Konsisten. Karena saya sudah sempat mau menyerah karena capek bikinnya lama, namun karena niat dari awal jadi saya berfikir sayang kalau saya harus berhenti disini. Melihat saya juga sudah berada di titik ini,” ujarnya.

Rencana Merambah Pasar Luar Negeri dengan Digitalisasi

Perkembangan TanganDia dari awal hingga sekarang ternyata tidak membuat Dia segera puas. Dia masih memiliki segudang rencana untuk TanganDia. Salah satunya adalah merambah pasar luar negeri dengan bantuan digitalisasi yang selama ini sudah menjadi ‘teman’ bagi TanganDia.

“Saya berencana ingin melakukan penjualan ke luar negeri dengan marketplace seperti eBay dan Alibaba yang tidak memiliki perang harga yang tinggi,” kata Dia.

Selain fokus untuk memasarkan produknya ke luar negeri, Dia juga ingin mencoba suatu hal yang baru dengan bantuan teknologi digital, yakni menjual pola atau desain berbayar melalui platform Etsy. Meskipun tantangannya, tapi menurutnya ide tersebut patut untuk dicoba.

“Dan rencana lain saya ingin menjual pola atau design berbayar yang bisa digunakan oleh orang lain. Walaupun tantangannya banyak namun tidak salah untuk mencoba ya. Di sisi lain meskipun tantangannya banyak, namun cukup menguntungkan. Dengan satu kali berpikir namun bisa menjual di beberapa orang yang bisa menghasilkan keuntungan yang lumayan ya,” lanjutnya.

Tidak berhenti sampai di situ, Dia juga berencana untuk memangun studio offline TanganDia yang nantinya bisa digunakan untuk pelatihan merajut.

Impian untuk Bisa Berdayakan Sesama Perempuan

Saat ini, selain fokus pada penjualan produk rajutannya, Dia juga membuka kursus atau pelatihan merajut untuk para ibu rumah tangga. Ia ingin membantu para ibu bisa memanfaatkan waktunya dengan kegiatan positif.

Sumber: Instagram @tangandia

Kemudian, ia juga memiliki harapan nantinya akan semakin banyak ibu yang bisa merajut dan membantunya dalam proses produksi TanganDia.

“Harapannya yang pasti semoga semakin banyak yang bisa merajut karena saya memiliki harapan ingin menambah pegawai dan membantu ibu ibu rumah tangga agar memiliki kesempatan untuk berkegiatan yang lain selain berdiam dirumah.”

Teknologi adalah Proses Menjadi Bisa Karena Terbiasa

Meski kini sudah banyak UMKM yang berhasil memanfaatkan teknologi, tapi masih banyak pula UMKM lainnya yang masih takut dan tidak bisa untuk memulainya. Dia pun memberi saran untuk jangan pernah takut dalam mencoba. Bisa karena terbiasa.

“Kalo saran dari saya, sih, jangan pernah takut untuk mencoba atau terjun langsung dalam proses digitalisasi. Sebenarnya bukan tidak bisa, namun hanya belum terbiasa. Jika dibiasakan saya yakin akan bisa, karena hal tersebut akan dilakukan secara terulang yang membuat kita mahir atau bisa. Intinya bukan tidak bisa tapi hanya belum terbiasa.”

Berani berinovasi, pantang menyerah, dan terus bermimpi besar adalah beberapa hal yang bisa diambil dari kisah yang dibagikan oleh Dia dalam perjalanannya membangun TanganDia. Tiga hal itu juga yang membawa Dia bisa bermanfaat untuk sesama melalui pelatihan yang ia adakan.

Sejak awal berdiri hingga sekarang, TanganDia juga tak pernah luput memanfaatkan berbagai kemudahan yang diberikan di era digital. Bahkan ia pun berencana untuk terus mengembangkan TanganDia dengan bantuan digitalisasi. Karena baginya, selama berani mencoba, semua bisa menjadi mungkin.

n

Kisah Sukses Masakan Ibu Tutu: Tak Ragu untuk Mulai Hal Baru

Salah satu problematika yang sering kita temui ketika hendak memulai suatu usaha ialah takut untuk memunculkan ide baru. Padahal, justru perilaku inilah yang menjadi kunci kegagalan Anda. Memunculkan hal baru  memang terasa asing. Takut jika ide kita tidak diterima masyarakat itu memang wajar. Namun, ini sebenernya merupakan ‘turning point’ Anda untuk menjadikan usaha Anda berbeda dari yang lain.

Begitu juga dengan Bu Nina. Wanita bernama lengkap Gusti Noor Nisrina Khairia ini berani mencetuskan ide yang bisa dibilang sangat baru di dunia bisnis kuliner. Ya, produk Roti Cocol yang ia cetuskan sejak Juli 2019 lalu sukses besar di pasaran. Hal ini karena wanita asal Surabaya ini berani ambil langkah baru untuk bisnisnya.

Roti Cocol, atau yang biasa disebut dengan Rotcol adalah baked bread yang dipanggang di tray bulat dan disajikan dengan saus cocolan di tengahnya. Variannya pun banyak, mulai dari smoked beef, cheese, tuna, palm sugar, dan masih banyak lagi. Namun menu top andalan mereka adalah rotcol varian sweet butter yang sangat digandrungi oleh para konsumen.

Usaha Ibu dan Anak

IMG WA
Usaha milik duo mother and daughter

Yang menarik, bisnis berlabel Masakan Ibu Tutu ini didirikan oleh ibu dan anak yang sama-sama memiliki keahlian memasak. Foundernya ialah Ibu Nina sendiri. Sedangkan Ibu Zulfia Arifni yang lebih akrab disapa Ibu Tutu ini berperan sebagai co founder. Sebenarnya, Ibu Tutu telah mengawali usaha kuliner seperti ini dari tahun 1993, mulai dari membuat cookies, cake, siomay dan lain-lain. Namun, pemasarannya hanya sebatas ranah teman-teman terdekat saja. Baru ketika Bu Nina lulus kuliah di tahun 2017, ia berpikir untuk mengajak ibunya untuk berbisnis bersama.

“Waktu itu, beberapa bulan setelah lulus kuliah saya ikut bazar. 10 hari berturut-turut kita jual siomay batagor. Itu pertama kalinya itu kita melayani customer secara langsung, dan habis itu kita merasa tertantang. Kayaknya seru juga jualan kayak gini. Dan akhirnya kita mutusin untuk menseriusi bisnis bareng. Akhirnya 2017 itu kita mulai waktu itu dengan jualan mie ayam mie ayam. Terus ada juga produk seperti schootel, rice box, snack box, dll.”

Pertama di Indonesia

IMG WA
Roti Cocol pertama di Indonesia

Inilah yang menjadikan produk ini diminati banyak orang. Selain karena harganya terjangkau sehingga dapat dinikmati semua kalangan, produk ini juga mengusung konsep fresh yang membuat para konsumen tertarik untuk mencicipinya. Ya, ide ini murni dari sang founder. Ternyata, ada kisah menarik di balik munculnya roti cocol ini.

“Ceritanya cukup unik. Jadi sebelumnya tuh memang Ibu Tutu  sudah sering bikin roti, tapi hanya untuk kita konsumsi sehari-hari aja. Suatu hari, ketika pergi ke toko bahan kue itu saya lihat ada tray aluminium bulat. Tapi waktu itu belum ada pikiran buat beli sih, karena kayak belum tau mau buat apa. Nah selang beberapa hari setelah itu, pas kita berdua ngobrol, tiba-tiba terlintas ide buat bikin roti cocol. Saya utarakan ke Mamah. ‘Mah yuk bikin roti cocol’. ‘Apa roti cocol?’  ‘ya roti, ntar kita bikin di tray bullet, tengahnya ada cocolan. Yaudah coba aja gitu,’”, cerita Bu Nina.

Sejak awal dibuat, Bu Nina memang sangat optimis kalau produknya ini akan disukai dan digandrungi banyak orang, karena memang belum pernah ada produk yang sama sebelumnya. Produknya juga beda dari yang lain. Varian awal yang dijadikan eksperimen adalah roti sosis dengan cocolan saus keju.

Hal ini karena Bu Nina lebih menyukai roti varian rasa gurih. Kemudian, Bu Tutu mengembangkan roti varian rasa manis, yang saat ini justru menjadi signature produk mereka, yaitu Sweet Butter.

Sukses Berkat Konsistensi Bahan

n
Dibuat dengan bahan berkualitas, tanpa telur dan pengembang kue.

Hingga kini, duo ibu dan anak ini belum ada rencana untuk hiring karyawan lain. Dengan kemampuan di dapur yang berbeda, mereka bisa bekerja dan saling melengkapi untuk menciptakan produk dengan cita rasa tinggi. Sebelum memutuskan untuk merintis usaha ini, mereka terbiasa untuk membuat orderan sendiri-sendiri dengan produk dan target market yang berbeda.

Namun, walaupun usaha mereka hanya dirintis berdua dan mengandalkan alat-alat rumahan saja, kualitas produk mereka patut disamakan dengan tingkatan medium to high class. Itu karena mereka selalu menjaga kualitas bahan produk. walaupun kerap kali mengadakan promo, mereka tetap mengutamakan kejujuran.

Foto produk yang ditampilkan di sosial media adalah produk sama dengan yang mereka jual dengan tidak mengurangi Bahan baku dalam proses produksi sama sekali. Dengan begitu, pelanggan pun merasa tak dibohongi oleh foto semata.

Seperti halnya bisnis lainnya, usaha Masakan Ibu Tutu ini juga pernah mengalami masalah, yakni saat naiknya harga bahan baku.

“Ada beberapa produk bahan baku yang kenaikan harganya itu tidak diiringi dengan bertahannya kualitas. Karena harganya itu naik terus. Kadang agak bingung juga sih. kenaikan harga bahan baku ini nggak bisa kita barengi dengan kenaikan harga jual. Karena kan dikondisi pandemi seperti ini kita juga menjaga supaya customer tetap setia dengan produk buatan kita.” Ujar Bu Nina.

“Namun, kami tetap bersyukur dengan apa yang sudah kami jalani. Walaupun sebenernya belum bisa dibilang besar, tapi alhamdulillah usaha ini bisa bertahan di tengah kondisi pandemi seperti ini. Usaha kami masih terus produksi hampir tiap hari dan bahkan mendapatkan customer-customer baru setiap harinya.”tambah Bu Tutu.

Tak Ragu tuk Mulai Suatu Hal Baru

Saat ini, promosi produk Masakan Ibu Tutu ini dilakukan melalui via sosial media, seperti via Instagram dan WhatsApp. Waktu awal peluncuran, mereka menggunakan jasa promosi dari foodies di Instagram. Namun selebihnya promosi dilakukan mengikuti alur saja, entah itu story by story, post by post, atau mouth to mouth. Postingan Instagram mereka yang apik nan menggoda selalu membuat netizen tertarik untuk mencoba produk mereka. Kini, followers Instagram akun mereka hampir menembus angka 3000.

Saking suksesnya, pernah suatu kali di tahun 2020, ibu dan anak ini menerima orderan Roti Cocol sebanyak 100 tray sekaligus. Dengan peralatan seadanya yang terbatas, berbekal dengan tekad yang kuat, mereka berhasil menyelesaikan pesanan ini. Terbayar sudah letihnya 29 jam kerja non-stop mereka. Pekerjaan ini melatih mereka untuk selalu bersabar, tekun, dan memiliki manajemen waktu yang baik.

“Kuncinya mengutamakan kejujuran disaat memulai usaha. Terutama dalam hal foto promosi. Seringkali Kami menemukan produknya yang menggunakan foto bagus, namun ternyata hasil buatan orang lain. Produk yang kami terima tidak sesuai dengan ekspektasi, sehingga customer  pun kecewa dan enggan untuk repeat order lagi,” ujar Bu Tutu.

“Untuk kalian yang ingin mulai merintis bisnis, kuncinya harus tekun dan konsisten. Jangan mudah menyerah. Jangan ragu buat memulai sesuatu. Kalau misal ada ide, yaudah langsung eksekusi aja. Kenalkan dulu calon produk kalian ke orang-orang terdekat. Minta pendapatnya, menurut mereka tentang kekurangan produk kamu. Karena kalau orang terdekat biasanya jujur nih. Jadi dari situ kita bisa improve lagi produknya sebelum kita lepas ke pasaran. Jangan ragu untuk mulai suatu hal baru!” tutup Bu Nina di akhir wawancara.

diah cookies

Kisah Inspiratif Diah Cookies yang Konsisten ‘Mengikuti Ombak’ di Era Digital

Perkembangan teknologi digital terutama pada sektor bisnis sangatlah pesat. Tak jarang pelaku usaha, khususnya usaha kecil dan menengah, gagal mengikutinya dan memilih cara konvensional atau mundur. Namun, tak jarang pula para pelaku UMKM yang justru semakin sukses di era digital seperti saat ini. Salah satunya adalah toko kue kering asal Surabaya, Diah Cookies.

Diah Cookies merupakan industri kue kering rumahan yang telah memulai perjalanannya secara online dan semakin sukses sejak pandemi hingga meraih omset ratusan juta rupiah. Berikut ini kisah dari Diah Cookies yang berhasil memaksimalkan pemanfaatan platform digital untuk meraih keuntungan.

Berawal dari Hobi Menjadi Sumber Pendapatan

Memiliki hobi yang dapat menjadi sumber pendapatan adalah impian semua orang. Ibu Diah Arfianti adalah salah satu yang berhasil mewujudkannya melalui toko kue kering miliknya, Diah Cookies.

Sejak 2001, Ibu Diah mulai memasarkan kue kering buatannya untuk mendapatkan penghasilan tambahan di setiap momen menjelang lebaran. Namun, sejak sang suami terkena PHK pada tahun 2012, Ibu Diah memutuskan untuk mulai menjual kue kering tidak hanya saat momen lebaran saja, mengingat penjualan kue kering miliknya mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

“Karena tiap tahun penjualan kue kering saya kan ada peningkatan, akhirnya saya coba jual kue kering ini setiap hari, enggak hanya lebaran,” ujar Ibu Diah.

Setelah memutuskan untuk fokus menjual kue kering setiap hari, Ibu Diah juga mulai fokus mengikuti pelatihan branding, product value, packaging, hingga digital marketing melalui Komunitas Pahlawan Ekonomi. Pelatihan-pelatihan tersebut membuktikan keseriusan Ibu Diah untuk membangun usaha kue kering miliknya secara online.

Berinovasi Tidak Hanya Pada Varian Rasa, Tapi Juga Strategi Marketing

Ketika berbicara mengenai inovasi, Ibu Diah mengatakan bahwa Diah Cookies fokus berinovasi pada varian rasa kue. Awalnya, Diah Cookies hanya menyediakan 3 varian, yakni kastengel, choco chip, dan putri salju. Tapi, kini, terdapat 23 varian kue kering yang dapat dipilih oleh pelanggan.

 

Diah Cookies

 

Selain varian kue kering, Diah Cookies juga terus berinovasi pada strategi pemasaran dimana Diah Cookies berusaha mengedukasi para pelanggan bahwa kue kering tidak hanya bisa dikonsumsi saat lebaran, tapi juga di hari-hari lainnya.

“Kalo secara produk dan packaging, (kami) sudah siap. Tapi cara marketingnya itu yang harus diinovasi untuk mengedukasi orang lewat konten supaya makan kue kering enggak perlu menunggu lebaran,” jelasnya.

Toko Offline Sebagai Bentuk Branding

Diah Cookies yang mengawali perjalanannya melalui penjualan online kini telah memiliki satu toko untuk penjualan offline dan juga branding. Menurut Ibu Diah, memiliki toko offline adalah salah satu bentuk branding yang ia dapatkan melalui pengalaman ketika belum memiliki toko dan hanya memanfaatkan teras rumah untuk kegiatan produksi.

“Waktu itu ada tender buat bikin hampers. Secara rasa udah cocok sama kita. Harganya juga masuk. Tapi ketika mereka dateng, mereka tidak percaya kalau kita bisa memproduksi sesuai dengan pesanan mereka. Saya sudah meyakinkan tapi sepertinya mereka enggak trust karena kelihatannya hanya usaha rumahan,” katanya.

Sejak saat itu, Ibu Diah bertekad untuk membangun toko offline agar ia dapat meraih trust dari para pelanggan dan juga untuk menyamakan target pasar Diah Cookies. Kini, rencananya telah terlaksana dan ia senang dengan dampak yang dihasilkan.

 

Diah Cookies

“Kalo jualan kita bisa melakukannya melalui online. Tapi, toko offline ternyata bisa membentuk persepsi dan membangun branding kita lebih bagus. Jadi, orang lebih trust kepada kita,” lanjutnya.

‘Mengikuti Ombak’ Perkembangan Platform Digital

Perkembangan platform digital memang cukup pesat belakangan ini. Alih-alih tertinggal, Diah Cookies ternyata telah mencicipi sebagian besarnya. Sejak 2006, Ibu Diah telah mulai berjualan kue kering melalui platform digital Facebook dan BBM.

Seiring dengan banyak munculnya media sosial lain yang mendukung penjualan online, Diah Cookies pun terus memanfaatkannya. Mulai dari Instagram, WhatsApp, Facebook, hingga Google Business. Bahkan, 70 hingga 80 persen penjualan ia dapatkan dari media sosial.

 

“Kita lebih banyak pakai media sosial. Dari 2006 itu jualan di Facebook dan BBM. BBM udah enggak ada, kita pakai WhatsApp. Ada Instagram, kita ikutan. Sekarang ada TikTok ya udah kita mulai bangun TikTok. Jadi kita mengikuti ombak aja. Mengikuti era.”

Kemudian, Diah Cookies juga telah membangun website yang untuk sementara waktu hanya sebagai branding dan belum dikelola untuk menghasilkan.

Selain media sosial, Diah Cookies juga tak lupa memanfaatkan software akuntansi dan kasir digital untuk memudahkan aktivitas operasional bisnis.

Kreatif dalam Mengatasi Masalah Permodalan

Modal adalah kendala yang cukup sering terjadi bagi para pelaku usaha, bahkan usaha yang sudah besar sekalipun. Diah Cookies juga kerap tersendat dalam hal permodalan, khususnya pada momen-momen menjelang lebaran dimana pesanan akan jauh lebih banyak.

Untuk mengatasinya, Ibu Diah telah mencoba berbagai cara, mulai dari mengambil pinjaman kepada bank hingga membuat program untuk reseller.

“Sudah beberapa tahun belakangan ini kita bangun sistem berupa program untuk reseller. Nah itu lumayan buat modal saya bikin kue kering. Tapi ternyata ada kendala. Abis itu berubah lagi (programnya). Jadi, kita mempelajari kalau suatu program dijalankan itu plus minusnya apa,” ujarrnya.

Setelah beberapa kali melakukan trial and error, akhirnya Ibu Diah menemukan satu program yang cocok, yaitu pembelian 40 lusin kue kering oleh reseller di empat bulan menjelang lebaran akan mendapatkan diskon sebesar 17 ribu rupiah per toples, free ongkir ke Surabaya dan sekitarnya, dan free 1 gram emas Antam.

Meskipun keuntungannya lumayan berkurang, namun ia senang karena dengan skema tersebut, ia bisa mendapatkan modal untuk lebaran dan reseller-nya bisa mendapatkan banyak keuntungan.

Dengan bantuan program-program tersebut, Ibu Diah kini tidak perlu mengambil pinjaman untuk modal. Meski begitu, memurutnya meminjam uang untuk modal adalah hal yang normal. Namun, terdapat tiga hal yang perlu dipastikan sebelum meminjam modal menurut keterangan Ibu Diah.

“Meminjam uang untuk modal itu sah-sah aja. Intinya nomor satu itu harus disiplin. Lalu, pinjam modal itu benar-benar harus buat usaha. Terakhir, harus bisa mengukur kemampuan.”

Konsisten adalah Kuncinya

Sejak pertama kali memutuskan untuk fokus menjual kue kering secara rutin pada tahun 2012, Diah Cookies telah banyak mengalami perkembangan. Ibu Diah mengakui bahwa itu adalah hasil dari dirinya yang konsisten dalam segala hal. Konsisten dalam mutu kualitas produk dan konsisten dalam mempromosikannya. Meskipun konsisten memang terlihat mudah, namun nyatanya tak semua orang bisa melakukannya. 

Bahkan, ketika omset kue keringnya sedang turun, Ibu Diah selalu menyiapkan suatu produk pendamping untuk sementara ia jual, salah satunya adalah produk sambal. Kemudian, ia akan mengarahkan para adminnya untuk sekalian menawarkan kue kering apabila ada yang membeli produk sambalnya.

“Saya setiap hari enggak pernah enggak posting. Kuncinya jualan di online itu bagaimana supaya orang tetap melihat kita. Ketika sudah melihat kita, mereka akan mengingat. Ketika telah ingat dan mereka butuh, mereka akan beli produk kita,” katanya.

Itulah yang menjadi dasar bagi Ibu Diah untuk tidak pernah melewatkan satu hari pun tanpa posting konten di media sosial, bahkan ketika omset kue keringnya sedang turun. Cara itu juga bisa membuat tokonya terlihat aktif dan membangun kepercayaan para pembeli.

Turut Membantu Pelaku Usaha Lain untuk Go Digital

Tidak hanya fokus membangun usahanya sendiri, Ibu Diah juga turut membantu pelaku usaha di sekitarnya untuk mulai go digital melalui kelas-kelas di komunitas. Menurutnya, masih banyak sekali pelaku UKM yang takut untuk belajar memahami teknologi. Padahal, ketakutan itu hanya akan membatasi diri sendiri dari berkembang.

Ia pun berpesan untuk para pelaku usaha di luar sana agar berani mencoba dan jangan takut karena semua usaha itu memang harus ada perjuangannya.

“Saya aja umur segini harus belajar TikTok itu kan agak sulit ya. Tapi kan saya harus bisa. Mau laku apa enggak? Intinya kembali lagi kepada kita.”

Dari kisah Ibu Diah dalam membangun bisnis kue keringnya, Diah Cookies, banyak sekali pelajaran yang bisa diambil. Salah satunya adalah terus belajar dari waktu ke waktu. Entah itu belajar memahami teknologi yang berkembang pesat atau belajar dari pengalaman pahit sekalipun.

cosplay

Kisah Pengrajin Kostum “Cosplay” Asal Banyuwangi yang Sukses Juarai Kompetisi

Geliat komunitas budaya populer Jepang di Indonesia ternyata bukan hanya sekedar hobi. Namun juga mampu menghasilkan ekosistem bisnis. Salah satunya Nuril Firdaus yang menguji peruntungannya melalui kerajinan kostum atau cosplay.

Pria asal Banyuwangi ini sukses menjadi pengrajin cosplayer. Bukan hanya itu, Nuril juga berhasil mengirim karyanya hingga Amerika Serikat!

Bagaimana kisah perjalanan Nuril Firdaus mengembangkan hobinya menjadi sebuah usaha yang sukses hingga saat ini?

Awal Mula Ide jadi Pengrajin Cosplay

Nuril Firdaus mengawali hobinya sebagai pengrajin cosplay ketika Ia berkuliah di Malang di tahun 2014. Di sana, Ia bertemu dengan komunitas cosplayer yang dijadikannya wadah untuk belajar tentang cosplay.

Gak sampai setahun di Malang, Saya ikut komunitas, dan belajar tentang bahannya apa, terus liat kostum robot dan penasaran bahannya pake apa, akhirnya tahu basic-nya dan dikembangin lagi pas balik ke Banyuwangi”, ujar Nuril.

Nuril juga melanjutkan bahwa awalnya membuat cosplay hanya untuk sekedar hobi yang hasilnya Ia posting di Facebook. Namun respon dari audience Facebook yang cukup positif dan bahkan beberapa ada yang meminta dibuatkan kostum.

“Awalnya gak kepikiran buat buka bisnis cosplay, cuma karena sering upload Facebook dan banyak yang nanya dan akhirnya mesen”, lanjut Nuril.

Fokus Berbisnis di Tahun 2017

Seiring banyaknya orang yang tertarik dengan hasil tangan dinginnya, Nuril akhirnya memutuskan untuk berfokus membangun usaha pembuatan kostumnya atau cosplay di tahun 2017.

Ia pun membuka peluang bagi orang lain untuk mempelajari cara membuat kostum kepada orang-orang di sekitarnya. Hingga pada tahun 2018, Nuril akhirnya memiliki karyawan yang membantu usahanya.

Meski begitu, memiliki karyawan pun tidak cukup bagi Nuril. Pesanan kostum yang begitu banyak tidak bisa dikerjakan sekaligus sehingga Ia pun menerapkan sistem indent atau daftar tunggu.

Kalo dari segi pesanan banyak, mas. Tapi sebulan Kita cuma bisa kerjakan 2 sampe 3 kostum saja, sisanya Kita terapin sistem daftar tunggu”, Ujar Nuril.

Dari bisnis kerajinan kostumnya ini, Nuril mengaku bahwa konsumen terbanyak ada di Jakarta dengan kostum termahal yang pernah Ia buat seharga Rp8 juta.

Memenangkan Beberapa Kompetisi Cosplay Hingga Pesanan ke Luar Negeri

cosplay

Selama perjalanannya sebagai pengrajin cosplay, Nuril mengaku bahwa karya-karyanya sering Ia pamerkan dalam event jejepangan dan beberapa kali sering memenangkan kompetisi.

Terakhir di tahun 2019, kostum buatannya memenangkan juara kedua dalam ajang Indonesia Cosplay Grand Prix dimana juara pertamanya akan dikirim sebagai peserta World Cosplay Summit.

Selain mengikuti beberapa kompetisi, cosplay buatannya kini dipesan oleh orang dari luar negeri seperti Singapura dan Amerika Serikat.

“Sekarang, lagi work in progress kostum pesanan dari Amerika Serikat”, Nuril dengan antusias.

Bagi pria yang saat ini juga bekerja di bidang notaris, semakin sulit cosplay yang Ia kerjakan, maka semakin menyenangkan untuk dibuat dan menjadi tantangan tersendiri baginya.

Rencana ke Depan ingin Berinovasi

pengrajin kostum cosplay

Selama pandemi, Ia mengaku bahwa permintaan pembuatan cosplay tidak berpengaruh sama sekali. Meski begitu, pandemi memengaruhi sistem internal usahanya.

Bahan kostum yang kebanyakan diperoleh dari luar Banyuwangi pun sulit didapat ketika pandemi sehingga secara tidak langsung memengaruhi bisnisnya.

“Selama pandemi, dari segi pesanan tetap banyak. Cuma karena bahannya sulit di dapat pas pandemi akhirnya ngaruh ke produksi. Karena itu Saya sering pindah-pindah workshop dan kerja sendiri. Gak ada karyawan. Akhirnya Saya berusaha menekan jumlah pesanan”, kata Nuril.

“Saat itu Saya beralih usaha. Sempat budidaya tanaman hidroponik dan Alhamdulillah membuahkan hasil. Tapi karena sekarang udah bisa lagi buat akses vendor dan kondisi mulai membaik, jadi bakal fokus lagi ke cosplay”, Lanjutnya antusias.

Di tahun 2021 pun, Nuril berniat untuk kembali lagi fokus untuk membuat kostum dan berencana melakukan inovasi pada bisnisnya dengan menginvestasikan bisnisnya ke dalam alat 3D printing.

“In syaAllah kalo tidak berhalangan mulai di akhir tahun ini (2022)”, Ujarnya semangat. Dengan adanya 3D printing, Ia percaya usaha kostum cosplay-nya ini bisa mempermudah dalam hal produksi.

Selain itu, usaha yang berhasil mengumpulkan omzet 6 hingga 15 juta per bulan ini juga berencana untuk membuat sistem ready stock.

“Jadi Kita buat kostum yang sudah jadi, nanti orang tinggal pilih mau kostum yang mana”, lanjut Nuril.

Digitalisasi pada Bisnis Cosplay-nya Menurut Nuril: Perbaiki Sistem Terlebih Dahulu

Kalo ditanya digitalisasi sebenarnya dari awal sudah merambah digital sih, karena awalnya Saya upload hasil kostum Saya, kemudian akhirnya banyak yang tertarik”, Kata Nuril.

Namun ketika ditanya, apakah bisnisnya akan merambah iklan digital, Pria kelahiran Banyuwangi ini memiliki jawaban yang berbeda.

“Ingin ke arah sana, cuma belum siap. Saya ingin memperbaiki sistem dahulu, baru mau merambah ke iklan digital”, Jawab Nuril.

Gak pake iklan aja pesanan sudah banyak mas, apalagi pake iklan, Saya gak kebayang bisa handle atau tidak”, lanjut Nuril.

Untuk itu, Nuril berfikir untuk memperbaiki sistem produksinya. Misal, dari segi Sumber Daya Manusia-nya, alat penunjang, hingga dari manajemen produksi.

Proses Panjang Digitalisasi dan Masalah yang Dihadapi UMKM

Apa yang dialami oleh Nuril merupakan contoh kecil dari ribuan kasus yang dialami oleh pelaku UMKM sebelum beradaptasi dengan ekosistem digital.

Melansir Forbes, Tony Saldanha selaku presiden dari sebuah perusahaan agensi digital, Transformant menuturkan bahwa digitalisasi merupakan proses panjang. Perubahan itu tidak hanya berada di permukaan, namun juga DNA bisnis itu sendiri. Banyak perusahaan yang gagal bertransformasi digital karena tidak ada tujuan yang jelas serta proses yang tidak matang.

Apa yang dilakukan oleh Nuril dengan bisnis cosplay nya adalah langkah tepat. Ia menyadari bahwa bisnisnya saat ini belum memerlukan transformasi digital mengingat sistem yang ada dalam bisnisnya belum memiliki kerangka dan tujuan yang jelas.

Meski begitu, jika Nuril ingin mengembangkan bisnisnya agar bisa menjangkau produksi yang lebih baik dari sebelumnya, mau-tidak-mau pria asal Banyuwangi ini harus bisa berinovasi. Terutama dalam hal tata kelola faktor produksi.

Masalah bisnis cosplay yang dialami Nuril sejatinya juga diamini oleh Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki. Menurutnya ada dua faktor yang menghambat usaha mikro di Indonesia, yaitu faktor produksi dan daya saing.

Menurut Menteri Teten Masduki, masalah faktor produksi yang masih dialami oleh pengusaha mikro di Indonesia adalah minimnya sumber daya manusia. Masih banyak pelaku usaha yang menjalankan bisnisnya secara mandiri, tidak ada karyawan, tidak ada partner kerja, dan juga minim kolaborasi.

Bisnis cosplay yang dimiliki oleh Nuril mengalami masalah pertama, yaitu faktor produksi. Dimana Pria asal Banyuwangi ini belum bisa mengelola faktor-faktor produksinya dengan baik.

Selain itu, jika melihat dari sisi tahapan perkembangan bisnis yang diprakarsai oleh Neil Churchil dan juga Virginia Lewis, bisnis cosplay yang dimiliki Nuril masih berada di tahapan ketiga yaitu success atau delegasi pekerjaan.

Seperti yang diketahui menurut Neil Churchil dan Virginia Lewis, setidaknya sebuah bisnis kecil mengalami 5 tahapan penting; existance yaitu adanya kreatifitas, survival diraih dari perencanaan yang benar, success diraih dari delegasi yang baik, take-off, pencapaian diraih melalui koordinasi, dan maturity diraih melalui kolaborasi.

Lantas, apa yang harus dilakukan pelaku UMKM dalam mengatasi masalah ini?

Pertama, identifikasi masalah. Apa yang menjadi penghambat usaha sulit menjangkau konsumen yang lebih luas? Apa yang dibutuhkan untuk itu? Bagian apa yang membutuhkan pengembangan dan perbaikan?

Langkah selanjutnya adalah pemilihan sistem yang tepat, apa yang harus dilakukan, siapa saja yang harus terlibat, bagaimana cara mengelolanya. Setelah sistem sudah dipilih, langkah berikutnya adalah pemilihan SDM dan internalisasi sistem kepada SDM yang ada.

Terakhir, jika sistem yang direncanakan berjalan lancar setidaknya 3-6 bulan, pengusaha bisa mempertimbangkan untuk optimalisasi bisnis secara digital.

Itulah kisah sukses Nuril dalam membangun usaha cosplay- nya yang sudah berjalan sedari tahun 2017 hingga apa saja masalah yag dialami hingga strategi yang harus dilakukan.