Tag Archives: klinik pintar

Klinik Pintar mengembangkan solusi untuk membantu pemilik klinik dalam mendigitalkan proses bisnis dan layanan / Klinik Pintar

Klinik Pintar Tutup Pendanaan Seri A1 Rp78 Miliar Dipimpin Altara Ventures

Startup healthtech Klinik Pintar menutup putaran pendanaan seri A1 senilai $5 juta (sekitar Rp78 miliar) dipimpin oleh Altara Ventures, serta partisipasi dari Golden Gate Ventures, Venturra, Skystar Ventures, dan investor strategis asal Jepang di bidang healthcare IT Infocom.

“Dengan pendanaan ini, kami akan mengembangkan produk baru untuk meningkatkan layanan bagi klinik dan jaringan mitra. Kami memilih Altara Ventures untuk memimpin putaran ini dan bergabung dalam jajaran eksekutif kami karena keahlian mereka pada investasi di sektor kesehatan. Ini melengkapi jajaran investor dan keahlian operasional kami yang sudah ada,” tutur Co-Founder & CEO Klinik Pintar Harya Bimo.

Klinik Pintar mengembangkan solusi untuk membantu pemilik klinik dalam mendigitalkan proses bisnis dan layanan sehingga dapat terintegrasi dan terhubung dengan ekosistem kesehatan lain. Untuk klinik yang dimilikinya, layanan Klinik Pintar mencakup konsultasi dokter, obat-obatan, laboratorium, hingga vaksinasi yang dapat diakses secara offline dan online.

Per November 2023, Klinik Pintar mengoperasikan 22 klinik, dan jaringan 1.500 mitra klinik di seluruh Indonesia yang telah menggunakan solusinya. Klaimnya, teknologi Klinik Pintar telah digunakan 5% dari total klinik yang ada di Indonesia, atau setara peningkatan lebih dari tiga kali lipat sejak awal 2023.

CEO Infocom Yoichiro Hamazaki mengatakan, “Kami bermitra dengan Klinik Pintar untuk berkontribusi lebih lanjut terhadap peningkatan layanan kesehatan Indonesia. Platform mereka memungkinkan fasilitas kesehatan setempat untuk dapat mengelola operasi dan keselamatan pasien lebih baik. Dengan kerja sama ini, kami dapat mengintegrasikan solusi yang dapat mendukung keputusan klinis kami ke platform Klinik Pintar.”

Meningkatkan skala operasi

Dalam keterangan resminya, Klinik Pintar mengungkap sedang menyiapkan klinik spesialis neurologi kedua di Jabodetabek pada tahun ini. “Kami akan memperluas jangkauan jaringan dan penawaran produk, juga memulai masuk ke segmen korporasi dengan membangun lebih dari sepuluh klinik on-site bersama produsen otomotif terkemuka di Indonesia.”

Klinik Pintar mengembangkan Aplikasi Klinik Pintar (AKP) yang terhubung dengan platform Satu Sehat milik Kementerian Kesehatan, BPJS, dan jaringan asuransi swasta. Aplikasi ini disebut membantu para klinik untuk mematuhi aturan terbaru pemerintah terkait kewajiban integrasi dengan Satu Sehat.

AKP menawarkan sistem pengadaan untuk pemesanan obat, bahan habis pakai, dan peralatan medis yang terintegrasi dengan sistem inventaris klinik. Fitur ini dapat membantu klinik mencapai margin operasi yang lebih berkelanjutan.

Maka itu, digitalisasi klinik dipilih sebagai pendekatan utama Klinik Pintar usai pivot pada 2020. Menurut Bimo saat itu, klinik lebih menyentuh segmen akar rumput mengingat jumlahnya jauh lebih banyak dibandingkan rumah sakit (RS) di Indonesia. 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2022, Indonesia memiliki sebanyak 176.110 jumlah dokter. Namun, angka tersebut belum memenuhi standar ideal WHO yang mematok rasio 1 dokter per 1.000 penduduk. Rasio dokter di Indonesia baru 0,63 dokter per 1.000 penduduk. Di Singapura, rasio dokternya berada di level 2,5, dan 1-1,5 dokter untuk rasio dokter di negara-negara berkembang lainnya.

Langkah Progresif Menuju Keterhubungan Informasi Data Kesehatan

Pandemi Covid-19 menjadi katalisator penting bagi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mentransformasi industri kesehatan Indonesia. Bak kereta super cepat, Kemenkes merealisasikan sejumlah langkah yang sangat progresif di sepanjang satu tahun terakhir ini untuk mengawali transformasinya.

Sejak akhir 2021 hingga sekarang, agenda besar Kemenkes tercermin dari realisasi peluncuran (1) peta jalan transformasi digital, (2) regulatory sandbox, (3) platform Indonesia Healthcare System bernama “Satu Sehat”, dan—salah satu yang signifikan—(4) peraturan baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME).

Poin nomor empat menjadi elemen krusial dalam memuluskan agenda transformasi industri kesehatan. Namun, secara keseluruhan, Kemenkes punya visi-misi jangka panjang yang dalam pelaksanaannya harus merangkul banyak pemangku kepentingan (stakeholder).

DailySocial telah mewawancarai sejumlah stakeholder untuk bicara sudut pandang mereka dari aspek industri, regulasi, dan teknologi sebagai enabler dalam menjawab berbagai persoalan di industri kesehatan yang selama ini identik sebagai high-regulated sector karena berkaitan dengan nyawa manusia dan punya kontrol besar terhadap data informasi kesehatan.

Lanskap dan tantangan

Mengutip sebuah studi, industri kesehatan di Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan utama, seperti tuntutan untuk memperbaiki layanan medis, penyediaan akses informasi tepat waktu, dan tingginya biaya operasional.

Tenaga kesehatan (nakes) tak hanya dihadapkan pada tuntutan untuk memberikan kualitas layanan kepada pasien, tetapi juga beban administratif. Salah satunya adalah proses input data pasien masih dilakukan secara manual.

Di satu sisi, masyarakat khususnya kaum menengah ke bawah menganggap biaya berobat ke rumah sakit masih sangat mahal. Akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah masih minim apabila memperhitungkan faktor geografis di Indonesia.

Data BPS menyebut rata-rata biaya pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia meningkat 8,9% menjadi Rp34.364 pada 2021. Secara proporsi, pengeluaran ini naik menjadi 2,72% dari tahun sebelumnya 2,57%. Sementara, Kemenkes mencatat pada 2020 rasio dokter hanya berkisar 0,38 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur di rumah sakit 1,2 per 1.000 populasi.

Maka itu, pandemi Covid-19 dinilai telah membuka mata para pemangku kepentingan untuk membenahi industri kesehatan. Pandemi memberi dorongan bahwa teknologi dapat menjadi enabler untuk mengatasi krisis dan mendemokratisasi layanan kesehatan dalam jangka panjang.

Sebetulnya, layanan kesehatan berbasis teknologi atau healthtech di Indonesia sudah ada sebelum pandemi. Kita mengenal Alodokter, Halodoc, Klikdokter, dan Klinik Pintar. Layanan yang ditawarkan mulai dari telekonsultasi, marketplace produk kesehatan, hingga digitalisasi ekosistem kesehatan.

Telekonsultasi menjadi salah satu layanan healthtech yang popularitasnya meroket kala pemerintah mengizinkan penggunaannya untuk urgensi penanganan Covid-19. Halodoc dan Alodokter bahkan sempat mencatatkan lonjakan trafik tinggi di awal pandemi.

Terlepas dari itu, masih banyak inovasi di bidang healthtech yang dapat dieksplorasi sehingga tak terbatas pada layanan telekonsultasi saja. Survei Statista memproyeksi nilai pasar digital health di Indonesia mencapai $1,98 miliar di 2022. Segmen terbesar diproyeksi berasal dari digital fitness dan well-being dengan total proyeksi pendapatan sebesar $1,14 miliar di 2022.

Standardisasi dan keterhubungan data

Peta jalan transformasi industri kesehatan memuat tiga agenda utama, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech). Sasarannya mencakup layanan kesehatan primer dan sekunder, ketahanan sistem kesehatan, sistem pembiayaan, hingga SDM. 

Dalam pelaksanaannya, Kemenkes membentuk divisi Digital Transformation Office (DTO), dipimpin oleh Setiaji yang telah memiliki pengalaman karir kuat di bidang IT dan birokrasi pemerintah. Setiaji akan menuntun penyelenggaraan transformasi digital di industri kesehatan selama empat tahun ke depan.

Pertanyaan selanjutnya, transformasi ini dimulai dari mana dulu?

Menurut Chief of DTO Setiaji, standardisasi dan keterhubungan data (interoperability) akan menjadi tulang punggung dalam mengintegrasikan seluruh layanan dan pemangku kepentingan di industri ini. Ini menjadi alasan utama DTO menempatkan standardisasi sebagai pondasi dasar transformasi. Tanpa standardisasi, keterhubungan data tidak akan tercapai.

“Maka itu, kami mendahulukan [transformasi] pada Rekam Medis Elektronik sebagai backbone. Salah satu tantangan besar selama ini adalah setiap rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain punya format data sendiri. Transformasi tidak bisa dilakukan jika standardisasi data tidak sama,” ujar Setiaji dalam wawancara dengan DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2021-2024 / Sumber: Kementerian Kesehatan

Yang selama ini terjadi, setiap fasyankes beroperasi dengan format dan sistem yang dibangun sendiri-sendiri. Setidaknya, saat ini ada 400 aplikasi di bidang kesehatan, 70 aplikasi puskesmas, dan 50 aplikasi rumah sakit. Karena format dan sistemnya berbeda, sulit untuk mengawinkan dan mengolah data informasi kesehatan.

Standardisasi menyeragamkan seluruh aspek data di industri kesehatan untuk menuju satu data Indonesia sehingga seluruh penyedia dan pengguna layanan kesehatan, baik pasien, fasilitas kesehatan, dan pemerintah dapat saling terhubung dan melakukan pertukaran data. Adapun, standardisasi ini dapat dimanfaatkan seluruh stakeholder terkait pada platform Indonesia Healthcare System (IHS).

Asosiasi Healthtech Indonesia (AHI) menanggapi keputusan yang diambil DTO sudah tepat untuk memprioritaskan standardisasi dan keterhubungan data sebagai langkah awal transformasi. Menurut Wakil Ketua AHI sekaligus Co-founder Zi.Care Jessy Abdurrahman, peta jalan transformasi tersebut juga telah mencerminkan concern dari para pelaku healthtech di Indonesia.

Menurutnya, industri kesehatan selama ini sangat eksklusif jika menyangkut informasi informasi data kesehatan. Maksudnya, fasyankes seolah memiliki kendali besar terhadap informasi data kesehatan. Padahal, Permenkes 269 Tahun 2008 jelas menyebutkan bahwa kepemilikan data ada pada pasien. Karena situasi ini, para pelaku startup sulit untuk melakukan disrupsi di sektor kesehatan.

“Saat itu, kami melihat tidak ada standardisasi pada rekam medis elektronik (RME) sehingga data tidak bisa ‘dikawinkan’ dan diolah menjadi apapun. Hal ini menjadi isu besar ketika Covid-19 terjadi, formatnya berbeda-beda, data tidak akurat, dan proses sampai ke RS menjadi lama karena birokrasi panjang. Peta jalan transformasi ini seharusnya menjadi titik terang bagi industri kesehatan,” ujar Jessy.

Tantangan, implementasi, dan regulasi

Untuk merealisasikan standardisasi ini, Kemenkes meluncurkan platform IHS yang akan dikenal sebagai “Satu Sehat” pada Juli 2022. Satu Sehat adalah Platform-as-a-Service (PaaS) yang akan menghubungkan antar-platform atau aplikasi milik seluruh pelaku industri kesehatan, baik RS vertikal, RS pemerintah, RS swasta, Puskesmas, Posyandu, laboratorium, klinik, hingga apotek. Satu Sehat juga akan terintegrasi pada aplikasi PeduliLindungi.

Kemudian, Kemenkes menerbitkan regulasi baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME) pada fasyankes; tertuang dalam PMK No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis yang merupakan perubahan dan pemutakhiran dari peraturan sebelumnya PMK No. 269 Tahun 2008.

Kedua agenda di atas krusial dalam menciptakan satu data kesehatan nasional dan terpusat dalam satu platform. Beberapa contoh output-nya adalah menekan potensi duplikasi input data, menyelenggarakan RME, dan memudahkan proses rujukan. Satu Sehat telah diuji coba di 41 RS, 9 RS vertikal, dan 32 RSUD di DKI Jakarta, serta uji coba beta di 31 institusi kesehatan dan lab kesehatan.

Pada pemberitaan sebelumnya, peraturan penyelenggaraan RME memuat pasal-pasal terkait kepemilikan dan isi rekam medis pasien, keamanan dan perlindungan data pribadi, hingga pelepasan. Adapun, Kemenkes diberi kewenangan untuk mengolah data kesehatan milik pasien.

Dalam pasal 3, fasyankes wajib mengimplementasi RME, termasuk pada layanan telekonsultasi oleh fasyankes, dan wajib diintegrasikan ke platform Satu Sehat. Pemerintah memberikan masa transisi bagi seluruh fasyankes hingga akhir 2023.

Dalam pelaksanaannya, Setiaji menilai akan ada beberapa tantangan yang dihadapi mengingat masa transisi yang diberikan hanya satu tahun. Tantangan terbesar adalah mengimplementasi penyelenggaraan RME, terutama bagi fasyankes di daerah. Ia menyebut fasyankes di daerah belum melakukan digitalisasi karena tak punya anggaran.

Survei Kemenkes mencatat anggaran digitalisasi RS rata-rata tak sampai 3% dari total anggaran mereka. Faktor ini membuat transformasi digital belum menjadi prioritas. Selain itu, RS juga harus memiliki sistem informasi manajemen yang terintegrasi agar dapat berbagi informasi secara real-time.

Sebagai gambaran, setidaknya ada 22% dari 2.595 RS yang belum punya Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS). Kemudian, dari 2.291 RS yang memiliki SIMRS, implementasi RME di front office baru 24% dan 64% untuk back office. Dari 737 RS, sebanyak 359 belum menerapkan RME, 175 RS baru sebagian, dan 203 RS sudah. Saat ini, terdapat 10.260 Puskesmas, 11.347 klinik (pratama dan utama), 2.985 RS, 5.862 praktik mandiri, dan 1.400 laboratorium.

“Kami harus melakukan integrasi 8.000 aplikasi/platform/sistem dengan harapan digitalisasi tidak hanya terjadi pada sistem, tetapi juga tenaga kesehatan. Dokter juga ikut menginput. Dari 10 ribuan Puskesmas, baru 3.000 yang memiliki sistem. Nanti [fasyankes daerah] seperti Puskesmas akan mendapat anggaran khusus [untuk transformasi digital],” ujar Setiaji.

Untuk memudahkan transisi, penyelenggaraan RME pada fasyankes di daerah juga akan dilakukan secara bertahap mengingat kesiapan SDM, infrastruktur, dan budaya kerja berbeda dengan di perkotaan. DTO mengambil peran lebih dalam dengan melakukan edukasi digital dan uji coba integrasi platform Satu Sehat di fasyankes di berbagai kota.

Setidaknya sampai akhir tahun 2022 ini, Kemenkes menargetkan sekitar 12.000 fasyankes akan terintegrasi dengan platform Satu Sehat.

Mengawal transformasi

Lebih lanjut, Ketua Pengurus AHI dr. Gregorius Bimantoro menambahkan bahwa perlu ada kolaborasi pada lima pemangku kepentingan agar dapat merealisasikan peta jalan tersebut. Di antaranya dari (1) pemerintah, baik pusat dan daerah harus onboard, (2) pimpinan faskes primer dan sekunder, (3) mitra rekam medis dan IT rumah sakit, (4) startup dan developer, dan (5) nakes. Pihaknya berupaya menggandeng kampus/universitas untuk ikut dalam mendorong ekosistem healthtech.

“Kami belum pernah melihat roadmap yang salah satunya memprioritaskan ekosistem healthtech, jadi kami sangat senang dilibatkan dalam kolaborasi ini. Ini berarti pemerintah terbuka dengan [enabling] teknologi dalam mencapai ketahanan di bidang kesehatan. AHI berperan untuk membantu pengembangan ekosistem [healthtech] dengan DTO,” papar dr. Gregorius.

Sementara itu, Co-founder dan CEO Klinik Pintar Harya Bimo mengaku antusias dengan langkah pemerintah. Menurutnya, ini pertama kalinya Kemenkes dan pelaku healthtech memiliki cara berpikir yang sejalan. Ketika penggunaan layanan telekonsultasi diizinkan pada masa pandemi, banyak pihak menyadari perlunya RME untuk memperkaya historical data dari pasien. Sayangnya, saat itu peraturan tentang RME belum ada.

“Struktur roadmap ini bagus karena fokus utamanya dimulai dari keterhubungan data. Namun, roadmap ini harus dikawal bersama untuk memastikan standardisasi tersebut berjalan. Kita bertanggung jawab bagaimana pertukaran data kesehatan terjadi. Bagaimana dari sisi komersial, kami cari use caseDo and don’ts harus dijembatani,” jelas Bimo.

Diakuinya, apa yang dilakukan pemerintah sejauh ini juga sejalan dengan upaya Klinik Pintar untuk mencapai interoperabilitas. Standardisasi dan keterhubungan data memang seharusnya menjadi agenda utama sebelum bicara lebih jauh tentang demokratisasi layanan kesehatan, terutama pada grass root.

Jika melihat riwayat ke belakang, ia menilai tidak mudah bagi pengembang layanan digital untuk beroperasi tanpa produk hukum. Sebetulnya, bisa saja kedua hal tersebut berjalan paralel bagi keduanya. Namun, push back biasanya terjadi ketika ada disrupsi.

Ambil contoh, penggunaan layanan telekonsultasi diperbolehkan ketika pandemi. Pemerintah menerbitkan Surat Edaran (SE) untuk melegitimasi penggunaan layanan tersebut. Namun, SE kurang memiliki kekuatan untuk jangka panjang karena begitu pandemi selesai, telekonsultasi tak diperbolehkan lagi.

“Jadi DTO ibarat sebuah startup yang sedang membangun Minimum Viable Product. Ketika kita ingin menuju goal keterhubungan data, kita perlu membantu meski belum ada produk hukum.”

Strategi Klinik Pintar Bidik Digitalisasi 1000 Klinik Kesehatan di Indonesia

Startup healthtech Klinik Pintar membidik digitalisasi 1.000 klinik di Indonesia dalam jangka panjang, baik melalui kerja sama dengan pemilik klinik maupun pembangunan klinik fisik baru. Pihaknya juga fokus memperluas ekosistem pendukung untuk memperkuat kualitas layanan kesehatan mitranya.

Dalam sesi media interview, Co-founder & CEO Klinik Pintar Harya Bimo mengatakan, sebagai pionir di rantai suplai klinik, Klinik Pintar memiliki posisi yang strategis untuk mengakselerasi pertumbuhannya. Terlebih, perusahaan juga memanfaatkan momentum dari roadmap transformasi digital yang diterbitkan Kementerian Kesehatan tahun lalu.

Sekadar informasi, salah satu agenda utama dari transformasi digital industri kesehatan adalah keterhubungan data. Agenda ini sejalan dengan upayanya mendigitalkan klinik-klinik di seluruh Indonesia. Berdasarkan data Kemenkes di 2018, terdapat 2.813 RS, 8.841 klinik, dan 9.993 puskesmas.

“Sejak awal misi Klinik Pintar adalah keterhubungan di industri kesehatan. Kami percaya bahwa masalah paling besar adalah diskoneksi, artinya setiap fasilitas kesehatan membuat sistem dan menyimpan data sendiri, tidak ada upaya untuk menghubungkan. Upaya ini baru ada ketika terjadi Covid-19,” ujar pria yang karib disapa Bimo ini.

Klinik Pintar tidak hanya melakukan digitalisasi internal dengan Klinik OS (Operating System), tetapi juga menghubungkan ke jaringan pendukung, seperti laboratorium, sistem rujukan dokter spesialis, rantai pasok obat-obatan hingga alat kesehatan, dan asuransi. Dengan cara ini, klinik bisa lebih berdaya, baik memudahkan pasien maupun mendorong bisnis.

Hingga Maret, terdapat 152 klinik yang tergabung dalam jaringan Klinik Pintar di 60 kota. Pihaknya berencana membangun 20 klinik fisik di 2022.

Untuk melakukan penetrasi ke daerah, Klinik Pintar selalu menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Perhimpunan Dokter Umum Indonesia (PDUI), Perhimpunan Klinik dan Fasilitas Pelayanan Kesehatan (PKFI), dan Asosiasi Klinik Indonesia (Asklin) serta Dinas Kesehatan.

Kepemilikan klinik

Klinik Pintar menawarkan solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standardisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based care.

Di sisi teknologi, mereka menawarkan Klinik OS secara gratis. Di level ini, klinik dapat mengakses layanan yang meliputi modul pendaftaran pasien online, penjadwalan praktik dokter, rekam medis elektronik, resep elektronik, inventori obat, pembayaran digital, hingga pelaporan.

Monetisasi baru dilakukan apabila mitra klinik naik ke tahap Klinik Prima. Di tahap ini, Klinik Pintar mengambil margin dari kerja sama layanan di mitra klinik, misal vaksinasi atau pembelian inventori. Kemudian, pemilik klinik bisa naik ke tahap lebih tinggi untuk mengelola klinik bersama Klinik Pintar (co-manage). Di sini, baik Klinik Pintar dan mitra melakukan profit-sharing.

“Sebetulnya, kami sedang menggodok program untuk kepemilikan klinik. Kami setiap hari bekerja sama dengan mereka, sering ditawarkan untuk punya equity sekian persen. Tapi, kami belum tertarik karena model bisnis kami asset-lite, kami tidak ingin punya banyak aset,” ungkapnya.

Namun, mereka tengah mempertimbangkan hal ini mengingat pihaknya cukup optimistis dengan model bisnisnya terlepas dari situasi global saat ini. Bimo mengaku Klinik Pintar meraih untung dari setiap layanan dan tidak melakukan ‘bakar uang’.

“Dari riset yang dilakukan, banyak pemilik klinik yang tidak tahu cara mengembangkan bisnis. Banyak [pemilik klinik] memercayakan kami untuk mengelola sehingga mereka bisa fokus untuk buka praktik saja. Jadi, kami ada peluang untuk melakukan pembangunan klinik bersama mitra dengan model asset play. Kami akan kabari apabila sudah di-launch,”

Mendorong bisnis klinik lebih sustain

Dalam catatan kami, Klinik Pintar sebelumnya sempat membidik digitalisasi di seluruh ekosistem kesehatan dari hulu ke hilir dengan pendekatan awal pada rumah sakit (RS). Namun, dalam perjalanannya, upaya ini terhambat karena RS punya rantai birokrasi yang panjang sehingga sulit diakselerasi.

Usai pivot sepenuhnya menjadi penyedia rantai suplai klinik di 2020, Bimo mengaku Klinik Pintar telah mencapai product-market fit. Tahap selanjutnya adalah fokus untuk mencari mitra klinik yang bisnisnya dapat dikembangkan dalam jangka panjang. Per 2021, Klinik Pintar telah mendistribusikan 500 ribu pasien ke mitra klinik. Selain itu, pemilik klinik juga mengaku pendapatannya naik hingga 22%.

“Salah satu strategi kami adalah masuk ke [segmen] corporate clinic. Tetap menggunakan OS yang sama, hanya saja kami menambah employee management system yang dapat diakses oleh mitra,” ungkapnya.

Menurutnya, perusahaan kini mulai menyadari pentingnya kesehatan karyawan. Dengan solusi ini, perusahaan dapat mengetahui data kesehatan karyawan dan dapat menjadi perbaikan ke depannya. Saat ini, Klinik Pintar sudah mengelola 40.000 karyawan.

Uji coba

Bimo mengungkap pihaknya melalui Asosiasi Healthtech Indonesia (AHI) telah mengajukan diri sebagai mitra digitalisasi Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP). Salah satunya untuk mengikuti uji coba platform Indonesia Health Services (IHS). 

Berdasarkan informasi terakhir, DTO sedang melakukan beta testing platform IHS dan menargetkan kick off-nya pada Juli mendatang. Ada sekitar 90 lebih institusi mendaftar untuk ikut uji coba, termasuk di antaranya klinik, asuransi, dan laboratorium. 

Uji coba ini termasuk bagaimana mengintegrasikan data pada sistem di fasilitas kesehatan dan Kemenkes. Sebagai informasi, DTO akan memakai standar HL7 FHIR berbasis API sebagai salah satu format pertukaran data dan informasi kesehatan. 

“Pertama yang harus dilakukan adalah menyamakan format database rekam medis di sistem Klinik Pintar dan mitra dengan platform IHS. Yang utama adalah menyamakan ‘bahasa’ dulu, barulah bicara soal keterhubungan yang mana itu ada di bagian [regulatory] sandbox,” tambahnya.

Menurut Bimo, ada tantangan lain dalam mendorong penetrasinya di daerah. Saat ini payung regulasi memang berada di bawah Kemenkes, tetapi Dinas Kesehatan (Dinkes) punya sudut pandang berbeda terhadap implementasi regulasi di daerah sehingga butuh upaya agar semua dapat onboard terhadap digitalisasi.

Contohnya, terkait rekam medis elektronik. Saat ini pemerintah tengah menggodok regulasi terkait rekam medis berbasis elektronik. Untuk mencapai keterhubungan data di 2024, tentu tidak dapat menunggu hingga regulasi keluar. “Dinkes di daerah bingung bagaimana mengelola dan melakukan enforcement [terhadap digitalisasi], jadi kami harus ajak agar mereka onboard,” tuturnya.

Here are our picks (handpicked by our own editors) for Indonesia's most impactful startups that help bring positive changes to grassroots communities

Editors’ Picks: Indonesia’s Most Impactful Startups

Impact investing can be a powerful instrument of change.

— Judith Rodin (Philanthropist and former President of Rockefeller Foundation).

Creating a startup is not only about making wealth and being famous, nationwide and globally. It’s also to make impacts on society. Indonesia, an archipelago with 270+ million of population and most are working in maritime and agriculture industry, can use some help from tech startups to ignite these changes. A change for farmers, fishermen, grassroots communities, MSMEs, and people in need for a better quality of healthcare and education.

In alphabetical order, here are our picks (handpicked by our own editors) for Indonesia’s most impactful startups to date.

Amartha (Kristin, Randi)

Metrics Number/Description
Impacted MSMEs 908,000
Disbursement Rp5.13 trillion
Coverage The women-focused fund, providing access to clean water, accommodating financial access to tier-3 cities, financial literacy programs

Amartha has been uniquely positioned to use Grameen Bank’s playbook to empower women by disbursing productive loans with technological touch. In the patriarchal society we live in, where most households are supported by only men of the family, this innovation would spread an awareness that women, too, have an opportunity to contribute more to the economy. Not only about the loan, its small group setup taught about business, financial literacy, and digital literacy. Several global social impact institutions have validated the effectiveness of their business model and become strategic partners.

Aruna (Amir, Yenny)

Metrics Number/Description
About Integrated Fisheries Commerce
Total Fishermen 20,000+ fishermen and provided 10 commodities
Coverage 40 fishing community centers spread across 13 provinces, the majority are in coastal villages that have not been reached by similar fishing companies.

Indonesia claims to be a maritime industry, yet the industry hasn’t changed to support local fishermen. With one of the co-founders being a fisherman’s daughter, Aruna builds a platform that consolidates all aspects of the industrial fisheries, from aggregators of supply and purchase, financing, and reducing the price gap, while increasing the living standards for underserved fishermen. It has acquired 20,000+ fishermen to date and has begun to partner with MSMEs in the fishery business.

eFishery (Corry, Yenny)

Metrics Number/Description
Statistics 13,000+ fish farmers and 60,000+ fishponds
Impacted MSMEs 6,000 fish farmers in more than 250 cities/districts throughout Indonesia
Coverage Helps fish farmers in terms of care, the provision of feed and seeds, undercut the possibility of working with middlemen

eFishery has revolutionized the aquaculture sector through IoT-based feeder solutions, disrupting the traditional way of feeding fish and shrimp in Indonesia. It is listed as the largest feed distributor and fish supplier in Indonesia without operating any single fishpond. eFishery continues to scale up its innovation by providing an end-to-end ecosystem through the marketplace and BNPL/paylater services. It aims to build an aquaculture ecosystem in Indonesia that is not only profitable, but also sustainable to the farmers, buyers, and all stakeholders.

Halodoc (Marsya, Randi)

Metrics Number/Description
Total Users 20 million+ monthly active users
Partners 4000+ pharmacy, 20,0000+ doctor; 3800+ medical facilities
Coverage All cities in Indonesia

Halodoc succeeds in democratizing access to comprehensive health facilities. The platform enables many people, especially from tier-2 and tier-3 cities, to access a broad network of doctors and pharmacies in Indonesia with a touch of mobile services. No more wasting hours to queue at the hospital. With healthcare digitization still in the nascent stage, accelerated with the pandemic, Halodoc is on course to be the go-to platform for all healthcare needs.

Kitabisa (Randi, Marsya)

Metrics Number/Description
Statistics 6 milllion+ users/fundraisers,  1.5 million+ monthly transaction in 4000 campaigns
Donation Rp835 billion in 2020
Partners 3000+ NGOs and social institutions, 250+ CSRs

It’s no doubt that Kitabisa has set a gold standard of social crowdfunding, by turning donations into a digital lifestyle, making people more responsive to social problems. Its friendly UI/UX has been copied by many similar services. The power of technology, storytelling, and a strong community has made Kitabisa the top-of-mind donation platform in Indonesia, trusted by millions of users every month. The platform perfectly identified the pain points the community had faced with the donation program: trust, convenience, and flexibility.

Klinik Pintar (Corry, Kristin)

Metrics Number/Description
Statistics 120+ clinics
Partner(s) Bundamedik Healthcare System (BMHS)
Coverage 60+ cities

Accessible infrastructure continues to be the highlight of healthcare democratization towards grassroots communities. While Halodoc provides access to doctors and pharmacies, Klinik Pintar provides physical clinic chains as the first mile for healthcare access. According to data, there are almost 9000 clinics and almost 10,000 Puskesmas nationwide, compared to less than 3000 hospitals. The platform aims to help clinics owners to make healthcare services widely accessible for people with the help of technology.

Mitra Bukalapak (Randi, Marsya)

Metrics Number/Description
Statistics 10.4 million registered micro-business users
Coverage All tier-1, tier-2, and tier-3 cities around Indonesia
Focus Financial and digital literacy programs

We believe Mitra Bukalapak will become the core and essential part of Bukalapak’s business, not just a type of diversification like others’ approach. Hence why it’s now the country leader of the O2O industry. It bridges between non-tech-savvy societies and the technology industry. The platform is about how a digital application enables micro-entrepreneurs to create added value for their customers. It’s also hopeful to provide a fair supply chain system for micro-entrepreneurs.

Tanihub (Yenny, Amir)

Metrics Number/Description
Statistics 500,000+ downloads in Google Play
Total farmers 60,000 farmers
Total users 350,000+ buyers in 12 cities

TaniHub is a one-stop digital service for agricultural products that aims to connect farmers with various types of businesses and end-users. While it’s not the only platform in the area, it’s successfully able to connect the long supply chain between farmers and customers by providing access to capital to the farmers, undercutting the distribution, and establishing a more sustainable environment in the industry. Recently it launches a foundation as a vehicle that provides long-term solutions for the welfare of farmers.

Wahyoo (Corry, Kristin)

Metrics Number/Description
Statistics 17,000 “warung”
Coverage “Warung” in Jabodetabek
Focus Digitizing “warung”, supply chain, paylater product

Small and medium enterprises represent one of the major engines of economic growth in Indonesia. Jakarta alone is home to thousands of small food stalls or locally known as “warung”. Founded by Peter Shearer, Wahyoo, through its innovation, intends to help transform the conventional working system of “warung”. It directs its vision on cost efficiency and increasing the profits of “warung” owners through simplification of the supply chain process.

Zenius (Marsya, Kristin)

Metrics Number
Statistics 20 million+ students and partners with over 7000 teachers throughout Indonesia. Total visit reached up to 38 million (session)
Content 100,000+ learning videos, hundreds of thousands of practice questions for elementary-high school level.
Coverage All cities/districts nationwide

Co-Founded by Sabda PS as one of the edtech pioneers in Indonesia, Zenius shows what an edtech company should be. The platform tries to revolutionize our basic education concept. Rather than just “memorizing”, the old method that has been practiced nationwide for years, it pushes the new idea with an understand-the-concept approach.  Moreover, it’s not only focused on students but also helping teachers catch up with digitalization.

Klinik Pintar Secures 58 Billion Rupiah Series A Funding

Healthtech startup Klinik Pintar announced the series A funding of $4.15 million or around 58 billion Rupiah. Golden Gate Ventures led the funding, with the participation of Bundamedik Healthcare System (BMHS), Skystar Ventures, and Sequis Life.

Golden Gate Ventures previously invested in Klinik Pintar in a pre-series A funding round in November 2020, along with two other investors, Venturra Discovery and Kenangan Kapital, an angel fund owned by Kopi Kenangan’s Co-founder, Edward Tirtanata.

In his official statement, Golden Gate Ventures’ representative, Justin Hall expressed optimism about the Indonesian health industry. Hall said, Indonesia has a great potential growth and Klinik Pintar is taking part in this growth by building an integrated health ecosystem. “The previously mentioned convinces us to support Klinik Pintar in advancing the health system through this funding support,” he explained.

Meanwhile, the BMHS’ representative, dr. Ivan Sini said that his participation in Klinik Pintar funding signifies the company’s commitment to developing an integrated health service ecosystem with Smart Clinics in Indonesia. “This synergy can be started from the referral system, laboratory, and supply chain,” he said.

For information, the Smart Clinic under the auspices of PT Medigo Teknologi Kesehatan (Medigo) offers a solution through a profit sharing system with the clinic owner. This collaboration is in the form of providing technology solutions to digitize business processes and services, standardization, and investment that can help clinic owners develop their businesses and increase value-based care.

In order to realize this integrated health ecosystem, Klinik Pintar continues to develop the Klinik OS (Operating System) digital platform that digitizes operations and empowers clinics through digital. It includes online and offline end-to-end services, comprehensive standardization of SOPs, inventory and managerial management, and digitally connecting between clinics in the network and other supporting partners.

Service development in 2022

DailySocial.id had a chance to interview Medigo’s Co-founder & CEO, Harya Bimo regarding the future business plan using this new funding. On this occasion, the man who is familiarly called Bimo emphasized that from now on, Medigo will use Klinik Pintar as the branding of its services in the future.

In accordance with its mission to become a clinic supply chain provider in Indonesia, this new funding will be used to expand the Klinik Pintar network and services. Currently, Klinik Pintar already has 120 clinics available in 60 cities throughout Indonesia.

“We have proven that the framework [through the clinical supply chain model] is successful. Therefore, in the next two years, we want to strengthen existing services by increasing the value of the Smart network through service interoperability,” he said.

One of which is service synergy with the ecosystem owned by BMHS. To strengthen this synergy, BMHS has invested in series A shares totaling 2339 shares which were issued and issued in Klinik Pintar Technologies Pte Ltd, with a direct share investment of $1.5 million or equivalent to Rp21 billion on 8 November. BMHS is part of the clinic’s operational partner through the Smart Clinic digital network.

This synergy will be performed by the Bundamedik Healthcare System, which is an integrated health service ecosystem belonging to PT Bundamedik Tbk, and consists of a network of hospitals, clinics, laboratories, to medical evacuation.

His team will implement a digital-based referral system, both to hospitals and laboratories, by utilizing the ecosystem owned by BMHS. According to Bimo, so far the referral system in Indonesia is still paper-based, which is considered inefficient for patients and health workers.

Klinik Pintar
Klinik Pintar

With digital referrals, doctors and health workers can see the patient’s previous track record. In another example, a patient who is referred for laboratory tests can collect the results at the Klinik Pintar.

“We are trying to empower existing clinics. Considering that not all clinics have laboratories, we take an approach with a network strategy. Now, BMHS has a similar idea to what we are looking for. Our main synergy is to address the needs in areas that so far do not have access to laboratories. We “We will develop this network synergy with BMHS. Our target next year is to build 400 clinics,” he explained.

In another use case, Klinik Pintar will also improve interoperability in the supply chain by connecting clinics and suppliers (principals). Thus, clinics can order various medical equipment and health products, such as pharmaceuticals, vaccines, syringes, and gloves.

“We want to go national now. Currently, we supply gradually in Jabodetabek. Our next target is Java and outside Java. At the very least, our target is to be able to penetrate new cities every quarter. We are also collaborating with big pharmaceutical players because our permits are not distributors,” Bimo said.

In addition, his team will open new access for maternal and child services. Bimo assessed that this segment was still underserved in Indonesia, especially during the Covid-19 pandemic. Klinik Pintar will provide a number of services, including home care and telemedicine through video calls.

Finally, his team is also developing a number of health programs as a preventive measure for serious diseases (diabetes, hypertension, heart) through a health plan. Currently, the program is only marketed to B2B consumers.

“Many internal diseases can’t actually be handled via chat and one meeting. An offline and online approach is required, not only teleconsultation, but also monitoring. This is one of the challenges we see in hospitals and clinics, not in handling severe symptoms,” he said.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Pendanaan Seri A Klinik Pintar

Klinik Pintar Memperoleh Pendanaan Seri A Sebesar 58 Miliar Rupiah

Startup healthtech Klinik Pintar mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $4,15 juta atau sekitar 58 miliar Rupiah. Golden Gate Ventures kembali terlibat dan kali ini memimpin pendanaan, ditambah partisipasi PT Bundamedik Tbk (BMHS), Skystar Capital, dan Sequis Life.

Golden Gate Ventures sebelumnya berinvestasi di Klinik Pintar pada putaran pendanaan pra-seri A yang diumumkan November 2020, bersama dua investor lainnya, yaitu Venturra Discovery dan Kenangan Kapital yang merupakan angel fund milik Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata.

Dalam keterangan resminya, perwakilan Golden Gate Ventures Justin Hall mengungkap optimistis terhadap industri kesehatan Indonesia. Menurut Hall, potensi pertumbuhan di Indonesia sangat besar dan Klinik Pintar mengambil peran dalam pertumbuhan tersebut dengan membangun ekosistem kesehatan terintegrasi. “Hal di atas meyakinkan kami mendukung Klinik Pintar dalam memajukan sistem kesehatan melalui sokongan pendanaan ini,” paparnya.

Sementara itu, perwakilan BMHS dr. Ivan Sini menambahkan bahwa partisipasinya di pendanaan Klinik Pintar menandakan komitmen perusahaan untuk mengembangkan ekosistem layanan kesehatan terintegrasi bersama Klinik Pintar di Indonesia. “Sinergi ini dapat dimulai dari sistem rujukan, laboratorium, dan supply chain,” katanya.

Sebagai informasi, Klinik Pintar di bawah naungan PT Medigo Teknologi Kesehatan (Medigo) menawarkan solusi melalui sistem bagi hasil dengan pemilik klinik. Kerja sama ini berupa pemberian solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standardisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based-care.

Demi mewujudkan ekosistem kesehatan terintegrasi ini, Klinik Pintar terus mengembangkan platform digital Klinik OS (Operating System) yang mendigitalkan operasional dan memberdayakan klinik melalui digital. Digitalisasi ini meliputi layanan end-to-end secara online dan offline, standardisasi SOP menyeluruh, pengelolaan inventaris dan manajerial, dan menghubungkan antar-klinik di jaringan dan mitra pendukung lainnya secara digital.

Rencana pengembangan layanan di 2022

DailySocial.id berkesempatan mewawancarai Co-founder & CEO Medigo Harya Bimo terkait rencana bisnis ke depan dengan pendanaan baru ini. Pada kesempatan ini, pria yang karib disapa Bimo ini menegaskan bahwa kini Medigo akan memakai nama Klinik Pintar sebagai branding layanannya ke depan.

Sesuai misinya untuk menjadi penyedia supply chain klinik di Indonesia, pendanaan baru ini akan digunakan untuk mengekspansi jaringan dan layanan Klinik Pintar. Saat ini, Klinik Pintar sudah memiliki 120 klinik yang tersedia di 60 kota di seluruh Indonesia.

“Kami sudah membuktikan bahwa framework [melalui model supply chain klinik] ini berhasil. Maka itu, dalam dua tahun ke depan, kami ingin memperkuat layanan yang sudah ada dengan meningkatkan value jaringan Pintar lewat interoperabilitas layanan,” ungkapnya.

Salah satunya adalah sinergi layanan dengan ekosistem yang dimiliki BMHS. Untuk memperkuat sinergi ini, BMHS melakukan penyertaan saham seri A sejumlah 2339 lembar saham yang ditempatkan dan dikeluarkan dalam Klinik Pintar Technologies Pte Ltd, dengan penyertaan saham langsung $1,5 juta atau setara Rp21 miliar pada 8 November lalu. BMHS menjadi bagian dari mitra operasional klinik melalui jaringan digital Klinik Pintar.

Sinergi ini akan dilakukan Bundamedik Healthcare System yang merupakan ekosistem layanan kesehatan terintegrasi milik PT Bundamedik Tbk, dan terdiri dari jaringan rumah sakit, klinik, laboratorium, hingga evakuasi medis.

Pihaknya akan mengimplementasi sistem rujukan berbasis digital, baik ke rumah sakit maupun laboratorium, dengan memanfaatkan ekosistem yang dimiliki BMHS. Menurut Bimo, selama ini sistem rujukan di Indonesia masih berbasis kertas yang dinilai kurang efisien bagi pasien dan petugas kesehatan.

Klinik Pintar
Klinik Pintar

Dengan rujukan digital, dokter dan petugas kesehatan dapat melihat rekam jejak pasien sebelumnya. Pada contoh lain, pasien yang dirujuk untuk melakukan tes laboratorium, dapat mengambil hasilnya di Klinik Pintar.

“Kami berupaya empower klinik existing. Mengingat tidak semua klinik punya laboratorium, kami mengambil approach dengan strategi jaringan. Nah, BMHS punya pemikiran serupa dengan yang kami cari. Sinergi utama kami untuk address kebutuhan di daerah yang selama ini tidak punya akses ke laboratorium. Kami akan mengembangkan sinergi jaringan ini bersama BMHS. Target kami tahun depan membangun 400 klinik,” jelasnya.

Pada use case lain, Klinik Pintar juga akan meningkatkan interoperabilitas di supply chain dengan menghubungkan klinik dan supplier (principal). Dengan demikian, klinik dapat memesan berbagai peralatan medis dan produk kesehatan, seperti farmasi, vaksin, jarum suntik, dan sarung tangan.

“Kami ingin go national sekarang. Saat ini, supply kami lakukan bertahap di Jabodetabek. Target kami selanjutnya adalah Jawa dan luar Jawa. Paling tidak, kami target bisa tembus kota baru setiap kuartal. Kami juga kerja sama dengan pemain farmasi besar karena izin kami bukan distributor,” ujar Bimo.

Selain itu, pihaknya akan membuka akses baru bagi layanan ibu dan anak. Bimo menilai, segmen ini masih underserved di Indonesia, terutama selama pandemi Covid-19 terjadi. Klinik Pintar akan menyediakan sejumlah layanan, termasuk home care dan telemedicine melalui video call.

Terakhir, pihaknya juga tengah mengembangkan sejumlah program kesehatan sebagai tindakan preventif penyakit berat (diabetes, hipertensi, jantung) melalui health plan. Saat ini, program tersebut baru dipasarkan ke konsumen B2B.

“Banyak penyakit dalam yang sebetulnya tidak dapat ditangani via chat dan sekali pertemuan saja. Perlu approach offline dan online, tidak hanya telekonsultasi, tetapi juga monitoring. Ini salah satu tantangan yang kami lihat di rumah sakit dan klinik, bukan di penanganan gejala berat,” katanya.

Application Information Will Show Up Here

Medigo Announces Pre Series A Funding, to Expand with Clinic Supply Chain

Healthtech startup Medigo announced it has secured pre-series A funding of an undisclosed amount. There are three investors involved in this new funding, the existing Venturra Discovery, and two new investors: Golden Gate Ventures and Kenangan Kapital participated as an angel investor by Kopi Kenangan’s Co-founder, Edward Tirtanata.

In his interview with DailySocial, Co-founder and CEO of Medigo Harya Bimo revealed that this new funding will support the company’s expansion plan to focus on becoming a clinic chain provider in Indonesia.

“Previously, the clinic chain was one of Medigo’s initiatives to strengthen the healthcare ecosystem in Indonesia. We are now focus on becoming a clinic chain. So, our revenue stream will be mainly from clinics,” said the man better known as Bimo.

On a separate occasion, Edward Tirtanata revealed his reasons for being involved as an angel investor in Medigo. He considered that currently there is still a big gap in the Indonesian health industry. It is undeniable that the clinic is quite the main goal of the Indonesian people considering the high cost of the hospital (RS).

The standardization of clinics in Indonesia is currently still low, so not all people are able to obtain the same health care in every region. With the support of digital platforms, Indonesia can improve the standardization of its clinic ecosystem.

“This is why this pivot can be a game changer. Not only for Medigo’s business, but also for Indonesia’s [health industry]. We made a small bet in the beginning, but Medigo is now showing promising results, even during the pandemic,” he said.

Aim to transform Indonesia’s health industry

Currently, Medigo has partnered with 73 clinics in 42 cities in Indonesia. According to Bimo, the number of partnerships will continue to be increased next year and will be followed by the presence of new services, such as telemedicine.

Klink Pintar offers a solution through a profit sharing system with clinic owners. This collaboration is in the form of providing technology solutions to digitize business processes and services, standardization, and investment that can help clinic owners develop their business and increase value-based care. Two clinics have been built by the end of 2019.

Medigo has started to fully focus on becoming the clinic supply chain since the beginning of 2019. This is because the first approach through the hospital is considered difficult to accelerate. Initially, Medigo had a mission to connect all health ecosystems in Indonesia from upstream to downstream, from patients, medical personnel, clinics, hospitals, to laboratories.

It turns out that in his journey, Medigo realized that the nature of the hospital industry is to have a long bureaucratic chain. Bimo admitted that it took him almost one year per hospital to carry out the implementation, such as platform integration and HR training.

He said this strategy is quite the right one because it reaches more on the grassroots segment. In addition, there are more clinics than hospitals in Indonesia. According to the data from the Ministry of Health per 2018, there are 2,813 hospitals in Indonesia, while there are 8,841 clinics and 9,993 health centers.

“When developing the clinic management system, more than 300 clinics registered on our platform. Only, the usage is quite low. We started to research the clinic to find out what the problem is. Is technology the main problem or is there anything else that hasn’t been resolved?” Bimo explained.

From this research, Medigo continued to prepare plans in July 2019. One of the realizations was to build a Klinik Pintar (Smart Clinic) by collaborating with the Indonesian Doctors Association (IDI) in December 2019 and officially launched in February 2020.

Pivot during pandemic

Before the pandemic, Klinik Pintar was divided into two models, independent development or collaboration with existing clinics. For the second option, Medigo can manage all existing clinic operations. There are clinics managed jointly with its owner.

When the Covid-19 pandemic occurred, the third Klinik Pintar planned to be built in March was hampered. This development requires face-to-face and continuous monitoring, while the social distancing policy does not allow this plan to continue. Even though his team has tried to provide a seamless experience to reduce interactions, people still tend to be reluctant to come to hospitals or clinics during a pandemic.

Medigo then decided to re-evaluate its pivot strategy considering the pandemic situation did not allow the startup which was founded in 2018 to continue with the Klinik Pintar partnership model at that time.

“At first, we thought this [pivot] should partner with several hundred physical clinics that can be managed by yourself. Due to pandemic, we are trying to see what are the real focus and values we aim for from the entire healthcare ecosystem. Now, we have strengths where there aren’t many who play in [the clinic supply chain],” he explained.

Medigo finally performed a repositioning strategy with two new business models, (1) continuing to build a physical clinic that would be 100 percent managed by Medigo and (2) increasing cooperation with existing clinics. He said his main focus was on the second model by expanding services rather than building a new physical clinic.

Bimo said pivot with the new business model can be effective. Even during the pandemic situation, the presence of digital communication platforms (Zoom, WhatsApp, Google Meet, and others) has greatly helped companies build trust with clinics throughout Indonesia.

Although it was down for several months, Medigo’s business is progressively growing. The peak, last May, Medigo obtained an increased rate of service up to four times compared to April. In fact, Bimo said that Medigo’s business has earned healthy margins every month until now.

Apart from that, it has also noted a significant increase in interactions on its platform. The interaction referred to is the connection among stakeholders in the health industry. Bimo admitted that this was his main KPI when Medigo was founded.

Currently, Medigo manages patient medical record data at its clinic partners. Of the 73 registered clinics, a clinic can have 100 patients per day. Along with the increasing number of Medigo partners in the future, his team targets the interactivity in the Indonesian health ecosystem will be even higher.

“Our pivot already has validation and the business model is clear. We have a demand that we can answer, the numbers prove it. It’s just how we proceed vertically, such as clinical acquisitions and service scale-up, and horizontally,” Bimo added.

To date, Medigo is focusing on expanding access to Covid-19 testing in clinics to all regions in Indonesia. His team is also conducting a proof of concept (POV) for teleconsulting specialist doctor services.

“We are aware that Covid-19 has an impact on mothers. They are not brave enough to go out for vaccines for their children because of this pandemic. We are worried that there will be a generation gap. Therefore, in the future we also want to become a distribution network for any vaccine. clinic, our ultimate goal is transparency and reduce monopoly potential.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here

Medigo Umumkan Pendanaan Pra Seri A, Berencana Ekspansi ke Rantai Suplai Klinik

Startup healthtech Medigo mengumumkan perolehan pendanaan pra seri A dengan nilai yang tidak disebutkan. Ada tiga investor yang terlibat dalam pendanaan baru kali ini, yakni investor existing Venturra Discovery serta dua investor baru: Golden Gate Ventures dan Kenangan Kapital yang merupakan angel fund milik Co-founder Kopi Kenangan Edward Tirtanata.

Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Co-founder dan CEO Medigo Harya Bimo mengungkapkan bahwa pendanaan baru ini akan mendukung rencana ekspansi perusahaan untuk fokus menjadi menjadi penyedia rantai suplai klinik (clinic chain) di Indonesia.

“Tadinya clinic chain adalah satu dari sekian inisiatif Medigo untuk memperkuat ekosistem healthcare di Indonesia. Sekarang kami fokus untuk menjadi clinic chain saja. Jadi, revenue stream kami nanti [mainly] dari klinik,” ujar pria yang karib disapa Bimo ini.

Dihubungi secara terpisah, Edward Tirtanata mengungkapkan alasannya terlibat sebagai angel investor di Medigo. Ia menilai saat ini masih ada gap besar di industri kesehatan Indonesia. Tak dipungkiri, klinik masih menjadi tujuan utama masyarakat Indonesia mengingat biaya rumah sakit (RS) masih mahal.

Standardisasi klinik di Indonesia saat ini terbilang masih rendah sehingga tidak semua masyarakat mampu memperoleh perawatan kesehatan yang sama di setiap wilayah. Dengan dukungan platform digital, Indonesia dapat meningkatkan standardisasi ekosistem kliniknya.

“Inilah mengapa pivot ini dapat menjadi game changer. Tak hanya bagi bisnis Medigo, tetapi juga bagi [industri kesehatan] Indonesia. Kami bertaruh di awal dengan jumlah yang masih kecil, tetapi sekarang Medigo menunjukkan hasil yang menjanjikan, bahkan selama pandemi,” ungkapnya.

Ingin ubah wajah industri kesehatan Indonesia

Saat ini, Medigo telah bermitra dengan 73 klinik di 42 kota di Indonesia. Menurut Bimo, jumlah kemitraan ini akan terus ditingkatkan di tahun depan dan akan diikuti dengan kehadiran layanan-layanan baru, seperti telemedicine.

Klinik Pintar menawarkan solusi melalui sistem bagi hasil dengan pemilik klinik. Kerja sama ini berupa pemberian solusi teknologi untuk mendigitalkan proses bisnis dan layanan, standarisasi, dan investasi yang dapat membantu pemilik klinik mengembangkan usaha dan meningkatkan value based care. Dua Klinik Pintar telah dibangun per akhir 2019.

Fokus untuk sepenuhnya menjadi rantai suplai klinik sudah mulai dieksekusi Medigo sejak awal 2019. Hal ini karena pendekatan awal melalui RS dinilai sulit diakselerasi. Semula Medigo memang memiliki misi untuk menghubungkan seluruh ekosistem kesehatan di Indonesia dari hulu ke hilir, mulai dari pasien, petugas medis, klinik, RS, hingga laboratorium.

Ternyata dalam perjalanannya, Medigo menyadari bahwa nature dari industri RS adalah memiliki rantai birokrasi yang panjang. Bimo mengaku pihaknya membutuhkan hampir satu tahun per RS untuk melakukan implementasi, seperti integrasi platform dan training SDM.

Menurutnya, strategi ini sudah tepat karena lebih banyak menyentuh segmen grassroots. Selain itu, jumlah klinik di Indonesia jauh lebih banyak dibandingkan RS. Data Kementerian Kesehatan per 2018 mencatat ada 2.813 RS di Indonesia, sedangkan klinik mencapai 8.841 dan puskesmas 9.993 unit.

“Saat mengembangkan clinic management system, lebih dari 300 klinik mendaftar di paltform kami. Hanya saja usage-nya masih kecil. Di sini kami mulai riset ke klinik untuk tahu apa masalahnya. Apa teknologi jadi masalah utama atau ada hal lain yang belum bisa diselesaikan?” jelas Bimo.

Dari riset tersebut, Medigo berlanjut pada persiapan rencana pada Juli 2019. Salah satu realisasinya saat itu adalah membangun Klinik Pintar dengan menggandeng Ikatan Dokter Indonesia (IDI) pada Desember 2019 meresmikannya pada Februari 2020.

Mengeksekusi pivot selama pandemi

Sebelum pandemi, Klinik Pintar terbagi atas dua model kerja sama, yakni membangun sendiri atau berkolaborasi dengan klinik existing. Untuk opsi kedua, Medigo dapat mengelola seluruh operasional klinik existing. Ada juga yang dikelola secara bersama dengan pemilik klinik tersebut.

Ketika pandemi Covid-19 terjadi, Klinik Pintar ketiga yang direncanakan dibangun pada Maret menjadi terhambat. Pembangunan ini membutuhkan tatap muka dan monitoring berkelanjutan, sedangkan kebijakan pembatasan sosial tak memungkinkan untuk meneruskan rencana ini. Meskipun pihaknya sudah mencoba memberikan seamless experience untuk mengurangi interaksi, masyarakat tetap cenderung enggan datang ke RS atau klinik selama pandemi.

Medigo pun memutuskan mengevaluasi ulang strategi pivot-nya mengingat situasi pandemi tidak memungkinkan startup yang berdiri pada 2018 tersebut melanjutkan model partnership Klinik Pintar saat itu.

“Semula, kami pikir [pivot ini] harus menggandeng sekian ratus klinik fisik yang dapat dikelola sendiri. Karena pandemi ini, kami coba lihat apa sebetulnya fokus dan value yang ingin kami tuju dari seluruh ekoistem healthcare. Nah, kami punya strength di mana belum banyak yang bermain di [rantai suplai klinik],” jelasnya.

Medigo akhirnya melakukan repositioning strategi dengan dua model bisnis baru, yakni (1) tetap membangun klinik fisik yang akan 100 persen dikelola oleh Medigo dan (2) memperbanyak kerja sama dengan klinik existing. Ia menyebut fokus utamanya pada model kedua dengan memperbanyak layanan ketimbang membangun klinik fisik baru.

Menurut Bimo, pivot dengan model bisnis baru ini dapat dikatakan efektif. Meski di situasi pandemi ini, kehadiran platform komunikasi digital (Zoom, WhatsApp, Google Meet, dan lainnya) sangat membantu perusahaan membangun kepercayaan dengan klinik di seluruh Indonesia.

Meski sempat turun selama beberapa bulan, kini bisnis Medigo berangsur meningkat kembali. Puncaknya, pada Mei lalu, Medigo mengantongi kenaikan layanan hingga empat kali lipat dibandingkan April. Bahkan, Bimo menyebut bisnis Medigo sudah meraup margin yang sehat setiap bulan hingga saat ini.

Selain itu, pihaknya juga mencatat peningkatan signifikan pada interaksi di platform-nya. Interaksi yang dimaksud adalah keterhubungan para stakeholder di industri kesehatan. Bimo mengaku bahwa ini menjadi KPI utamanya ketika Medigo didirikan.

Saat ini, Medigo mengelola data rekam medis pasien pada mitra kliniknya. Dari 73 klinik yang dikelolanya, per klinik saja dapat memiliki 100 pasien per hari. Seiring dengan bertambahnya jumlah mitra Medigo ke depan, pihaknya menargetkan interactivity di ekosistem kesehatan Indonesia akan semakin tinggi.

“Kini pivot kami sudah memiliki validasi dan sudah jelas model bisnisnya. Kami punya demand yang dapat kami jawab, the numbers prove it. Tinggal bagaimana selanjutnya kami mengeksekusi vertikal, seperti akuisisi klinik dan scale up layanan, dan horizontal,” tambah Bimo.

Saat ini, Medigo tengah fokus untuk memperluas akses tes Covid-19 di klinik hingga ke seluruh wilayah di Indonesia. Pihaknya juga tengah melakukan proof of concept (POV) untuk telekonsultasi layanan dokter spesialis.

“Kami menyadari bahwa Covid-19 berdampak pada ibu-ibu. Mereka menjadi tidak berani keluar untuk vaksin anaknya karena pandemi ini. Kami khawatir bakal ada generation gap. Maka itu, ke depannya kami juga ingin menjadi jaringan distribusi vaksin apapun. Dengan dukungan rantai suplai klinik, tujuan akhir kami adalah transparansi dan mengurangi potensi monopoli.”

Application Information Will Show Up Here

Effectivity of Business Pivot from Three Startups Amid Pandemic

Business pivot is not a new thing for startups. Usually, this action is taken when a business is difficult to progress, aka not growing. In the Covid-19 pandemic situation, many startups have pivoted. This is not because the business is not growing, but the act must be taken due to survival.

The pandemic has hit all business sectors, especially the aviation, tourism, and hospitality sectors. As a result, startups that depend a lot on their main income from this sector are forced to rethink their business strategy and take new steps.

It has been eight months since Covid-19 broke out in Indonesia. DailySocial interviewed three CEOs of three Indonesian startups regarding the realization and effectiveness of their business pivots during the pandemic.

Market research before pivot

Before talking about effectiveness and realization, doing a pivot must be accompanied by careful readiness for the target market and business model to be explored. In their interview with DailySocial, Kedai Sayur, Medigo, and Izy admitted to doing market research and survey first.

Please note, the three startups are both playing in the Business-to-Business (B2B) segment. The difference is, both Izy and Kedai Sayur decided to pivot to B2C because of the pandemic. Meanwhile, Medigo, whose pivot has been planned since 2019, has actually been impacted by the pandemic.

Izy’s business model is closely related to hospitality where it provides digitalization of services to encourage increased consumption of hotel and accommodation guests through the platform. For example room service and laundry.

Izy started pivoting in April 2020 after conducting simple market research with several clients and related parties to get initial input. With the same business model, Izy creates new markets by penetrating modern retail and residential settlements.

Meanwhile, Kedai Sayur, which initially served B2B, such as vegetable vendors, cafes, and restaurants, is forced to enter the B2C segment or end-users. Social restrictions have resulted in a decrease in visitor transactions at restaurants and cafes, therefore, managers have to reduce the volume of orders for ingredients.

“We do market research to determine consumer behavior, the need for fresh products that are of interest, and on the lifestyle. This is because B2C and B2B consumer behavior is different,” Kedai Sayur’s Co-Founder and CEO, Adrian Hernanto said.

In Medigo’s case, this platform initially attempted to connect all ecosystems in the health industry from upstream to downstream with hospitals (RS) as an initial approach.

Given the hospital bureaucracy that required a long integration process, Medigo finally pivoted by focusing on clinical management only. In December 2019, Medigo built a Smart Clinic and opened it in February 2020.

“When we developed the clinic management system in early 2019, there were indeed more than 300 clinics that registered. It’s just that the usage is still small. We start researching and surveying the clinic to find out what the problem is. Is technology or is there any major problem that hasn’t been resolved yet?,” Medigo Indonesia’s Co-Founder and CEO Harya Bimo said.

Along the way, Medigo encountered difficulty in executing the pivot. Smart Clinics are run with two business models, namely building their own and collaborating with existing clinics. Problems arise when a pandemic hits.

“When we wanted to build a second Smart Clinic, the situation was not possible because the model had to be monitoring, renovating, where it requires high touch. Meanwhile, we had to be low touch as that time were social restrictions. Here we are rethinking our pivot strategy and partnership model,” said the man who is better known as Bimo.

Pivot realization during pandemic

Approximately almost eight months after the pandemic occurred in Indonesia, the three startups said that they had reaped positive results or responses from the new services they offered to the market.

Although this pivot is temporary, Izy’s Co-Founder and CEO, Gerry Mangentang admitted that he has managed to earn revenue. Even so, his team avoids sharing details regarding the increase in revenue because it is related to internal data with its partners.

“For the core product/service, we will remain the same as before, focusing on the hotel industry. However, this pivoting will be very useful in the future to complement the Izy platform and ecosystem,” he said.

Meanwhile, Kedai Sayur recorded an increase in sales with the demand of more than 50 percent after entering the B2C segment. Adrian said the demand continues to increase because people are getting used to buying foodstuffs, vegetables, and fruits online.

Apart from sales, Adrian said, the company also recorded other positive responses. For example, the number of customer complaints at Kedai Sayur continues to decline every month, followed by an increase in traffic engagement and the number of new users through social media. “To maintain customer satisfaction and loyalty, we accelerate the delivery process from H + 2 to H + 1,” he explained.

Medigo’s entry into the clinical supply chain also recorded a significant increase. At the beginning of the period of social distancing, the company did not immediately reap a business increase because people tend to be afraid to go to hospitals or clinics during that period.

However, its services began to increase with a peak in May up to four times compared to April. He claims that since May until now, the increase has more than quadrupled. “In fact, we already have a healthy margin every month. Therefore, our income is higher than our burn rate,” he said.

Effectivity and metrics used

By optimizing technology, operations, and the right business model, Medigo, Izy, and Kedai Sayur reveal that this pivot is working effectively. However, there is still room for improvement in the future.

In measuring the effectiveness of pivots, Adrian said that his team did not rely solely on traction metrics or the number of transactions alone. They seek to maximize Customer Relationship Management (CRM) by utilizing quality data to get better business prospects.

Previously, Adrian had mentioned that data plays an important role in reading a trend or phenomenon in the digital era. In the context of a pandemic, Adrian said data can show trends in demand for orders or product prices in certain areas.

“The biggest challenge of pivoting into B2C is the big effort in bringing the [name] brand to the wider community with various characteristics. Therefore, we pay close attention to details that can be essential updates to improve our services in the future,”

However, Bimo added, his team did not rely solely on sales metrics to measure the effectiveness of this pivot. Since its debut, Medigo has defined interactivity in the healthcare ecosystem as its “North Star Metric”. This means that these metrics are at the core of growing its main business.

“Our pivot is very effective because it is not only measured from commercial, but also non-commercial. It’s useless if non-commercial is good, but it can’t be monetized because the business model is not yet supported. After the pivot, [non-commercial metric] interactions on our platform increase extraordinary,” Bimo added.

He said the success of this pivot can be maintained if the two metrics can work together. “We run many clinics where patient medical records are stored in our system. If one hospital can handle 900 patients per day, we can manage 60 clinics with 100 patients each per day. This becomes our ‘North Star Metric’ to encourage the interaction of healthcare stakeholders,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengambil contoh kasus pivot yang dijajaki Medigo, Kedai Sayur, dan Izy untuk memahami bagaimana mereka mengubah problem menjadi pendapatan

Efektivitas Pivot Bisnis Tiga Startup di Masa Pandemi

Pivot bisnis bukanlah hal baru bagi startup. Biasanya, aksi ini diambil apabila sebuah bisnis sulit maju alias tidak berkembang. Dalam situasi pandemi Covid-19, tak sedikit startup melakukan pivot. Ini bukan karena bisnisnya tak berkembang, tetapi terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan bisnisnya.

Pandemi menghajar telak segala sektor bisnis, terutama sektor penerbangan, pariwisata, dan hospitality. Alhasil, startup yang banyak menggantungkan pendapatan utamanya dari sektor tersebut terpaksa harus memikirkan ulang bisnisnya dan mengambil langkah baru.

Delapan bulan sudah berjalan sejak Covid-19 mewabah di Indonesia. DailySocial mewawancarai tiga CEO tiga startup Indonesia mengenai realisasi dan efektivitas pivot bisnisnya di masa pandemi.

Riset pasar sebelum pivot

Sebelum bicara efektivitas dan realisasi, melakukan pivot harus disertai kesiapan yang matang terhadap target pasar dan model bisnis yang akan dijajaki. Dalam wawancaranya dengan DailySocial, Kedai Sayur, Medigo, dan Izy mengaku melakukan riset dan survei pasar terlebih dahulu.

Perlu diketahui, ketiga startup tersebut sama-sama bermain di segmen Business-to-Business (B2B). Yang berbeda, baik Izy dan Kedai Sayur memutuskan pivot ke B2C karena pandemi. Sementara, Medigo yang pivot-nya yang direncanakan sejak 2019 justru eksekusinya terdampak karena pandemi.

Model bisnis Izy sangat bersinggungan dengan hospitality di mana pihaknya menyediakan digitalisasi layanan untuk mendorong peningkatan konsumsi tamu hotel dan akomodasi lewat platform. Contohnya room service dan laundry.

Izy mulai pivot sejak April 2020 setelah melakukan riset pasar secara sederhana dengan beberapa klien dan pihak terkait untuk memperoleh masukan awal. Dengan model bisnis yang sama, Izy membuka pasar baru dengan merambah ritel modern dan permukiman residensial.

Sementara Kedai Sayur yang awalnya melayani B2B, seperti tukang sayur, cafe, dan restoran, mau tak mau masuk ke segmen B2C atau end user. Pembatasan sosial mengakibatkan penurunan transaksi pengunjung di restoran dan cafe sehingga pengelola harus menurunkan volume pesanan bahan makanan.

“Di sini kami riset pasar untuk menentukan perilaku konsumen, kebutuhan produk segar yang diminati, dan bagaimana lifestyle-nya. Ini karena perilaku konsumen B2C dan B2B berbeda,” ungkap Co-Founder dan CEO Kedai Sayur Adrian Hernanto.

Di kasus Medigo, semula platform ini berupaya menghubungkan seluruh ekosistem di industri kesehatan dari hulu ke hilir dengan Rumah Sakit (RS) sebagai pendekatan awal.

Mengingat birokrasi RS yang mengharuskan proses integrasi yang panjang, Medigo akhirnya pivot dengan fokus pada pengelolaan klinik saja. Pada Desember 2019, Medigo membangun Klinik Pintar dan meresmikannya pada Februari 2020.

“Ketika kami kembangkan clinic management system di awal 2019, memang ada lebih dari 300 klinik yang daftar. Hanya saja usage-nya masih kecil. Di sini kami mulai riset dan survei ke klinik untuk tahu apa masalahnya. Apa teknologi jadi masalah utama atau ada hal lain yang belum bisa diselesaikan?,” ujar Co-Founder dan CEO Medigo Indonesia Harya Bimo.

Dalam perjalanannya, Medigo menemui kesulitan dalam mengeksekusi pivot. Klinik Pintar dijalankan dengan dua model bisnis, yakni membangun sendiri dan berkolaborasi dengan klinik existing. Masalah muncul ketika pandemi melanda.

“Ketika kami mau membangun Klinik Pintar kedua, situasi tidak memungkinkan karena modelnya harus monitoring, renovasi, di mana perlu high touch. Sementara, kami harus low touch karena saat itu ada pembatasan sosial. Di sini kami memikirkan ulang strategi pivot dan model partnership kami,” tutur pria yang karib disapa Bimo ini.

Realisasi pivot selama pandemi

Sekitar hampir delapan bulan terhitung sejak pandemi mewabah di Indonesia, ketiga startup di atas mengungkapkan telah menuai hasil atau respon positif dari layanan baru yang mereka tawarkan ke pasar.

Meski pivot ini bersifat sementara, Co-Founder dan CEO Izy Gerry Mangentang mengaku sudah berhasil mengantongi pendapatan. Meskipun demikian, pihaknya belum dapat membagikan lebih rinci terkait kenaikan pendapatan tersebut karena berkaitan dengan data internal dengan mitranya.

“Untuk core product/service, kami akan tetap akan sama seperti sebelumnya, yakni fokus di industri hotel. Akan tetapi pivoting ini akan sangat berguna untuk kedepannya bisa melengkapi platform dan ekosistem Izy,” ucapnya.

Sementara Kedai Sayur mencatat kenaikan penjualan dengan permintaan lebih dari 50 persen pasca masuk ke segmen B2C. Menurut Adrian, permintaan terus meningkat karena semakin hari masyarakat semakin terbiasa membeli bahan makanan, sayur mayur, dan buah-buahan melalui online.

Selain penjualan, ungkap Adrian, perusahaan juga mencatatkan respons positif lainnya. Misalnya, jumlah keluhan pelanggan Kedai Sayur terus menurun setiap bulan, lalu diikuti peningkatan engagement traffic dan penambahan pengguna baru melalui media sosial. “Untuk menjaga kepuasan dan loyalitas konsumen, kami mempercepat proses pengiriman dari H+2 menjadi H+1,” jelasnya.

Medigo yang masuk ke rantai suplai klinik juga mencatatkan peningkatan signifikan. Di awal masa pembatasan sosial, pihaknya belum langsung menuai kenaikan bisnis karena pada periode tersebut masyarakat cenderung takut ke RS atau klinik.

Namun, layanannya mulai mengalami kenaikan dengan puncaknya pada Mei naik hingga empat kali lipat dibandingkan April. Ia mengklaim sejak Mei hingga saat ini, kenaikannya sudah melebihi empat kali lipat. “Bahkan kami sudah memiliki margin yang sehat setiap bulan. Jadi, pendapatan kami lebih tinggi dari burn rate kami,” katanya.

Efektivitas dan metrik yang digunakan

Dengan mengoptimalkan teknologi, operasional, dan model bisnis yang tepat, baik Medigo, Izy, dan Kedai Sayur mengungkap bahwa pivot ini berjalan efektif. Meskipun demikian, tetap perlu ada ruang perbaikan ke depannya.

Dalam mengukur efektivitas pivot, Adrian menyebutkan bahwa pihaknya tak hanya mengandalkan metrik traction atau jumlah transaksi semata. Pihaknya berupaya memaksimalkan Customer Relationship Management (CM) dengan memanfaatkan data berkualitas untuk mendapatkan prospek bisnis lebih baik.

Sebelumnya, Adrian pernah menyebutkan bahwa data memegang peranan penting dalam membaca sebuah tren atau fenomena di era digital. Dalam konteks pandemi, Adrian menyebutkan data dapat memperlihatkan tren permintaan pesanan atau harga produk di area tertentu.

“Tantangan terbesar pivot ke B2C adalah effort yang besar dalam membawa [nama] brand ke masyarakat lebih luas dengan karakteristik beragam. Maka itu, kami sangat memperhatikan detail yang dapat jadi pembaruan berarti untuk meningkatkan layanan kami ke depan,”

Kendati demikian, tambah Bimo, pihaknya tidak berpatok pada metrik sales saja untuk mengukur efektivitas pivot ini. Sejak awal berdiri, Medigo telah menetapkan interactivity di ekosistem healthcare sebagai “North Star Metric”-nya. Artinya metrik ini menjadi inti pertumbuhan bisnis utamanya.

Pivot kami sangat efektif karena tidak hanya terukur dari commercial saja, tetapi juga non-commercial. Percuma kalau non-commercial bagus, tetapi tidak bisa dimonetisasi karena model bisnis belum mendukung. Setelah pivot, [metrik non-commercial] interaksi di platform kami naik luar biasa,” tambah Bimo.

Menurutnya, keberhasilan pivot ini dapat terjaga apabila metrik keduanya dapat saling berjalan. “Kami kelola banyak klinik di mana rekam medis pasien tersimpan di sistem kami. Jika satu RS bisa handle 900 pasien per hari, kami bisa pegang 60 klinik dengan masing-masing 100 pasien per hari. Ini jadi ‘North Star Metric’ kami untuk mendorong interaksi healthcare stakeholder,” tutupnya.