Semakin hari semakin banyak perusahaan game besar yang tertarik untuk ikut meramaikan tren NFT. Ubisoft memulainya di bulan Desember 2021, lalu belum lama ini Square Enix mulai memberikan sinyal. Sekarang, giliran Konami yang ingin mencuri perhatian.
Dalam rangka merayakan ulang tahun Castlevania yang ke-35 (yang sebenarnya sudah sejak September 2021 lalu), Konami meluncurkan koleksi NFT yang berisikan artwork beserta musik paling ikonis dari seri game tersebut. Mulai dari box art Castlevania: Circle of the Moon, sampai BGM “Vampire Killer” dari Castlevania orisinal dan adegan-adegan boss fight dengan berbagai macam senjata yang dijalani oleh Simon Belmont, semuanya sedang dilelang sebagai NFT edisi terbatas di OpenSea.
Total ada 14 aset NFT Castlevania yang Konami rilis, namun demi menjaga eksklusivitasnya, masing-masing hanya akan tersedia sebanyak satu unit saja. Tidak heran kalau kemudian banyak yang berani menawar dengan harga tinggi. Sampai artikel ini ditulis, penawaran tertinggi diberikan pada box art Castlevania: Circle of the Moon, dengan nilai 1,1025 ETH, atau kurang lebih setara $3.600 (± 51,5 jutaan rupiah), namun masih ada sisa waktu sebelum pelelangannya berakhir.
Castlevania 35th Anniversary NFT ini merupakan bagian dari Konami Memorial NFT, sebuah inisiatif untuk menciptakan karya seni NFT menggunakan adegan-adegan dalam game dari berbagai judul permainan besutan Konami dengan tujuan pelestarian. Meski Konami tidak bilang secara eksplisit, ini bisa saja diartikan bahwa Castlevania bukanlah game yang terakhir, sebab masih ada banyak franchise-franchise game populer lain milik Konami yang bisa diberi perlakuan serupa.
Dua contoh yang langsung terpikirkan di benak saya adalah Contra dan Metal Gear, yang kebetulan keduanya sama-sama bakal merayakan ulang tahun yang ke-25 di tahun 2022 ini; Contra di bulan Februari, sementara Metal Gear di bulan Juli.
Berbeda dari yang Ubisoft lakukan, inisiatif NFT dari Konami ini murni hanya merupakan bentuk karya seni. Ubisoft di sisi lain meluncurkan aset NFT yang bisa muncul di dalam salah satu game-nya, dan mereka juga sudah punya rencana untuk mengintegrasikan teknologi blockchain lebih jauh lagi ke portofolionya. Meski demikian, kita tidak perlu terkejut seandainya Konami juga akan mengambil langkah serupa ke depannya.
Minggu lalu, ada beberapa berita menarik di dunia game. Salah satunya, Konami baru saja mengadakan kontes untuk developer indie, meminta mereka untuk membuat versi remake atau sekuel dari game klasik buatan Konami. Selain itu, Bandai Namco baru saja memamerkan logo baru mereka. Pada minggu lalu, pemasukan Honor of Kings juga menembus US$10 miliar.
Konami Buka Kontes untuk Developer Indie
Konami menggelar kontes untuk developer indie pada minggu lalu. Dalam kontes itu, para developer indie diminta untuk membuat game yang didasarkan pada seri klasik Konami, seperti Gradius, Ganbare Goemon, dan lain sebagainya. Game yang dibuat oleh para developer bisa berupa sekuel atau pun remake. Para developer indie juga diberikan kebebasan untuk memilih apakah mereka akan membuat game dengan genre serta gameplay yang sama seperti game klasik buatan Konami atau justru memilih genre yang sama sekali baru.
Kontes ini disponsori oleh Konami. Untuk mengadakan kontes tersebut, Konami juga bekerja sama dengan Shueisha Game Creators Camp. Kontes itu akan dimulai pada 30 September 2021 dan akan berakhir pada 6 Januari 2022, menurut laporan IGN.
Sejak Diluncurkan Pada 2015, Total Pemasukan Honor of Kings Capai US$10 Miliar
Total pemasukan dari Honor of Kings telah mencapai US$10 miliar sejak mobile MOBA tersebut diluncurkan oleh Tencent pada 2015. Honor of Kings menjadi mobile game pertama yang mendapatkan pencapaian tersebbut. Berdasarkan data dari Sensor Tower, pemasukan Honor of Kings pada 2021 saja berhasil mencapai lebih dari US$2 miliar. Hal ini menjadikan Honor of Kings sebagai mobile game MOBA dengan pemasukan terbesar.
Gelar mobile MOBA dengan pemasukan terbesar kedua diduduki oleh Brawl Stars dari Supercell. Namun, pemasukan Honor of Kings jauh lebih besar dari Brawl Stars, yang mendapatkan US$320 juta pada Januari-Agustus 2021. Posisi ketiga ditempati oleh Mobile Legends: Bang Bang, yang mendapatkan US$220 juta pada periode Januari-Agustus 2021, lapor GamesIndustry.
StreamElements Akuisisi Jaringan Multichannel YouTube, Paragon
StreamElements mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Paragon, jaringan multichannel YouTube yang menaungi beberapa kreator konten ternama, seperti SyperPK, xNestorio, dan Kiingtong. Sebagai perusahaan “YouTube Network & Digital Media”, Paragon menawarkan layanan pada kreator konten untuk membantu mereka meningkatkan kualitas konten serta jangkauan konten mereka. CEO StreamElements, Gil Hirsch mengatakan, dengan mengakuisisi Paragon, mereka ingin bisa memperluas jangkauan mereka ke industri video-on-demands.
“Dengan menjadikan Paragon sebagai bagian dari keluarga StreamElements, kami akan bisa membantu banyak YouTubers ternama untuk memperkaya penawaran mereka dan membantu mereka menambah jumlah penonton mereka,” ujar Hirsch, dikutip dari VentureBeat. “Kami tidak akan memotong komisi para YouTubers dari pemasukan iklan standar. Hal ini sesuai dengan misi kami sebagai perusahaan yang mengutamakan kreator.”
Bandai Namco Pamer Logo Baru
Developer dan publisher Jepang, Bandai Namco, memamerkan logo baru mereka pada minggu lalu. Logo baru ini akan mulai digunakan pada April tahun depan. Logo ini diharapkan dapat mencerminkan tujuan baru perusahaan, yaitu “kebahagiaan untuk semua orang di masa depan.” Dalam logo barunya, Bandai Namco menggunakan “Fukidashi” atau balon kata, yang merupakan cerminan potensi perusahaan untuk menjalin hubungan dengan semua orang dan menginspirasi mereka dengan berbagai “ide yang mengagumkan”, menurut laporan Nintendo Life.
Sony baru saja mengakuisisi Bluepoint Games, yang telah menjadi rekan mereka sejak lama. Bluepoint dikenal berkat sejumlah game remasters dan remakes mereka, seperti versi remake dari Demon’s Souls untuk PlayStation 5, remake Shadow of Colossus untuk PlayStation 4, serta versi remasters dari Uncharted: The Nathan Drake Collection, lapor GamesIndustry.
Sejak Bluepoint didirikan, Sony memang telah menjalin hubungan erat dengan studio itu. Faktanya, Sony menjadi publisher dari game pertama buatan Bluepoint, yaitu Blast Factor, game untuk PlayStation 3 yang dirilis pada 2006. Sebelum ini, Bluepoint juga pernah diprecayakan untuk membuat remake dan remaster dari God of War dan Gravity Rush.
Pasca pengumuman perubahan nama dari seri game sepak bola andalan Konami, dari Pro Evolution Soccer atau PES menjadi eFootball pada Juli lalu, memang muncul sejumlah kekhawatiran dari para fans atas masa depan game ini. Apalagi selain nama, eFootball juga mengubah sistem game tahunannya menjadi free-to-play.
Seakan menjawab semua pertanyaan dari para fans, Konami akhirnya merilis video gameplay baru pada gelaran Gamescom. Dalam video berdurasi hampir 7 menit tersebut Konami cukup blak-blakan memamerkan berbagai hal baru yang akan mereka suntikkan ke dalam eFootball.
https://www.youtube.com/watch?v=K84Mt8FhgME
Yang pertama tentunya adalah implemetasi engine baru yaitu Unreal Engine 4 yang menggantikan Fox engine. Pergantian engine ini tentu memberikan Konami berbagai keunggulan dari sisi visual maupun mekanis gameplay ketimbang Fox Engine yang telah digunakan sejak PES 2014.
Meskipun begitu, Konami tetap lebih memfokuskan videonya pada perkembangan mekanis gameplay yang akan ditawarkan pada eFootball nantinya. Sebelumnya Konami juga mengatakan akan merombak ulang animasi serta kontrol yang akan digunakan pemain dalam menyerang dan juga bertahan.
Salah satu yang menjadi prioritas Konami kelihatannya ada pada konfrontasi duel satu lawan satu yang sering terjadi di sepak bola. Sistem pengendalian bola kini dibuat lebih luwes untuk memungkinkan penyerang dapat bergerak lebih bebas untuk melewati para bek.
Di sisi lain bek kini juga bisa mengantisipasi serangan baik itu dengan memotong umpan atau bahkan kini berduel fisik dengan penyerang untuk mendapatkan bolanya. Konami juga ikut merombak ulang sistem pelanggaran yang akan menyesuaikan dengan sistem duel baru tersebut.
Selain itu, eFootball juga menjanjikan berbagai update di masa depan termasuk “sharp kick“, kemampuan untuk mengecoh pertahanan yang lebih bebas, tendangan spesial yang nantinya akan memberikan kemampuan khusus untuk mengeksekusi tendangan, umpan, ataupun umpan lambung yang butuh waktu untuk dieksekusi.
Dan yang terakhir adalah Konami menjanjikan adanya implementasi fitur haptic feedback dan adaptive trigger kepada para pemain PlayStation 5 yang memainkan eFootball menggunakan DualSense.
Sayangnya Konami masih belum memiliki tanggal rilis pasti untuk game eFootball ini. Mengingat game-nya kini beralih menjadi game-as-service maka kemungkinan besar game ini tidak akan memiliki fitur lengkap saat dirilis, namun berbagai fitur baru akan disuntikkan sebagai update di masa depan.
Konami menjanjikan bahwa eFootball ini nantinya akan tersedia di hampir semua platform mulai PC, PlayStation 4, PlayStation 5, Xbox One, Xbox Series X|S, dan bahkan untuk Android serta iOS.
Sepanjang minggu lalu, ada tiga akuisisi yang terjadi di industri game. Roblox mengakuisisi Bash Video, Rovio membeli Ruby Games, dan Unity membeli Parsec. Selain kabar soal akuisisi, ada kabar baik dari Konami. Perusahaan asal Jepang itu mengungkap, mereka akan menghidupkan kembali Castlevania: Grimoire of Soul. Mobile game tersebut akan diluncurkan khusus untuk Apple Arcade. Sementara itu, viewership dari Twitch pada Juli 2021 dikabarkan masih naik sebanyak 23% dari tahun lalu.
Konami Bakal Luncurkan Castlevania: Griomire of Souls di Apple Arcade
Konami memutuskan untuk menghidupkan kembali game Castlevania: Grimoire of Souls yang pernah dihentikan. Konami bahkan meluncurkan halaman khusus untuk game tersebut. Grimoire of Souls akan tersedia secara eksklusif di Apple Arcade. Di game side-scrolling action itu, Anda akan menemukan sejumlah karakter iconic dari Castlevania, seperti Alucard, Simon, dan Maria.
Grimoire of Souls sebenarnya telah diluncurkan untuk iOS pada 2018. Ketika itu, Konami merilis versi beta dari game tersebut di Jepang. Kemudian, mereka mengadakan soft launch dari Grimoire of Souls di Kanada. Saat itu, game ini bisa dimainkan di iOS dan Android. Namun, satu tahun setelah soft launch, Konami memutuskan untuk menyetop game tersebut. Seperti yang disebutkan oleh IGN, tidak diketahui kenapa Konami memutuskan untuk meluncurkan kembali game Grimoire of Souls. Kabar baiknya, Grimoire of Souls kemungkinan tidak akan menggantungkan diri pada model bisnis microtransactions, mengingat Apple Arcade merupakan layanan berbayar.
Roblox Akuisisi Bash Video Buatan Jim Greer
Roblox baru saja mengakuisisi Bash Video, platform konferensi video sosial yang didirikan oleh Jim Greer, Co-founder dari Kongregate. Mengingat Bash Video hanya memiliki enam karyawan, akuisisi ini bukanlah akuisisi besar. Namun, Greer merupakan sosok yang cukup dikenal di industri game. Bersama saudaranya, Emily Greer, Jim mendirikan Kongregate pada 2006. Saat itu, fokus dari Kongregate adalah untuk merilis web games dari indie developer.
Pada 2010, GameStop membeli Kongregate senilai US$50 juta. Pada 2013, Kongregate berganti haluan dari web games ke mobile game. Satu tahun kemudian, pada 2014, Jim meninggalkan Kongregate. Emily lalu ditunjuk sebagai CEO. Pada 2017, Kongregate kembali dijual. Kali ini, perusahaan itu dibeli oleh Modern Times Group. Sementara itu, Jim memutuskan untuk fokus pada kegiatan nirlaba. Dia kembali ke dunia startup pada 2020, dengan mendirikan Bash Video, menurut laporan GamesBeat.
Demi Perkaya Portofolio, Rovio Akuisisi Ruby Games
Minggu lalu, Rovio Entertainment mengumumkan bahwa mereka telah membeli 100% saham dari Ruby Games. Developer yang bermarkas di Izmir, Turki itu merupakan developer yang fokus untuk membuat hypercasual mobile game. CEO Rovio, Alex Pelletier-Normand menjelaskan, alasan Rovio mengakuisisi Ruby Games adalah untuk memperkaya portofolio mereka, menurut laporan GamesIndustry. Dia menyebutkan, dengan memasuki industri hypercasual game, mereka akan dapat memperluas target audiens mereka.
Didirikan pada 2018, Ruby Games kini mempekerjakan 34 karyawan. Selama enam bulan, hingga Juni 2021, pemasukan Ruby Games mencapai US$7,8 juta. Ruby Games juga cukup produktif dalam membuat game. Pada 2020, Ruby Games merilis empat game baru. Dan pada tahun ini, mereka sudah meluncurkan tiga games. Streamer Life merupakan game terbaru mereka. Sementara game terpopuler dari Ruby Games adalah Hunter Assassin, yang diluncurkan pada tahun lalu. Rovio menyebutkan, Hunter Assassin merupakan game dengan jumlah download terbanyak ke-enam pada 2020.
Juli 2021, Viewership Twitch Naik 23% dari Tahun 2020
Pada Juli 2021, jumlah hours watched di Twitch mencapai 1,75 miliar jam, menurut Rainmaker.gg, rekan analitik dari StreamElements. Jika dibandingkan dengan Juli 2020, viewership dari Twitch pada Juli 2021 naik 23%. Pada saat yang sama, viewership Facebook mencapai 522 juta jam, yang merupakan rekor baru untuk platform tersebut. Di Twitch, Just Chatting masih menjadi kategori yang paling populer, dengan total hours watched mencapai 234 juta jam. Game terpopuler kedua di Twitch adalah Grand Theft Auto V, dengan total hours watched 139 juta jam, diikuti oleh League of Legends, dengan total hours watched 130 juta jam.
“Dimulainya musim panas memengaruhi jumlah hours watched dari kebanyakan game-game terpopuler di Twitch. Namun, versi closed beta dari New World berhasil menarik perhatian penonton dan Twitch masih mengalami pertumbuhan sebesar 23% dari tahun lalu,” kata Doron Nir, Co-founder, SreamElements, seperti dikutip dari GamesIndustry.
Unity Mengakuisisi Parsec Senilai US$320 Juta
Unity mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Parsec, perusahaan yang membuat software untuk melakukan streaming dan mengakses PC dari jauh. Akuisisi itu bernilai US$320 juta, menurut laporan GamesBeat. Selama pandemi, alat buatan Parsec terbukti sangat bermanfaat bagi developer game. Pasalnya, tool dari Parsec memungkinkan developer untuk bekerja dari rumah. Selain itu, perusahaan game seperti Ubisoft dan Sega juga menggunakan tool milik Parsec untuk menunjukkan demo dari game mereka kepada para jurnalis dan streamers.
E-Football SEA Champions League akan digelar kembali tahun ini. Turnamen tahunan ini merupakan turnamen PES terbesar di Asia Tenggara. Turnamen ini nantinya akan digelar pada 28 hingga 29 Agustus 2021 mendatang dan mempertemukan timnas dari negara-negara di Asia Tenggara.
Sebelumnya Konami baru saja menggelar turnamen tingkat internasional bertajuk PES eFootball Open World Finals 2021 yang dimenangkan oleh pemain Indonesia serta mengumumkan game PES terbarunya yang akan berganti nama menjadi eFootball tahun depan.
Pada edisi tahun 2021 ini nantinya E-Football SEA Champions League akan diselenggarakan secara online karena pandemi COVID-19 yang tak kunjung mereda di Asia Tenggara. E-Football SEA Champions League 2021 nantinya akan mempertemukan tim-tim dari negara Indonesia, Thailand, Laos, Myanmar, Malaysia, dan Vietnam. Sayangnya turnamen ini hanya akan mempertandingan pemain-pemain dari platform PS4 saja. Hal ini tentunya membuat pemain-pemain dari PC maupun pengguna XBOX kecewa dibuatnya.
Turnamen E-Football SEA Champions League kali ini mempunyai sistem pertandingan yang berbeda dari musim sebelumnya. Negara peserta nantinya akan diisi oleh 4 pemain dan mereka akan memainkan 3 game. Pertandingan pertama mempunyai format 1vs1, dilanjutkan dengan pertandingan kedua yang menggunakan format Co-op 2vs2, kemudian diakhiri dengan pertandingan 1vs1 lagi.
Indonesia nantinya akan menggelar babak kualifikasi terlebih dahulu untuk menentukan timnya. Babak kualifikasi akan digelar mulai akhir Juli hingga pertengahan Agustus 2021 mendatang.
Semua pemain dapat berpatisipasi dalam babak kualifikasi ini. Nantinya akan ada 19 seri babak kualifikasi terlebih dahulu sebelum digelarnya babak kualifikasi nasional yang diambil dari pemenang setiap seri. 4 pemain terbaik nantinya akan dipilih pada babak kualifikasi nasional untuk menentukan skuad timnas Indonesia untuk eFootball PES 2021 ini. 4 pemain tersebut adalah juara dan runner-up pertandingan format 1vs1 dan juara pertandingan format Co-op 2vs2.
Turnamen E-Football SEA Champions League 2021 sendiri merupakan edisi yang keenam. Turnamen ini pertama kali digelar pada tahun 2015 dengan sistem online dan dimenangkan oleh wakil dari Malaysia. Selanjutnya pada gelaran tahun 2016 turnamen ini digelar di Vietnam. Indonesia menjadi tuan rumah pada gelaran edisi tahun 2017. Kemudian pada tahun 2018 turnamen PES 2018 SEA CL digelar di Malaysia.
Turnamen terakhir SEA CL adalah pada tahun 2019 kemarin di Thailand yang berhasil dimenangkan oleh timnas Indonesia. Sayangnya turnamen E-Football SEA Champions League edisi 2020 kemarin dibatalkan karena pandemi COVID-19.
Sebuah lompatan yang menarik dilakukan KONAMI untuk game genre olahraga mereka yaitu PES. Mereka mengubah nama judul game ini menjadi eFootball dan mengubah skema pembelian game jadi gratis dengan in app purchse (DLC) dalam game.
Rumor tentang rilis secara gratis dari game eFootball ini memang sudah muncul beberapa waktu lalu namun lewat pengumuman resmi dari Konami yang kami dapatkan via email, menjadikan keputusn ini sudah diketok palu. eFootball akan jadi gratisan. Tidak hanya itu, game ini juga akan jadi game lintas platform antara konsol, PC dan perangkat mobile.
Nama eFootball sendiri sebenarnya sudah bersama game PES, yaitu sebagai program esports atau turnamen resmi mereka. Selain itu, tambahan kata eFootball sendiri sudah muncul secara kentara di PES 2020 yang dinamakan eFootball PES2020. Namun nampaknya Konami tidak ingin membuat pengguna pusing dan menjadikan namanya jadi eFootball saja.
eFootball dikembangkan menggunakan Unreal Engine dan akan tersedia musim gugur atau mendekati akhir tahun di Indonesia. Kemungkinan antara September – November. Dalam rilis reminya disebutkan bahwa game ini di buat ulang menggunakan Unreal Engine dan dijanjikan memberikan pendekatan yang baru dari game yang bisa dibilang dedengkot game sepak bola yang sudah mendarah daging bagi penggemar genre game ini.
Tidak seperti game lapak sebelah alias FIFA 22, eFootball akan dikembangkan dengan acuan tidak hanya untuk next gen console tetapi juga konsol lama seperti PS 4, Xbox One, bahkan juga akan tersedia untuk perangkat berbasis iOS dan Android. Namun tetap, pemain bisa menikmati pengalaman grafis yang lebih tinggi jika menggunakan next gen console.
Masih dikutip dari rilis, janji apa saja yang akan dihadirkan oleh Konami di nama baru ini? Konami melakukan modifikasi dari engine Unreal yang digunakan untuk game ini dan akan menjadi engine dari seri ini dalam beberapa tahun ke depan. Konami juga menyebutkan bahwa kolaborasi antara pemain bintang dengan teknologi yang ada di generasi konsol baru memungkinkan mereka menghadirkan game yang paling realists saat ini (klaim mereka).
Animasi dalam game juga disebutkan dirombak. Konami menyebut teknologi yang digunakan untuk meng-capture gerakan para pemain mereka sebagai Motion Matching. Proses ini memungkinkan pengembang game mengambil data gerakan menjadi animasi dan memilih yang paling akurat secara realtime. Sistem ini menyediakan 4 kali lebih banyak animasi dari yang sebelumnya.
Sama seperti EA di FIFA 22, premis yang digembar-gemborkan adalah pengalaman yang lebih real dalam bermain sepak bola. Gameplay yang realistis ini memang jadi semacam tujuan utama yang ingin dikejar dua genre sepak bola paling besar di ranah gamers, seri FIFA dan eFootball (PES).
Namun yang menqarik dari eFootball adalah, gameplay hasil teknologi Motion Matching akan bisa juga dinikmati di semua platform eFootball tersedia, termasuk mobile.
Untuk gameplay memang akan terus di-update informasinya oleh Konami, jadi dalam rilis memang belum banyak yang dijelaskan. Namun satu lompatan besar yang dilakukan untuk seri ini adalah menjadi game gratisan untuk semua platform. Yes, saya jadi bisa nabung untuk beli FIFA 22 dan mengunduh gratis eFootball. 😀
Kabar buruk untuk kolektor game fisik, eFootball hanya akan tersedia secara digital dengan penambahan konten dan mode game akan dilakukan secara rutin setelah game resmi dirilis nanti. Kalau tersedia gratis, gimana Konami dapat duitnya? Nah ini yang menarik.
Tentu saja jawabannya adalah DLC. Jika biasaya update pemain atau konten lain kita hanya membutuhkan kuota internet dan kuota hard disk saja, kini Anda juga harus menyiapkan uang. Karena Konami akan menjual mode game secara terpisah dengan model DLC. Dalam peluncuran, yang tersedia gratis adalah pertandingan lokal dengan klub seperti FC Barcelona, Juventus, FC Bayern, Manchester United dan beberapa tim lain. Hmm…sepertinya di FIFA 22 tetap tidak akan ada nama Juventus. 😀
Sebenarnya konten terbatas untuk game gratisan ini jadi mirip versi demo. Kebetulan untuk PES seri tahun lalu saya mengunduh hanya versi demo saja. bisa memainkan beberapa menu tetapi kalau mau full harus membeli game secara lengkap. Nah, model DLC ini bisa jadi mirip dengan itu tetapi tentunya dengan integrasi yang lebih halus.
Konami juga menyebutkan bahwa pengalaman yang fair dan seimbang akan mereka hadirkan untuk berbagai platform, jadi kemungkinan besar kita tidak akan lagi melihat game mobile PES terlalu cupu untuk dimainkan tim konsol. Pengalaman yang sama ini tentunya sangat dibutuhkan jika Konami memang akan menjual jargon cross-platform sebagai jualan utama mereka.
Dalam peluncurannya, hanya versi mobile yang akan abses untuk dikembangkan terakhir. Sisanya, pemain bisa menikmati pengalaman yang sama untuk eFootball.
Lebih lengkap tentang roadmap pengembangan dan rilis, termasuk rencana esports eFootball bisa dilihat di sini (saya kutip langsung dari rilis):
Early Autumn:
All-new gameplay experience, powered by Unreal® Engine
Cross-generation matchmaking (i.e. PlayStation®5 vs. PlayStation®4, Xbox Series X|S vs. Xbox One)
Local Matches featuring FC Barcelona, Juventus, FC Bayern, Manchester United and more
Autumn:
Cross-platform matchmaking between consoles and PC (i.e. PlayStation®5 vs. Xbox Series X|S, PlayStation®5 vs. PC Steam®, etc.)
Team Building Mode (Name TBC) opened – build your own team by acquiring players
Online Leagues (Name TBC) opened – take your original team and compete in a global, competitive league
Match Pass system – earn items and players by playing eFootball™
Winter:
Mobile controller support added
Full cross-platform matchmaking across all available platforms including mobile when using a compatible controller
Professional and amateur esports tournaments kick-off
—
Sedih juga rasanya, sebagai pemain Winning Eleven (WE) kelas warung Indomie waktu masa kuliah dan sekarang berkhianat menjadi pemain FIFA, rasa nostalgia untuk judul game ini tidak akan lepas dalam ingatan. Namun era memang sudah berubah. Agak menarik memang ketika Konami mulai menyasar pengguna mobile untuk judul game konsol/PC mereka. Sejauh yang saya tahu, peminat untuk game PES versi mobile di Indonesia (sebagai contoh) tidak sedikit. Apakah ini juga dilihat Konami sebagai masa depan gamers game sepak bola mereka? Bisa jadi.
Cross-platform memang menjadi salah satu perkembangan di dunia game selain metaverse. Saya sendiri penganut ‘isme’ bahwa game seharusnya tidak eksklusif di satu platform, bisa dimainkan di banyak platform bahkan harusnya fitur save-nya pun bisa cross platform.
Menjadi menarik sebenarnya melihat seperti apa nanti game eFootball ini ketika dirilis, dan bagaimana kemampuan Konami untuk menghadirkan pengalaman yang sama untuk semua platform. Apakah pengalamannya bisa benar-benar sama, termasuk apakah nanti esports-nya juga akan dijalankan antar platform?
Oh ya sampai lupa. Salah satu jualan game sepak bola adalah ambasador alias muka dari game ini. Kalau FIFA 22 menggunakan Mbappe sebagai ambasador utama dan beberapa pemain lain di trailer mereka. eFootball memilih Lionel Messi dan Neymar Jr. sebagai muka utama game mereka. Sedangkan Andrés Iniesta dan Gerard Piqué menjadi bagian dalam pengembangan game sebagai advisors untuk gameplay di sisi penyerangan dan pertahanan.
Info lengkap tentang game dan tautan media sosial untuk mendapatkan update selanjutnya bisa dilihat di sini.
PS: Muka Messi kok kerasa memelas gitu ya di web resmi? Apakah karena dia dipotong gajinya di kontrak yang baru? 😀
Dalam sepekan terakhir, ada beberapa berita menarik yang muncul di dunia game dan esports. Sebagian merupakan berita baik, sebagian yang lain berupa berita buruk. Kabar baik datang dari Nimo TV, yang menjalin kerja sama dengan Riot Games. Melalui kerja sama ini, Nimo TV akan menyiarkan konten dari game-game Riot, termasuk Wild Rift. Sementara itu, Nielsen mengungkap bahwa mereka berencana untuk menutup divisi SuperData mereka.
Nimo TV Bakal Siarkan Konten Game-Game Riot
Nimo TV, merek milik platform game streaming Tiongkok Huya, mengumumkan bahwa mereka telah mendapatkan hak siar dari Riot Games di Brasil. Dengan begitu, mereka berhak untuk menayangkan konten serta pertandingan dari game-game Riot, seperti League of Legends, Teamfight Tactics, Valorant, dan Wild Rift. Dua turnamen yang akan Nimo TV siarkan antara lain League of Legends Championship di Brasil dan Valorant Challengers untuk Brasil.
Kerja sama antara Nimo TV dan Riot, yang berlangsung sepanjang 2021, tidak bersifat eksklusif. Hal itu berarti, Riot akan tetap menyiarkan turnamen esports mereka di channel YouTube dan Twitch resmi mereka. Namun, Riot tengah menyiapkan konten eksklusif dari Wild Rift untuk Nimo TV. Pasalnya, Nimo TV memang lebih fokus pada mobile game, lapor The Esports Observer.
Pengiriman Monster Hunter Rise Capai 4 Juta Unit
Capcom mengumumkan, secara global, pengiriman Monster Hunter Rise menembus 4 juta unit. Padahal, game itu baru diluncurkan pada 26 Maret 2021. Besarnya volume pengiriman dari Rise membuktikan bahwa para gamer Switch memang menginginkan game Monster Hunter. Sebagai perbandingan, pengiriman Monster Hunter World — yang diluncurkan untuk Xbox One dan PlayStation 4 — mencapai 5 juta unit, hanya 1 juta unit lebih banyak dari Monster Hunter Rise.
Kesuksesan dari peluncuran global World memperkuat keyakinan Capcom bahwa Rise juga bisa sukses jika game itu langsung diluncurkan di seluruh dunia. Monster Hunter World adalah game Monster Hunter pertama yang dirilis secara global dan langsung tersedia di Xbox One dan PS4. Sebelum itu, game-game Monster Hunter selalu diluncurkan di Jepang terlebih dulu dan hanya tersedia secara eksklusif untuk konsol PlayStation atau buatan Nintendo, lapor Games Industry.
VSPN Akuisisi Famulei, Perusahaan Manajemen Streamers
Versus Programming Network (VSPN) mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi perusahaan manajemen streamer asal Tiongkok, Famulei. Sayangnya, tidak diketahui nilai dari akuisisi ini. Satu hal yang pasti, Famulei akan beroperasi secara mandiri di bawah VSPN. Operasi Famulei mencakup manajemen talenta, marketing, licensing, dan e-commerce di sektor esports, hiburan, dan livestreaming. Sejauh ini, mereka telah menjalin kerja sama dengan beberapa organisasi dan pemain esports internasional, seperti Team Liquid, T1, Gen.G, dan Lee “Faker” Sang-hyeok, menurut laporan Esports Insider. Setelah akuisisi ini, VSPN dan Famulei akan fokus pada monetisasi dari influencer dan konten esports.
Nielsen Bakal Tutup Departemen SuperData
Nielsen berencana untuk menutup divisi gaming mereka, SuperData. Alasannya, performa dari divisi itu tidak sesuai harapan. Nielsen mengakuisisi SuperData Research pada akhir 2018. Ketika itu, Nielsen mengungkap, mereka berharap akuisisi ini akan membantu Nielsen Gaming dan Nielsen Esports untuk menghasilkan produk yang lebih berkualitas.
Sementara itu, SuperData menyebutkan, setiap bulan, mereka melacak lebih dari 160 juta gamers secara global. Mereka bisa menyediakan data untuk tim dan liga esports serta pelaku esports lainnya. Namun, Nielsen tetap memutuskan untuk menutup departemen SuperData, seperti yang disebutkan oleh The Esports Observer.
Graffiti Games Mendapatkan Investasi Sebesar US$1,5 Juta
Graffiti Games, publisher game-game indie, mengungkap bahwa mereka telah mendapatkan pendanaan sebesar US$1,5 juta. Dalam wawancara dengan VentureBeat, CEO dan Co-founder Graffiti Games, Alex Josef menyebutkan, nilai perusahaan sekarang mencapai US$4,5 juta, lapor Games Industry.
Kucuran dana segar ini akan Graffiti gunakan untuk menambah jumlah pekerja dan mencari proyek-proyek baru. Sepanjang 2020, pemsaukan dari publisher ini naik 10%. Graffiti Games bukan satu-satunya program Josef terkait indie developer. Pada November 2020, dia dan Co-founder Graffiti lainnya, Alex Van Lepp meluncurkan India Game Coach, yaitu jasa konsultasi untuk para developer indie yang bisa didapatkan dengan harga terjangkau atau bahkan gratis.
Nexon Menanamkan US$874 Juta ke Hasbro, Bandai, Konami, dan Sega
Perusahaan game online raksasa, Nexon, baru saja menanamkan investasi sebesar US$874 juta di empat perusahaan ternama, yaitu manufaktur mainan Hasbro serta tiga publisher game: Bandai Namco, Konami, dan Sega Sammy. Keputusan ini diambil setelah dewan Nexon setuju untuk menyuntikkan US$1,5 miliar ke perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang hiburan. Karakteristik perusahaan yang mereka cari adalah perusahaan yang dapat membangun intellectual property yang menarik dan mempertahankannya secara global.
Mengingat Nexon baru mengalokasikan 58% dari total dana yang mereka siapkan, Games Industry menyebutkan, Nexon kemungkinan akan membuat pengumuman investasi baru di masa depan. Nexon menyebutkan, investasi yang mereka berikan bersifat jnagka panjang dan mereka tidak berencana untuk mengakuisisi perusahaan yang menerima pendanaan mereka di masa depan.
Konami mengumumkan bahwa Super Bomberman R Online akan segera dirilis di PlayStation 4, PlayStation 5, Xbox One, Xbox One X/S, Nintendo Switch, dan PC (lewat Steam) dan free-to-play.
Super Bomberman R Online mengambil inspirasinya dari Super Bomberman R, membawa kembali 8 Bomber Brothers, dan menyuguhkan mode Battle Royale sampai dengan 64 pemain dengan 16 pilihan medan pertempuran.
Super Bomberman R Online juga akan menawarkan 100 fitur kustomisasi, termasuk kostum, aksesoris, dan (untuk pertama kalinya) skin bom — yang akan memengaruhi tampilan bom serta ledakannya. Para pemain juga bisa langsung membeli Premium Pack (US$9,9) untuk mendapatkan akses ke 14 karakter bertema game-game klasik nan legendaris macam Gradius, Silent Hill, Castlevania, dan yang lain-lainnya.
Meski semua orang bisa bergabung di room “Battle 64”, hanya pemain dengan Premium Pack yang bisa membuat private Room Match dengan ruleset tertentu seperti “Battle 64”, mode “Standard” yang mendukung sampai dengan 16 pemain, ataupun “Grand Prix”. Mode Grand Prix akan membagi para pemain menjadi 2 tim dan membuat pertandingan jadi 3vs3 untuk memperebutkan poin.
Buat yang belum familiar dengan nama Bomberman, seri game ini sebenarnya cukup tua dan hanya 2 tahun lebih muda dibanding seri Mario Bros. Bomberman pertama kali dirilis di Nintendo Entertainment System di tahun 1985 (untuk versi Jepang) dan 1987 (untuk versi US). Namun demikian, seri Bomberman sempat vakum juga selama beberapa tahun.
Vakumnya Bomberman memang sebenarnya mengejutkan dan sangat disayangkan karena gameplay-nya memang mudah dan bisa dinikmati setiap anggota keluarga. Saya pribadi masih ingat betul jika saya dulu juga bermain Bomberman dengan ibu saya di PlayStation.
Apakah versi Online dan free–to-play dari Bomberman kali ini akan membuatnya kerap mengisi ruang keluarga kembali seperti dulu?
Kenapa League of Legends lebih besar sebagai esports di tingkat internasional ketimbang Dota 2? Kenapa CS:GO bisa menjadi fenomena esports yang besar di Eropa dan Amerika, namun nafasnya kini sekarat di Indonesia ataupun Asia Tenggara? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sempat terbesit di kepala Anda. Apalagi bila Anda adalah pemain atau mungkin penggemar esports dari game-game tersebut.
Lalu apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas? Kenapa satu game bisa populer esports, sedangkan game lainnya seperti kalah pamor? Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas dan mencari tahu faktor-faktor apa yang bisa membuat sebuah game sukses sebagai esports. Berikut pembahasannya.
Berkaca Dari Industri Olahraga
Apabila Anda sempat membaca artikel saya yang lainnya, Anda mungkin sadar kalau saya beberapa kali membandingkan atau menggunakan industri olahraga sebagai referensi dalam menjelaskan fenomena di esports. Salah satu alasannya adalah karena saya merasa esports memiliki sekian banyak kesamaan dengan industri olahraga pada beberapa aspek.
Pembahasan di dalam artikel saya kali ini juga terinspirasi dari pembahasan terkait industri olahraga yang dilakukan di salah satu video milik channel YouTube bernama Atheltic Interest. Video yang menjadi inspirasi saya adalah video yang berjudul “Kenapa olahraga bola basket lebih menjual ketimbang baseball.”
Video Athletic Interest dibuat dengan menggunakan bahasa Inggris berdasarkan dari tulisan milik Steffan Heuer yang ditulis dalam bahasa Jerman. Tulisan milik Steffan Heuer sendiri terbit di sebuah majalah bisnis olahraga bernama Brandeins. Dalam pembahasannya, Steffan mengatakan bahwa ada empat faktor yang secara umum membuat bola basket jadi lebih populer secara internasional ketimbang baseball.
Pertama, permainan baseball tergolong lebih rumit ketimbang bola basket. Kedua, durasi pertandingan baseball terlalu panjang. Ketiga, musim liga juga terlalu panjang. Keempat, negara asal pemain bintang baseball kurang beragam.
Saya akan membahas maksud dari poin-poin yang disebut oleh Steffan secara singkat. Lebih lengkapnya Anda bisa tonton video tersebut atau mungkin menggunakan Google Translate untuk membaca tulisan bahasa Jerman milik Steffan Heuer.
Soal faktor pertama, Steffan Heuer membandingkan tingkat kerumitan kedua olahraga tersebut dengan menggunakan ketebalan rulebook dari kedua olahraga tersebut. Liga utama baseball yaitu MLB memiliki total 188 halaman rulebook sementara liga utama bola basket NBA hanya 68 halaman saja. Banyaknya peraturan membuat olahraga baseball tergolong jadi lebih rumit, walau permainan tersebut sebenarnya terlihat sesederhana satu orang melempar bola dan satu orang memukulnya.
Selanjutnya pada faktor kedua, durasi permainan juga jadi faktor lain kenapa bola basket bisa lebih populer ketimbang Baseball. Durasi bersih dari pertandingan bola basket adalah 48 menit (4 quarter selama 12 menit). Ditambah dengan timeout ataupun gimmick half-time show, maka durasi paling lama dari tayangan pertandingan bola basket menjadi sekitar dua jam. Sementara itu, dua jam adalah durasi paling singkat dari pertandingan Baseball. Bahkan sempat ada pertandingan baseball berjalan selama 8 setengah jam dan berlangsung selama dua hari di tahun 1981.
Lalu soal faktor ketiga. Steffan menjelaskan bahwa ada 162 pertandingan dalam musim liga yang berjalan selama 6 bulan (sekitar 27 pertandingan dalam sebulan). Ditambah lagi, babak final Baseball juga dipertandingkan secara best-of 7. Dengan durasi pertandingannya, pertandingan best-of 7 bisa jadi diselenggarakan dalam satu bulan penuh atau mungkin lebih.
Lalu faktor terakhir adalah karena bintang-bintang olahraga baseball yang kebanyakan berasal dan hanya dikenal di Amerika Serikat saja. Bagaimana dengan bola basket? Kalau Anda mengikuti liga NBA, Anda mungkin tahu bahwa beberapa pemain bintang bola basket datang dari luar Amerika Serikat. Contohnya seperti Dirk Nowitzki yang berasal dari Jerman atau Yao Ming yang berasal dari Tiongkok.
Selain dari empat faktor inti tersebut, ada juga faktor faktor lain yang dijelaskan singkat di video tersebut. Faktor lain termasuk seperti invesasi NBA di Tiongkok dengan cara membangun lapangan-lapangan basket dan bahkan membangun kantor di sana. Investasi tersebut pun cukup berhasil membuat bola basket dikenal di negeri tirai bambu.
Faktor lain yang terakhir juga datang dari sisi perlengkapan yang dibutuhkan. Untuk bermain bola baseball, Anda butuh perlengkapan yang macam-macam dan mahal harganya. Lapangannya juga harus luas. Sementara bola basket? Tanpa perlengkapan pun sebenarnya bisa saja, asalkan Anda pakai sepatu, baju dan celana yang leluasa digunakan saat bergerak secara aktif, lapangan kecil dengan dilengkapi tiang basket, dan sebuah bola.
Empat faktor dan beberapa faktor tambahan tersebut adalah beberapa hal yang membuat bola basket jadi lebih menjual ketimbang dari baseball. Berdasarkan dari penjelasan milik Steffan Heuer di atas, saya menangkap bahwa olahraga bola basket jadi lebih menjual karena permainannya yang lebih sederhana, durasinya singkat dan penuh aksi, pertandingan liganya cocok membuat penonton jadi lebih tertarik, dan karena bola basket dianggap sebagai olahraga internasional.
Empat poin tersebut sebenarnya bisa dikelompokkan lagi menjadi dua. Ada faktor internal dan faktor eksternal. Apa maksudnya faktor internal adalah faktor daya tarik dari permainannya itu sendiri. Kalau faktor eksternal? Ialah dorongan dari pihak tertentu untuk membuat sebuah permainan jadi dikenal dan diterima lebih banyak orang.
Berdasarkan penjelasan Steffan, maka faktor pertama dan kedua bisa digolongkan sebagai faktor internal karena menjelaskan apa yang jadi daya tarik dari olahraga permainan bola basket. Faktor ketiga dan keempat bisa digolongkan sebagai faktor eksternal, karena dua faktor tersebut adalah penjelasan soal apa yang dilakukan NBA agar pertandingan bola basket jadi bisa dinikmati orang-orang dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.
Sekarang, mari coba kita lihat apakah faktor-faktor tersebut juga berlaku dari sisi esports.
Bagaimana Beberapa Game Bisa Populer Menjadi Esports
Menurut saya, empat faktor tersebut sebenarnya masih bisa ditranslasikan ke dalam esports. Faktor pertama dan kedua adalah daya tarik game-nya itu sendiri yang bisa diartikan sebagai aspek gameplay. Faktor ketiga dan keempat adalah bagaimana usaha developer/publisher mempromosikan game-nya dan merancang ekosistem esports game terkait agar jadi dapat dinikmati para penggemarnya dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.
Berdasarkan dari apa yang saya tangkap dalam penjelasan Steffan, faktor internal tetaplah menjadi faktor penting alasan kenapa olahraga permainan bisa populer. Karena mungkin saja perkembangan industri olahraga sebenarnya mirip seperti esports kini.
Mirip bagaimana? Berawal dari penciptaan permainannya terlebih dahulu, lalu permainan tersebut mulai dimainkan, dan menarik minat banyak orang. Setelah ada banyak orang tertarik, kompetisi mulai digelar, sampai akhirnya kompetisi tersebut dikomersialisasi sampai akhirnya menjadi sebuah bisnis seperti sekarang. Mungkin dahulu orang-orang yang menonton liga bola basket hanyalah orang-orang yang main basket saja. Tapi karena permainannya tergolong sederhana dan mudah dimengerti, dilengkapi dengan promosi gencar yang dilakukan NBA, lama kelamaan pun orang yang tidak main basket turut tertarik menonton pertandingan olahraga bola basket.
Esports sendiri awalnya juga tidak digagas oleh developer atau publisher. Esports pada awalnya digagas oleh komunitas pemainnya yang akhirnya kini didorong menjadi lebih besar oleh sang pihak pertama yaitu developer. Hal tersebut sempat saya bahas dalam artikel pembahasan seputar sejarah esports. Anda bisa membacanya pada tautan yang satu ini. Karenanya, bisa dibilang apabila sebuah game ingin sukses sebagai esports, game-nya itu sendiri harus memang sudah menarik pada awalnya.
Mari kita coba melihat perjalanan League of Legends menjadi game esports global sebagai bentuk studi kasus proses sebuah game bisa sukses menjadi esports global. Dalam prosesnya menjadi seperti sekarang, League of Legends sebenarnya sudah populer sejak dari tahun-tahun awal perilisannya. Data milik statista.com mengatakan ada 15 juta pengguna aktif bulanan League of Legends pada dua tahun pasca game tersebut rilis tahun 2009.
Bagaimana League of Legends bisa muncul jadi lebih populer ketimbang custom game aslinya yaitu Defense of the Ancients (custom map untuk Warcraft III: The Frozen Throne)? Mungkin bisa dibilang karena League of Legends telah memenuhi dua faktor dari penjelasan milik Steffan Hauer di atas, yaitu permainan yang lebih sederhana dan durasi pertandingan yang cenderung lebih singkat.
Apabila dibandingkan dengan DotA, League of Legends tergolong lebih sederhana. Sederhana bagaimana? Pembagian role di League of Legends tergolong lebih jelas. Item di dalam League of Legends juga jarang bisa diaktifkan yang membuat pemain tidak perlu mengingat banyak kombinasi karakter dengan item. Selain itu, League of Legends juga membuat sistem fog of war jadi lebih sederhana dengan menghilangkan mekanik high ground dan low ground, mekanik siang dan malam, serta mengganti pohon-pohon menjadi semak untuk sembunyi. Karena lebih sederhana, League of Legends pun lebih bisa diterima oleh lebih banyak orang ketimbang Dota 2.
Lalu faktor kedua, durasi permainan dan kadar aksinya. League of Legends juga bisa dikatakan menjadi pionir yang berhasil membuat MOBA jadi punya durasi dan akhir permainan yang lebih pasti. Pada zamannya, satu permainan Defense of the Ancient berdurasi paling minimal sekitar 45 menit. Durasi tersebut masih bisa melar lagi apabila pertandingannya sengit. Sementara durasi paling minimal dari satu permainan League of Legends berdurasi sekitar 30 menit.
Soal kadar aksi pertandingan LoL dengan Dota 2 mungkin masih bisa diperdebatkan. Namun satu hal yang pasti adalah sistem ekonomi snowballing yang diterapkan di dalam game League of Legends membuat arah pertarungan menjadi lebih jelas, siapa yang unggul dan siapa yang kalah. Dalam sistem snowballing, tim yang kalah di awal-awal permainan akan punya kesempatan yang lebih kecil untuk membalikkan keadaan.
Sementara Dota menerapkan mekanisme rubber band di dalam permainannya. Sistem tersebut memang membuat tarik ulur permainan jadi lebih menarik, tetapi juga membuat arah pertarungan, dan sulit menebak kapan pertandingannya berakhir. Dalam sistem rubber banding keunggulan sebuah tim bisa dibalik begitu saja sehingga permainan jadi imbang lagi. Karenanya pertandingan Defence of the Ancients dan Dota 2 pada awal masanya punya durasi yang cenderung panjang bahkan kadang tidak jelas kapan akan berakhir.
Pada faktor ketiga, Steffan Heuer menyoroti soal perbedaan durasi musim kompetisi. Saya mengartikan poin tersebut sebagai format kompetisi yang tepat bagi olahraga permainan. Sejauh ini, apa yang dilakukan Riot Games terhadapi liga esports League of Legends memang tergolong luar biasa kalau dibandingkan dengan game-game lainnya.
Esports League of Legends dikelola dengan sangat serius oleh Riot Games yang membuatnya kini sudah hampir mirip-mirip dengan liga olahraga. Maksud saya mirip-mirip adalah jadwal pertandingan yang rutin, pasti, dan dengan jumlah pertandingan yang pas (tidak terlalu padat tapi tidak terlalu lengang juga). Karenanya tidak heran apabila League of Legends berhasil melanjutkan kesuksesannya, dari game yang banyak dimainkan orang-orang menjadi pertandingan esports banyak ditonton orang-orang dan berhasil mencatatkan 139 juta lebih total watch hours pada tahun 2020 lalu.
Faktor terakhir adalah soal keanekaragaman pemain bintang di dalam suatu liga olahraga. Pada poin tersebut, saya mengartikannya maksud pembahaasan Stefan Heuer sebagai bentuk investasi pihak terkait kepada skena-skena lokal. Dalam konteks bola basket vs bola baseball, video tersebut menjelaskan bagaimana investasi MLB sebagai pihak pertama di industri olahraga baseball Amerika Serikat terlalu fokus di negara itu saja. Sementara di sisi lain, NBA terus menerus mengembangkan pasarnya, salah satu contohnya yang disebut dalam video adalah dengan melakukan investasi ke Tiongkok .
Karenanya, bola basket jadi tergolong lebih populer (dan lebih menjual) secara internasional ketimbang baseball. Lebih banyak negara yang memainkan bola basket bisa diartikan semakin beragam pemain-pemain bintangnya dan semakin banyak penontonnya. Semakin beragam dan semakin populernya permainan tersebut, maka bola basket pun akan memiliki nilai jual yang lebih berharga. Sementara baseball? Heuer menjelaskan bahwa kebanyakan bintang bola baseball hanya berasal dan dikenal di Amerika Serikat saja.
League of Legends mungkin menerapkan strategi yang serupa seperti yang dilakukan NBA, walaupun saya sebenarnya tidak tahu betul apakah Riot Games benar terinspirasi oleh NBA atau tidak. Hal tersebut terlihat dari bentuk investasi Riot Games terhadap esports League of Legends di berbagai belahan dunia, bahkan sampai spesifik ke beberapa negara.
Liga esports League of Legends terbesar dunia saat ini ada di empat kawasan, ada LEC di Eropa, LCS di Amerika Serikat, LCK di Korea Selatan, dan LPL di Tiongkok. Riot Games juga berinvestasi terhadap kawasan kecil yang punya potensi seperti PCS di SEA, Taiwan dan sekitarnya, OPL di kawasan Oceania (Australia dan Sekitarnya), LCL di kawasan CIS (Rusia, Ukraina, dan sekitarnya), NLC di Eropa Utara (Britania Raya, negara-negara nordik, dan sekitarnya), dan LLA di Amerika Latin. Selain kawasan kecil, Riot Games bahkan berinvestasi juga untuk negara-negara yang potensial seperti LJL di Jepang, VCS di Vietnam, TCL di Turki, dan CBLoL di Brazil.
Semua yang saya sebut barusan bahkan mungkin belum semuanya. Tetapi dari sana kita bisa melihat bagaimana Riot Games benar-benar serius mengembangkan League of Legends menjadi esports tingkat global. Dari bentuk investasi tersebut, jadi tidak heran kalau esports League of Legends bisa berkembang menjadi besar seperti sekarang.
Kenapa Beberapa Game Kurang Sukses Menjadi Esports
Setelah melakukan studi kasus dari League of Legends yang sukses besar dari game menjadi esports kelas dunia, sekarang mari kita juga melihat kenapa beberapa game tergolong kurang berhasil sebagai esports. Game yang saya jadikan contoh di sini adalah Pro Evolution Soccer dan Fighting Games.
Kenapa dua game tersebut saya pilih sebagai contoh? Alasannya adalah karena saya merasa kedua game tersebut sebenarnya sudah berhasil memenuhi dua faktor internal yang kita bahas di atas, namun entah kenapa posisinya sebagai esports justru tertutupi oleh game-game MOBA ataupun FPS.
Fighting game tergolong sederhana, walaupun mekanisme game tersebut tergolong sulit sekali apabila diselami lebih dalam. Tapi, bukankah kebanyakan game esports juga begitu? Mudah pada percobaan awal, namun akan semakin rumit apabila diselami lebih dalam. Tetapi fighting game bisa dibilang mudah kalau kita hanya sekadar main saja. Fighting game juga berdurasi pendek saat dipertandingkan dan punya aksi pertandingan yang seru.
Bagaimana dengan PES? Pada dasarnya PES adalah sepak bola yang dimainkan secara virtual. Gameplay PES adalah permainan sepak bola itu sendiri. Kalau ada 517 juta orang di dunia yang menonton pertandingan sepak bola, masa iya game sepak bola tidak bisa sukses sebagai esports?
Untuk itu saya pun berbincang dengan Valentinus Sanusi selaku founder Liga1PES dan Bram Arman yang kerap kali dianggap sebagai “sepuh” di komunitas game fighting (FGC) di Indonesia. Dari diskusi yang kami lakukan, saya menyimpulkan bahwa memang salah satu alasan kenapa dua game tersbut kurang sukses sebagai esports dunia adalah karena kurangnya investasi dari developer selaku pihak pertama. Faktor eksternal lainnya juga termasuk karena dua game tersebut dikembangkan oleh perusahaan Jepang, negara yang tergolong kurang tanggap mengadopsi model bisnis game free to play ataupun bisnis ekosistem esports. Selain itu ada juga beberapa faktor internal game-nya itu sendiri terutama dari segi akses.
Dalam hal game fighting, Bram Arman menceritakan bagaimana game fighting yang sangat bersifat community base jadi salah satu alasan FGC kalah besar dibanding game esports lain secara umum. “Sejauh yang saya tahu, esports mainstream berkembang pesat berkat penetrasi langsung dari 1st party (developer/publisher). Karenanya investasi esports yang dilakukan jadi tergolong langsung. Kalau FGC berbeda, justru 1st party muncul belakangan. Investasi 1st party juga hanya di negara maju saja. Karenanya di Indonesia sendiri, perkembangan FGC tergolong organik dengan bantuan yang minim dari 1st party.”
Memang kalau kita melihat perkembangan FGC, Evolution Championship Series yang sebenarnya berawal sebagai turnamen komunitas justru adalah lini terdepan dalam perkembangan esportsgame fighting ketimbang turnamen-turnamen yang dimulai oleh pihak pertama. Evolution Championship Series yang bahkan jauh lebih dulu ada di tahun 1995 ketimbang Capcom Pro Tour yang digagas pengembang Street Fighter mulai tahun 2013.
Lalu bagaimana dengan Pro Evolution Soccer? Kenapa game sepak bola tidak bisa menjual sebagai esports ketimbang dari olahraga sepak bola itu sendiri? Valen pun menjawab. “Kalau menurut saya salah satu alasannya adalah karena masyarakat esports itu sebenarnya berbeda dengan masyarakat sepak bola secara umum. Jadi dari apa yang saya amati, masyarakat sepak bola mayoritas itu belum tentu beririsan dengan pecinta esports. Jadi bisa dibilang pecinta sepak bola itu bukan tergolong esports enthusiasts.”
Lebih lanjut terkait maksud dari esportsenthusiasts, Valen lalu menjelaskan. “Maksudnya esportsenthusiasts di sini adalah bukan tipe orang yang akan mencari pertandingan esports ketika membuka media sosial ataupun YouTube. Karenanya masih perlu usaha yang cukup keras untuk menularkan antusiasme esports game sepak bola ke kalangan umum. Supaya penonton bola jadi menonton esports sepak bola.”
Mendengar penjelasan dari Valen, saya jadi teringat dengan konsep Social Media Bubble yang mengurung para penggunanya di dalam kelompok tertentu yang disukai. Jadi apabila kita bicara presensi secara digital, tidak heran kalau penggemar sepak bola bisa saja tidak kenal esports sepak bola atau bahkan mungkin tidak tahu menahu soal game sepak bola itu sendiri.
Selain itu saya juga menanyakan pendapat mereka terkait faktor internal atau daya tarik game-nya itu sendiri. Paragraf ketiga dari sub bagian ini adalah pendapat saya sendiri, tapi bagaimana dengan pendapat dari Bram dan Valen?
Dalam hal PES, saya juga sempat melihat video lain yang membahas alasan kenapa esports game sepak bola lainnya (yaitu FIFA) kurang sukses sebagai esports. Video tersebut mengatakan salah satu alasannya adalah karena gameplay FIFA terlalu melibatkan faktor luck di dalamnya. Maksudnya melibatkan faktor luck adalah karena dalam FIFA, orang yang memainkan game-nya hanya mengendalikan satu orang saja sementara 10 sisanya dikendalikan AI. Karenanya video tersebut menganggap outcome yang dihasilkan di dalam pertandingan game sepak bola terlalu banyak melibatkan keberuntungan. Bagaimana dengan PES?
Valen mengatakan. “Saya sangat tidak setuju terhadap pendapat tersebut. FIFA tahun ini baru merilis fitur kompetisi baru yaitu FUT co-op. Lalu sementara itu dari sisi PES sendiri kurang lebih malah lebih sudah sekitar 3 tahun lebih dulu menyajikan pertandingan co-op untuk esports. Bahkan saat ini ada juga pertandingan eFootball Pro dengan format 3 vs 3. Kedua, mungkin aspek luck mungkin memang ada, tapi proporsinya tentu sangat kecil dan hal tersebut adalah aspek-aspek eksternal yang menurut saya justru adalah bumbu dari sepak bola; secara virtual ataupun di dunia nyata sekalipun.”
Lalu bagaimana dengan fighting game? Bram juga mengatakan pendapatnya yang menjelaskan soal masalah akses para gamers terhadap game bergenre fighting secara umum. “Kalau menurut saya, salah satu alasan fighting game ketinggalan dibanding dengan game lain sebagai esports, salah satunya mungkin karena model bisnisnya yang konvensional. Kebanyakan game fighting mengharuskan pemainnya membayar sejumlah uang untuk memainkan game tersebut. Harganya pun bisa dikatakan bukan harga yang cukup terjangkau secara umum. Namun game fighting memang sempat menggratiskan permainannya, namun hanya sebagai free trial saja.” Bram menyoroti masalah akses kepada game fighting yang secara otomatis mempengaruhi jumlah pemain dari game fighting itu sendiri.
“Ditambah lagi learning curve game fighting juga saya rasa cenderung lebih sulit ketimbang game lain. Walau awalnya terasa mudah untuk pemula, tapi tingkat kesulitannya meningkat tajam apabila bermain secara high level play. Contoh paling sederhananya misalnya saja melakukan combo.” Tambah Bram.
Memang fighting game tergolong lebih sulit kalau dibandingkan dengan game-game lain. Sulit seperti apa? Bagaimana input tombol mempengaruhi output gerakan mungkin jadi salah satu contohnya. Game seperti MOBA atau shooter punya input yang sederhana, klik pada mouse dan tombol keyboard QWER untuk skill MOBA atau WASD untuk pergerakan game shooter. Fighting game tidak.
Dalam Tekken saja contohnya, menekan tombol kotak saja punya output berbeda dibandingkan dengan menekan tombol kotak ditambah tombol maju. Belum lagi jenis gerakan juga berbeda antara satu karakter dengan karakter yang lain. Belum lagi karakter yang satu mungkin punya input kotak + tombol maju, tapi karakter lain tidak. Karenanya Anda butuh memori yang kuat, kemampuan penentuan keputusan yang cermat, dan jari jemari yang tangkas apabila ingin sedikit lebih baik di dalam permainan fighting game. Lebih lengkapnya sempat saya bahas juga pada kesempatan sebelumnya soal keunikan fighting game yang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri.
Lebih lanjut, pembahasan kami lalu beralih ke soal faktor eksternal. Dua game tersebut memeiliki satu kesamaan, dikembangkan oleh developer asal Jepang. Saya pun jadi bertanya, apakah hal tersebut menjadi faktor juga? Baik Bram dan Valen pun ternyata setuju bahwa salah satu alasan kenapa fighting game dan PES jadi kurang sukses sebagai esports karena faktor developer Jepang.
“Mungkin bisa dikatakan begitu.” Bram membuka pembahasan. “Jepang bahkan sempat punya undang-undang yang melarang hadiah uang untuk turnamen esports, kecuali dilakukan oleh 1st party. Organizer pihak ketiga hanya diperkenankan untuk memberikan hadiah merchandise saja.”
Valen lalu menambahkan. “Saya juga setuju kalau dikatakan developer Jepang tergolong terlambat di dunia esports, tentunya termasuk Konami. Menurut saya developer Jepang itu sudah terlambat bergerak, pergerakannya pun cenderung lambat. Terlalu banyak pertimbangan dari sisi perusahaan dan menurut saya juga kurang agresif soal esports. Contoh nyatanya, Pro Evolution Soccer di konsol dan mobile bahkan masih belum memiliki spectator mode sampai saat ini. Padahal fitur tersebut penting sekali untuk mendukung perkembangan ekosistem esports.”
Memang ada alasan tersendiri kenapa Jepang jadi negara yang terlambat untuk memahami tren esports. Padahal, negara tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu pusat perkembangan industri game. Alasan tersebut adalah karena polemik hubungan yakuza, pemerintah, dan hukum yang melarang perjudian di Jepang.
Artikel milik Imad Khan di ESPN menjabarkan asal usul pandangan negatif dari pemerintah Jepang terhadap tindakan perjudian. Dalam artikelnya Imad menceritakan bahwa salah satu awal mula dari semua hal tersebut adalah Nintendo Koppai (nama perusahaan Nintendo di zaman dulu). Perusahaan tersebut menciptakan mesin judi yang menggunakan teknologi video sekitar tahun 60an. Karenanya, pihak berwajib Jepang jadi mengartikan secara bebas dan melarang pertandingan video game karena dianggap sebagai bentuk lain perjudian. Akhirnya, esports pun jadi sulit sekali berkembang di Jepang dan bahkan kesulitannya bersifat struktural.
Turnamen yang mengenakan biaya pendaftaran kepada pesertanya dilarang pemerintah. Ditambah juga seperti apa yang dikatakan oleh Bram, turnamen gratis juga tidak boleh menyertakan uang tunai sebagai hadiah, hanya boleh menyertakan hadiah merchandise saja. Merchandise yang dihadiahkan juga dibatasi nilainya, yaitu sekitar US$1000 berdasarkan dari apa yang ditulis ESPN.
Kehadiran Japan eSports Union (JeSU) di tahun 2018 menjadi secercah harapan untuk menembus kebuntuan pengembangan esports di Jepang yang terjadi selama ini. Sebagai sarana legalisasi, JeSU membuat lisensi atlet esports untuk menentukan siapa-siapa saja yang berhak menerima hadiah uang tunai dari sebuah turnamen esports. Bahkan kehadiran JeSU dan peraturan soal lisensi pemain profesional itu saja masih sempat menjadi polemik, terutama saat Momochi (pro player Street Fighter V) mengutarakan kritiknya soal sistem yang diterapkan.
Menutup perbincangan, saya pun mencoba berandai-andai dengan kedua narasumber saya tersebut. Kalau saja pemerintah Jepang tidak melarang esports dan developer Jepang lebih gencar nan tanggap dengan tren, akankah esports fighting game dan Pro Evolution Soccer mampu menyaingi League of Legends, CS:GO, atau game esports lain yang juga populer?
“Pertanyaan ‘whati if’ yang menarik. Kalau ditarik ke masa lalu, menurut saya tentu saja sangat mungkin bagi game fighting.” Tutur Bram. “Sebagai genre game yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum, saya cukup optimis PES atau game bergenre olahraga lainnya bisa bersaing dengan game esports yang populer.” Valen juga menyertakan pendapatnya.
Meramal Tren Game Esports Selanjutnya
Setelah membahas dan melihat studi kasus kenapa suatu game sukses besar sebagai esports dan kenapa game lainnya kurang sukses, pertanyaan selanjutnya mungkin adalah “game apa lagi yang akan jadi tren esports berikutnya?”
Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dibilang susah-susah gampang. Gampangnya bisa saja saya jawab bahwa game esports yang sukses berikutnya adalah game-game yang memiliki empat faktor di atas. Punya gameplay sederhana, durasi permainan yang singkat dengan aksi yang intens. Selain itu gamenya juga harus memiliki format kompetisi yang cocok dengan penontonnya dan dilengkapi dengan investasi sang developer terhadap skena-skena lokal.
Tetapi, menentukan game mana yang punya daya tarik sebenarnya juga cukup sulit. Kenapa? Menurut saya, karena video game tergolong sebagai industri kreatif, kita jadi tidak bisa menentukan resep sukses yang pasti. Kenapa tidak bisa? Kalau menurut opini saya, karena selera masyarakat terhadap karya intelektual itu sulit ditebak.
Tidak usah jauh-jauh, siapa yang mengira bahwa genre MOBA dan Battle Royale bisa menjadi sepopuler seperti sekarang? Bahkan kalau kita melihat ke belakang, kita bisa melihat ada beberapa genre game yang dulu menjadi idola namun sudah mulai ditinggal oleh gamers zaman sekarang. Genre RTS dari game seperti StarCraft atau MMORPG dari game seperti Ragnarok Online misalnya.
Jangankan esports, selera masyarakat di ranah olahraga saja juga tidak ada rumus pastinya. Seperti yang disebut di awal video milik Athletic Interest. Walaupun setengah populasi dunia keranjingan sepak bola, tetapi beberapa negara tetap punya olahraga favoritnya tersendiri seperti panahan di Bhutan, ski di Austria, gulat di Mongolia, atau mungkin juga seperti badminton di Indonesia. Contoh lain yang mungkin terasa lebih aneh, Anda bisa lihat video kompetisi orang kuat di bawah ini yang secara mengejutkan punya banyak penonton dan berhasil membuat para penontonnya jadi heboh.
Lalu kalau bicara soal faktor ketiga dan keempat, prediksi trennya mungkin akan jadi lebih rumit lagi. Game-game terbaru Riot Games mungkin saja akan jadi tren esports baru lainnya. Kenapa? Salah satunya adalah dari bagaimana Riot Games memandang esports sudah bukan lagi cuma sekadar sarana marketing tetapi sebagai bentuk model bisnis.
Tetapi hal tersebut saja juga tidak bisa dijadikan patokan. Walaupun Riot Games berkomitmen dengan sungguh-sungguh mengembangkan esports Wild Rift atau VALORANT, apakah mungkin dua game tersebut menggeser game sudah lebih dahulu ada? Banyak pertanyaan muncul, tapi kita baru membahas satu. Bagaimana misalnya ada developer yang mungkin antah berantah tapi punya modal besar untuk mengembangkan esports? Akankah game tersebut bisa mengalahkan pasar yang sudah ada saat ini?
Namun saya berharap pembahasan terhadap empat faktor yang disebut oleh Steffan Heuer setidaknya bisa menjadi referensi atau kerangka bagi Anda yang mungkin ingin berinvestasi di esports, entah sebagai pelaku bisnis ataupun sebagai brand yang ingin mensponsori esports.
Atas, atas, bawah, bawah, kiri, kanan, kiri, kanan, B, A. Gamer lawas sudah pasti familier dengan kombinasi tombol yang dunia kenal dengan nama Konami Code tersebut. Beberapa game modern seperti BioShock Infinite masih menggunakan Konami Code untuk mengaktifkan fitur tersembunyi, dan rasanya bakal sangat lucu seandainya Konami Code dipakai untuk hal lain yang tak ada hubungannya sama sekali dengan video game, seperti misalnya untuk masuk ke menu BIOS komputer.
Kemungkinan itu terjadi jelas kecil sekali. Yang lebih memungkinkan, atau lebih tepatnya yang sudah terjadi, adalah jika Konami ikut terjun ke bisnis gaming PC. Bukan bisnis video game-nya, melainkan bisnis hardware-nya. Perkenalkan Arespear C300, C700 dan C700+, tiga gaming PC perdana besutan Konami.
Namanya tentu merupakan hasil permainan kata “Ares” (dewa perang Yunani, seperti yang bisa dilihat dari lambangnya) dan “Spear”. Namun “Are” sebenarnya juga merupakan singkatan dari “Advanced Revolution of Esports”. Tiga perangkat ini dibuat oleh Konami Amusement, divisi yang secara khusus menangani pengembangan berbagai mesin arcade sekaligus keterlibatan Konami di ranah esport.
Ketiganya mengadopsi desain yang cukup minimalis, dengan lubang-lubang yang membentuk motif honeycomb di bagian depan dan belakang. C300 duduk di kelas mainstream, sedangkan C700 dan C700+ diposisikan untuk segmen high-end.
Secara teknis, C300 datang membawa prosesor Intel Core i5-9400F (salah satu prosesor terpopuler di kelas 2 jutaan rupiah), RAM DDR4-2666 8 GB, GPU GeForce GTX 1650, dan SSD tipe M.2 NVMe 512 GB. Harganya dipatok 184.800 yen, cukup mahal kalau dikurskan ke rupiah (± Rp 25,8 juta), padahal harga GPU-nya di sini cuma 2,5 jutaan rupiah.
C700 dan C700+ di sisi lain mengusung prosesor Core i7-9700 plus watercooling, RAM DDR4-2666 16 GB, GPU GeForce RTX 2070 Super, SSD M.2 NVMe 512 GB, dan HDD 1 TB. Perbedaan di antara keduanya cuma sebatas kosmetik; C700+ punya panel samping berlapis akrilik serta dihiasi pencahayaan RGB, sedangkan C700 tidak.
Harganya? 316.800 yen untuk C700, dan 338.800 yen untuk C700+. Sekali lagi sangat mahal kalau dikonversikan ke rupiah, sebab harga prosesor dan GPU-nya saja sebenarnya hanya sekitar 15 jutaan rupiah kalau kita beli secara terpisah di sini.
Sebagai pelengkap, Konami tak lupa menyematkan sound card Asus Xonar AE pada ketiga model Arespear. Tidak diketahui apakah Konami punya niatan untuk memasarkannya di luar Jepang. Kalau iya, tentu saja mereka perlu melakukan penyesuaian harga. Selain gaming PC, Konami Amusement sebenarnya juga memproduksi periferal seperti keyboard dan headset gaming kalau berdasarkan informasi di situs Arespear.