Berbeda dari smartphone, konsol generasi baru tidak datang setiap tahun. Alhasil, konsol generasi lama tidak otomatis langsung berhenti diproduksi ketika suksesornya telah tersedia di pasaran. Masa transisi dari konsol lama ke baru itu akan selalu ada, akan tetapi lamanya berbeda-beda tergantung kondisi dan kebijakan masing-masing perusahaan.
Di kubu Microsoft, masa transisi dari Xbox One ke Xbox Series X/S rupanya sudah rampung sejak lama. Kepada The Verge, Microsoft mengonfirmasi bahwa mereka sebenarnya sudah berhenti memproduksi semua model Xbox One pada akhir 2020 lalu. Sebelumnya, tepatnya di bulan Juli 2020, Microsoft sempat bilang bahwa mereka sudah menyetop produksi Xbox One X dan Xbox One S Digital Edition, tapi tidak untuk Xbox One S versi standar.
Sekarang kita tahu bahwa rencana tersebut ternyata cuma bertahan beberapa bulan saja, sebab Microsoft secara diam-diam juga sudah berhenti memproduksi Xbox One S versi standar di akhir tahun 2020. Dengan kata lain, Microsoft sebenarnya sudah sepenuhnya berfokus pada Xbox Series X dan Series S mulai 2021 kemarin.
Ini sangat kontras dengan strategi yang dijalankan oleh Sony. Baru-baru ini, beredar laporan bahwa Sony akan menggenjot produksi PlayStation 4 di tahun 2022 ini demi mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh krisis stok PlayStation 5. Sony bahkan sempat bilang bahwa mereka dari awal memang belum pernah berniat untuk menghentikan produksi PS4.
Baik Sony ataupun Microsoft sebenarnya sama-sama kesulitan memenuhi permintaan tinggi konsumen akan konsol next-gen bikinan masing-masing. Namun yang agak berbeda adalah, di saat Sony hanya menawarkan satu tipe konsol saja (PS5), Microsoft menawarkan dua tipe yang berbeda (Xbox Series X dan Series S). PS5 memang ada yang versi Digital Edition, akan tetapi versi tersebut tidak mempunyai perbedaan performa sama sekali.
Xbox Series S di sisi lain memiliki performa yang lebih inferior ketimbang Series X. Secara fisik, ukuran chipset yang menenagai masing-masing konsol bahkan berbeda. Sebelum ini, Phil Spencer selaku bos besar Xbox juga sempat menjelaskan bahwa mereka sebenarnya bisa memproduksi lebih banyak chip milik Series S ketimbang chip milik Series X dalam satu penampang yang sama.
Jadi meski kesulitan memenuhi demand Series X, Microsoft masih bisa sedikit menutupinya dengan memperbanyak stok Series S. Sony di sisi lain harus bergantung pada konsol lamanya untuk menyiasati krisis stok PS5.
Sumber: The Verge. Gambar header: Louis-Philippe Poitras via Unsplash.
Sejak pertama kali diluncurkan di bulan November 2020, PlayStation 5 terus dilanda isu seputar keterbatasan stok. Di belahan dunia manapun, stok konsol terbaru Sony ini hampir selalu kosong, dan alasannya tidak lain dari krisis yang melanda industri semikonduktor secara global.
Ketimbang menerima nasib begitu saja, Sony dikabarkan sudah menyiapkan strategi lain, yakni menggenjot produksi PlayStation 4. Berdasarkan laporan Bloomberg, Sony rupanya telah menyuarakan ke mitra-mitra manufakturnya pada akhir tahun lalu bahwa mereka akan terus memproduksi konsol lamanya itu hingga tahun ini.
Sony memang tidak pernah secara resmi mengumumkan ke publik bahwa mereka bakal menyetop produksi PS4, akan tetapi mereka kabarnya sempat berencana untuk menghentikan perakitan PS4 pada akhir 2021 kemarin. Rencana tersebut batal dijalankan, dan Sony sekarang malah berniat untuk meningkatkan produksi PS4.
Narasumber Bloomberg mengatakan bahwa Sony berniat menambahkan sekitar satu juta unit PS4 tahun ini untuk mengisi kekosongan yang diakibatkan oleh terhambatnya produksi PS5. Meski begitu, angkanya bisa saja berubah tergantung permintaan. Dibanding PS5, PS4 tentu lebih mudah dan lebih murah untuk dibuat karena menggunakan komponen-komponen yang lebih inferior.
Kepada Bloomberg, juru bicara Sony mengonfirmasi bahwa produksi PS4 masih akan terus dilanjutkan, dan Sony pun dari awal tidak pernah berniat untuk menghentikannya. “PS4 merupakan konsol dengan penjualan terbesar, dan persilangan antar generasi itu bakal selalu ada,” ujarnya.
Dirilis di tahun 2013, PS4 tercatat telah terjual sebanyak lebih dari 116 juta unit, dan konsol ini pun masih cukup diminati hingga sekarang. Bukan hanya itu, PS4 juga masih menyumbangkan pendapatan yang cukup besar buat divisi gaming Sony melalui penjualan game dan subscription.
Apa yang Sony lakukan ini pada dasarnya mirip seperti langkah yang diambil oleh Nvidia. Belum lama ini, Nvidia memutuskan untuk memproduksi kembali kartu grafis lamanya (RTX 2060) demi memenuhi permintaan konsumen. Minat terhadap perangkat gaming melonjak drastis selama pandemi, sementara produksi perangkat-perangkat barunya justru terhambat karena kendala di rantai pasok. Alhasil, produk-produk lama pun dilihat sebagai salah satu cara untuk mengantisipasi.
Saat pertama kali diungkap, PlayStation 5 langsung menuai banyak kontroversi terkait desainnya. Lalu ketika Sony sudah mulai memasarkannya, tidak sedikit konsumen yang terkejut melihat ukuran fisik PS5 yang tergolong bongsor. Singkat cerita, desain PS5 bukan untuk semua orang, dan Sony tampaknya sadar akan hal itu.
Namun tentu saja merombak desainnya secara drastis sekarang terdengar kurang rasional — mungkin ini bisa jadi salah satu ekspektasi kita untuk PlayStation 5 Pro nanti, seandainya ada. Yang bisa Sony lakukan sekarang setidaknya adalah memberikan opsi personalisasi warna kepada para pengguna PS5.
Ya, PS5 sekarang tidak harus berwarna putih. Sony baru saja menyingkap aksesori PS5 Console Cover dalam lima pilihan warna yang berbeda: Cosmic Red, Galactic Purple, Midnight Black, Starlight Blue, dan Galactic Purple. Cara pemasangannya mudah kalau menurut Sony sendiri; cukup lepas cover putih bawaan PS5, lalu ganti dengan yang baru ini. Selain untuk versi standarnya, aksesori ini juga tersedia buat PS5 Digital Edition, jadi jangan sampai Anda salah beli.
Supaya klop, Sony tidak lupa menyediakan controller DualSense dalam lima opsi warna yang sama persis, meski dua di antaranya (Cosmic Red dan Midnight Black) sebenarnya sudah tersedia selama beberapa bulan. Dari sisi fungsionalitas, controller baru ini sama persis seperti versi putih yang disertakan dalam paket penjualan PS5.
Di Indonesia, PS5 Console Cover bakal dijual secara resmi dengan harga Rp939.000, sedangkan controller DualSense dalam tiga warna barunya dibanderol Rp1.359.000. Sejauh ini belum ada informasi apakah ke depannya Sony bakal menjual konsol PS5 dalam warna-warna baru ini. Untuk sekarang, warna-warna baru ini sifatnya sebatas add-on yang opsional.
Untuk PS5 Console Cover varian Cosmic Red dan Midnight Black, pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai 21 Januari 2022. Sementara tiga varian warna sisanya diperkirakan bakal menyusul tidak lewat dari babak pertama 2022. Controller-nya sendiri akan lebih dulu dijual mulai 14 Januari 2022.
Di luar sana, sebenarnya sudah eksis sejumlah opsi cover untuk PS5 dari sejumlah produsen pihak ketiga — yang akhirnya memicu perseteruan hukum antara Sony dan produsen-produsen tersebut, sekaligus mendorong Sony untuk mematenkan desain cover PS5.
Untuk bermain game mobile dengan nyaman, harus diakui bahwa chipset pada smartphone kelas menengah sudah lumayan powerful untuk menangani berbagai game populer di Google Play Store. Sebagian besar perangkat menengah telah dibekali layar dengan refresh rate 90 Hz atau bahkan 120 Hz dan disandingkan dengan touch sampling rate tinggi. Keduanya angka ini dianggap penting kala bermain game-game kompetitif yang membutuhkan respons cepat.
Kebanyakan smartphone flagship terbaru, misalnya yang ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon 888 juga memiliki kekuatan yang dibutuhkan untuk menangani game dengan pengaturan grafis rata kanan secara mulus. Sementara bagi yang mendambakan pengalaman bermain game mobile terbaik, tersedia opsi smartphone gaming.
Tahun depan, kemungkinan bakal tersedia perangkat khusus untuk gaming alias konsol genggam (handheld) berbasis Android yang menawarkan pengalaman bermain game mobile melampaui smartphone gaming. Perangkat tersebut akan ditenagai chipset Qualcomm Snapdragon G3x Gen 1 Gaming Platform. Mari bahas lebih banyak.
Snapdragon 8 Gen 1 dan Snapdragon G3x Gen 1
Belum lama ini, Qualcomm telah mengumumkan chipset mobile generasi berikutnya dengan penamaan baru yakni Snapdragon 8 Gen 1 yang akan menenagai smartphone flagship dan gaming keluaran tahun 2022.
SoC ini dibangun dengan proses fabrikasi 4 nm dan menggunakan arsitektur ARMv9 terbaru dari ARM. Kalau dibandingkan dengan Snapdragon 888, CPU milik Snapdragon 8 Gen 1 punya kinerja hingga 20% dengan efisiensi daya 30% lebih baik.
Sementara, Adreno barunya menjanjikan peningkatan kinerja olah grafis hingga 30% dengan efisiensi daya 25% lebih baik. Didukung fitur Snapdragon Elite Gaming, termasuk rendering volumetrik, tingkat variabel shading yang ditingkatkan, dukungan layar dengan refresh rate 144 Hz pada resolusi QHD+, dan Unreal Engine 5.
Rangkaian peningkatan tersebut membuat smartphone flagship dan gaming dengan Snapdragon 8 Gen 1 menjadi mesin gaming yang amat powerful. Lalu, apa yang ditawarkan oleh Snapdragon G3x Gen 1?
Snapdragon G3x Gen 1 adalah platform berbasis Android yang memungkinkan para gamer memiliki perangkat terbaik untuk bermain game Android yang benar-benar premium dan imersif.
Dasar dari platform gaming ini adalah chipsetSnapdragon G3x Gen 1 dengan GPU Adreno dan teknologi Snapdragon Elite Gaming yang diambil dari Snapdragon 8 Gen 1. Perangkat tersebut dapat menjalankan game hingga frame rate 144 fps pada tampilan 10-bit HDR.
Tentu saja, sebagai konsol genggam – perangkat gaming dengan Snapdragon G3x Gen 1 dapat dihubungkan ke layar lebih besar seperti tv dan monitor dengan output 4K. Serta, mendukung tethering ke headset mixed reality melalui port USB-C.
Sekarang mari lihat ROG Phone 5s Pro, smartphone gaming terbaru ASUS yang baru saja masuk di Indonesia. Ketika ditandemkan dengan aksesori ROG Kunai GamePad, ROG Phone 5s Pro berasa seperti Nintendo Switch. Meski di awal butuh penyesuaian, bermain dengan aksesori gamepad terasa lebih menyenangkan.
Smartphone gaming seperti ROG Phone 5s Pro ini dari awal dirancang dengan fokus utama menghadirkan pengalaman bermain game mobile terbaik. Jadi, apakah kita benar-benar membutuhkan perangkat khusus untuk gaming?
Menurut Qualcomm, salah satu tantangan besar ketika bermain game dengan grafis berat di smartphone ialah frame rate akan turun saat suhu perangkat memanas. Perangkat gaming dengan Snapdragon G3x Gen 1 ini menjanjikan kinerja berkelanjutan yang stabil tanpa kompromi.
Kontrol gamepad lebih baik dengan dukungan controller mapping technology dari AKSys yang memungkinkan penggunaan pengontrol bawaan pada beragam game. Tak sebatas game mobile, para gamer juga dapat streaming game dari konsol di rumah atau PC Anda, serta bermain game melalui layanan cloud gaming.
Saat ini, Qualcomm bekerja sama dengan Razer untuk menyediakan Snapdragon G3x handheld gaming developer kit pertama yang tersedia secara eksklusif untuk para developer. Untuk sekarang, fokus Qualcomm adalah membangun platform gaming tersebut bersama komunitas developer, setelah itu OEM dapat masuk dan membuat perangkat gaming untuk dinikmati konsumen. Kita tunggu saja perkembangannya.
Belum lama ini, Valve mengumumkan bahwa mereka harus menunda peluncuran Steam Deck selama dua bulan akibat krisis chip global yang terus berkelanjutan. Selagi konsumennya bersabar menunggu, Valve kembali memberikan update mengenai konsol genggam calon penantang Nintendo Switch tersebut.
Dikatakan bahwa Valve baru saja merampungkan prototipe final dari Steam Deck, dan bersamanya mereka juga ingin memperlihatkan seperti apa packaging yang bakal diterima konsumen mulai Februari 2022. Seperti yang bisa kita lihat, boks kemasan Steam Deck ini tampak begitu minimalis dan nyaris tanpa branding.
Selain unit konsol Steam Deck itu sendiri, paket penjualannya turut mencakup sebuah adaptor daya untuk charging, kontras dengan tren yang terus bertambah populer di dunia smartphone, dengan semakin banyaknya ponsel yang dijual tanpa charger sama sekali. Valve juga bilang bahwa jenis colokan adaptornya akan disesuaikan dengan region dari masing-masing konsumen, meski sayangnya Indonesia masih belum termasuk salah satunya, setidaknya di tahap pemesanan awalnya ini.
Setiap unit Steam Deck juga akan datang bersama sebuah carrying case, termasuk untuk varian termurahnya. Gambar di bawah adalah carrying case untuk varian 64 GB dan 256 GB, sedangkan varian 512 GB bakal disertai case yang lebih spesial yang masih misterius.
Menurut Valve, prototipe versi final dari Steam Deck ini bakal mereka gunakan untuk sejumlah pengujian tambahan, sekaligus sebagai dev kit yang akan mereka kirim ke kalangan developer. Prototipe final ini mengemas sejumlah penyempurnaan jika dibandingkan dengan versi yang sempat didemonstrasikan ke awak media pada bulan Agustus lalu, akan tetapi Valve tidak merincikan apa saja yang berubah.
Valve juga bilang bahwa akan ada sejumlah perubahan minor pada versi finalnya yang bakal diproduksi secara massal setelah ini. Dengan kata lain, prototipe terakhirnya ini pun masih belum 100% merepresentasikan versi ritel yang bakal diterima konsumen nantinya.
Dengan segala daya tariknya, Steam Deck berpotensi menjadi salah satu gadget terpanas tahun depan. Valve sendiri tampaknya cukup pandai membangun momentum; update singkat mengenai packaging dan prototipe versi final ini jelas dimaksudkan untuk semakin menumbuhkan hype yang sudah tergolong besar, namun di saat yang sama juga membantu membangun image Valve sebagai perusahaan yang transparan.
$400 untuk sebuah konsol genggam yang jauh lebih perkasa ketimbang Nintendo Switch merupakan premis yang sangat menggiurkan, belum lagi fakta bahwa konsol tersebut juga bisa berfungsi layaknya PC tradisional ketika dibutuhkan. Tidak heran kalau kemudian Steam Deck terus menjadi buah bibir meski peluncurannya harus ditunda dua bulan.
Sambil menunggu, Valve rupanya ingin berbagi lebih banyak mengenai konsol genggamnya tersebut. Lewat sebuah live stream yang ditujukan untuk kalangan developer, Valve menyingkap banyak detail baru terkait Steam Deck, khususnya dari sudut pandang teknis. Berikut rangkuman poin-poin yang paling menarik dari presentasi Valve.
1. Aerith SoC
Penggemar Final Fantasy VII mungkin bakal tersenyum mendengar ini: chip bikinan AMD yang mengotaki Steam Deck dinamai Aerith. Sebagai pengingat, chip ini merupakan sebuah APU yang menggabungkan 4-core dan 8-thread CPU Zen 2 dengan 8 compute unit (CU) RDNA 2.
CPU-nya mampu berjalan di kecepatan 2,4-3,5 GHz, sementara GPU-nya di 1-1,6 GHz. Sepintas terkesan pelan, dan chip-nya pun tidak dibekali teknologi turbo boost sama sekali. Menurut Valve, rancangan seperti ini disengaja guna memastikan performa Steam Deck bisa konsisten di segala skenario.
“Performa game Anda dalam sepuluh detik pertama kemungkinan besar bakal sama dengan performanya dua jam dari sekarang, atau seterusnya jika perangkat dicolok ke listrik,” terang Yazan Aldehayyat selaku Hardware Engineer Valve.
2. TDP 15 W
Aerith secara spesifik dirancang untuk beroperasi seefisien mungkin, dengan rentang thermal design power (TDP) sebesar 4-15 W. Namun sekali lagi, supaya kinerjanya bisa konsisten, baik dalam posisi handheld atau docked, Valve tidak membatasi seberapa besar daya yang bisa dikonsumsi oleh Aerith.
Kendati demikian, Valve tetap menerapkan sejumlah optimasi, semisal fitur global frame rate limiter (30 fps atau 60 fps) untuk game apapun sehingga masing-masing pengguna bebas menentukan apakah mereka lebih mementingkan performa atau daya tahan baterai.
Tidak kalah menarik adalah bagaimana Steam Deck dirancang agar membatasi kecepatan charging, kecepatan download, atau bandwith SSD-nya ketika suhu perangkat terdeteksi cukup tinggi. Tujuannya supaya kinerja optimal GPU-nya tetap bisa dipertahankan dalam kondisi yang kurang ideal, seperti ketika sedang bermain di bawah terik matahari misalnya.
3. RAM 16 GB
Aerith ditandemkan dengan RAM LPDDR5 berkapasitas 16 GB dan VRAM 1 GB. Valve menjelaskan bahwa mayoritas game modern sebenarnya tidak membutuhkan memori lebih dari 8 GB atau 12 GB, dan angka 16 GB ini murni Valve maksudkan untuk keperluan future-proofing.
Kok VRAM-nya kecil sekali? Ya, tapi kita juga tidak boleh lupa bahwa memorinya bersifat unified. Ini berarti GPU-nya bisa memanfaatkan kapasitas ekstra (hingga 8 GB) seandainya VRAM 1 GB tersebut terbukti kurang. Secara total, Steam Deck punya bandwith memori sebesar 88 GB/detik.
4. Performa mengalahi mini PC seharga $670
Pada laman dokumentasi untuk developer, Valve membandingkan Steam Deck dengan mini PC seharga $670 yang mengemas prosesor Ryzen 7 3750H, GPU Radeon RX Vega 10, dan RAM DDR4 16 GB. Menurut Valve, CPU-nya memang sedikit lebih perkasa ketimbang milik Steam Deck, akan tetapi GPU-nya lebih lemah dan bandwith memorinya lebih kecil, sehingga secara keseluruhan Steam Deck masih lebih superior.
5. eMMC vs SSD NVMe
Seperti yang kita tahu, Steam Deck hadir dalam tiga varian storage: 64 GB, 256 GB, dan 512 GB. Khusus untuk varian 64 GB, tipe storage yang digunakan adalah eMMC, sementara dua varian sisanya menggunakan SSD NVMe. Sudah bukan rahasia kalau NVMe punya kinerja yang lebih gegas dibanding eMMC. Namun yang jadi pertanyaan adalah, seberapa jauh selisihnya?
Di atas kertas, selisihnya rupanya tidak terlalu jauh kalau berdasarkan penjelasan Valve. Untuk loading game, varian 64 GB dengan eMMC cuma sekitar 12% lebih lambat dari varian 512 GB dengan NVMe, sedangkan untuk booting awal, selisihnya berkisar 25%. Waktu loading yang paling lama adalah jika game disimpan di kartu microSD, yakni sekitar 18% lebih lambat.
6. FSR untuk semua game
Secara teknis, port USB-C milik Steam Deck bisa mengakomodasi hingga dua monitor 4K 60 Hz sekaligus. Tentu saja itu konteksnya bukan bermain, sebab Steam Deck jelas bakal sangat kewalahan menjalankan game di resolusi setinggi itu.
Kabar baiknya, Steam Deck sepenuhnya kompatibel dengan teknologi upscaling FidelityFX Super Resolution (FSR) besutan AMD, yang tentunya bisa membantu meningkatkan performa ketika dipaksa menjalankan game di atas resolusi bawaannya (1200 x 800).
Memang tidak semua game, melainkan hanya judul-judul yang sejauh ini sudah mendukung FSR itu sendiri. Kendati demikian, Valve sudah punya rencana untuk merilis update sehingga Steam Deck bisa mendukung FSR di level sistem operasi, sehingga FSR dapat diaplikasikan ke game apapun.
7. Steam Remote Play
Berbekal Wi-Fi AC (Wi-Fi 5), Steam Deck diyakini mampu memberikan pengalaman Remote Play yang optimal — game dijalankan di PC, lalu di-stream oleh Steam Deck via Wi-Fi. Kenapa harus streaming kalau perangkatnya sanggup menjalankan game secara mandiri? Well, Valve bilang baterai Steam Deck bisa bertahan lebih lama saat dipakai streaming daripada saat menjalankan game-nya sendiri.
8. Quick suspend/resume
Sebagai sebuah konsol genggam, sudah sewajarnya apabila Steam Deck mendukung fitur quick suspend/resume. Tekan tombol power, maka perangkat masuk ke sleep mode. Tekan kembali, maka pengguna bisa langsung melanjutkan sesi bermain terakhirnya. Tidak dinyala-matikan seperti PC atau laptop.
Agar fitur ini bisa bekerja, Valve harus mengubah cara kerja sistem cloud save yang Steam tawarkan. Kalau sekarang sinkronisasinya cuma berlangsung ketika pengguna keluar dari game, nantinya sinkronisasi bakal berlangsung di background ketika fitur suspend tadi aktif.
Teorinya, ini berarti pengguna dapat berpindah dari Steam Deck ke PC secara cepat, ataupun sebaliknya. Tinggal pause game-nya, maka progresnya bisa langsung dilanjutkan di perangkat yang lain. Praktis dan sangat membantu.
Kabar mengecewakan bagi yang sudah tidak sabar menanti Steam Deck. Peluncuran konsol genggam besutan Valve tersebut terpaksa ditunda dua bulan. Yang tadinya dijadwalkan bakal dikirim ke konsumen pada bulan Desember 2021 kini harus mundur ke Februari 2022.
Di titik ini, sebagian besar dari kita mungkin sudah tahu alasannya kenapa. Ya, apa lagi kalau bukan karena dampak dari fenomena kelangkaan chip global. Kalau industri otomotif saja sampai terkena imbasnya, apalagi industri gadget secara umum.
“Kami meminta maaf soal ini — kami melakukan yang terbaik untuk mengatasi masalah rantai pasokan global, tapi akibat krisis material, komponen tidak bisa tiba di fasilitas manufaktur kami tepat waktu sesuai dengan jadwal peluncuran awal kami,” tulis Valve dalam sebuah posting blog.
Perlu dicatat, Februari 2022 itu adalah estimasi tercepatnya, dan masing-masing konsumen bakal melihat estimasi waktu pengiriman yang berbeda berdasarkan antrean. Bahkan yang sama-sama melakukan pemesanan di hari pertama pengumuman Steam Deck pun bisa mendapati estimasi waktu pengiriman yang berbeda kalau menurut The Verge.
Kalau boleh menyimpulkan, stok Steam Deck sepertinya bakal cukup langka untuk beberapa waktu, kurang lebih sama nasibnya seperti Nintendo Switch maupun PlayStation 5.
Kabar baiknya, penundaan ini berarti Valve punya lebih banyak waktu untuk mengatasi isu kompatibilitas yang melanda Steam Deck. Seperti yang kita tahu, Steam Deck memang sudah dilengkapi dukungan software anti-cheat, akan tetapi masing-masing developer tetap perlu memperbarui game-nya agar software anti-cheat yang digunakan tidak bentrok dengan compatibility layer milik Steam Deck.
Belum lama ini, Valve juga sempat mengumumkan bahwa mereka akan meninjau ulang seluruh katalog Steam demi mengecek kompatibilitas masing-masing game dengan Steam Deck. Singkat cerita, Valve masih punya banyak PR, dan semoga saja penundaan ini berarti Steam Deck nantinya bisa meluncur dalam kondisi benar-benar matang.
Per tanggal 30 September 2021 kemarin, PlayStation 5 tercatat telah terjual sebanyak 13,4 juta unit. Terlepas dari kelangkaan stoknya, penjualan konsol tersebut ternyata terus bertumbuh secara signifikan, sebab dalam kurun waktu tiga bulan saja, angka penjualannya sudah naik sekitar 3,3 juta unit.
Dalam laporan finansial terbarunya untuk kuartal fiskal kedua tahun 2021, Sony mencatatkan penjualan hardware sebesar 160 miliar yen (19,9 triliun rupiah), naik drastis dibanding penjualan di periode yang sama tahun lalu sebesar 41 miliar yen. Secara total (hardware plus software), divisi gaming Sony mencatatkan penjualan sebesar 645,4 miliar yen (80,5 triliun rupiah) untuk periode Juli-September 2021.
Lucunya, laba operasional yang didapat justru turun 21% menjadi 82,7 miliar yen (10,3 triliun rupiah). Ini disebabkan oleh anjloknya penjualan konsol PS4. Di periode ini, PS4 rupanya cuma laku sebanyak 200 ribu unit saja, bandingkan dengan 1,5 juta unit yang terjual pada periode yang sama di tahun sebelumnya.
Faktor lain yang juga punya pengaruh besar adalah performa penjualan game dari studio-studio internal Sony sendiri (first-party). Di periode ini, Sony rupanya hanya mampu menjual 7,6 juta kopi game first-party, sedangkan tahun lalu mereka berhasil menjual sebanyak 12,8 juta kopi dalam periode yang sama.
Namun perlu dicatat, dalam tiga bulan terakhir ini memang belum ada game first-party baru yang dirilis oleh Sony, sementara di periode yang sama tahun lalu mereka sempat terbantu oleh peluncuran perdana Ghost of Tsushima – meski ini bukanlah game terlaris yang pernah Sony buat.
Titel game first-party terlaris Sony sejauh ini masih dipegang oleh God of War, yang telah terjual sebanyak 19,5 juta kopi, dan yang diprediksi bakal bertambah lagi seiring perilisannya versi PC-nya tahun depan. Di belakangnya ada Marvel’s Spider-Man dengan 13,2 juta kopi, kemudian Horizon: Zero Dawn dengan 10 juta kopi, dan Marvel’s Spider-Man: Miles Morales dengan 6,5 juta kopi.
Menjelang peluncuran resmi Steam Deck pada bulan Desember mendatang, Valve rupanya tengah sibuk meninjau ulang seluruh katalog Steam demi mengecek kompatibilitas masing-masing game dengan konsol genggamnya tersebut.
Seperti yang kita tahu, Steam selama ini memang lebih fokus mendistribusikan game untuk PC berbasis Windows ketimbang platform lain. Di saat yang sama, Steam Deck menjalankan sistem operasi berbasis Linux, dan hardware-nya juga berbeda dari PC tradisional. Artinya, tidak semua game yang tercantum di katalog Steam bakal berjalan secara optimal di Steam Deck.
Demi menghindari kesalahpahaman di kalangan konsumen Steam Deck, Valve akan membagi katalog Steam ke empat kategori yang berbeda: Verified, Playable, Unsupported, dan Unknown. Masing-masing disertai ikonnya tersendiri agar lebih mudah dikenali.
Game yang masuk kategori Verified dipastikan kompatibel dengan OS milik Steam Deck dan dapat dioperasikan sepenuhnya menggunakan controller-nya. Game di kategori ini juga siap disajikan di resolusi native milik Steam Deck (1280 x 800 atau 1280 x 720) tanpa masalah.
Tidak kalah penting, game dengan label Verified dijamin tidak akan bentrok dengan software anti-cheat. Nantinya, deretan game yang masuk kategori ini akan punya tempat sendiri di tab “Great on Deck”, baik di Store maupun di Library.
Kategori Playable mencakup game yang perlu diutak-atik secara manual oleh pengguna agar dapat dimainkan di Steam Deck. Agar lebih transparan, Steam akan memberikan detail lebih lengkap mengenai apa yang salah pada laman tiap-tiap game yang masuk kategori ini.
Salah satu contoh game yang masuk kategori Playable adalah Team Fortress 2, dengan alasan beberapa fiturnya tidak bisa diakses menggunakan controller Steam Deck (harus via touchscreen atau virtual keyboard), dan ada beberapa controller glyph yang tidak pas atau bahkan hilang.
Kategori Unsupported jelas ditujukan untuk game yang tidak bisa dijalankan oleh Steam Deck sama sekali. Contoh gampangnya adalah Half-Life: Alyx dan sederet judul game virtual reality (VR) lainnya. Pesan buat Valve: mungkin ini saat yang tepat untuk mengembangkan Half-Life: Alyx versi non-VR.
Terakhir, ada kategori Unknown yang sesimpel belum sempat dicek kompatibilitasnya oleh Valve. Mengecek satu demi satu game yang tersedia di katalog masif Steam tentunya bakal memakan waktu. Jadi upaya ini memang akan terus dijalankan meski Steam Deck nantinya sudah mulai dijual secara resmi.
Perlu dicatat, kategorisasi ini sifatnya tidak permanen. Semisal ada update yang dirilis oleh masing-masing developer game, atau jika software milik Steam Deck sendiri sudah semakin disempurnakan, kategori suatu game bisa saja berubah; dari sebatas Playable menjadi Verified, misalnya.
Valve saat ini juga tengah mengembangkan semacam fitur compatibility checker sehingga konsumen bisa mengecek koleksi game-nya masuk ke kategori mana saja sebelum membeli Steam Deck. Ikon kategorinya tadi akan muncul di setiap judul game, baik di Store maupun di Library.
Dengan banderol mulai $399 dan spesifikasi jauh di atas Nintendo Switch, tidak heran apabila Valve Steam Deck berhasil mencuri perhatian banyak gamer. Kalau ditanya kenapa bisa murah, salah satu alasannya adalah karena Valve tidak membebani konsumen dengan biaya lisensi Windows. Sebagai gantinya, Steam Deck menggunakan sistem operasi rancangan sendiri yang berbasis Linux.
Berhubung memakai Linux, Steam Deck harus mengandalkan bantuan compatibility layer bernama Proton agar mampu menjalankan game–game yang dikembangkan untuk Windows. Proton masih belum sempurna. Bahkan untuk beberapa judul game, Proton sama sekali tidak bisa menanganinya akibat ‘intervensi’ dari software anti-cheat yang digunakan di game–game tersebut.
Untung tidak selamanya harus seperti itu. Belum lama ini, Epic Games mengumumkan bahwa software anti-cheat populernya, Easy Anti-Cheat (EAC), kini sudah sepenuhnya mendukung sistem operasi Linux dan macOS. Lebih spesifik lagi, EAC kini dipastikan tidak akan lagi mengganggu compatibility layer macam Wine atau Proton itu tadi.
Dengan kata lain, Steam Deck jadi bisa menjalankan deretan game yang menggunakan EAC macam Apex Legends, Black Desert Online, Fall Guys, dan masih banyak lagi. Syaratnya, developer masing-masing game harus mengaktifkan dukungan atas Proton lebih dulu. Namun kalau memang tujuannya adalah menjangkau lebih banyak pemain (para pengguna Steam Deck), saya yakin developer rela mengambil langkah ekstra tersebut, terutama jika prosesnya semudah yang diklaim oleh Epic.
EAC bukan satu-satunya software anti-cheat yang eksis di industri video game saat ini. Software lain yang tak kalah populer adalah BattlEye, yang digunakan di game–game seperti PUBG dan Destiny 2. Game kebanggaan Epic, Fortnite, bahkan menggunakan kombinasi EAC dan BattlEye.
Kabar baiknya, BattlEye pun juga dipastikan bakal kompatibel dengan Steam Deck, berdasarkan pernyataan langsung CEO BattlEye, Bastian Suter, kepada The Verge. Namun kembali lagi, keputusan finalnya — apakah game akan di-update supaya kompatibel dengan Proton dan Steam Deck — ada di tangan masing-masing developer.
Andai pengguna Steam Deck nantinya benar-benar tidak mau dihadapkan dengan problem seputar kompatibilitas, mereka masih punya satu solusi pamungkas: install sendiri Windows ke Steam Deck, sebab konsol genggam tersebut memang sepenuhnya bisa diperlakukan layaknya sebuah PC konvensional.