Platform kreator konten TipTip mengumumkan penutupan pendanaan Seri A sebesar $13 juta (setara dengan 205 miliar Rupiah). Putaran ini merupakan lanjutan dari pendanaan tahap awal senilai $10 juta yang sebelumnya telah diterima pada Maret 2022. East Ventures kembali memimpin putaran teranyar ini dengan partisipasi dari investor lainnya, seperti Vertex, SMDV, dan B.I.G Ventures.
Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (28/11), Founder dan CEO TipTip Albert Lucius menyampaikan pihaknya merasa terhormat sekaligus bangga dengan kepercayaan dan dukungan yang berlanjut dari para investor terkemuka di Asia Tengggara.
“Kami sangat menghargai kemitraan yang terjalin, dan akan menggunakan dana ini untuk mempercepat perkembangan platform, diversifikasi produk agar dapat memosisikan TipTip sebagai platform terkemuka bagi kreator konten di Asia Tenggara,” ucap Albert.
Co-Founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca turut memberikan pernyataannya. Ia memiliki kepercayaan penuh terhadap kepemimpinan Albert dalam membawa TipTip. Menurutnya, pengalaman Albert membangun Kudo, sebelum diakuisisi Grab pada 2017, telah terbukti menjadi navigasi yang kuat untuk menghadapi gejolak ekonomi yang diperkirakan terjadi pada 2023.
“Kami berharap TipTip terus melanjutkan pertumbuhan yang signifikan dengan tetap menerapkan strategi hyperlocal yang terbukti diadaptasi dengan baik serta membawa perubahan perilaku bagi konsumen maupun kreator konten di era pasca COVID. Kami melihat adanya potensi perkembangan yang lebih besar lagi dan dan kami sangat optimis untuk terus mendukung TipTip,” katanya.
Managing Partner Vertex Joo Hock Chua menambahkan, “Kami percaya dengan pendekatan ekosistem kreator-suporter-promotor yang dilakukan oleh TipTip. Pendekatan ini sangat cocok untuk memasuki pasar Indonesia yang sangat luas dan tersebar di berbagai komunitas mikro. TipTip memiliki keunikan tersendiri dalam memberikan solusi utama dalam masalah yang dihadapi para kreator konten, yaitu monetisasi dalam ekosistem mereka. Dengan dukungan TipTip, para kreator konten dapat memonetisasi langsung konten mereka tanpa harus bergantung pada algoritma atau iklan.”
Pencapaian TipTip
TipTip didirikan pada Oktober 2021 dengan misi memberikan solusi bagi kesenjangan monetisasi yang saat ini dihadapi para kreator konten Asia Tenggara. TipTip membangun marketplace yang menghubungkan para kreator konten dengan para pengikutnya. Di sana pemilik konten diberikan kebebasan untuk membuat konten, memasarkan, dan menjual langsung hasil kreasi mereka.
Diklaim sejak diperkenalkan ke publik pada Juli 2022, TipTip mendapat respons pasar yang baik. Terjadi peningkatan revenue lebih dari 20 kali lipat di dua bulan terakhir sejak Oktober 2022. Strategi hyperlocal yang diimplementasikan oleh TipTip disebutkan sukses menggandeng kegiatan komunitas, baik online maupun offline, di lebih dari 40 kota di seluruh Indonesia.
Platform TipTip disebutkan telah digunakan oleh lebih dari 2.500 kreator konten dan digunakan oleh lebih dari 30 ribu pengguna. Perusahaan berencana lebih agresif lagi pada tahun depan dengan target menaungi 30 ribu kreator konten dan 300 ribu pengguna.
Albert menyebut, rata-rata penghasilan yang didapatkan kreator konten serta pengikutnya setelah 30 hari bergabung di platform, berkisar di angka Rp3 juta. Kreator konten bisa mendapatkan penghasilan dengan menjual langsung konten mereka atau melalui jaringan promotor konten di TipTip, atau dengan melakukan live session bersama para pengikut. Tersedia fitur monetisasi seperti tipping langsung, serta KYC identitas dan integrasi pembayaran yang membantu kreator agar mendapatkan lebih banyak penghasilan.
Di era digital seperti sekarang, banyak hal yang bisa kita lakukan untuk menghasilkan uang, termasuk memonetisasi akun media sosial yang kita punya. Monetisasi media sosial juga merupakan pilihan yang tepat jika Anda merupakan seorang influencer atau content creator.
Apa Itu Monetisasi Media Sosial?
Monetisasi media sosial adalah proses memperoleh penghasilan dari audiens akun media sosial yang dimiliki. Memperoleh penghasilan dari media sosial ini sangat memungkinkan, terutama untuk Anda yang memiliki banyak pengikut aktif dan terbiasa berinteraksi dengan para pengikut Anda.
Lalu, bagaimana cara memulainya? Dan adakah tips untuk melakukan social media monetization ini? Untuk menjawab rasa penasaran Anda, Myre Gustam, Country Manager Impact.com membagikan informasi terkait topik ini yang selengkapnya akan dipaparkan secara lengkap pada artikel ini. Jadi, pastikan Anda membacanya hingga selesai!
Mengapa Monetisasi Media Sosial Itu Penting?
Monetisasi adalah cara seorang content creator mendapatkan penghasilan. Namun, menurut keterangan Myre, monetisasi bukanlah hal yang utama dalam bersosial media, melainkan konten itu sendiri.
“Media sosial adalah ruang di mana bersosialisasi dan keterlibatan komunitas terjadi. Pembuat konten membawa nilai ke ruang ini melalui konten yang bermanfaat dan menarik yang bermanfaat bagi audiens mereka,” ujar Myre.
Konten telah menjadi sarana hiburan dan informasi dari banyak pengguna media sosial. Untuk itu, idealnya, monetisasi dilakukan dengan tetap menghadirkan konten yang menghibur dan memberikan informasi lebih untuk audiens.
Strategi Membangun Akun Media Sosial yang Layak untuk Dimonetisasi
Pada dasarnya, setiap akun media sosial yang Anda miliki berpotensi untuk menghasilkan uang untuk Anda. Namun, terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam membangun akun media sosial tersebut agar nantinya layak untuk dimonetisasi.
Pertama, identifikasi tujuan awal. Media sosial memang merupakan salah satu platform untuk mencari hiburan. Namun, jika ingin mulai mendapatkan penghasilan dari media sosial, maka pastikan Anda menentukan goal yang akan dicapai di awal. Goal ini bisa berupa membangun branding, membangun komunitas, atau meningkatkan engagement dengan target audiens Anda.
“Anda harus terlebih dahulu mengidentifikasi tujuan yang ingin Anda capai bersama dengan target audiences Anda untuk memahami pendekatan yang perlu Anda lakukan dengan social media campaign Anda nantinya,” kata Myre.
Selain goal, Myre juga mengatakan bahwa memiliki keunikan dan gaya tersendiri sangat penting bagi sebuah akun media sosial. Gaya dan keunikan ini akan membantu menarik audiens dengan minat yang sama dan memudahkan Anda mengembangkan strategi social media campaign yang cocok untuk audiens Anda.
Haruskah Memiliki Followers yang Banyak untuk Monetisasi Media Sosial?
Kemampuan untuk menjangkau audiens dalam jumlah besar adalah salah satu keunggulan yang dapat memudahkan Anda dalam monetisasi media sosial. Namun, terkadang, jumlah tidak selalu menjadi hal yang penting asalkan Anda menjangkau audiens yang tepat.
“Audiens yang besar tidak selalu menghasilkan hasil terbaik untuk brand,” ujar Myre.
Ia juga memaparkan bahwa saat ini tidak jarang brand lebih terbuka untuk bekerja sama dengan nano influencers/content creators (<10K pengikut) dan micro influencers/content creators (10K-75K pengikut). Meski memiliki pengikut dengan jumlah sedikit, nano influencers tetap memiliki kemampuan untuk mempengaruhi audiensnya.
“Sementara selebritas memiliki jangkauan yang lebih luas, pembuat konten yang lebih kecil lebih unggul dalam hal keterlibatan yang berdampak karena mereka cenderung memiliki hubungan yang erat dengan komunitasnya. Jadi, menjangkau audiens tidak hanya tentang mendapatkan lebih banyak perhatian, tetapi juga benar-benar menarik dan terhubung dengan audiens yang tepat,” lanjutnya.
Tips Dalam Monetisasi Media Sosial
Dalam memonetisasi media sosial, Myre juga menyampaikan beberapa tips yang perlu diperhatikan. Di antaranya mengenai personal branding dan bagaimana Anda sebaiknya terhubung dengan brand.
Be Authentic
Hal pertama yang disebutkan Myre ketika berbicara mengenai tips menghasilkan uang dari media sosial adalah menjadi otentik. Menunjukkan diri sendiri dan konten secara otentik akan memudahkan Anda untuk membangun hubungan dengan audiens.
“Saya pikir hal pertama yang harus diperhatikan oleh content creators atau influencers adalah apakah mereka membuat konten dan menampilkan diri mereka secara otentik atau tidak. Membangun hubungan dan kepercayaan dengan audiens mereka adalah kunci untuk kesuksesan dalam pertumbuhan.”
Pahami Value
Menurut Myre, monetisasi sebaiknya dilakukan bersama brand yang memiliki value yang sama. Maka dari itu, sebaiknya Anda sendiri memahami value apa yang ingin Anda pegang dan sebarkan melalui konten atau personal branding.
“Memilik gambaran yang jelas akan value mereka akan memudahkan proses penyelarasan dengan klien atau brand,” ujar Myre.
Myre juga menegaskan bahwa umumnya brand akan senang bekerja sama dengan seseorang yang bersemangat di bidang yang menjadi ketertarikannya.
Monetisasi yang berorentasi pada tujuan, seperti meningkatkan traffic bisnis atau penjualan, adalah salah satu jenis monetisasi yang direkomendasikan oleh Myre dibandingkan monetisasi yang berfokus pada jumlah likes, komentar, dan shares.
Ketika content creators dan influencers memiliki value yang sama, maka akan lebih mudah bagi keduanya mencapai tujuan yang diinginkan.
Ketahui Angka dan Data
Angka dan data hasil analisis adalah hal yang penting bagi seorang content creator ataupun influencer. Mengapa? Karena analisis dan data menjadi alat negosiasi terbaik yang bisa digunakan oleh content creators dan influencers dalam membangun kerjasama dengan brand.
Selain sebagai laporan dari performa kerjasama sebelumnya, analisis dan data ini juga penting bagi brand karena memudahkan brand dalam melacak kinerja kolaborasi yang dlakukan.
“Itulah sebabnya brand akan sering beralih ke teknologi untuk mengelola pemasaran influencer mereka karena kesuksesan sering kali diinformasikan oleh data. Selain itu, content creator yang memiliki pemahaman yang kuat tentang data mereka sendiri juga akan memiliki keunggulan meyakinkan merek untuk bekerja dengan mereka,” jelas Myre.
Permudah Akses dengan Brand
Selain menjadi otentik serta memahami value dan data, jangan lupa untuk membuka akses untuk terhubung dengan mudah kepada brand. Faktanya memang ketika content creators atau influencers telah berhasil membangun komunitasnya, akan mudah bagi mereka untuk mulai bekerja sama dengan brand. Namun, bagaimana cara brand dan influencers dapat terhubung?
“Jangan hanya menunggu kesempatan datang, terutama ketika ada banyak program afiliasi dari berbagai brands yang bisa Anda pilih,” ujar Myre.
Alih-alih hanya menunggu hingga brand menemukan Anda, sebaiknya Anda juga secara aktif mempermudah akses brand kepada Anda dengan bergabung ke media partner seperti Impact.com.
Dengan bergabung dengan platform seperti impact.com, konten, audiens, dan metrik penting lainnya akan dapat dilhat oleh berbagai brand dan dijadikan pertimbangan untuk melakukan kerja sama.
Ketika akhirnya brand berhasil menjangkau dan terhubung dengan Anda, selanjutnya brand akan menentukan tipe monetisasi terbaik untuk Anda.
Hal-Hal yang Harus Dihindari Dalam Monetisasi Media Sosial
Bagi Anda yang tertarik untuk mulai mendapatkan penghasilan dari akun media sosial Anda, Anda juga perlu memperhatikan serta menghindari hal-hal berikut ini.
Bekerja Sama dengan Brand yang Berbeda Value
Seperti yang telah disebutkan di atas, bekerja sama dengan brand yang memiliki core value yang sama akan memudahkan baik influencer dan brand mencapai tujuan yang diinginkan. Untuk menghindari ketidaksesuaian antara produk atau jasa yang ditawarkan dengan target audiens, influencer atau content creator dapat melakukan sedikit riset mengenai brand tersebut sebelum mulai bekerja sama.
“Hal ini dapat diminimalisir dengan sedikit riset tentang brand sebelum menandatangani kerjasama. Lagi pula, Anda tidak ingin bekerja untuk tujuan yang tidak Anda yakini, atau menjual produk dan layanan yang tidak relevan dengan citra dan target audiences Anda,” jelas Myre.
Berkolaborasi dengan Brand yang Tidak Memiliki Infrastruktur Memadai
Selain value, pastikan juga brand yang akan bekerja sama dengan Anda memiliki infrastruktur untuk berkolaborasi yang memadai. Salah satu contoh infrastruktur yang tidak memadai di sini adalah dokumen syarat dan kesepakatan yang memiliki objectives kurang jelas.
Meski terdengar sepele, namun hal ini nantinya dapat berkembang menjadi masalah yang lebih besar, termasuk dalam mendapatkan bayaran yang adil dan tepat waktu.
“Salah satu cara terbaik untuk melindungi kepentingan tersebut adalah bekerja dengan jaringan dan platform yang akan menguraikan sifat hubungan bisnis dengan jelas sambil menghubungkan Anda ke brand yang tepat untuk media sosial Anda.”
Ternyata untuk mulai mendapatkan penghasilan dari media sosial terdapat beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dan dihindari, termasuk dalam membangun akun media sosial itu sendiri.
Menjadi otentik, memahami value dan membuka akses kepada brand adalah tiga hal yang paling ditekankan oleh Myre. Bagaimana? Tertarik mulai menerapkan tips di atas untuk menghasilkan uang dari media sosial?
Jika Anda sering memperhatikan akun bisnis online dan content creator, Anda mungkin sudah tidak asing lagi dengan link bertuliskan ‘linktr.ee’ pada bio profil bisnis atau kreator tersebut. Link tersebut adalah link yang dibuat pada situs bernama Linktree. Apa itu Linktree? Dan apa kegunaannya untuk bisnis online dan akun kreator?
Seperti yang Anda ketahui, pada profil media sosial, biasanya Anda hanya bisa menambahkan satu tautan yang mengarah ke satu situs. Tapi, pada beberapa situasi, Anda mungkin ingin menambahkan lebih dari satu tautan ke profil media sosial Anda. Nah, Linktree hadir untuk mengatasi masalah tersebut.
Apa Itu Linktree?
Linktree adalah sebuah situs pembuatan link yang di dalamnya bisa memuat lebih dari satu link. Tautan dari Linktree ini dapat Anda cantumkan pada bio media sosial dan platform–platform lainnya.
Linktree menghadirkan solusi untuk permasalahan yang sebelumnya telah dibahas, dimana Anda ingin mencantumkan lebih dari satu tautan, namun platform yang Anda gunakan hanya mendukung untuk pencantuman satu link saja.
Tidak hanya link, Linktree juga menawarkan banyak fitur yang terbagi menjadi empat paket pilihan, mulai dari paket gratis hingga paket premium. Contoh fitur yang bisa Anda tambahkan selain link adalah galeri NFT dan pembayaran digital.
Untuk melihat paket Linktree selengkapnya, Anda dapat mengunjungi situs Linktree dan ke menu Pricing atau langsung klik di sini.
Kegunaan Linktree untuk Bisnis Online dan Content Creator
Pada dasarnya, Linktree dapat digunakan oleh siapa saja. Namun, bagi bisnis online dan kreator konten, fitur-fitur pada Linktree akan sangat membantu. Apa saja ya kegunaan atau manfaat dari menggunakan Linktree ini? Berikut adalah rangkuman informasinya.
Promosi Lintas Platform
Menggunakan Linktree memungkinkan Anda untuk mencantumkan beberapa tautan ke dalam satu link. Link yang ditambahkan ini bisa berupa link media sosial lain atau berbagai link e-commerce jika Anda adalah pemilik bisnis.
Dengan fitur menambahkan banyak link ini, promosi lintas platform dapat lebih mudah dilakukan karena audiences dapat mengetahui berbagai platform yang Anda gunakan dan dapat memilihnya sesuai kebutuhan.
Contohnya, pada bisnis online, calon pelanggan dapat mengetahui platforme-commerce apa saja yang dimiliki oleh online shop tersebut dan dapat memilih satu e-commerce yang ingin digunakan untuk bertransaksi.
Branding Akun Lebih Baik
Manfaat kedua dari menggunakan Linktree adalah membangun personal branding lebih baik. Menggunakan Linktree dan mencantumkannya pada bio media sosial Anda dapat membuat bisnis atau akun Anda terlihat profesional. Mengapa begitu?
Penggunaan Linktree membuktikan kepada audiences bahwa Anda tidak hanya hadir pada satu platform, melainkan banyak platform. Hal tersebut menunjukkan bahwa Anda ingin mempermudah orang-orang untuk bisa menemukan Anda di berbagai platform tersebut.
Selain itu, fitur untuk menyisipkan logo dan banner pada halaman Linktree juga dapat meningkatkan kredibilitas akun atau toko Anda di mata audiences.
Mendukung Penjualan Afiliasi
Anda tentu sudah tidak asing dengan konsep pemasaran afiliasi. Biasanya afiliasi dilakukan oleh para influencer atau kreator untuk mendapatkan penghasilan tambahan dari komisi penjualan suatu produk.
Mencantumkan link affiliate pada Linktree yang bisa diakses dengan mudah oleh audiences kapan saja akan memudahkan penjualan produk afiliasi yang oleh influencer maupun kreator.
Nah, itu dia sekilas informasi mengenai Linktree dan manfaatnya untuk bisnis serta kreator konten. Dengan menggunakan Linktree, Anda dapat memaksimalkan satu kolom tautan pada bio media sosial Anda dengan baik. Pengunjung profil Anda dapat mengakses platform–platform lain yang Anda gunakan hanya dengan satu klik.
Cara membuat konten di Instagram sebenarnya cukup mudah. Namun, memang ada beberapa hal yang perlu Anda pertimbangkan sebelum mulai membuat konten. Hal-hal tersebut akan terangkum dalam tujuh tips membuat konten di Instagram di bawah ini.
Tips Membuat Konten di Instagram
Tak bisa dipungkiri, kini Instagram merupakan media sosial yang berperan penting dalam menciptakan branding dan promosi. Dapat dikatakan semua brand kini memiliki akun media sosial Instagramnya masing-masing untuk menunjukkan jati diri mereka (branding) dan tentunya melakukan promosi produk.
Di Instagram, branding dan promoting ini dapat dilakukan melalui konten. Istilah konten sendiri dalam KBBI memiliki arti berupa informasi yang tersedia di media maupun produk elektronik. Informasi yang disediakan melalui konten ini harus memiliki isi atau pesan yang dapat diambil oleh audiences.
Untuk itu, terdapat beberapa hal yang perlu Anda lakukan sebelum Anda mulai membuat konten di Instagram. Berikut adalah tujuh di antaranya.
Tentukan Tujuan yang Jelas
Hal pertama yang harus Anda perhatikan adalah tujuan pembuatan konten. Tujuan disini berarti apa yang ingin Anda capai dengan membuat konten. Adanya tujuan dapat membantu Anda untuk terus fokus dalam membuat konten.
Anda bisa menentukan goals konten seperti apakah Anda ingin membuat konten untuk mengedukasi audiences mengenai sesuatu, menghibur audiences, atau lainnya.
Tentukan Look dan Voice
Setelah memiliki tujuan yang jelas, selanjutnya Anda perlu menentukan look dan voice. Look maksudnya adalah tampilan dari konten yang akan Anda buat, seperti palettecolor yang akan Anda gunakan dan font. Umumnya, tampilan konten pada Instagram suatu brand memiliki tema yang sama sehingga terlihat rapi dan akan memanjakan mata mereka yang melihatnya.
Look atau tampilan Instagram juga bisa menjadi suatu hal yang akan diingat oleh audiences sebagai ciri khas Anda. Lalu, voice adalah karakter yang mewakili brand Anda dan nantinya menentukan bagaimana cara Anda berinteraksi dengan audiences.
Kenali Audiences
Mengenali audiens menjadi hal penting berikutnya sebelum Anda mulai membuat konten. Lakukanlah analisa mengenai siapa audiens Anda, apa yang mereka sukai, berapa kisaran umur mereka dan lainnya. Dengan mengenali audiens, Anda dapat melihat kira-kira konten seperti apa yang bisa Anda buat dan akan disukai.
Manfaatkan Feed, Story, dan Reels
Instagram adalah salah satu media sosial dengan bentuk konten yang beragam. Di antaranya ada konten dalam bentuk feed, story, IGTV, hingga Reels. Anda dapat memanfaatkan semua bentuk konten yang tersedia di Instagram sebagai variasi agar audiens tidak merasa bosan dengan bentuk konten yang monoton.
Perhatikan Penulisan
Ketika membuat konten, Anda tentu ingin audiens bisa menikmati dan menerima informasi yang Anda sampaikan melalui konten tersebut. Ada beberapa hal yang perlu Anda perhatikan, khususnya dalam hal penulisan, agar informasi dalam konten bisa sampai kepada audiences.
Pertama, pikirkan baik-baik headline konten. Headline dalam content writing adalah salah satu bagian terpenting karena merupakan kumpulan kata yang akan dilihat audiens pertama kalinya dan harus mampu menarik perhatian audiens untuk membaca konten hingga selesai.
Kedua, pastikan informasi pada konten ditulis dengan jelas agar audiens tidak bingung dan pesan bisa tersampaikan. Manfaatkan fitur caption untuk memberikan penjelasan apabila informasi yang ditampilkan pada foto atau video hanya sedikit. Namun, pastikan caption tidak ditulis terlalu panjang agar audiens tidak malas membacanya.
Be Creative
Tips selanjutnya untuk membuat konten di Instagram adalah be creative. Jadilah kreatif dengan memposting konten yang tidak monoton. Terdapat banyak sekali topik konten yang bisa Anda pilih dan fitur Instagram yang bisa Anda gunakan untuk berkreasi.
Sebagai contoh, apabila Anda berencana membuat konten untuk brand fashion wanita, Anda bisa membuat konten games melalui story, fun fact pada feed, inspirasi outfit of the day dengan Reels, dan lainnya.
Buat Jadwal Posting
Dalam membuat konten di Instagram, konsisten adalah kuncinya. Jadi, akan lebih baik jika Anda membuat jadwal untuk posting konten setiap harinya. Dengan terus konsisten mem-posting konten terjadwal, audiens dapat melihat keseriusan dan keaktifan Anda dalam menyajikan konten untuk mereka.
Apabila Anda terlihat aktif di mata audiences, hal ini juga bisa menjadi salah satu pertimbangan untuk para audiences yang belum mengikuti Anda untuk kemudian memutuskan untuk mengikuti.
Itu dia cara membuat konten di Instagram untuk Anda yang baru ingin mulai membuat konten untuk keperluan branding ataupun promosi. Perencanaan yang matang tentu bisa membantu Anda untuk terus fokus dan konsisten dalam membuat konten, serta meraih goals yang sebelumnya telah Anda tentukan.
Jika dibandingkan dengan olahraga tradisional, esports memang lebih inklusif. Mengingat esports tidak mengadu kekuatan fisik secara frontal, pemain laki-laki dan perempuan seharusnya bisa bermain dan bertanding bersama. Idealnya. Sayangnya, kita hidup di dunia yang jauh dari ideal. Dan sampai saat ini, industri esports masih didominasi oleh laki-laki.
Meskipun begitu, dunia esports tetap punya peran untuk perempuan. Pelaku esports juga terus berusaha untuk membuat industri ini menjadi semakin inklusif. Misalnya, dengan mengadakan kompetisi esports khusus perempuan untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan. Namun, tentunya, dominasi pria di esports juga menimbulkan masalah sendiri. Salah satunya adalah pelecehan seksual.
Apa Itu Pelecehan Seksual dan Kenapa Masalah Ini Penting
Menurut Komisi Nasional Anti-Kekerasan Terhadap Perempuan alias Komnas Perempuan, pelecehan seksual adalah tindakan seksual lewat sentuhan fisik maupun non-fisik dengan sasaran organ seksual atau seksualitas korbannya. Sementara dalam jurnal The Psychology of Sexual Harassment disebutkan bahwa pelecehan seksual terjadi ketika seseorang mendapatkan komentar, gerakan, atau tindakan seksual yang tidak mereka inginkan karena gender mereka.
Para psikolog tertarik untuk meneliti masalah pelecehan seksual karena keberadaannya merupakan bukti dari ketidakadilan sosial. Selain itu, pelecehan seksual juga menyakiti sang korban, karena pelecehan membuat korban merasa sedih, malu, marah, kecewa, takut, dan stres. Korban bahkan bisa merasa kehilangan harga dirinya sebagai manusia karena dilecehkan. Semua hal ini bisa berujung pada korban mengidap Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD). Seolah hal itu tidak cukup buruk, pelecehan seksual juga bisa membuat korban memiliki membenci tubuhnya sendiri atau menjadi memiliki eating disorder atau gangguan makan.
Di dunia kerja, pelecehan seksual bisa membuat korban merasa tidak nyaman dan aman di lingkungan kerja, yang berakhir pada penurnan performa. Pelecehan juga bisa merusak kepercayaan diri korban. Dan ketika korban merasa dia harus mengundurkan diri karena lingkungan kerja yang tidak bersahabat, hal ini akan menyebabkan korban kehilangan karirnya.
Berdasarkan studi Fitzgerald et al (1997), pelecehan seksual bisa dikelompokkan menjadi tiga grup: gender harassment, unwanted sexual attention, dan sexual coercion. Gender harassment atau kekerasan berbasis gender mencakup perkataan atau tindakan bersifat menghina yang didasarkan pada gender seseorang. Contohnya adalah perkataan seksis yang disamarkan sebagai “bercanda” atau mengirimkan konten seksual pada seseorang tanpa persetujuan orang tersebut.
Sementara itu, secara harfiah, unwanted sexual attention berarti perhatian seksual yang tidak diinginkan. Catcalling adalah contoh paling sederhana dari perhatian seksual yang tidak diinginkan. Memberikan komentar menjurus innuendo tentang tubuh seseorang — tidak peduli positif atau negatif — juga masuk dalam kategori unwanted sexual attention. Tak terbatas pada lisan, unwanted sexual attention juga bisa mencakup tindakan, seperti meraba, mencubit, atau menggerayangi tubuh seseorang. Terus menerus mengajak seseorang pergi kencan — atau melakukan hal-hal lain dengan rating 18+ — walau orang tersebut telah menolak berkali-kali, hal ini juga masuk dalam unwanted sexual attention. Kunci dari jenis pelecehan ini adalah pada “tidak diinginkan”. Sebuah pujian yang menjurus ke innuendo pun bisa masuk dalam kategori pelecehan jika hal itu tidak diinginkan oleh korban.
Kategori terakhir adalah sexual coercion. Pada dasarnya, sexual coercion terjadi ketika seseorang mengiming-imingi orang lain dengan sesuatu agar dia mau melakukan tindakan seksual. Misalnya, seorang bos menjanjikan karyawannya kenaikan pangkat jika sang pekerja mau tidur dengan sang bos. Selain bujukan, sexual coercion juga mencakup saat seseorang memaksa orang lain melakukan tindakan seksual melalui ancaman. Sebagai contoh, ketika dosen pembimbing mengancam akan mempersulit proses bimbingan mahasiswa yang sedang mengerjakan tugas akhir jika sang mahasiswa tidak mau menuruti keinginan dosen melakukan hal seksual.
Apakah Pelecehan Seksual Terjadi di Esports?
Iya. Untuk mengetahui lebih lanjut tentang pelecehan seksual yang terjadi di dunia esports, saya menghubungi dua caster perempuan ternama: Icha “Mocchalatte” Annisa dan Veronica “Velajave” Fortuna. Keduanya setuju, jenis pelecehan yang paling sering terjadi adalah pelecehan seksual verbal. Mereka juga mengatakan, walau seorang perempuan telah mengenakan pakaian tertutup — seperti blazer — hal ini tidak menjamin tidak ada orang yang akan melontarkan pelecehan seksual.
Dan jangan salah, pelecehan seksual verbal tidak melulu harus frontal, berupa ucapan yang tidak senonoh. Tanpa konteks, kata-kata yang diucapkan pelaku pelecehan verbal bisa terdengar seperti sesuatu yang diucapkan dalam percakapan sehari-hari, seperti: “Enak nih.” Contoh lainnya adalah “Ada yang menonjol tapi bukan bakat” — kalimat yang pernah dilontarkan oleh Rama Sugianto ketika dia sedang menjadi komentator dalam pertandingan sepak bola di TV nasional. Selain itu, pelecehan seksual verbal juga bisa secara langsung merendahkan fisik seseorang, baik terlalu kurus atau terlalu gemuk.
“Yang terlalu kurus dibuang dari event, tanpa menilai kemampuannya. Yang gendut dijadikan bahan bercanda di belakang. Yang penampilannya kurang, dijadikan bahan bully dan gosip. Yang punya dada besar, jadi bahan obrolan yang tidak pantas. Yang pakai baju tertutup dibilang munafik, yang pakai baju terbuka dibilang pelacur,” cerita Vela saat dihubungi melalui pesan singkat. “Kita sebagai perempuan direndahkan. Walau aku ngomong ini secara umum, karena pria juga banyak direndahkan dan dilecehkan, tapi dalam konteks ini, aku benar-benar membahas dari sisi perempuan.”
Walau pelecehan seksual verbal “hanya” berupa kata-kata, hal ini tetap bisa menjatuhkan mental korban. Icha mengaku bahwa dia pernah mengalami hal tersebut. “Dulu, pernah down banget, sampai nangis, padahal kerjaan belum selesai,” ungkapnya. “Tapi, ya gimana ya, kita nggak bisa buat mereka berhenti. Mereka begitu juga karena minim edukasi dan karena tidak ada sanksi yang menghukum mereka. Misal, kalau mereka komentar tidak enak pun, paling hanya di-ban saja sama admin.
“Tapi, mereka juga bisa langsung menyerang media sosial pribadi. Ya, memang mereka bisa diblokir, tapi ya hanya sebatas itu saja. Tidak ada sanksi apa-apa lagi untuk mereka,” jelas Icha. “Esports masih belum punya badan hukum yang melindungi para esports enthusiasts dari harassment. Satu-satunya sanksi yang mereka dapatkan cuma sanksi sosial saja.”
Jadi, ya, pelecehan seksual masih menjadi masalah yang di dunia esports Indonesia. Untuk mengatasi — atau setidaknya meminimalisir — masalah tersebut, saya akan mencoba untuk menguraikan beberapa alasan mengapa pelecehan seksual bisa terjadi.
Kurang Edukasi
Seperti yang disebutkan oleh Icha, salah satu alasan mengapa seseorang melakukan pelecehan seksual adalah karena ketidaktahuannya akan pelecehan seksual. Terkadang, pelaku pelecehan tidak sadar sedang melakukan pelecehan. Atau, dia menganggap, apa yang dia lakukan tidak termasuk sebagai pelecehan seksual. Contohnya, catcalling. Ketika seorang laki-laki melakukan catcalling dengan memanggil seorang perempuan “cantik”, bisa jadi, sang pelaku justru merasa bahwa dia memberikan “pujian”. Padahal, seperti yang dibahas di atas, ketika seseorang memberikan perhatian seksual yang tidak diinginkan — tidak peduli apakah perhatian itu positif atau negatif — maka hal itu sudah masuk dalam kategori pelecehan seksual.
Di negara-negara berkembang seperti Amerika Serikat, perusahaan terkadang memberikan sensitivity training untuk para pekerja baru. Tujuannya adalah untuk mengajarkan cara memperlakukan orang lain, khususnya orang-orang yang masuk dalam golongan minoritas. Seseorang bisa menjadi golongan minoritas berdasarkan ras, gender, warna kulit, agama, orientasi seksual, dan lain sebagainya. Namun, di Indonesia, khususnya di bidang esports, belum ada sensitivity training yang mengajarkan tentang cara memperlakukan orang lain, dalam kasus ini perempuan, dengan patut.
Jika ketidaktahuan menjadi akar masalah, maka edukasi menjadi solusi. Sayangnya, melakukan edukasi massal pada pelaku dan penonton esports bukanlah perkara gampang. Icha menyebutkan, saat ini, sudah ada cukup banyak webinar edukatif tentang pelecehan seksual. Namun, jumlah peminatnya tidak banyak. Artikel ini pun sebenarnya bagian dari edukasi. Hanya saja, saya ragu bahwa semua orang yang mengklik berita ini akan membacanya sampai habis. Ketika ditanya tentang cara edukasi yang efektif, Icha menjawab, salah satu cara efektif untuk mengajarkan masyarakat akan pelecehan seksual adalah dengan mengadakan seminar offline.
“Acara face to face memang sudah yang paling tepat,” ujar Icha. “Tapi, saat pandemi seperti ini susah.” Dia bercerita, sebelum pandemi, dia pernah menjadi pembicara dalam gerakan edukasi untuk siswa SMA dan mahasiswa yang diadakan oleh Kaskus. “Yang aku tahu, anak-anak ini bisa lebih paham dan bisa tanya-tanya ketika mereka memang nggak paham materinya. Menurut aku, itu edukasi yang cukup efektif, apalagi untuk daerah-daerah yang jauh dari kota.”
Karena, Icha percaya, orang-orang yang tinggal jauh dari kota biasanya belum terlalu aktif di media sosial. Jadi, mereka belum terpapar pada perilaku netizen Indonesia — yang merupakan paling tidak sopan se-Asia Tenggara. Harapannya, setelah diberi pemaparan, mereka akan berlaku dengan lebih baik saat mereka akhirnya aktif di media sosial atau platform streaming.
CEO Morph, Yohannes “Joey” Siagian mengatakan, saat ini, telah mulai muncul usaha untuk memberikan edukasi tentang pelecehan seksual secara terkoordinir di dunia esports. Sebelum ini, memang sudah ada usaha untuk memberikan edukasi di tingkat individual. Namun, terkadang, orang yang mencoba untuk memberi edukasi justru dilawan.
Absennya Konsekuensi
Kenapa koruptor — ahem, maling, maksudnya — tidak pernah jera? Ketika tertangkap pun, para maling masih bisa tertawa dan melambai ke kamera. Salah satu alasannya adalah karena hukuman yang ringan. Padahal, salah satu tujuan pemberian hukuman adalah untuk menimbulkan efek jera pada pelaku. Selain itu, hukuman juga berfungsi sebagai pencegah. Misalnya, jika ditetapkan bahwa hukuman untuk maling uang rakyat adalah hukuman mati, harusnya, orang-orang yang tergoda untuk korupsi akan berpikir dua kali sebelum mencuri.
Namun, di industri esports, belum ada lembaga khusus yang menangani masalah pelecehan seksual. Jadi, belum ada hukuman yang jelas untuk pelaku pecehan seksual. Dan ketiadaan hukuman ini menjadi salah satu alasan mengapa pelecehan seksual masih terjadi di esports.
“Ini (hukuman) sesuatu yang berpengaruh banget,” kata Joey saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Tapi, sebenernya, menurut aku, untuk talent dan content creator yang melakukan hal seperti ini, jelas kok konsekuensinya apa: nggak ada. Karena selama mereka menghasilkan dana, nggak akan ditegur. Kecuali ada yang angkat bicara dan angkat suara. Tapi, itupun jarang terjadi.”
Seolah hal itu tidak cukup buruk, ketika korban pelecehan melaporkan kasus pada pihak berwenang — seperti manajemen tim atau eksekutif EO — dia justru dipersulit. Vela menceritakan pengalamannya terkait hal ini. “Hukum tentang harassment memang ada,” ungkapnya. “Aku pernah lapor, tapi pelaporannya sangat sulit. Ketika dilaporkan, cuma diterima, tapi nggak ada follow up, nggak ada updates.” Masalah pelecehan seksual akan menjadi semakin runyam ketika pelaku punya jabatan atau popularitas.
Lalu, siapa yang seharus memberikan hukuman pada pelaku pelecehan? Menurut Icha, jawaban dari pertanyaan ini tergantung pada siapa yang menjadi pelaku pelecehan. “Kalau pelaku adalah pemain, ya dari pihak manajemen,” katanya. “Pelaku jangan hanya disuruh minta maaf saja, tapi juga bisa dilakukan pemutusan kontrak kalau kasusnya memang sudah parah. Untuk freelancer, mungkin teguran halus, teguran kasar, dan sampai larangan untuk bisa bekerja di tempat tersebut.”
Icha menjadikan kasus Listy Chan sebagai perbandingan. Pada akhir 2020, muncul kabar bahwa Listy Chan berselingkuh dengan Ericko Lim. Skandal tersebut berakhir dengan pemecatan Listy Chan dari EVOS Esports. “Dia bikin kasus yang merugikan pihak manajemen, dan kontraknya langsung di-cut. Nah, kenapa pelaku pelecehan nggak diperlakukan dengan sama?” Icha bertanya. “Apalagi kan banyak tuh, kasus laki-laki melakukan pelecehan ke pemain atau talent perempuan.”
Ketika pelaku pelecehan seksual bisa terhindar dari hukuman, maka sanksi sosial bisa menjadi alternatif untuk membuatnya kapok. Sayangnya, karena minimnya edukasi, tidak banyak orang yang peduli akan pelecehan seksual. Icha bercerita, seorang Liaison Officer (LO) pernah melakukan pelecehan verbal padanya di hadapan rekan kerja mereka. Namun, tidak ada satu pun orang yang menegur sang pelaku. Menurut Icha, hal ini terjadi karena pelecehan yang dilakukan oleh sang LO dianggap sebagai “candaan tongkrongan” yang memang sudah lumrah.
Jika korban ingin tetap memberikan sanksi sosial pada pelaku pelecehan, dia bisa menggunakan media sosial; biarkan netizen Indonesia yang mencabik, memakan bulat-bulan, menghabisi memberikan efek jera pada pelaku. Vela bercerita, Monica “MomoChan” Mariska pernah membantunya melawan pelecehan seksual dengan mengunggah kasus tersebut ke media sosial. “MomoChan, dia pernah bantu aku, dia fight, fansnya bantu kasih sanksi sosial,” ujar Vela. “Pernah juga di-up ke Lambe MOBA, langsung banyak yang nyerang. Tapi, hal itu sebenarnya masuk ke ranah bullying. Orang banyak yang malah senang karena namanya dikenal.”
Senada dengan Vela, Icha juga mengatakan, jika seorang pelaku pelecehan seksual diviralkan di media sosial, dia tetap bisa mendapatkan untung, berupa banyak orang yang menjadi follower-nya. “Sanksi sosial memang cukup efektif. Pihak korban bisa mendapat permintaan maaf dan pelaku di-bully netizen,” kata Icha. “Tapi, pelaku tetap bisa dapat follower banyak. Jadi, belum tentu memberikan efek jera pada pihak lain.”
Di era remaja berani bertaruh nyawa — lari di hadapan truk yang tengah melaju kencang — demi membuat konten TikTok, saya tidak heran jika ada orang yang senang karena dia “populer” sebagai pelaku pelecehan seksual. Jika tidak percaya lihat saja salah satu selebriti yang baru saja keluar penjara namun dipuja-puja sejumlah media.
Bandwagon Fallacy
Bandwagon fallacy merupakan salah satu kesalahan pola pikir. Dalam bandwagon fallacy, seseorang mendasarkan argumennya berdasarkan opini populer. Dalam kasus ini, pelecehan seksual dianggap sebagai “hal biasa” karena banyak orang yang melakukannya. Joey menjelaskan, para kreator konten di dunia esports Indonesia pun sering membuat konten yang bersifat melecehkan.
“Kreator konten, baik manajemen ataupun individu, laki-laki dan perempuan, seolah menormalisasi perlakuan yang melecehkan,” kata Joey. “Kreator konten laki-laki membuat konten yang melecehkan perempuan. Sementara kreator konten perempuan juga tidak sedikit yang memanfaatkan seksualitas untuk mencari perhatian dan popularitas. Manajemen konten pun menggunakan paras cantik sebagai salah satu strategi mencari perhatian.” Lebih lanjut dia menjelaskan, “Kalau idola membuat perilaku tersebut seakan-akan it’s okay, ya, fans akan mengikuti. Apalagi fans yang masih berada di umur pembentukan identitas dan jati diri. Pada umur segitu, perilaku dan values masih sangat dipengaruhi oleh idola dan panutan.”
Dalam jurnal The Psychology of Sexual Harassment, dijelaskan bahwa dari sudut pandang biologi, seorang pria melakukan pelecehan pada perempuan karena dia berusaha untuk menunjukkan ketertarikannya. Hanya saja, sang perempuan yang tidak tertarik dengan sang laki-laki menyalahartikan usahanya itu sebagai pelecehan. Sementara dalam kasus pelecehan pada pria, hal itu ditujukan untuk merendahkan sang korban. Tujuannya adalah agar “nilai” sang korban sebagai pasangan akan jatuh.
Jurnal tersebut juga membahas tentang alasan di balik pelecehan seksual dari segi sosial-budaya. Di jurnal itu, tertulis bahwa pelecehan seksual terjadi karena proses sosial akan peran dari masing-masing gender. Secara tidak langsung, masyarakat mendukung dominasi laki-laki dan mewajarkan objektivikasi akan perempuan. Hal lain yang mendorong pelecehan seksual adalah karena budaya masyarakat yang cenderung menormalisasi kekerasan pada perempuan. Pelecehan seksual juga bisa digunakan sebagai alat untuk “menghukum” orang-orang yang berusaha untuk melakukan sesuatu yang berbeda dari gender norm. Misalnya, seorang perempuan yang punya aspirasi untuk menjadi pemimpin politik mungkin akan menjadi korban dari pelecehan seksual.
Penurunan Kualitas Konten
Di atas, sudah dijelaskan bagaimana konten yang dibuat kreator konten bisa memengaruhi pemikiran para penontonnya. Sekarang, pertanyaannya, kenapa para kreator konten membuat konten yang mengandung pelecehan seksual? Jawabannya sederhana, karena konten seperti itu laku. Salah satu sumber pemasukan kreator konten adalah dari iklan. Semakin banyak view dari konten yang sang kreator buat, semakin banyak pihak yang mau memasang iklan atau semakin mahal iklan yang bisa ditawarkan. Sayangnya, popularitas tidak menjamin kualitas.
Saat ini, semakin banyak orang yang tertarik untuk menjadi kreator konten, baik di YouTube, TikTok, atau platform lainnya. Masalahnya, jumlah kreator konten meningkat dengan lebih pesat daripada jumlah penonton atau lama waktu yang penonton bisa habiskan untuk menonton konten. Toh, waktu yang penonton bisa habiskan untuk menonton konten memang terbatas. Dalam sehari, kita hanya punya waktu 24 jam untuk melakukan kewajiban dan hobi kita. Hal ini berarti, persaingan antara kreator konten pun semakin ketat. Jadi, tidak heran jika sebagai kreator konten ingin mengambil jalan pintas dan fokus untuk membuat konten yang viral dan bukannya konten berkualitas. Dan konten berbau seksual menjadi salah satu jenis konten yang menjual.
“Sex sells,” ujar Joey gamblang. “Lebih gampang untuk mendapatkan audiens dengan belahan dada dan suara sugestif. Tapi sebenarnya, ada banyak hal lain yang juga menjual, selain seks. Hanya saja, seks menjual dan mudah untuk dieksekusi.”
Kecenderungan untuk mendewakan view atau popularitas punya dampak buruk lain. Karena, mendorong orang-orang yang ingin populer untuk melakukan apa saja, walau mereka harus melakukan hal-hal berbahaya atau menjurus pada pornografi. Masalah ini juga diperburuk dengan betapa cepatnya penyebaran informasi di internet terjadi. Jadi, walau seseorang menjadi viral karena terlibat dalam sebuah kasus, kesalahannya bisa dilupakan setelah masalah viral baru muncul.
Mari kita lihat Logan Paul, seorang vlogger, sebagai contoh. Dia pernah mengunggah video kontroversial yang menampilkan jenazah dari orang yang meninggal karena bunuh diri di Jepang. Dalam video tersebut, Paul menunjukkan perjalanannya bersama teman-temannya ke hutan Aokigahara, yang memang dikenal sebagai tempat bunuh diri, seperti yang disebutkan oleh BBC. Jadi, tidak aneh ketika dia dan teman-temannya menemukan jenazah dari seseorang yang melakukan bunuh diri. Masalahnya, Paul dan teman-temannya sama sekali tidak berusaha untuk menghargai jenazah sang korban dan justru bercanda dengan satu sama lain.
Video Paul memicu kemarahan dari para netizen. Setelah itu, dia pun menghapus videonya dan mengunggah video baru, yaitu video permintaan maaf. Ketika itu, pada 2018, Paul punya subscribers sebanyak 15 juta. Sekarang, jumlah subscribers-nya justru bertambah menjadi 23,2 juta orang. Hal ini menunjukkan, meskipun seorang kreator konten membuat konten yang bermasalah dan mendapat hujatan netizen, pada akhirnya, kesalahannya akan dilupakan.
Power Corrupts…
Berdasarkan studi dalam ilmu ekonomi, seseorang bisa mendapatkan kekuasaan ketika dia memberikan sumber daya pada orang lain dan membuat mereka sejahtera, menurut Dacher Keltner, dosen psikologi di University of California, Berkeley. Dia juga menyebutkan, jika seseorang berlaku rendah hati, maka orang-orang akan cenderung menghormati orang tersebut. Dan rasa hormat inilah yang menjadi awal dari kekuasaan seseorang.
“Ketika kita merasa berkuasa, dopamin akan mengalir ke otak kita. Kita merasa seolah-olah kita bisa melakukan apapun,” ujar Keltner dalam wawancaranya dengan PBS. Dopamin merupakan hormon yang punya banyak fungsi, mulai dari mengendalikan emosi, rasa senang, konsentrasi, dan juga rasa sakit. “Di sinilah paradoks akan kekuasaan muncul. Ketika kita merasa berkuasa, hal ini justru membuat kita menyalahgunakan kekuasaan.”
Keltner bercerita tentang apa yang terjadi ketika sekelompok orang dibawa ke laboratorium dan salah satu dari mereka ditunjuk untuk menjadi pemimpin. Orang yang tiba-tiba punya kuasa punya kecenderungan untuk bertindak secara impulsif: mereka mengambil lebih banyak sumber daya dari yang seharusnya.
“Mereka akan mengambil uang. Mereka menjadi kehilangan moral. Mereka berpikir bahwa tindakan amoral bukan masalah selama mereka yang melakukan tindakan tersebut,” ujar Keltner. “Mereka akan punya kecenderungan untuk mempercayai stereotipe. Kemungkinan, mereka juga tidak lagi memikirkan apa yang diperlukan oleh orang lain.” Lebih lanjut dia berkata, “Hal inilah yang disebut sebagai paradoks dari kekuasaan. Kita bisa mendapatkan kuasa dengan berlaku baik, tapi, ketika kita sudah mendapatkan kuasa, kita cenderung melakukan hal buruk.”
Keltner juga menyebutkan bahwa kutipan “power corrupts and absolute power corrupts absolutely” ada benarnya. Orang-orang yang punya kuasa punya kecenderungan untuk berbicara tidak sopan, selingkuh, dan mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Dia lalu menjelaskan tentang studi yang dia lakukan untuk memperkuat argumennya.
Dalam studi yang dia namai “Cookie Monster Study”, Keltner membagi para peserta eksperimen ke dalam grup berisi tiga orang. Salah satu dari tiga orang tersebut akan dipilih untuk menjadi pemimpin. Pemilihan pemimpin tersebut bersifat acak. Ketiga peserta kemudian ditugaskan untuk membuat regulasi akan sebuah universitas. Dan mereka bisa bekerja bersama dengan baik. Beberapa saat kemudian, Keltner bercerita, para peneliti akan memberikan makanan pada ketiga orang tersebut, yaitu lima potong kue.
“Dan di sinilah penelitian yang sebenarnya dimulai,” kata Keltner. “Masing-masing peserta mengambil satu potong kue. Mereka memakan kue itu dan merasa senang. Semua kelompok yang kami teliti biasanya tidak memakan potongan kue kelima. Karena, mereka tidak ingin mengambil makanan terakhir yang tersisa. Jadi, pertanyaannya, siapa yang memakan potongan kue keempat? Biasanya, orang yang ditunjuk sebagai pemimpinlah yang akan mengambil kue tersebut.” Keltner mengatakan, memang, sang pemimpin tidak selalu mengambil potongan kue keempat (yang berarti ia mengambil jatah lebih banyak dibanding yang lain). Tapi, kemungkinan sang pemimpin mengambil kue keempat adalah dua per tiga.
Keltner menjelaskan, ketika seseorang memegang kuasa, hal ini akan memengaruhi moralnya, serta tindakannya terkait orang lain. “Ketika saya punya kuasa, saya merasa bahwa saya boleh memakan kue lebih banyak. Saya boleh memaki rekan kerja saya. Saya boleh menyentuh orang lain, selama saya senang, tanpa perlu memikirkan apakah orang yang saya sentuh juga senang. Pada akhirnya, kuasa membuat seseorang merasa bahwa dia punya hak atas lebih banyak sumber daya.”
Penutup
Ketika ditanya apakah pelecehan seksual di esports bisa hilang sepenuhnya, Joey menjawab dengan lugas: tidak. Menurutnya, berkaca pada sejarah, hal-hal yang dianggap buruk oleh masyarakat sekalipun — seperti rasisme — tidak bisa sepenuhnya hilang. Namun, dia menambahkan, jika masyarakat tidak lagi menganggap pelecehan sebagai hal yang lumrah dan komunitas esports bisa meregulasi diri sendiri terkait masalah ini, pelecehan seksual mungkin bisa diatasi.
Sebagai media, Hybrid.co.id bisa saja mengangkat topik pelecehan seksual dengan membahas drama atau skandal seputar pelecehan yang terjadi di dunia esports. Namun, kami lebih memilih untuk menggali faktor-faktor yang menjadi akar permasalahan dari pelecehan seksual itu sendiri. Karena, mengidentifikasi masalah dan mencari tahu penyebab masalah bisa jadi langkah pertama untuk menyelesaikan masalah tersebut. Tentu saja, saya tidak delusional dan percaya bahwa artikel ini akan serta-merta bisa menyelesaikan masalah pelecehan seksual di dunia esports Indonesia. But hey, you can’t say we didn’t try…
Streamlabs, anak perusahaan Logitech yang berfokus di bidang pengembangan tool untuk livestreaming, memperkenalkan tool baru bernama Streamlabs Creator Subscription. Sesuai namanya, tool ini dirancang supaya penonton dapat memberikan tip secara berulang (bulanan) kepada kreator-kreator favoritnya.
Tool ini akan sepenuhnya terintegrasi pada software Streamlabs OBS, dan kreator bebas mengaktifkan atau menonaktifkannya sesuai keinginan. Kreator juga dibebaskan untuk menentukan nominal tip bulanannya — atau bisa juga kita sebut dengan istilah tarif subscription. Alternatifnya, kreator juga bisa mempersilakan penonton menentukan sendiri jumlah uang yang ingin mereka donasikan setiap bulannya.
Istimewanya, Streamlabs sama sekali tidak akan mengambil untung dari sini. Uang yang terkumpul dari para penonton akan sepenuhnya masuk ke kantong masing-masing kreator. Satu-satunya potongan hanyalah biaya pemrosesan PayPal selaku platform pembayaran yang didukung.
Lalu dari mana Streamlabs mendapatkan pemasukan? Well, mereka selama ini sudah punya layanan subscription bernama Streamlabs Prime yang menawarkan sejumlah fitur menarik buat kalangan livestreamer.
Juga sangat menarik adalah fakta bahwa tool ini bisa dipakai oleh siapapun yang sudah memiliki tip page di Streamlabs. Artinya, kreator tidak diwajibkan memenuhi syarat-syarat tertentu (semisal jumlah minimum viewer atau durasi minimum livestream selama 30 hari terakhir) untuk bisa menerima tip secara berulang menggunakan tool ini.
Sebagai perbandingan, kreator yang menerapkan subscription di Twitch hanya menerima 50% dari total pemasukan, dan mereka juga harus terdaftar sebagai Twitch Partner terlebih dulu, yang syarat-syaratnya tidak bisa dibilang mudah. Singkat cerita, tidak ada ruginya bagi para kreator untuk memanfaatkan tool Streamlabs Creator Subscription ini sebagai sumber pemasukan tambahan.
Ke depannya, Streamlabs berencana menambahkan sejumlah fitur untuk memotivasi sekaligus memberikan insentif ekstra kepada para penonton. Dua di antaranya adalah fitur leaderboard dan badge. Leaderboard akan menampilkan deretan penonton dengan jumlah tip terbesar di tip page milik masing-masing streamer, dan penonton bakal kebagian badge baru setiap bulannya selama tip bulanan mereka terus berjalan.
Bagi yang mengikuti banyak channel teknologi di YouTube seperti saya, Anda pasti sadar bahwa setiap channel sebenarnya mempunyai spesialisasi atau niche-nya masing-masing. Sebagian besar mungkin menaruh fokus ekstra pada kategori seperti smartphone atau laptop, namun ada juga sebagian lain yang mencoba menawarkan sesuatu yang berbeda dengan membahas topik spesifik yang mungkin tidak begitu populer karena kurang menarik untuk dibicarakan panjang lebar.
Di kalangan YouTuber lokal, salah satu channel yang masuk kategori tersebut adalah GTiD. Sepintas channel ini mungkin terdengar seperti channel gadget pada umumnya, tapi kalau Anda amati, mayoritas dari video-video yang diunggahnya membahas mengenai monitor. Tidak jarang pembahasannya malah cukup panjang dengan durasi di atas 10 menit. Padahal, buat sebagian orang, monitor mungkin tidak semenarik itu untuk dibahas sampai begitu mendalam.
Saya pun pada awalnya juga punya pandangan yang serupa. Namun pada kenyataannya, sampai artikel ini ditulis, GTiD sudah mempunyai hampir 70 ribu subscriber. GTiD juga sudah memiliki komunitas Discord-nya sendiri yang cukup aktif, dan semua ini menurut saya sudah bisa menggambarkan kalau di luar sana rupanya tidak sedikit yang tertarik dengan pembahasan in-depth mengenai monitor.
Berhubung masih penasaran, saya pun memutuskan untuk menghubungi host sekaligus penggagas channel GTiD, Eldwin, untuk bercakap-cakap secara singkat. Berikut adalah hasil perbincangan kami yang sebagian besar telah disunting agar lebih jelas penyampaiannya.
Kenapa niche monitor? Bisa diceritakan awalnya kenapa GTiD fokus membahas tentang monitor?
Awalnya sebatas iseng mencoba, dan ternyata ada pasarnya yang belum difokuskan di market YouTube, dan itu berlanjut sampai hari ini.
Tidak banyak tech YouTuber Indonesia yang secara spesifik membahas tentang monitor sampai sedetail GTiD. Apa sih sebenarnya yang menarik dari monitor?
Seperti yang saya bilang sebelumnya, justru karena tidak ada yang melakukannya, saya pun berusaha untuk mengisi kekosongan itu sebaik mungkin. Dan sama seperti statement di pertanyaan ini, awalnya saya sendiri juga merasa segmen monitor itu kurang menarik. Namun setelah saya dalami dan pelajari, ternyata ada satu hal yang bisa membuat monitor jadi semakin penting ke depannya untuk semua orang, yaitu kehadiran USB-C.
Saya percaya ke depannya kita cukup punya smartphone dan menghubungkannya ke monitor via USB-C, maka kita bisa memakainya layaknya personal computer kita selama ini. Di sisi lain, kita juga sudah merasakan pentingnya monitor ketika pandemi COVID-19 melanda dan kita harus WFH. Agar WFH bisa berjalan dengan nyaman, kita tentu butuh monitor.
Menurut Eldwin, kenapa konsumen perlu menyimak ulasan merinci tentang sebuah monitor?
Banyak tim marketing brand monitor yang tidak menjelaskan secara merinci plus dan minus monitor mereka. Sebagian mungkin bahkan tidak tahu, tapi sekalipun mereka tahu, mereka terikat dengan etika perusahaan, sehingga tidak mungkin juga mereka menunjukkan kelemahan produk mereka sendiri.
Belum lagi ditambah banyaknya persepsi yang salah mengenai monitor di pasaran. Di sinilah GTiD hadir untuk membantu penonton mendapatkan monitor terbaik sesuai dengan kebutuhan mereka masing-masing.
Apa saja sebenarnya miskonsepsi seputar monitor yang umum beredar di kalangan konsumen?
Color gamut tinggi berarti warna yang dihasilkan akurat, padahal keduanya sebenarnya punya makna yang berbeda.
Motion blur yang diklaim oleh brand monitor dianggap sudah tepat, padahal kenyataannya semua itu cuma sebatas angka yang tidak bisa menggambarkan keadaan sebenarnya.
“Mata manusia cuma bisa melihat 60 Hz, nggak guna lebih tinggi dari itu”, atau “144 Hz dan 240 Hz tidak ada bedanya.” Penjelasan panjang lebarnya pernah saya sampaikan di video review monitor ASUS PG259QN.
Gimmick-gimmick monitor apa saja yang Eldwin kurang suka?
Yang saya lihat, brand senang mempromosikan bahwa seakan-akan label “Pantone validated” atau “Callman certified” adalah sesuatu yang luar biasa untuk sebuah monitor profesional. Pada kenyataannya, monitor-monitor tersebut mungkin tidak sesempurna itu. Terkadang hasil warnanya bahkan bisa dikalahkan oleh monitor gaming yang dijual dengan harga lebih murah.
Motion blur sebuah panel sering misleading cara penyampaiannya. 1 ms di panel TN berbeda dari 1 ms di panel VA, demikian pula dengan 1 ms di panel IPS. Terkadang malah tulisan angka itu tidak ada artinya sama sekali karena tidak menjelaskan apa-apa terkait kejadian sebenarnya.
Selain ukuran dan resolusi, atribut-atribut apa saja yang harus konsumen perhatikan dalam membeli monitor, baik untuk monitor gaming ataupun monitor profesional?
Untuk monitor gaming:
Tipe panel
Motion blur
Refresh rate
Untuk monitor profesional:
Panel bit-depth
Akurasi warna
Color gamut
Brightness
Contrast
White point
List-nya masih lebih panjang lagi untuk monitor profesional, tapi faktor-faktor berikutnya lebih condong ke preferensi masing-masing konsumen, seperti misalnya ada tidaknya VESA mount, port USB-C, factory-calibrated atau tidak, desain bodi, dan lain sebagainya.
Kriteria monitor yang ideal buat Eldwin itu bagaimana? Monitor gaming bagaimana? Monitor profesional bagaimana?
Kriteria di bawah ini sudah termasuk cukup, tapi tidak bisa dikatakan sempurna karena kalangan sultan sebenarnya bisa membeli yang lebih bagus lagi:
Untuk gamer kompetitif: 25 inci, FHD, 240/360 Hz
Untuk gamer casual yang sering bermain bersama teman-temannya: 27 inci, QHD, 144 Hz
Untuk gamer single-player atau kreator konten: 4K, 60 Hz
Untuk editor profesional: spesifikasi monitor mengikuti seberapa profesional masing-masing pengguna, dengan budget yang mungkin tidak terbatas, dimulai dari Apple Pro XDR
Selain tentu saja perbedaan jenis kartu grafis yang didukung, adakah perbedaan lain antara Nvidia G-Sync dan AMD FreeSync?
Bagi saya, kedua teknologi tersebut punya tujuan yang sama, yakni untuk menghilangkan tearing saat bermain game. Pada deretan game casual yang umumnya lebih mementingkan kualitas gambar dengan preset grafik High, Ultra, dan sebagainya, fitur ini mungkin bisa membantu memaksimalkan keindahan itu. Kan tidak enak kalau misalnya kualitas grafik sudah bagus, tapi tiba-tiba ada satu frame yang seperti terpotong di sepanjang layar.
Di sisi lain, kalau konteks yang dibicarakan adalah pro player game PC, banyak dari mereka yang tidak menyarankan untuk menyalakan fitur ini karena ada resiko meningkatnya latensi mouse dan keyboard, yang pada akhirnya bisa membuat kita kalah satu langkah dibanding lawan. Dan lagi ketika bermain di fps (frame per second) yang sangat tinggi, tearing juga hampir tidak terasa.
Pendapat Eldwin tentang Nvidia Reflex? Apakah tren teknologinya berada di jalur yang benar?
Nvidia Reflex keren. Konsepnya jelas dan memang tujuannya adalah untuk membantu para gamer. Namun saya rasa belum begitu relevan untuk pasar Indonesia saat ini. Rakyat Indonesia lebih butuh internet yang stabil dan latensi rendah dari provider internet, yang sejauh ini masih belum merata sama sekali di Indonesia.
Menurut Eldwin, kondisi pasar monitor di Indonesia sekarang bagaimana? Apakah ada satu atau dua brand yang mendominasi, atau persaingannya sudah cukup merata?
Jelas sekali tidak seketat di pasar smartphone. Persaingannya juga masih belum merata, dan banyak brand yang masih menjual dengan harga sangat tinggi, melebihi value dari produk itu sendiri, karena kurangnya persaingan.
Menurut Eldwin, apa alasan penamaan model-model monitor yang selalu terkesan ngawur?
Saya rasa mereka sebatas ingin jadi berbeda saja dibanding brand lainnya. Saking ingin berbedanya, kadang jadi terkesan sangat ngawur saat memberi kode. Salah satu contohnya, ViewSonic VX2705-2KP-MHD (27 inci, QHD, 144 Hz). Kalau melihat dari spesifikasinya, sebenarnya bisa saja dibuat lebih simpel, seperti misalnya VX2705-2K.
Bisa diceritakan seperti apa suka-duka menjadi seorang reviewer monitor?
Suka:
Banyak yang terbantu, dan saya mendapat banyak DM positif tentang mereka yang bisa membeli monitor terbaik yang mereka butuhkan.
Review-nya tidak seribet produk elektronik lainnya, karena fungsi monitor cuma satu, yakni sebagai display dari sesuatu yang disambungkan sebagai input.
Duka:
Terkadang jumlah view tidak sebanyak orang yang mengulas tentang smartphone.
Dan itu berimbas pada pemasukan dari YouTube yang tidak terlalu besar.
Jujur saya suka dengan gaya penyampaian Eldwin yang frontal. Selama ini apakah ada pihak yang sempat protes dengan gaya Eldwin?
Dari pihak brand, sempat ada yang datang ke tim kami dan menyampaikan secara langsung bahwa intinya tim kami sudah di-blacklist oleh mereka. Ada kemungkinan juga kami di-blacklist secara diam-diam oleh sejumlah brand yang tidak suka dengan gaya review kami.
Buat saya itu bukan masalah, sebab tujuan GTiD sendiri memang adalah supaya bisa independen tanpa bergantung pada brand tertentu. Saya tidak tahu apakah kami bisa mencapainya atau tidak, tapi yang pasti saya ingin terus memberikan value kepada penonton yang sudah setia memberikan dukungan dari awal.
Kepada para penonton baru, saya berharap bahwa setiap kali mereka menonton review GTiD, mereka bisa menganggap saya sebagai seorang teman yang peduli terhadap uang mereka. Pasalnya, barang-barang yang kami review bukan barang yang murah, dan mungkin ada orang di luar sana yang menabung dalam jangka waktu lama untuk bisa mendapatkan barang tersebut. Jika saya tidak jujur mengenai kekurangan-kekurangan produk tersebut, saya yakin mereka bakal kecewa berat.
Mungkin tidak banyak orang yang bisa terima dengan gaya review saya yang ekspresif. Namun saya tidak ingin mengubahnya karena itu memang adalah saya yang sesungguhnya di dunia nyata, dengan gaya yang sama persis ketika ada seorang teman yang meminta saran soal barang yang ingin mereka beli.
Definisi YouTube buat seorang kreator konten tidak selalu sama. Ada kreator yang sudah sepenuhnya menganggap YouTube sebagai platform untuk mencari nafkah, ada pula yang baru sebatas memperlakukannya sebagai wadah untuk menyalurkan hobi.
Salah satu alasan terpopuler yang datang dari seseorang yang memutuskan untuk menjadi full-time YouTuber adalah supaya ia bisa lebih fokus berkreasi, sehingga pada akhirnya kualitas konten yang dihasilkan menjadi lebih baik. Namun tidak jarang juga ini dijadikan sebuah pembelaan diri, di mana ketika seorang YouTuber merasa belum sukses, alasannya adalah karena ia belum bisa memutuskan untuk full-time dan fokus sepenuhnya ke YouTube.
Namun pernahkah terpikirkan bahwa fokus itu sebenarnya bisa datang dengan sendirinya selama kita melakukan hal yang kita sukai? Sentimen seperti itulah yang saya dapatkan setelah berbincang-bincang singkat dengan Joshua Timothy, tech YouTuber lokal yang belakangan mulai cukup naik daun.
Pemuda introvert yang lebih sering dipanggil Ocha dan mengidolakan PewDiePie ini adalah salah satu contoh kreator yang konsisten menghasilkan konten-konten menarik tanpa harus meninggalkan pekerjaan utamanya. Di saat sedang tidak membuat video YouTube, Ocha adalah seorang fotografer profesional untuk sebuah agensi media sosial.
Topik bahasan yang diangkat pada channel-nya cukup bervariasi, mulai dari hobi di dunia mechanical keyboard; ulasan smartphone, headphone, dan beragam gadget lain; sampai tips merakit PC sekaligus menata meja kerja, serta tentu saja tips fotografi dan videografi.
Berikut adalah hasil obrolan kami yang sudah disunting agar lebih jelas.
Di posisi Ocha sekarang, apakah memungkinkan untuk menjadikan YouTube sebagai pekerjaan full-time?
Untuk sekarang masih belum memungkinkan, dan saya juga belum ada pikiran untuk menjadikan YouTube sebagai pekerjaan full-time. Pasalnya, selain mengulas gadget, saya juga sangat mengapresiasi pekerjaan sebagai fotografer dan masih belum mau melepaskannya.
Saya juga masih belum menganggap YouTube sebagai pekerjaan atau tanggung jawab yang harus saya lakukan, melainkan sebagai komunitas kecil di mana saya bisa sharing pengalaman saya mengenai gadget dan lifestyle yang saya suka di hidup saya.
Kapan Ocha menyadari bahwa prospek di YouTube bagus dan memutuskan untuk mulai lebih fokus?
Sebenarnya sudah sadar dari sebelum memulai YouTube, hanya saja saya belum pernah melakukannya. Ketika pandemi melanda, barulah saya sadar ini mungkin boleh dicoba karena kebetulan ada banyak waktu kosong selagi seharian di rumah saja.
Untungnya saya memang suka dengan kegiatannya, jadi tidak perlu difokuskan karena otomatis bakal fokus sendiri ketika mengerjakan hal yang saya senangi.
Adakah YouTuber lokal yang menjadi inspirasi Ocha? Kalau ada, siapa saja?
Walaupun saya lebih terekspos oleh YouTuber dari luar Indonesia, tapi setelah mencoba YouTube sendiri, saya mulai melihat bahwa ada banyak YouTuber lokal yang sangat bertalenta sekaligus menginspirasi. Salah satunya adalah Malvin dari Bestindotech, yang menjadi salah satu alasan kenapa channel YouTube saya bisa jadi seperti ini.
Malvin sering membantu saya untuk menaikkan eksposur saya di luar sana. Walaupun saya masih terhitung YouTuber yang sangat kecil, tapi dia tetap mau membantu saya. Suatu saat saya berharap saya juga bisa seperti dia, di mana saya bisa membantu YouTuber lain yang baru mulai untuk bisa menaikkan eksposur mereka, sama seperti yang Malvin lakukan kepada saya.
Kalau tidak keberatan, bisa diberikan gambaran persentase pendapatan yang diperoleh dari YouTube?
AdSense 46%, affiliate 34%, dan sponsorship 20%.
Bisa diceritakan pengalaman mencari sponsor video? Apakah Ocha yang approach sendiri, atau sebaliknya, brand yang langsung memberikan penawaran?
Sejauh ini, sebagian besar brand-lah yang mencari saya dan memberikan penawaran sponsorship, baik melalui email maupun DM Instagram, dan saya merasa beruntung sekali ada brand–brand di luar sana yang mau bekerja sama dengan saya dan percaya dengan karya yang saya buat.
Sebelum saya memulai YouTube, tidak pernah sekalipun terpikirkan bakal ada brand yang mau bekerja sama dengan saya, jadi saya sangat berterima kasih.
Beberapa penonton sudah menganggap Ocha sebagai reviewer gadget. Bisa diceritakan bagaimana Ocha menyeimbangkan antara memberikan ulasan yang jujur kepada penonton, dan ‘menyenangkan’ brand?
Saya tidak tahu apakah saya memenuhi kualifikasi sebagai reviewer. Saya lebih merasa sebagai orang yang hanya sharing pengalaman menggunakan barang atau produk tersebut. Makanya kalau diperhatikan, kebanyakan video saya tidak membicarakan spesifikasi secara mendetail, tapi lebih ke user experience-nya saja.
Saya juga akan selalu jujur dengan pengalaman saya, baik untuk produk dari sebuah brand atau produk yang saya beli sendiri. Kalau saya tidak suka dengan sebuah produk, atau pengalaman saya menggunakan produk tersebut tidak memuaskan, saya akan bilang apa adanya.
Selain YouTube, adakah platform sosial lain yang Ocha gunakan yang sejauh ini sudah bisa mendatangkan pendapatan?
Sejauh ini masih belum ada, tapi suatu saat ingin mencoba Twitch untuk konten live gaming, supaya sekalian dapat berinteraksi dengan penonton secara live. Saya merasa itu juga bisa menjadi hal yang seru bagi penonton.
Sebagai seorang fotografer dan YouTuber, seberapa bergantung Ocha terhadap ekosistem aplikasi Adobe?
Ya, betul sekali, tanpa Adobe sepertinya saya tidak bisa apa-apa. Saya sudah terlalu nyaman dengan ekosistem Adobe walaupun tidak sempurna (sering crash dan lain-lain), tapi sejauh ini Adobe-lah yang membuat saya bisa berkarya di bidang fotografi dan YouTube.
Seandainya Adobe tiba-tiba bangkrut dan semua produknya sirna, software alternatif apa saja yang bakal Ocha pakai, dan kenapa alasannya?
Saking nyamannya dengan ekosistem Adobe, saya sampai belum pernah melihat-lihat lagi software alternatif lain. Mungkin dalam video editing ada Final Cut Pro dari Apple, atau juga DaVinci Resolve, tapi sayangnya saya belum pernah mencoba menggunakan software–software tersebut.
Bisa diceritakan seperti apa suka duka menjadi seorang tech YouTuber?
Buat saya pribadi keluh kesahnya hanya di pembagian waktu antara pekerjaan utama, YouTube, dan personal. Sejauh ini saya hanya bisa memberikan konten baru seminggu sekali, atau maksimum dua kali dalam seminggu, sedangkan banyak tech YouTuber lain yang bisa mengunggah empat sampai lima video dalam seminggu.
Namun saya selalu mencoba untuk tidak membandingkan saya dengan orang lain dan tetap berjalan dengan tempo saya sendiri. Walaupun pada dasarnya manusia itu akan selalu saling membandingkan, tapi saya akan selalu berusaha untuk tidak seperti itu. Saya memang orang yang cukup kompetitif, dan saya paham jika saya selalu membandingkan diri dengan orang lain, maka saya akan merasa insecure dan kehilangan kepercayaan diri.
Di dunia kreasi konten seperti YouTube, di mana ada ribuan orang yang melakukan hal yang sama seperti saya, terkadang memang cukup susah untuk tidak membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Namun saya selalu mengingatkan diri sendiri bahwa tidak ada hal baik yang didapat dari sana, dan untuk tetap fokus saja dengan diri saya sendiri.
Inkubator eksperimental Google, Area 120, baru saja memperkenalkan proyek terbaru mereka yang bernama Fundo. Fundo pada dasarnya merupakan sebuah platform yang dapat dimanfaatkan para kreator konten untuk mengadakan beragam event virtual yang berbayar.
Setelah menjalani masa pengujian selama kurang lebih satu tahun, Fundo kini sudah bisa diakses secara luas oleh kreator di Amerika Serikat dan Kanada. Melihat semakin banyaknya acara yang dihelat secara online selama pandemi ini, kita tidak perlu terkejut melihat timing peluncuran Fundo.
Fundo merupakan sebuah platform yang lengkap. Artinya, kreator tidak perlu repot menentukan layanan video chat yang ingin digunakan, dan mereka juga tidak perlu bingung memikirkan bagaimana cara memproses pembayaran dari para peserta acara. Sebagai gantinya, Fundo mengambil 20% dari total keuntungan yang diperoleh masing-masing kreator.
Sejauh ini Fundo sudah memikirkan setidaknya tiga jenis event virtual yang bisa diadakan: workshop, meet-and-greet, dan sesi video chat 1 lawan 1 plus sesi foto bersama. Kreator tinggal memilih jenis acara yang diinginkan, menentukan jadwal dan jumlah maksimum pesertanya, serta menentukan harga jual tiketnya.
Sesudahnya, acara-acara online itu bisa langsung ditemukan lewat situs Fundo – sejauh ini Fundo belum punya aplikasi mobile. Untuk bisa membeli tiket, peserta harus mendaftarkan diri dulu menggunakan akun Google atau nomor ponsel.
Fundo bukanlah satu-satunya opsi yang bisa dimanfaatkan kreator untuk mengadakan acara online berbayar. Belum lama ini, Facebook juga sempat meluncurkan fitur serupa, akan tetapi yang sepenuhnya menggunakan platform Facebook sendiri.
Beberapa bulan lalu, Airbnb juga memperkenalkan Airbnb Online Experiences dengan konsep yang cukup mirip. Perbedaan utamanya, Airbnb hanya memfasilitasi keperluan promosi dan pembayaran acara saja, sebab sang penggagas acara masih harus menggunakan platform eksternal seperti Zoom.
Fundo hingga kini masih berstatus eksperimental, dan tidak ada yang berani menjamin akan masa depannya. Bisa saja Fundo ditelantarkan begitu saja dan pada akhirnya ditutup saat pandemi telah usai, atau bisa saja Fundo dimasukkan sebagai salah satu fasilitas yang kreator tawarkan pada program membership di channel YouTube mereka masing-masing.
Fungsi utama Podcasts Manager adalah sebagai analytics software, spesifiknya yang menyajikan analisis retensi sehingga kreator dapat lebih memahami perilaku para pendengarnya. Analisisnya cukup mendetail, kreator dapat memantau di menit berapa terdapat jumlah pendengar yang paling banyak, dan di titik mana mereka berhenti.
Durasi mendengarkan, total menit yang berjalan, dan berbagai metrik lainnya untuk tiap-tiap episode podcast juga akan ditampilkan supaya kreator bisa memantau engagement dari para pendengarnya. Andai diperlukan, data-data ini juga dapat di-export dan dijejalkan ke beragam analytics software lain.
Metrik lain yang tak kalah penting adalah persentase jenis perangkat yang digunakan oleh para pendengar, yang tentunya sudah dianonimisasi. Harapannya adalah supaya kreator bisa beradaptasi dengan situasi yang ada. Jadi semisal mayoritas pendengarnya menggunakan smart speaker, sang kreator mungkin bisa mempertimbangkan untuk menciptakan konten yang lebih family-friendly.
Satu metrik yang belum tersedia sejauh ini adalah data demografi, yang umumnya menunjukkan lokasi para pendengar maupun rentang usianya. Dari sejumlah platform podcasting besar yang ada, baru Spotify yang menyediakan data demografi pendengar kepada para kreator. Data semacam ini tentu penting, tapi di sisi lain juga berkaitan langsung dengan aspek privasi.
Tanpa harus melakukan apa-apa, podcast bikinan kita memang akan muncul dengan sendirinya di katalog Google Podcasts (selama ada RSS feed-nya). Namun untuk bisa memantau data analytics-nya menggunakan Google Podcasts Manager, kreator harus mengklaim kepemilikannya terlebih dulu, dan Google memastikan proses verifikasi yang simpel.