Tag Archives: Kurniawan Santoso

Startup HR-tech Job2Go sediakan platform manajemen HR menyeluruh, mulai dari rekrutmen, hiring, onboarding, training, dan penggajian

Cerita Platform Job2Go Jadi Platform Manajemen HR

Kurniawan Santoso dan timnya di Job2Go tidak pernah menyangka bahwa beberapa bulan setelah perusahaannya diumumkan ke publik di Desember 2019, mereka harus memutar otak dan mencari cara untuk tetap bertahan.

Saat itu, Job2Go harus menelan pil pahit ternyata solusi yang ditawarkan pada saat itu —pencarian lowongan kerja berbasis on-demand— tidak bisa dilanjutkan karena semua perusahaan langsung pasang ikat pinggang di awal pandemi.

“Waktu itu [pandemi] pekerjaan yang sifatnya on-demand tidak ada, jadinya kita mulai pindah. Pertama bangun job portal in general sekitar tiga minggu, lalu ditambahkan dengan solusi lainnya hingga yakin dengan solusi manajemen HR inilah yang dibutuhkan oleh banyak perusahaan,” ujar Co-founder dan CEO Job2Go Kurniawan Santoso saat ditemui DailySocial.id, Senin (6/3).

Setelah dipelajari, ternyata ada mispersepsi arti pekerjaan on-demand di Indonesia dibandingkan di luar negeri. Hal ini berdampak pada minimnya tingkat permintaan dan pencarian pekerjaan jenis ini. Bisa dikatakan pekerjaan on-demand seperti ini baru terbukti berhasil di industri transportasi saja, seperti yang disediakan Grab dan Gojek.

“Definisi yang tepat buat di Indonesia itu adalah creative job untuk pekerjaan on-demand. Misalnya, ada orang yang biasa kerja freelance untuk desain, lalu ketika suatu perusahaan cari tenaganya tinggal pilih mana yang cocok.”

Terkait model bisnisnya saat ini, ia tidak bersedia menyebutnya sebagai pivot tetapi penajaman strategi menjadi platform manajemen HR menyeluruh, mulai dari rekrutmen, hiring, onboarding, training, penggajian, dan hubungan industrial. Tak hanya itu, Job2Go juga mulai masuk ke embedded finance melalui produk Job2Go Workforce, tawarkan EWA (earned wage access) dan asuransi mikro, bermitra dengan Kini.id, Beever, dan Asuransi Hanhwa Life.

Job2Go

Menurut Kurniawan, penyediaan solusi menyeluruh ini menjadi nilai lebih perusahaan dibandingkan pemain sejenisnya. Klien hanya perlu membayar management fee untuk seluruh layanan yang tersedia tanpa biaya tambahan, sehingga mereka pun lebih efisien dari sisi pengeluaran. Hal yang sama juga berpengaruh bagi bisnis Job2Go itu sendiri yang dapat menjaga pertumbuhan pendapatannya, terutama dari sisi margin dan komisi (fee based) yang diterima Job2Go dari produk finansial.

Embedded finance merupakan inovasi baru yang memberikan dampak positif dalam rangka meningkatkan literasi keuangan. EWA itu sendiri memungkinkan karyawan untuk mengakses gaji lebih awal apabila dalam keadaan mendesak, sehingga tidak perlu lari ke pinjaman online yang bunganya mencekik. Perkawinan antara solusi HR dan fintech ini diprediksi akan menciptakan solusi-solusi baru yang dapat menguntungkan karyawan dan pemberi kerja.

Rencana untuk mulai mengimplementasikan teknologi blockchain pun sudah diwacanakan. Apabila terjadi, dunia HR tentunya akan sangat terbantu dalam proses hiring karena sebelumnya harus memverifikasi berbagai data jadi tidak perlu dilakukan lagi, masih banyak lagi inovasi yang bisa terjadi melalui blockchain.

“Kami berencana untuk buat fitur investasi karena intinya kami mau meningkatkan literasi finansial bagi orang-orang yang berada di area blue-gray collar ini.”

Rencana Job2Go

Dua tahun dengan bisnisnya saat ini, Job2Go mengklaim telah mencetak pendapatan (revenue) sebesar $10 juta (lebih dari 153 miliar Rupiah) per tahunnya. Kurniawan mengungkapkan pencapaian positif ini akan dilanjutkan pada tahun ini dengan menjaga target pertumbuhan yang sama dengan tahun lalu, dibarengi mengontrol pengeluaran. Ia menargetkan Job2Go mencapai titik impas (BEP) agar segera cetak untung.

“Sekarang almost BEP, sekarang kita sedang lihat cost mana yang harus disesuaikan untuk capai profitabilitas. Target ini yang sedang kita kejar bagaimana jaga pertumbuhan tetap sustainable karena kebanyakan startup tuh tumbuh tapi enggak sustain, kita enggak mau kayak gitu.”

Mereka telah menyiapkan sejumlah strategi untuk mencapai target ini, salah satunya selalu memantau tingkat kepuasan klien sembari terus mengejar penambahan klien baru. Pengembangan produk baruk tidak bakal semasif saat awal beroperasi.

Terhitung klien yang sudah pernah ditangani Job2Go mencapai 50 perusahaan lintas industri. Mereka didominasi sektor teknologi, konsumer, dan finansial. Beberapa nama perusahaannya adalah Grab, Tokopedia, Abbott, dan sebagainya. Tahun ini perusahaan akan menambah industri lainnya, seperti manufaktur dan pelayanan publik.

Berdasarkan data mereka, tenaga kerja yang paling banyak dicari para klien Job2Go banyak berkaitan dengan frontliner dan back office. Untuk frontliner, seperti salesman, telemarketer, dan customer service untuk penempatan di daerah. Sementara back office, pekerjaan umum seperti accounting, finance, administrasi, juga banyak dicari.

“Karena kita ini full service, jadi kita yang rekrut tenaga tersebut, absensi, dan payroll-nya mereka lewat kami, tapi kesehariannya mereka bekerja untuk klien. Kami yang menyediakan seluruh legalitasnya, termasuk jika ada pemutusan hubungan kerja (PHK).”

Tim Job2Go

Untuk rencana jangka panjangnya, Kurniawan memaparkan bahwa ia ingin Job2Go ekspansi ke pasar ASEAN dan melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Baginya, melantai di bursa adalah pembuktian bahwa model bisnis manajemen HR yang dijalankan Job2Go ini terbukti dapat bertahan lama dan relevan dengan kebutuhan semua industri.

“Negara ASEAN itu punya karakteristik yang sama satu sama lain, dari sisi region juga berdekatan, jadi secara ekonominya juga akan saling terhubung. Ambisi kita bisa serving ASEAN entah dengan masuk sendiri, partnering dengan pemain sejenis dari negara tersebut, atau merger. IPO atau ekspansi kita lihat mana yang duluan dalam 3-4 tahun lagi.”

Dalam ruang lingkupnya di Indonesia, Job2Go bersaing dengan MyRobin, Workmate, dan Staffinc. Apabila melihat dari industrinya, para startup ini bersaing dengan perusahaan outsourcing yang seluruh sistemnya masih konvensional, belum terintegrasi antar layanannya, baik itu workforce management, penggajian, dan rekrutmen harus pakai/sewa platform yang berbeda-beda. “Tapi kita mengembangkan service outsourcing ini dalam sistem yang sudah satu kesatuan.”

Job2Go yang didukung 50 orang karyawan ini sudah tiga kali mendapat pendanaan eksternal. Pertama kali angel round dari BANSEA (The Business Angel Network of Southeast Asia) dan investor dari Jepang pada Juni 2020. Kedua, terjadi pada tahun yang sama untuk putaran tahap pra-Seri A dari investor asal Korea Selatan. Nominal dana yang diraih dari kedua putaran ini sayangnya dirahasiakan.

Ketiga, pendanaan berbentuk debt (utang) sebesar $1,5 juta dari sejumlah investor dan startup p2p lending, yakni, Xencap, ChocoUp, dan Modal Rakyat dengan menggunakan skema invoice financing.

Digital Platform for Blue Collar Workers

Blue-collar workers are identical to “rough jobs”. This type of work is quite very available and required in every business environment – some are temporary, outsourced, also permanent. The tendency of this segment is filled with low skill workers, people who have minimal competence – generally due to poor access to education. According to 2019’s BPS data, low-skilled workers dominate the informal sector by 57.27%.

As of the BPS survey, in August 2019, the average informal worker raised 1.4 million for income per month. In some cities, the number is equivalent to the UMR, but in big cities like Jakarta or Surabaya, it is figured far lower the UMR. In fact, the economic gap is indeed a rooted issue in the country.

During the Covid-19 pandemic, they also became one of the most affected groups, especially in the labor-intensive sector or who needed human movements to carry out duties.

International Labour Organization membandingkan data Sakernas 2006 dan 2016 / ILO
International Labour Organization compared Sakernas data of 2006 and 2016 / ILO

Digital startup spots an opportunity

The DNA of digital startups is to produce solutions to specific problems in society. Some founders took the initiative to streamline the gap in blue-collar workers. The innovations are quite diverse, from bridging access between businesses (which require labor) with workers to helping provide instant education that can support their efforts.

Kurniawan Santoso is one of them. He is the Founder & CEO of Job2Go, a job marketplace portal/application that focuses on blue-collar jobs. He said the blue-collar market share which refers to the group of workers with limited and informal skills is the largest segment of the entire workforce population in Indonesia, almost all business sectors. This segment will continue to be the backbone of the economic revival, including driving the post-pandemic economy.

Job2GO service is represented in a marketplace platform based on websites and mobile applications. Employers and prospective workers can meet on the platform. The latest data revealed, they already accommodate 15 thousand users, with 500 companies offering various vacancies. The types of work offered include salespeople, merchandising, SPG, marketing staff, administrative staff, and others.

Steven Chu, Detin Melati, and Komala Surya also realize this opportunity. With a platform called Heikaku, they present a job portal that connects SMEs with workers. Until the first quarter of 2020, they have helped 2 thousand SMEs with more than 8 thousand job advertisements. In the release, Heikaku team said, “The wider opportunity lies in vacancies such as admin, sales, drafter, telemarketing, marketing, SPG and others. About 87% of applicants in Heikaku are high school / vocational high school graduates.”

Beberapa layanan startup Indonesia untuk pekerja kerah biru / DailySocial
Some startup services for blue collar workers in Indonesia / DailySocial

In addition to both marketplaces above, there are other startups with different approaches. There are also Sampingan application and Big Agent. They try to empower day-to-day workers with a variety of outsourcing job opportunities or limited contract work. For example, a work to market something or do a survey to a place. The workers are paid based on the results of performance or called pay per performance.

Challenges to go

Trying to cover this market share with a technological approach is quite reasonable, it does not mean impossible. To date, smartphone penetration has reached the grassroots. Points such as simplification of user experience and user interfaces are crucial in the application development process – in addition to more effort that must be taken by platform managers to find the maximum potential of the workers.

Kurniawan said, “We are trying to educate users to register with the platform by filling in good data. This information is very important to facilitate the process of job search and self-development. And of course, this will facilitate the industry to find out their potential and recruit effectively. This effort is not easy, apart from low awareness, there are also structural constraints such as inadequate devices or poor internet access.”

Other players choose to bring appropriate innovations to help with administrative matters. For example, the AdaKerja platform presents chatbots on the Facebook Messenger platform to help users create a comprehensive CV. CV becomes one of the important aspects for companies to identify potential prospective workers and a sheet to promote themselves through experiences.

It’s an industrial issue

According to a research, the turnover of blue-collar workers is quite high. The average of such companies reached 20%. Turnover refers to the entry and exit of employees who fill certain positions. This is actually burdensome to some companies because from the same survey, it was stated that the costs to overcome this turnover are not cheap, it can reach $4,569.

Rata-rata persentase turn-over pekerja kerah biru / EmployBridge
An average turnover of blue collar workers / EmployBridge

The presence of digital platforms is quite an effort to disrupt the blue-collar employment cycle. The existence of a platform such as a marketplace allows employers to connect directly with prospective workers, there are actually many agencies or labor distribution agencies in this segment.

Using a bureau means there are more budget to spend, or sacrificing the potential for more revenue from the side of its workers.

“The average UMR for the Jakarta area is 3 million Rupiah, indicating that the majority of workers are the blue-collar sector. However, there is no medium that connects companies or employers directly with skilled workers. We hope that AdaKerja’s presence will be able to provide easy access for both SMEs and the company is recruiting the workforce, “said AdaKerja Founder Ashwin Tiwari.

Kurniawan added, some players are trying to add more value to the job search platform. For example, what Job2Go did by providing access to training material. “The excellent feature that will be soon coming out is that we want to provide access to financial services, such as account opening, salary management, financial management, access to investment or bill payments, and purchase of other digital products. […] This financial health is one of the things that we actually think matter in this segment.”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Menurut data BPS per tahun 2019, low skill worker mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%. Menjadi potensi besar untuk digarap inovator digital

Platform Digital untuk Pekerja Kerah Biru

Pekerja kerah biru (blue collar worker) identik dengan “pekerjaan kasar”. Jenis pekerjaan ini nyaris ada dan dibutuhkan di setiap lingkungan bisnis – ada yang sifatnya temporer, outsource, hingga pekerja tetap. Kecenderungan segmen ini dipenuhi kalangan low skill worker, orang-orang yang memiliki kompetensi minim – umumnya disebabkan karena akses ke pendidikan yang kurang baik. Menurut data BPS, per tahun 2019 kalangan low skill worker mendominasi sektor informal dengan angka 57,27%.

Masih dari survei BPS, per Agustus 2019 rata-rata pekerja informal tersebut mengantongi pendapatan 1,4 juta per bulannya. Di beberapa kota jumlah tersebut setara dengan UMR, namun di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya, angkanya masih jauh di bawah UMR. Nyatanya permasalahan kesenjangan ekonomi memang menjadi salah satu yang mengakar di tanah air.

Selama pandemi Covid-19 berlangsung, mereka juga jadi salah satu kalangan yang paling banyak terdampak, khususnya di sektor padat karya atau yang memerlukan pergerakan manusia dalam menjalankan tugasnya.

International Labour Organization membandingkan data Sakernas 2006 dan 2016 / ILO
International Labour Organization membandingkan data Sakernas 2006 dan 2016 / ILO

Startup digital melihatnya sebagai peluang

Salah satu DNA dari startup digital adalah menghasilkan solusi atas permasalahan spesifik di masyarakat. Beberapa founder berinisiatif untuk merampingkan kesenjangan pekerja kerah biru. Inovasi yang dihadirkan pun cukup beragam, mulai dari menjembatani akses antara bisnis (yang membutuhkan tenaga kerja) dengan para pekerja, hingga membantu memberikan edukasi instan yang dapat mendukung upayanya menemukan.

Kurniawan Santoso adalah salah satunya. Ia merupakan Founder & CEO Job2Go, sebuah portal/aplikasi job marketplace yang fokus pada pekerjaan kerah biru. Ia mengatakan, pangsa pasar blue collar yang mengacu pada kelompok pekerja dengan skill yang terbatas dan informal adalah segmen terbesar dari seluruh populasi angkatan kerja di Indonesia, hampir seluruh sektor usaha. Segmen pekerja ini masih akan terus menjadi tulang punggung kebangkitan ekonomi, termasuk untuk menggerakkan kembali perekonomian pasca-pandemi.

Layanan Job2GO sendiri direpresentasikan dalam platform marketplace berbasis situs web dan aplikasi mobile. Pemberi kerja dan calon pekerja dapat bertemu di platform tersebut. Data terakhir disebutkan, mereka sudah mengakomodasi 15 ribu pengguna, dengan 500 perusahaan yang menawarkan berbagai lowongannya. Adapun jenis pekerjaan yang ditawarkan mulai dari tenaga penjualan, merchandising, SPG, staf pemasaran, staf administrasi, dan lain-lain.

Steven Chu, Detin Melati, dan Komala Surya juga melihat peluang yang sama. Dengan platform bernama Heikaku, mereka hadirkan portal pekerjaan yang menghubungkan UKM dengan pekerja. Hingga kuartal pertama tahun 2020, mereka sudah membantu 2 ribu UKM dengan lebih 8 ribu iklan lowongan kerja. Dalam keterangannya tim Heikaku mengatakan, “Loker yang paling banyak di buka seperti admin, sales, drafter, telemarketing, marketing, SPG dan lainnya. Sekitar 87% pelamar di Heikaku adalah lulusan SMA/SMK.”

Beberapa layanan startup Indonesia untuk pekerja kerah biru / DailySocial
Beberapa layanan startup Indonesia untuk pekerja kerah biru / DailySocial

Selain model marketplace seperti dua pemain di atas, ada startup lain yang mencoba pendekatan berbeda. Misalnya yang dilakukan aplikasi Sampingan dan Big Agent. Mereka mencoba memberdayakan para pekerja harian dengan berbagai kesempatan kerja outsource atau pekerjaan dengan kontrak terbatas. Misalnya pekerjaan untuk memasarkan sesuatu atau melakukan survei ke suatu tempat. Para pekerja dibayar berdasarkan hasil kinerja atau disebut dengan pay per performance.

Tantangan yang dihadapi

Mencoba menjamah pangsa pasar ini dengan pendekatan teknologi bukan tanpa alasan, namun bukan berarti tidak mungkin. Di masa sekarang ini, penetrasi ponsel pintar sudah menjangkau sampai kalangan bawah. Poin-poin seperti simplifikasi user experience dan user interface menjadi krusial dalam proses pengembangan aplikasi – di samping effort lebih yang harus dilakukan pengelola platform untuk menemukan potensi maksimal dari para pekerja.

Kurniawan menyebutkan, “Kami mencoba mengedukasi pengguna untuk mendaftar ke platform dengan pengisian data yang baik. Informasi ini sangat penting untuk memudahkan proses pencarian pekerjaan dan pengembangan diri. Dan tentunya ini akan mempermudah industri untuk mengetahu potensi mereka dan merekrut dengan efektif. Upaya ini tidak mudah, selain karena kesadaran yang masih rendah, juga adanya kendala secara struktural misalnya perangkat yang kurang memadai atau akses internet yang kurang baik.”

Pemain lain memilih menghadirkan inovasi tepat guna untuk membantu mengerjakan hal-hal administratif. Misalnya yang dilakukan platform AdaKerja yang menghadirkan chatbot di platform Facebook Messenger untuk membantu penggunanya dalam membuat CV yang komprehensif. CV jadi salah satu aspek penting bagi perusahaan untuk pengenal potensi calon pekerjanya dan menjadi lembaran bagi calon pekerja untuk mempromosikan dirinya melalui pengalaman-pengalaman yang dimiliki.

Juga jadi problematika industri

Menurut sebuah riset, turnover pekerja kerah biru cukup tinggi. Rata-rata di perusahaan mencapai 20%. Turnover mengacu pada keluar masuknya pegawai yang mengisi posisi tertentu. Kondisi ini sebenarnya memberatkan perusahaan, karena dari survei yang sama dikemukakan bahwa biaya yang harus dikeluarkan untuk mengatasi turnover ini tidak murah, bisa mencapai $4,569.

Rata-rata persentase turn-over pekerja kerah biru / EmployBridge
Rata-rata persentase turn-over pekerja kerah biru / EmployBridge

Hadirnya platform digital juga berusaha menghadirkan disrupsi di siklus ketenagakerjaan kerah biru. Adanya platform seperti marketplace memungkinkan pemberi pekerjaan terhubung langsung dengan para calon pekerja, karena sejauh ini masih banyak ditemui agen atau biro penyalur tenaga kerja di segmen ini.

Menggunakan biro berarti ada imbalan lebih yang harus dikeluarkan perusahaan, atau sebaliknya mengorbankan potensi penerimaan lebih dari sisi pekerjanya.

“Rata-rata UMR wilayah Jakarta adalah sebesar 3 juta Rupiah, mengindikasikan bahwa mayoritas pekerja adalah sektor blue collar. Namun belum ada medium yang menghubungkan perusahaan atau pengusaha dengan tenaga kerja terampil secara langsung. Kami berharap kehadiran AdaKerja mampu memberikan akses kemudahan untuk para UKM maupun perusahaan dalam merekrut tenaga kerja tersebut,” ungkap Founder AdaKerja Ashwin Tiwari.

Kurniawan menambahkan, nilai lebih juga berusaha diciptakan para pemain di platform perncarian kerja. Misalnya yang dilakukan Job2Go dengan menghadirkan akses ke materi pelatihan. “Fitur unggulan yang akan segera hadir adalah kami ingin memberikan akses kepada layanan finansial, seperti pembukaan rekening, pengelolaan gaji, pengaturan keuangan, akses investasi ataupun pembayaran tagihan, dan pembelian produk digital lainnya. [..] Kesehatan finansial ini adalah salah satu hal yang sangat perlu kita hadirkan untuk segmen pekerja ini.”

Job2GO Secures Seed Funding from an Angel Investor Network BANSEA

The HR-tech (human resources technology)startup Job2GO announced the seed funding from BANSEA angel investor network. The value is not revealed.  The funding is to focus on the improvement of technology products and user acquisition.

BANSEA (The Business Angel Network of Southeast Asia), established in 2001, currently supports thousands of entrepreneurs in the region through a network of investors from individuals and companies they own. They participated in several startup funding such as Carousell, Carro, Xfers, 99.co, and others.

“We’re quickly adjust to the challenges and opportunities and study similar companies in developed countries like India. We are confident that Job2GO will present the right solution for the Indonesian and Southeast Asian markets. The new normal post-Covid-19 will present a golden opportunity for our solutions,” Job2GO’s Founder & CEO Kurniawan Santoso said.

Meanwhile, BANSEA Chairman James Tan said, “BANSEA is here to continuously connect startups like Job2Go with angel investors. This investment is one of BANSEA’s ways to supports the startup ecosystem in Southeast Asia and we look forward to playing our role in the startup ecosystem. ”

Job2GO business growth

Kurniawan also said to DailySocial, the Job2GO application reached 15 thousand users, with 500 companies offering various vacancies.

As general information, Job2Go has the vision to help blue collar workers and gig workers; offers various types of jobs from salesforce, merchandising, SPG, marketing staff, administrative staff, and others.

In terms of products, the Job2Go application is equipped with Artificial Intelligence (AI) technology to get a match between supply and demand for work. It also provides information on on-demand job vacancies and other jobs available in locations near job seekers.

“In 2020, Job2GO focuses on providing the best experience for users (job seekers and employment seekers) by enhancing platforms and features. In addition, we also tighten cooperation with the employment ecosystem such as the Pre-Work Card to channel workers after receiving training,” he added.

Job2GO is targeting the low-medium skill workers, among those who are quite affected by this pandemic. In response to this, Kurniawan said, “They are workers who are the economy’s backbone, affected in Q1 2020 yet to be believed rebounding as soon when companies return to operating under new normal.”

In Indonesia, there are also several other startups besides Job2GO that offer similar services. There are Workmate (formerly Helpster), Heikaku, and others.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Job2GO

Job2GO Dapatkan Pendanaan Awal dari Jaringan Angel Investor BANSEA

Startup di bidang HR-tech (human resources technology)  Job2GO mengumumkan perolehan pendanaan tahap awal dari jaringan angel investor BANSEA. Nilai pendanaan tidak disebutkan. Adapun fokus alokasi dana investasi untuk penyempurnaan produk teknologi dan akuisisi pengguna.

BANSEA (The Business Angel Network of Southeast Asia) didirikan sejak tahun 2001, saat ini telah mendukung ribuan pengusaha di kawasan regional melalui jaringan investor dari kalangan perorangan dan perusahaan yang dimiliki. Mereka turut berpartisipasi dalam pendanaan startup seperti Carousell, Carro, Xfers, 99.co, dan lain-lain.

“Kami memahami dengan cepat tantangan dan peluang yang ada dan mempelajari perusahaan sejenis di negara yang sudah maju seperti India. Kami yakin Job2GO akan menghadirkan solusi yang tepat untuk pasar Indonesia dan Asia Tenggara. Tatanan new normal pasca Covid-19 akan menghadirkan kesempatan emas untuk solusi yang kami hadirkan,” sambut Founder & CEO Job2GO Kurniawan Santoso.

Sementara itu, Chairman BANSEA James Tan mengatakan, “BANSEA hadir untuk secara berkesinambungan menghubungkan startup seperti Job2Go dengan para angel investors. Investasi ini adalah salah satu cara BANSEA mendukung ekosistem startup di Asia Tenggara dan kami berharap dapat terus memainkan peran kami di dalam ekosistem startup.”

Perkembangan bisnis Job2GO

Kepada DailySocial, Kurniawan menambahkan, saat ini pengguna aplikasi Job2GO sudah mencapai 15 ribu orang, dengan 500 perusahaan yang menawarkan berbagai lowongannya.

Seperti diketahui Job2Go memiliki visi untuk membantu pekerja kerah biru dan gig workers; menawarkan berbagai pilihan jenis pekerjaan mulai dari tenaga penjualan, merchandising, SPG, staf pemasaran, staf administrasi, dan lain-lain.

Dari sisi produk, aplikasi Job2Go dibekali teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk mendapatkan kecocokan antara penawaran dan permintaan kerja. Selain itu juga menyediakan informasi lowongan pekerjaan on-demand dan pekerjaan lain yang tersedia di lokasi dekat para pencari kerja.

“Di tahun 2020, Job2GO berfokus untuk memberikan pengalaman terbaik untuk pengguna (pencari kerja dan perusahaan pencari tenaga kerja) dengan penyempurnaan platform dan fitur. Selain itu kami memperkuat jalinan kerja sama dengan ekosistem ketenagakerjaan seperti Kartu Pra-Kerja untuk menyalurkan tenaga kerja setelah mendapatkan pelatihan,” imbuh Kurniawan.

Segmen yang disasar Job2GO adalah low-meidum skill workers, kalangan pekerja yang cukup terdampak karena pandemi ini. Menanggapi ini, Kurniawan menyampaikan, “Mereka adalah segmen pekerja yang menjadi tulang punggung perekonomian, terdampak di Q1 2020 namun diyakini akan rebound dalam waktu yang cepat ketika perusahaan kembali beroperasi di bawah new normal.”

Di Indonesia, selain Job2GO juga ada beberapa startup lain yang tawarkan layanan serupa. Di antaranya Workmate (dulu Helpster), Heikaku, dan lain-lain.

Application Information Will Show Up Here

Understanding the Opportunity of “On-Demand” Jobs in the “Gig Economy”

The development of technology generates new phenomena, from the changes in consumer habits, business models, and how to market products or services.

Those things create a new term, the gig economy, that refers to a trend shifting where companies prefer to work with freelancers than permanent workers.

How the gig economy related to the on-demand job? And how technology plays a role in the gig economy era?

For further information, Job2Go‘s Co-Founder and CEO, Kurniawan Santoso has discussed the issue with DailySocial in the #SelasaStartup session.

Creating new opportunities in the gig economy era

Without us knowing, we’re now living in the gig economy era. Picture it in the transportation services, food and drinks, travel tickets, and shopping activities which we’re now doing through applications, is a sign that technology becomes a part of our daily basis.

By understanding the gig economy, Kurniawan sees the high demand of a company to work with freelancers is followed by the trend of “tech-savvy” workers.

“These phenomena started a new era of business that is never existed before,” he said.

Kurniawan exemplifies how he developed an on-demand job search platform named Job2Go. The platform is to connect companies with job seekers. What’s more, this platform can improve the quality of life of workers.

In addition, the on-demand job search platform can conquer one of the biggest issues in Indonesia, it’s the difficulty of finding a job causing the high unemployment rate.

Based on data, there are 100.4 million people in Indonesia with a salary below the minimum standard. The number can create good opportunities for new business.

On-demand job to be the future of millennials

Quoting the former Minister of Manpower, Muhammad Hanif Dhakiri, Kurniawan said the future of millennials is “working without jobs”.

The on-demand jobs will be sought after as trends in contemporary careers develop. In terms of workers, Kurniawan said, 60 percent of them liked flexible work and 43 percent looked for various jobs.

In terms of companies, 40 percent of them strive to improve employee satisfaction and productivity and 37 percent are targeting freelance workers.

“Part-time workers have now become essential for companies due to cost-saving and efficiency. Also, flexibility and additional income are now important for some people, “he said.

He thought, for the developed countries, the gig-economy trend is growing because its population needs additional income. This is the red thread that connects the gig economy and the increase of on-demand jobs.

Technology is the key

Technology plays an important role in the gig economy platform. In connecting companies with job seekers, technology is required to minimize the gap between supply and demand.

Job2Go relies on Artificial Intelligence (AI) technology in gathering companies together with job seekers.

“Data intelligence can help recommend the right job. The process is fast and accurate, both for seekers and employers. The most important thing is technology makes accuracy even better, “he explained.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

 

Belajar dari Co-Founder dan CEO Job2Go Kurniawan Santoso di sesi #SelasaStartup tentang gig economy dan pekerjaan on-demand

Memahami Peluang Pekerjaan “On-Demand” di Era “Gig Economy”

Perkembangan teknologi memunculkan sejumlah fenomena baru, mulai dari perubahan perilaku konsumen, model bisnis, hingga bagaimana sebuah produk dan layanan dipasarkan.

Hal-hal di atas turut memicu istilah baru, yaitu gig economy, yang merujuk pada sebuah tren pergeseran di mana perusahaan lebih memilih memperkerjakan pekerja lepas daripada pekerja tetap.

Bagaimana gig economy dan pekerjaan on-demand saling berkaitan satu sama lain? Dan bagaimana teknologi dapat berperan di era gig economy?

Selengkapnya, simak pembahasan menarik dari Co-founder dan CEO Job2Go Kurniawan Santoso di sesi #SelasaStartup berikut ini.

Menciptakan peluang baru di era gig economy

Tanpa kita sadari, sebetulnya kita sudah hidup di era gig economy. Gambarannya, jasa transportasi, makanan dan minuman, tiket perjalanan, hingga berbelanja yang selama ini kita pesan melalui aplikasi adalah penanda bahwa teknologi telah menjadi bagian dari keseharian.

Dengan memahami gig economy, Kurniawan melihat permintaan perusahaan untuk memperkerjakan pekerja lepas semakin besar yang juga diikuti tingginya tren pekerja kekinian karena perkembangan teknologi.

“Justru fenomena ini dapat melahirkan bisnis baru yang belum pernah terpikirkan sebelumnya,” ungkapnya.

Kurniawan mencontohkan bagaimana ia mengembangkan platform pencarian kerja on-demand lewat nama Job2Go. Platform semacam ini dapat menghubungkan perusahaan dengan pencari kerja. Lebih lagi, platform ini dapat meningkatkan kualitas hidup para pekerja.

Di sisi lain, platform pencarian kerja on-demand dapat mengatasi salah satu masalah terbesar di Indonesia, yakni sulitnya mencari kerja yang menyebabkan angka pengangguran masih tinggi.

Menurut kalkulasinya, tercatat ada 100,4 juta orang di Indonesia yang memiliki bayaran atau gaji di bawah standar minimum. Angka tersebut dapat menjadi peluang bagus untuk melahirkan bisnis baru.

Pekerjaan on-demand jadi masa depan milenial

Mengutip ucapan mantan Menteri Ketenagakerjaan Muhammad Hanif Dhakiri, Kurniawan menyebut bahwa masa depan para pekerja milenial adalah “working without jobs”.

Pekerjaan on-demand akan banyak dicari seiring berkembangnya tren pekerja kekinian. Dari sisi pekerja, ungkap Kurniawan, sebanyak 60 persen menyukai pekerjaan yang fleksibel dan 43 persen mencari pekerjaan yang bervariasi.

Sementara dari sisi perusahaan, sebanyak 40 persen berupaya untuk meningkatkan kepuasan karyawan dan produktivitas dan sebanyak 37 persen menyasar pekerja freelance.

“Pekerja part time itu sekarang sudah menjadi sesuatu yang penting bagi perusahaan karena save money dan efisien. Di sisi lain, fleksibilitas dan keinginan mencari tambahan uang kini menjadi pilihan penting bagi sejumlah orang,” ujarnya.

Menurutnya, bagi negara-negara maju, tren gig economy sangat berkembang karena orang-orangnya memerlukan tambahan pendapatan. Ini yang menjadi  benang merah dari gig economy dengan meningkatnya pekerjaan on-demand.

Teknologi menjadi kunci

Teknologi tetap berperan penting di pada platform gig economy. Dalam menghubungkan perusahaan dengan pencari pekerjaan, teknologi dibutuhkan untuk meminimalisasi gap antara supply dan demand.

Job2Go mengandalkan teknologi Artificial Intelligence (AI) dalam mempertemukan perusahaan dengan para pencari kerja.

Data intelligence dapat membantu menyajikan pekerjaan yang tepat. Proses menjadi cepat dan akurat, baik bagi pencari dan pemberi kerja. Yang terpenting adalah teknologi membuat akurasi semakin baik lagi,” paparnya.

Kurniawan Santoso

Aplikasi Job2Go Tawarkan Layanan Pencarian Kerja Berbasis On-demand

Industri startup di Indonesia kembali kedatangan pemain baru. Melalui PT Sinergi Performa Cipta, aplikasi pencarian lowongan kerja berbasis on-demand, Job2Go resmi diperkenalkan.

Dalam keterangan resmi kepada DailySocial, Co-founder dan CEO Job2Go Kurniawan Santoso menyebutkan ada sejumlah faktor yang mendorong pengembangan layanan tersebut. Pertama, meningkatnya tren pekerja kekinian di Indonesia yang mengedepankan jam kerja dan lokasi fleksibel, serta mau mencoba berbagai pekerjaan baru.

Hal ini turut diperkuat oleh riset PersolKelly 2018 APAC Workforce Insight yang menunjukkan sebanyak 39 persen responden di Indonesia berminat mencari pekerjaan yang lebih fleksibel dari sisi kontrak kerja.

Selain itu, peningkatan tren ini juga dipicu oleh model bisnis gig-economy yang menekankan efisiensi dan efektivitas dengan teknologi. Istilah gig-economy merujuk pada ekosistem di mana seseorang melakukan pekerjaan on-demand atau jangka pendek.

Perkembangan teknologi mobile memicu semakin banyak yang ingin berpartisipasi di gig-economy. Hal ini mendorong perubahan perilaku konsumen yang menginginkan jasa atau produk yang serba instan dan customized, seperti di sektor e-commerce dan transportasi.

Menurutnya tren ini memberikan dampak positif yang menumbuhkan sektor ketenagakerjaan, mulai dari pekerja paruh waktu (freelance worker), pekerja mandiri (independent worker), dan staf yang direkrut untuk jangka pendek atau saat dibutuhkan (on-demand worker)

Di sisi lain, kita tidak dapat mengabaikan bahwa angka pengangguran semakin tinggi. Bagi mereka yang minim kemampuan kerja (low skill), pencarian kerja tentu menjadi masalah. “Maka itu, Job2Go membidik siapapun yang ingin cepat dapat pekerjaan yang menonjolkan pada pekerjaan sederhana dan tanpa keahlian khusus,” paparnya.

Dari sisi produk, aplikasi Job2Go dibekali teknologi Artificial Intelligence (AI) untuk mendapatkan kecocokan antara penawaran dan permintaan kerja. Selain itu juga menyediakan informasi lowongan pekerjaan on-demand dan pekerjaan lain yang tersedia di lokasi dekat para pencari kerja.

“Kami mengolah informasi dasar dari pekerja, seperti pendidikan dan keterampilan dipadukan dengan catatan performa pekerjaan sebelumnya,” ungkap Kurniawan.

Adapun Job2Go menawarkan berbagai pilihan jenis pekerjaan, mulai dari tenaga penjualan, merchandising, SPG, staf pemasaran, staf administrasi, staf magang, dan akan berkembang pada berbagai profesinya lainnya.

Kemudian, untuk memperkuat layanannya, Job2Go menyediakan sistem pembayaran pekerjaan yang terintegrasi di dalam saldo aplikasi.

Sebagai informasi, Job2Go dikembangkan oleh anak Indonesia yang telah mengantongi pengalaman di sejumlah perusahaan global. Kurniawan Santoso, misalnya, pernah bekerja di beberapa perusahaan Silicon Valley, seperti Google, Oracle, dan Facebook.

Kemudian, Co-founder & COO Saat Prihartono pernah berkarier di OVO dan perusahaan FMCG. Terakhir, Co-founder & CPO Andry Huzain sebelumnya adalah Co-founder TunaiKita dan pernah berkarier sebagai posisi senior di perusahaan digital.

Saat ini aplikasi Job2Go sudah tersedia di Google Play Store dan akan menyusul untuk versi iOS di App Store.

Application Information Will Show Up Here