Tag Archives: Labana.id

Membangun Kepercayaan Konsumen di Era Digital

Dalam jenis bisnis apapun, membangun kepercayaan merupakan kunci sukses untuk meraih keberhasilan. Tidak peduli apakah bisnis tersebut berskala besar atau kecil, kepercayaan dibutuhkan untuk terus menumbuhkan dan mengembangkan bisnis. Membangun kepercayaan merupakan salah satu upaya untuk meraih tujuan-tujuan bisnis yang lain. Misalnya saja dengan membangun kepercayaan kepada konsumen, mereka akan dengan senang hati menggunakan produk atau layanan yang ditawarkan.

Dalam kaitannya dengan membangun kepercayaan bagi sebuah bisnis, era digital membawa berbagai perubahan yang menuntut adanya perubahan strategi di berbagai bidang. Di satu sisi, perubahan ini menuntut marketer atau business owner untuk mempelajari hal baru. Namun, di sisi lain, hadirnya era digital membawa banyak sekali kemudahan bagi bisnis, khususnya untuk membangun kepercayaan pada konsumen.

Pada dasarnya, era teknologi internet memungkinkan semua hal untuk semakin terbuka. Sebagai contoh, dengan memanfaatkan media sosial, kini bisnis bisa langsung ‘bertemu’ dan mendengarkan berbagai masukan dari customer-nya. Tak hanya menerima feedback secara langsung, kini business owner bahkan bisa memahami apa orang lain pikirkan dan rasakan mengenai produk yang mereka tawarkan. Misalnya saja melalui obrolan antar pengguna media sosial atau melalui forum-forum yang banyak dibentuk oleh sesama customer.

Kemudahan-kemudahan inilah yang di satu sisi memudahkan proses pembentukan kepercayaan antara bisnis dengan konsumen. Tetapi di sisi lain, keterbukaan ini juga menuntut business owner untuk selalu waspada. Sebab, dengan keterbukaan informasi, kesalahan sekecil apapun bisa langsung diketahui oleh semua orang dan itu secara tidak langsung dapat memberikan image atau kesan yang kurang baik bagi sebuah bisnis.

Kepercayaan sebagai reputasi manajerial

Dalam banyak hal, kepercayaan akan sama pentingnya dengan bisnis itu sendiri. Kepercayaan menunjukkan adanya sistem yang baik dalam sebuah perusahaan. Kepercayaan dalam bisnis tak hanya sebagai sesuatu yang berhak didapat oleh perusahaan, namun sebagai sesuatu yang harus didapat oleh perusahaan.

Kepercayaan menjadi satu kunci awal di mana tujuan-tujuan bisnis dapat dicapai lebih lanjut. Sebagai contoh, jika sebuah bisnis memiliki sebuah produk untuk dijual kepada konsumen, sebelum ia berhasil menjual produk tersebut, tentunya bisnis harus mendapatkan kepercayaan konsumen terlebih dulu. Tentunya, dalam hal ini dibutuhkan berbagai upaya, seperti proses branding ataupun marketing.

Lagi-lagi di era digital ini, kita harus bersyukur mengingat proses branding dan marketing bisa dilakukan melalui berbagai cara yang bisa dikatakan lebih mudah dan murah dibandingkan dulu ketika bisnis masih dijalankan dengan konvensional.

Ada berbagai channel yang bisa dimanfaatkan dengan baik dalam proses ini. Misalnya saja, selain contoh customer service melalui media sosial yang telah disebutkan di atas, kita bisa juga menggunakan e-mail maupun halaman website untuk ‘berkenalan’ lebih jauh dengan konsumen. E-mail ataupun website memungkinkan bisnis untuk menjangkau seluruh user dari berbagai lapisan di wilayah.

Ibaratnya, dengan teknologi digital, kini bisnis bisa dengan mudah menemui customer di manapun ia berada. Bisnis bisa dengan mudah menyerap apapun aspirasi yang dikemukakan oleh customer. Sebaliknya, melalui teknologi ini bisnis juga bisa dengan mudah memamerkan kebolehannya di mata customer.

Kepercayaan konsumen dalam angka

Sebuah studi menunjukkan bahwa sebanyak 83% konsumen akan dengan senang hati memberikan rekomendasi mengenai produk-produk yang mereka percayai. Angka ini tentu berhubungan dengan jumlah persentase orang yang memutuskan untuk membeli sebuah produk berdasarkan rekomendasi dari orang lain. Jadi, bisa dikatakan bahwa kepercayaan menjadi salah satu kunci sebuah bisnis berhasil mendapatkan customer-nya.

Bermula dari kepercayaan yang didapat, maka bisnis akan mendapatkan rekomendasi. Kemudian, melalui rekomendasi tersebut, orang lain akan tertarik, dan begitu seterusnya.

Logo LabanaID

Otomatisasi di Industri Teknologi, Sebuah Ancaman atau Peluang?

Foxconn dikabarkan telah memecat 60.000 pekerja di salah satu pabriknya dan menggantikannya dengan robot guna mempercepat laju pertumbuhan dan mengurangi biaya tenaga kerja. Menurut survei pemerintah, 600 perusahaan di pusat manufaktur Tiongkok, Kunshan, kemungkinan besar mengikuti jejak Foxconn dan menerapkan otomatisasi dan robotika dalam pabrik mereka.

Juru bicara Foxconn Xu Yulian mengatakan:

“Foxconn dapat menekan angka tenaga kerja dari 110 ribu orang menjadi 50 ribu orang saja berkat adanya robot. Dengan ini, Foxconn berhasil mengurangi pengeluaran untuk biaya tenaga kerja.” Yulian pun menambahkan, “Akan ada banyak perusahaan lain yang mengikuti langkah ini.”

Dorongan untuk menggantikan manusia dengan robot ini merupakan usaha untuk mempertahankan bisnis seiring dengan meningkatnya upah minimum buruh di Tiongkok. Meskipun Kunshan sendiri termasuk ke dalam kota dengan PDB (Produk Domestik Bruto) yang tinggi, tapi pada 2013-2014 PDB mengalami penurunan. Tampaknya, penurunan PDB dan kasus pabrik yang meledak pada tahun 2014 yang menyebabkan peningkatan investasi pada otomasi dan robotika dalam industri.

Tidak hanya soal penghematan biaya tenaga kerja saja, perubahan ini juga dilakukan sebagai respon terhadap ledakan yang terjadi di sebuah pabrik di Kunshan pada tahun 2014. Kabarnya, ledakan di pabrik manufaktur produk logam milik Taiwan itu disebabkan oleh kondisi kerja yang tidak aman.

Setelah ledakan yang menewaskan 146 jiwa tersebut, pemerintah setempat berjanji untuk mengurangi populasi penduduk dan menghentikan pengembangan lahan di Kunshan yang 46% bagiannya sudah dipenuhi oleh bangunan dan pabrik. Pemerintah pun berjanji untuk memberikan subsidi sebesar 2 miliar Yuan (setara Rp 4.1 triliun) per tahun untuk mendukung perusahaan yang akan menerapkan otomatisasi industri dan robotik pada lini produksi mereka.

Meskipun meratanya pekerjaan manufaktur turut menopang perekonomian Tiongkok dan membuat masyarakatnya bisa keluar dari garis kemiskinan, pada saat ini sebagian pekerjaan ini justru cenderung dialihkan ke India dan negara-negara lain yang menawarkan upah buruh yang lebih rendah. Indonesia pun sempat ramai dikabarkan menjadi tujuan tempat pengalihan pekerjaan ini. Foxconn sempat dikabarkan berniat untuk membangun pabriknya di Indonesia, meskipun sampai saat ini tampaknya rencana tersebut belum juga jadi dilakukan karena adanya masalah lahan.

Otomatisasi Industri di Dunia

Masa depan otomasi industri dan robotika kini sudah begitu dekat bagi berbagai perusahaan terbesar di dunia, yang kini lebih tertarik untuk menggunakan robot daripada mempekerjakan tenaga manusia. Di AS, mantan CEO McDonald USA Ed Rensi pernah mengatakan:

“Lebih murah membeli lengan robot seharga $35 ribu (setara Rp 475 juta) daripada membayar $15 (setara Rp 203 ribu) per jam untuk seorang karyawan yang tidak efisien dalam membungkus french fries.”

Para pendukung otomatisasi mengatakan bahwa pekerjaan yang akan dihilangkan adalah pekerjaan yang membuat tenaga kerja manusia sengsara. Dengan begitu dalam jangka panjang akan banyak posisi lain yang terbuka bagi tenaga kerja manusia.

Bagi Foxconn -yang banyak mengundang kontroversi karena kondisi pabriknya dan tingginya tingkat bunuh diri pada pekerjanya, robot merupakan solusi untuk memperbaiki persepsi buruk publik pada perusahaan tanpa harus meningkatkan kualitas hidup karyawan.

Dampak otomatisasi industri sendiri digambarkan dengan jelas pada rencana Foxconn yang diumumkan tahun 2014 lalu: Jika di Tiongkok pabriknya harus mempekerjakan ribuan karyawan, di Pennsylvania mereka hanya memerlukan beberapa lusin orang saja.

Menanggapi hal ini, sebagian orang berpendapat, jika memang pihak Foxconn berencana menerapkan teknologi otomatisasi secara besar-besaran, mengapa mereka tidak melakukannya juga di AS? Biaya produksinya dijamin akan bisa bersaing mengingat mereka bisa menekan berbagai pengeluaran biaya seperti biaya kirim dan penanganan.

Menanggapi pendapat ini, Terry Gou, CEO Foxconn berkomentar:

“Saya bisa saja mengotomatisasi pabrik di AS lalu mengirimkan [hasil produksinya] ke Tiongkok. Biaya produksinya pun masih bisa bersaing … Namun saya khawatir AS memiliki terlalu banyak pengacara. Saya tidak ingin menghabiskan waktu untuk orang-orang yang ingin menuntut saya setiap harinya.”

Rupanya, upah buruh bukanlah satu-satunya permasalahan. Hukum dan peraturan ketat di AS menjadi penghalang bagi Foxconn untuk menjalankan rencana mereka itu. Belum lagi banyaknya tekanan dari berbagai aktivis.

Namun, para ekonom sebenarnya lebih mengkhawatirkan bahwa otomatisasi industri ini bisa menyebabkan berkurangnya lapangan pekerjaan secara drastis dan terjadinya ketidakstabilan ekonomi. Berdasarkan laporan dari Deloitte dan Oxford University, sebanyak 35 persen pekerjaan diprediksi akan diotomasi selama dua dekade ke depan. Selain itu, berdasarkan penelitian Carl Benedikt Frey dan Michael Osborne di tahun 2013, diperkirakan sekitar 50 persen dari pekerjaan akan lenyap dalam empat hingga lima dekade berikutnya.

Otomasi industri di Indonesia

Kini yang menjadi pertanyaan, apakah mungkin di Indonesia terjadi pemecatan massal dan otomatisasi industri seperti yang terjadi seperti di pabrik Foxconn, Tiongkok? Menurut saya, hal ini sangat mungkin terjadi, meskipun mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat ini. Apalagi akhir-akhir ini buruh semakin gencar menggelar demo untuk menuntut kenaikan UMR. Khawatirnya, hal ini bisa menjadi bom waktu yang berimbas pada pemecatan buruh secara besar-besaran untuk menekan biaya produksi dan meningkatkan efisiensi produksi. Selain itu, memasuki era Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) ini, perusahaan lokal dituntut untuk meningkatkan produksi dan kualitasnya agar bisa bersaing di pasar terbuka ini. Dari segi investasi, menggunakan teknologi otomatisasi dan robotika dalam industri merupakan pilihan yang lebih menguntungkan, apalagi melihat harga robot yang semakin menurun.

Untuk saat ini, memang masih sedikit industri manufaktur di Indonesia yang menerapkan teknologi tersebut, mengingat besarnya biaya investasi awal yang diperlukan. Oleh karenanya, kebanyakan perusahaan yang sudah menerapkan teknologi ini adalah industri berskala besar. Namun untuk ke depannya, otomasi atau robotika di industri Indonesia merupakan hal yang tidak bisa terhindari lagi.

Peluang

Seperti diuraikan di atas, dengan semakin banyaknya otomatisasi yang dilakukan di industri teknologi, maka semakin banyak pula pekerjaan yang menghilang. Namun di satu sisi dampak dari hal ini adalah terciptanya peluang-peluang baru.

Agar otomatisasi ini semakin berkembang dan proses serta hasilnya bisa semakin baik, tentunya harus didukung oleh industri yang sejalan. Ini artinya akan banyak peluang untuk membuat bisnis di sekitar teknologi otomatisasi ini, yang otomatis berarti membuka lapangan pekerjaan baru.

Semoga saja di Indonesia ini juga berarti membuka peluang menjadi salah satu pemain di industri ini, tidak seperti yang sudah-sudah, yang kebanyakan hanya menjadi pasar saja.

Logo LabanaID