Di tahun 2014, seorang arsitek berdarah Indonesia, Max Gunawan, memberanikan diri untuk terjun ke bidang teknologi lewat suatu produk yang mengedepankan aspek desain. Produk tersebut adalah Lumio, sebuah lampu portabel yang menyamar sebagai buku, yang sangat populer sampai-sampai banyak versi palsunya yang beredar.
Memasuki akhir tahun pandemi ini, Max kembali melancarkan kampanye crowdfunding di Kickstarter untuk produk keduanya yang bernama Teno. Seperti halnya Lumio, Teno juga merupakan sebuah lampu portabel, tapi ternyata ia juga merangkap peran sebagai speaker Bluetooth.
Juga sama seperti Lumio, yang paling mencuri perhatian dari Teno adalah desainnya. Sepintas, ia kelihatan seperti sebuah mangkok tertutup yang terbuat dari batu, dengan bagian tengah yang retak sampai ke samping. Buka retakan tersebut, maka lampu berwarna kuning akan menyala seketika itu juga, dan musik pun juga siap dialunkan.
Max menjelaskan bahwa desain Teno banyak terinspirasi oleh kintsugi, seni mereparasi barang pecah belah seperti tembikar menggunakan pernis yang dicampuri emas. Lewat Teno, Max pada dasarnya ingin menciptakan suatu produk teknologi yang tak lekang oleh waktu, bukan yang harus diganti dengan yang baru setiap tahunnya.
Berhubung estetika adalah prioritas yang paling utama, jangan terkejut apabila Teno tidak dibekali tombol sama sekali. Sebagai gantinya, hampir seluruh permukaannya telah dilengkapi panel sentuh. Sentuh di dekat bagian retakannya, maka tingkat kecerahan lampunya akan berubah (maksimum sampai 250 lumen). Sentuh agak jauh dari retakannya, maka kita bisa menerima atau menghentikan panggilan telepon.
Namun favorit saya adalah gesture untuk mengatur volume suaranya, yakni cukup dengan mengusap ke atas atau bawah pada lengkungan di sisi kiri maupun kanan Teno. Biarpun tak memiliki tombol, sensasi taktil tetap sanggup Teno sajikan berkat tekstur permukaannya yang menyerupai batu, apalagi mengingat rangka Teno memang terbuat dari campuran bahan resin dan pasir alami.
Secara teknis, Teno memiliki diameter 13 cm dan tinggi sekitar 6,4 cm, sedangkan bobotnya berada di kisaran 900 gram. Di dalamnya, tertanam sebuah full-range driver berdiameter 45 mm, lengkap beserta sebuah passive radiator dan amplifier Class-D berdaya 10 W. Urusan konektivitas, Teno mengandalkan Bluetooth 5.0 dengan dukungan codec aptX HD.
Volumenya sendiri disebut cukup untuk mengisi ruangan dengan luas 5-20 m², dan saya sudah bisa membayangkan Teno sebagai salah satu ornamen yang menghiasi meja di samping tempat tidur, yang kemudian bisa dibawa ke ruang membaca ketika dibutuhkan. Alternatifnya, pengguna juga bisa menghubungkan dua unit Teno untuk mendapatkan setup stereo.
Teno mengemas baterai berkapasitas 2.800 mAh, dan ini disebut cukup untuk menenagai lampunya menyala paling terang selama 4 jam, atau speaker-nya selama 8 jam dengan tingkat volume 50%. Untuk mengisi ulang Teno, pengguna bisa memanfaatkan charger magnetis yang termasuk dalam paket penjualannya.
Buat yang tertarik, Teno saat ini sudah bisa dipesan melalui Kickstarter dengan harga paling murah $240 (belum termasuk biaya pengiriman ke Indonesia sebesar $30). Harga ritelnya dipatok $300, dan konsumen bisa memilih antara warna Arctic White atau Lava Black.
Sampai artikel ini ditulis, tercatat Teno telah mengumpulkan pendanaan sekitar $170.000, dan ini ternyata sudah jauh melampaui target yang ditetapkan oleh Max. Kampanye crowdfunding-nya sendiri akan berlangsung sampai 20 November 2020, akan tetapi pengirimannya ke konsumen dijadwalkan baru berlangsung mulai Mei 2021.
Sumber: The Verge dan Design Anthology.